Revana menghampiri Tristan yang sedang mematut bayangannya di cermin, mengenakan dasi dengan gerakan anggun namun penuh ketegangan.Wajahnya terpantul di cermin, tatapan tajamnya tak menyembunyikan kelelahan yang bersembunyi di balik mata kelam itu.Revana berdiri di ambang pintu, ragu-ragu sejenak sebelum akhirnya membuka suara.“Kamu sudah baik-baik saja? Mau berangkat kerja? Tapi, wajah kamu masih pucat,” katanya dengan suara yang lembut, berusaha menyentuh hati Tristan yang keras bak granit.Tristan hanya mengangkat sebelah alis tanpa menoleh, jari-jarinya terus sibuk dengan simpul dasinya.“Jangan kamu pikir aku lemah, hanya karena pingsan di tempat umum,” ucapnya dengan nada dingin, seolah mematahkan setiap upaya Revana untuk mendekat.Revana menghela napas panjang, menyimpan luka di balik senyumnya yang rapuh. “Ya sudah kalau memang sudah membaik.”Ia melangkahkan kakinya perlahan keluar dari kamar tersebut, meninggalkan Tristan dengan keheningan yang menggigit.“Ck!” Tristan b
Revana duduk di tepi tempat tidurnya, tangannya gemetar saat mengambil ponsel usai mendengar notifikasi pesan masuk.Ia mengerutkan keningnya melihat pesan dari nomor yang tidak dikenalnya.“Nomor siapa ini?” gumamnya dengan suara yang nyaris tersedak oleh keraguan. Jari-jarinya ragu-ragu menekan layar, namun rasa penasaran lebih kuat menariknya.Revana menoleh ke arah pintu kamarnya. Seperti biasa, Tristan belum kembali meski waktu sudah menunjuk angka sembilan malam.“Pria itu tidak pulang lagi,” bisiknya pada diri sendiri, suaranya nyaris tenggelam dalam kesunyian.Ting!Ponselnya kembali berbunyi. Ia pun menghela napas panjang, memberanikan diri untuk membuka isi pesan tersebut.Keningnya semakin berkerut saat melihat foto seorang wanita yang tak asing baginya—Aluna. Pesan itu menyusul:[Dia adalah Aluna. Wanita yang sangat Tristan cintai. Alias suamimu hanya mencintai Aluna seorang, bukan kamu. Maka jangan pernah mengharapkan cinta dari Tristan. Bahkan anak yang sedang kamu kandu
Revana membuka matanya perlahan saat sinar matahari mulai mengintip melalui celah-celah tirai jendela.Ia menghela napas dalam-dalam, lalu duduk menyandar pada sandaran tempat tidur. Di sampingnya, Tristan masih terlelap dalam dunia mimpinya, wajahnya tenang dan damai, jauh dari sikap angkuh dan arogan yang biasa terpancar ketika ia terjaga.Revana menatap wajah pria itu dengan tatapan yang penuh perasaan. 'Sayangnya, pemandangan seperti ini hanya bisa kulihat saat dia tertidur. Jika sudah bangun, maka jangan harap bisa melihat wajah damainya ini,' pikirnya dalam hati sebelum akhirnya turun dari tempat tidur dan melangkah menuju kamar mandi.Ia ingin membersihkan diri sebelum Tristan terbangun.Air hangat dari shower mengguyur tubuhnya, memberikan sensasi relaksasi yang sangat ia rindukan. Aroma lavender yang lembut memenuhi ruang kamar mandi, menenangkan pikiran dan tubuhnya."Segarnya …," gumam Revana sambil membilas busa sabun dari tubuhnya.Namun, ketenangan itu terpecah ketika ia
"Tapi kamu masih mencintainya, kan?" desis Revana dengan suara yang hampir terdengar putus asa, tangan memegang erat lengan Tristan. "Aku hanya ingin bersiap andai wanita itu sudah kembali padamu. Sampai saat ini dia pasti belum tahu kan, kalau kamu sudah menikah?"Kepalan tangan Tristan semakin mengencang, mengekspresikan gelisah yang sulit diungkapkan dengan kata-kata.Raut wajah Revana memucat, seolah dihantam oleh pukulan emosional yang tak terduga. "Bahkan sampai saat ini pun kamu tidak mencintaiku. Dan sekarang aku paham. Karena ada wanita lain yang selalu kamu cintai hingga detik ini," ucapnya lirih, tersenyum getir dalam kehampaan yang melanda.“Memangnya kamu mencintaiku?” tanya Tristan pada akhirnya. Pertanyaan yang terlontar dari bibir Tristan mengoyak hatinya lebih dalam lagi. "Memangnya kamu mencintaiku?"Revana terdiam, menggaruk ujung kuku dengan ragu. Hatinya terombang-ambing antara keinginan untuk mencintai dan rasa sakit yang mendalam karena kepastian yang menggan
“Mas?” Revana menghampiri Tristan yang baru pulang dari kantor. Raut wajah pria itu terlihat sangat kusut, sepertinya kerjaannya banyak sekali sampai wajahnya berantakan seperti itu.“Tolong siapkan air hangat untukku. Aku ingin berendam. Tubuhku lelah sekali,” pinta Tristan pada Revana yang baru saja mengambil tas kerja miliknya.“Baik. Aku siapkan dulu.” Revana beralih masuk ke dalam kamar mandi untuk mengisi bath tub atas perintah Tristan.“Kenapa dia sepertinya lelah sekali? Bahkan selama dua hari ini dia selalu pulang di jam yang masih sore. Biasanya jam sembilan, jam sepuluh.”Revana jadi bingung sendiri dengan Tristan yang tiba-tiba tidak pernah telat pulang apalagi tidak pulang sama sekali.“Mas. Air hangatnya sudah siap.” Revana menghampiri Tristan yang tengah berdiri menghadap jendela.Tristan menoleh pada Revana dan menatapnya. “Ada yang ingin aku tanyakan padamu, Revana.”Wanita itu menaikan alisnya. “Silakan. Tanyakan saja. Aku akan menjawabnya.”Kilatan mata Tristan yang
Revana dan Tristan berjalan ke kamar mereka dalam diam yang penuh makna.Begitu pintu kamar tertutup, Revana menghentikan langkahnya dan menatap Tristan yang berdiri di hadapannya dengan tatapan tajam namun tersembunyi.Ia merasakan ada sesuatu yang perlu diungkapkan oleh suaminya malam ini."Ada apa?" tanyanya lembut, berusaha menjaga nada suaranya tetap tenang meskipun jantungnya berdebar kencang.Tristan memandang wajah Revana yang dipenuhi oleh rasa ingin tahu. Sembari menyedekapkan tangannya di dada, Tristan terdiam, seolah mencari kata-kata yang tepat untuk diucapkan.“Jika ada yang ingin kamu tanyakan, tanyakan saja. Oh, iya. Calon bayimu baik-baik saja. Selama kamu tidak ada di rumah pun ada pelayan dan bodyguard yang menemaniku di sini.”Tanpa berkata-kata, Tristan melepaskan tangannya dari dadanya lalu menarik tangan Revana, memintanya duduk di tepi tempat tidur.Revana menelan saliva yang mendadak terasa kering. Apakah pria ini mau minta haknya malam ini? Pikiran itu mengha
“Huh? Kamu tidak ke kantor?” Revana yang semula hendak meneguk susu ibu hamil yang sudah disiapkan oleh pelayan terkejut saat melihat Tristan yang masih duduk di ruang tengah sembari membaca majalah di sana.“Apakah hari Minggu pun aku harus pergi ke kantor? Jangan mentang-mentang aku meminta lima anak padamu, kamu memintaku untuk pergi ke kantor setiap hari, Revana!”Revana lantas mengatup bibirnya menahan tawa. Meski garing, tapi ucapan Tristan mampu membuat Revana mendehem pelan.“Maaf, Mas. Aku lupa kalau hari ini hari Minggu. Hari-hariku selalu di rumah, tidak pernah keluar sekali pun. Jadi lupa hari.” Revana menerbitkan senyum tipis dan meneguk susu ibu hamil itu.“Susunya enak, Mas. Terima kasih, sudah memilihkan produk susu ibu hamil yang bagus untukku.”Tristan menyunggingkan senyum mendengar ucapan Revana tadi. “Tentu saja aku akan memilih yang bagus untuk calon anakku, Revana. Mana mungkin aku memilih denga nasal-asalan.”Revana mengangguk. “Tentu saja. Kamu kan, calon ayah
“Pak Gave. Aku mau bicara sama kamu.”Gave yang tengah mengetik pada layar ponselnya dikejutkan oleh kedatangan Revana yang bersedekap dada menatapnya dengan tatapan datar.“Ada apa?” tanyanya dengan santai.Revana menarik napasnya dalam-dalam dengan mata masih tertuju pada pria itu.“Aku baru tahu kalau kamu dianggap sebagai adik, kakak, saudara, bahkan ayah sama Mas Tristan. Bahkan dia lebih mendengarkan kamu daripada aku sebagai istrinya.”Gave mengatup bibirnya menahan tawa mendengar ucapan Revana tadi. Ia lalu menghela napasnya sebelum menjelaskan semuanya.“Karena saya bekerja dengan setulus hati. Memangnya kamu menjadi istrinya Tuan Gave sudah dengan sepenuh hati? Terpaksa, bukan? Mana mungkin dia mau mendengarkan kamu."Revana menyunggingkan bibirnya melirik Gave yang kini tidak pernah lagi memasang muka masam ataupun datar padanya.“Kenapa kamu meminta dia buat melupakan Aluna juga? Memangnya dia bisa melupakan cinta pertamanya?”Gave tak lagi bisa menahan tawanya mendengar o
Langit malam membentangkan jubah hitamnya, bertabur bintang yang gemerlap bagai luka-luka kecil yang menganga di dada langit.Tristan berdiri di tengah ruangan yang sepi, memegang berkas terakhir dari masa lalunya yang kelam. Matanya menatap Louis, sahabat lama yang menjadi saksi bisu keputusannya."Aku serahkan semuanya padamu," ucapnya, suaranya penuh kelelahan yang berat seperti batu yang diangkat dengan tangan telanjang. "Jangan pernah membawa namaku lagi dalam misi apa pun itu!"Louis menerima berkas itu dengan gerakan lambat, seperti menghormati akhir sebuah era. Senyumnya merekah samar di sudut bibirnya, sebuah ironi yang menggantung di udara."Aku tahu kamu masih memiliki urusan dengan Alfrod," ujarnya, nada bicaranya bagai belati yang menyentuh luka lama. "Dia sedang marah besar sebab kamu telah membombardir markas utamanya."Tristan mengangkat wajahnya, tatapannya yang gelap bertaut dengan mata Louis. Dalam diam itu ada badai yang berusaha ia redam. "Apakah dia sedang mencar
“Dengar kabar dari Alfrod?” tanya Tristan sambil menatap Gave yang baru saja menyerahkan dokumen-dokumen yang menuntut tanda tangannya.Nada suaranya tenang, tapi di balik ketenangan itu tersirat kewaspadaan, seperti badai yang sedang menanti waktu untuk meledak.Gave menggeleng perlahan, ekspresinya penuh kehati-hatian. “Belum ada kabar. Tapi sebaiknya kamu tetap waspada. Kemungkinan besar dia sedang menyusun strategi untuk balas dendam. Kamu tahu, Alfrod tak akan tinggal diam begitu saja setelah serangan itu.”Tristan membuka dokumen itu satu per satu, menelusuri kata-kata di dalamnya seakan setiap kata adalah butiran pasir waktu yang akan segera hilang.Pikirannya berkecamuk antara tugasnya sebagai pemimpin mafia dan permintaan Revana yang tak henti terngiang di kepalanya.“Revana memintaku berhenti jadi mafia, Gave. Tapi, aku bingung harus menyerahkan semuanya pada siapa. Tidak mungkin kalau aku memberikannya pada Alfrod—itu sama saja dengan menyerahkan harga diriku padanya.”Gave
Usia Naira kini telah mencapai satu bulan. Bayi mungil itu, dengan pipi lembut bak kelopak mawar yang baru merekah, semakin aktif dan sehat setelah berhasil melewati masa-masa rapuhnya, di mana ia terlahir ke dunia dengan napas yang tertatih-tatih.Revana menghela napas panjang, baru saja selesai mandi, namun segera dihadapkan dengan tangis lembut Naira yang seolah memenuhi ruangan seperti melodi lembut."Sayang..." panggilan Tristan menggema, mendesak Revana keluar dari kamar mandi dengan langkah cepat namun penuh kelembutan seorang ibu."Sudah tahu, Mas." Dengan senyum yang menyiratkan kasih tak terbatas, Revana mengambil alih Naira dari dekapan sang suami. Bayi itu, yang sebelumnya tampak resah, perlahan tenang dalam kehangatan pelukannya.ASI Revana kini telah keluar, setelah minggu-minggu penuh ketekunan dan harapan. Ia ingin memberikan Naira bukan sekadar nutrisi, tetapi juga sepenggal jiwanya, sesuatu yang hanya seorang ibu bisa tawarkan pada darah dagingnya sendiri."Anteng ba
Satu minggu kemudian. Tepat hari ini, minggu ketiga Revana menjalani rawat inapnya di rumah sakit. Aroma disinfektan yang dulu membuatnya merasa gerah kini terasa seperti bagian dari napasnya, tapi hari ini, itu semua akan menjadi kenangan.Ruang perawatan yang dingin dan bernuansa steril akan ia tinggalkan, digantikan dengan kehangatan rumah yang sudah lama ia rindukan.“Namun, harus tetap cek rutin, ya. Luka dalam Anda masih dalam tahap penyembuhan. Jangan terlalu banyak melakukan aktivitas yang melelahkan,” kata dokter Pram, suaranya tegas namun hangat, menatap Revana yang tengah menggendong bayi kecilnya dengan hati-hati, seolah-olah dunia ini hanya berpusat pada mereka berdua.Baby Naira, sang buah hati yang mungil dan rapuh, sudah diperbolehkan pulang. Semakin hari, kesehatannya pun terus membaik, seperti embun yang makin bening saat sinar mentari mulai merayapi langit.Ada kelegaan mendalam yang terpancar di mata Revana, kelegaan yang hanya seorang ibu yang tahu, sebuah perasaa
Sudah dua hari Revana dipindahkan ke ruang rawat. Ketika Tristan baru saja tiba di kamar, matanya langsung menangkap wajah Revana yang ditekuk, menunjukkan ekspresi memelas yang begitu menggemaskan, seolah memohon sesuatu dengan lirih dari balik sorot matanya yang teduh.“Sayang, ada apa? Kenapa wajahmu ditekuk seperti itu, hm?” Tristan bertanya dengan senyum lembut yang terulas di bibirnya.Tanpa ragu, ia mendekat dan mencium kening istrinya dengan penuh kasih, memberikan kehangatan yang membuat Revana tersipu.“Mas… aku ingin melihat anak kita. Aku ingin melihat baby Naira. Aku sudah membaik lho, Mas.” Revana merajuk, nada suaranya manis seperti anak kecil yang merengek ingin hadiah, membuat Tristan tersenyum geli.Melihat Revana begitu menggemaskan, Tristan tak bisa menahan senyumnya. “Baiklah. Kita akan melihat anak kita hari ini,” ucapnya lembut, suaranya seperti angin sejuk yang membawa kebahagiaan di hati Revana.Seketika, senyum lebar menghiasi bibir Revana, matanya berbinar p
“Kenapa kamu menyelamatkanku?” tanya Revana, suaranya begitu lirih, seolah datang dari tempat yang jauh.Tatapan matanya yang masih redup menatap Tristan dengan penuh kebingungan dan rasa bersalah yang mengabur di kedalaman matanya.Tristan menggelengkan kepalanya pelan, senyum kecil namun penuh kasih sayang menghiasi wajahnya.“Aku tidak akan membiarkanmu meninggalkanku, Revana. Jangan pernah berpikir aku rela kehilanganmu,” bisiknya, seraya menggenggam tangan Revana dengan lembut namun erat, seolah memastikan bahwa ia tidak akan pernah terlepas lagi.Revana menutup matanya, tenggelam dalam keheningan yang begitu dalam. Rasa bersalah menggerogoti hatinya; ia terbayang kehilangan buah hatinya, menyalahkan dirinya sendiri yang tak mampu melindungi kehidupan yang pernah tumbuh dalam rahimnya.“Aku akan menjadi ibu yang jahat karena tidak melindungi anakku sendiri,” bisiknya, suaranya nyaris tak terdengar, penuh kepedihan yang ia pendam sendirian.“Tidak, Sayang. Jangan berpikir seperti
Dua minggu kemudian ...Langkah Tristan terdengar pelan namun penuh keteguhan ketika ia memasuki rumah sakit.Di tangannya, tergenggam sebuah paper bag besar berisi popok dan susu formula untuk putrinya yang mungil, yang hingga kini masih terlelap dalam ruang inkubator, seolah berselimut dalam kehangatan buatan yang melindunginya dari dunia yang masih terlalu keras.“Sus. Ini, susu dan popok untuk satu minggu ke depan.” Tristan menyerahkan tas itu kepada perawat, suaranya tenang namun terselip rasa sayang yang dalam.“Baik, Pak. Terima kasih,” jawab perawat itu, mengangguk hormat.Tristan menghela napas panjang, lalu sedikit membungkukkan tubuhnya, ingin menyapa sang buah hati yang belum sepenuhnya ia rangkul. Senyum tipis terlukis di bibirnya, menyiratkan kerinduan yang tak terkatakan.“Hei. Sebentar lagi kamu sudah bisa Papi gendong,” ucapnya dengan kelembutan yang menetes seperti embun pagi. Pandangannya melekat pada wajah mungil yang terbaring tenang, jiwanya berbisik penuh harapa
“Siapa yang berani menghancurkan markasku!” pekik Alfrod, suaranya bergemuruh bak badai menggelegar, mengguncang dunia di bawah cakrawala yang muram.Matanya menatap kosong pada pemandangan yang menyayat hati; markas yang selama ini menjadi simbol kejayaannya kini hanya menyisakan puing-puing berdebu, sisa-sisa dari ledakan yang menyapu semalam, meninggalkan kehampaan yang dingin dan mematikan.Empat nyawa turut lenyap dalam kobaran tanpa sisa—hanya debu dan kenangan yang tinggal mengambang di udara yang pekat.“Berengsek! Barang-barang berhargaku hancur lebur! Arghh!!” teriaknya lagi.Amarah menyelubunginya, merambat seperti api liar dalam gurun kering, sampai-sampai tangan kasarnya tak segan-segan menjambak rambutnya sendiri, seolah merobek sebagian dari dirinya yang tak mampu menerima kenyataan pahit ini.Michael, dengan ketenangan yang kontras, menatap Alfrod. “Siapa lagi kalau bukan Tristan,” ujarnya ringan, suaranya seperti angin yang mengalir lembut di tengah badai.Ia sangat y
Tristan melangkah perlahan mendekati tabung inkubator, tempat bayi mungilnya tertidur dengan damai, seolah terlelap dalam dunia kecilnya yang penuh ketenangan.Wajahnya yang lembut dan polos dipagari tabung kaca, memberikan Tristan pandangan pertama pada keajaiban yang kini menjadi bagian dari hidupnya.Dengan hati yang penuh haru, Tristan mengulas senyum lirih, menyadari bahwa dirinya kini seorang ayah.“Hai, Nak,” bisiknya lembut, suaranya nyaris serak oleh emosi yang meluap. “Ini Papi… Ayah yang selalu menunggumu sejak tahu kamu hadir di perut mamimu.”Kata-katanya mengalir pelan, penuh kehangatan dan kasih sayang yang mendalam. Ia menatap buah hatinya dengan sorot penuh kelembutan, mengagumi setiap detail wajah mungil itu—wajah yang begitu mirip dirinya.Di sampingnya, Gave tersenyum lebar sambil melihat lebih dekat keponakan kecilnya. “Wajahnya mirip sekali denganmu, Tristan. Sepertinya Revana hanya mengandung saja,” canda Gave, tertawa pelan.Tristan tersenyum, teringat betapa b