“Bagaimana kondisi suami saya, Dok?” tanya Revana dengan air mata terus mengalir di pipinya.Pria yang gagah dan berani itu terkapar tak sadarkan diri di depannya tentu saja membuat Revana terkejut dan jantungnya tidak berhenti berdebar kencang ketika melihat Tristan tiba-tiba pingsan.“Tuan Tristan mengalami Vasoval Syncope. Dia tidak bisa bertahan terlalu lama di sebuah keramaian. Jika tidak, maka jantungnya akan berdebar kencang, mengalami sesak napas dan kepala yang mendadak pusing.”Revana menganga mendengar penuturan dokter mengenai kondisi Tristan yang baru ia tahu jika pria itu memiliki kelainan yang luar biasa mengejutkan.“Ke—kenapa dia bisa mengalami kondisi seperti ini, Dok?” tanya Revana dengan pelan.“Saat berusia tujuh tahun, Tuan Tristan mengalami kecelakaan yang menyebabkan kepalanya terbentur. Dia juga mengalami trauma yang cukup dalam hingga saat ini. Namun, penyebab pastinya, hanya Tuan Tristan yang tahu.”Revana memejamkan matanya sejenak. Tristan yang kuat dan ke
Brak!“Hamil?” Mata Alfrod menatap tajam ke arah Michael yang baru saja memberi tahu jika Revana sedang hamil.“Ya. Revana dan Tristan sudah menikah secara diam-diam satu bulan yang lalu. Sebagai jaminan untuk pelunasan utang ayahnya. Aku tidak tahu jika Tristan benar-benar menjadikan wanita itu sebagai istrinya.“Karena yang kupikirkan selama ini, Revana hanya akan dijadikan babu, pelayan atau mungkin hanya teman tidurnya saja. Ternyata Tristan melangkah lebih jauh dari apa yang kubayangkan.”Kepalan Alfrod semakin kuat kala mendengar penuturan Michael yang membuatnya marah, iri dan dengki. Adiknya yang selalu jadi musuh bebuyutan karena lebih sukses darinya kini semakin membuatnya murka.Pria itu sudah menikah, bahkan akan segera menjadi seorang ayah. Sedangkan dia? Bahkan hingga saat ini belum ada wanita yang mau dia jadikan sebagai istri.“Di mana Tristan? Aku ingin bicara dengannya.”“Tristan ada di rumah sakit. Penyakitnya kambuh.” Michael menelan salivanya usai memberi tahu kon
Revana menghampiri Tristan yang sedang mematut bayangannya di cermin, mengenakan dasi dengan gerakan anggun namun penuh ketegangan.Wajahnya terpantul di cermin, tatapan tajamnya tak menyembunyikan kelelahan yang bersembunyi di balik mata kelam itu.Revana berdiri di ambang pintu, ragu-ragu sejenak sebelum akhirnya membuka suara.“Kamu sudah baik-baik saja? Mau berangkat kerja? Tapi, wajah kamu masih pucat,” katanya dengan suara yang lembut, berusaha menyentuh hati Tristan yang keras bak granit.Tristan hanya mengangkat sebelah alis tanpa menoleh, jari-jarinya terus sibuk dengan simpul dasinya.“Jangan kamu pikir aku lemah, hanya karena pingsan di tempat umum,” ucapnya dengan nada dingin, seolah mematahkan setiap upaya Revana untuk mendekat.Revana menghela napas panjang, menyimpan luka di balik senyumnya yang rapuh. “Ya sudah kalau memang sudah membaik.”Ia melangkahkan kakinya perlahan keluar dari kamar tersebut, meninggalkan Tristan dengan keheningan yang menggigit.“Ck!” Tristan b
Revana duduk di tepi tempat tidurnya, tangannya gemetar saat mengambil ponsel usai mendengar notifikasi pesan masuk.Ia mengerutkan keningnya melihat pesan dari nomor yang tidak dikenalnya.“Nomor siapa ini?” gumamnya dengan suara yang nyaris tersedak oleh keraguan. Jari-jarinya ragu-ragu menekan layar, namun rasa penasaran lebih kuat menariknya.Revana menoleh ke arah pintu kamarnya. Seperti biasa, Tristan belum kembali meski waktu sudah menunjuk angka sembilan malam.“Pria itu tidak pulang lagi,” bisiknya pada diri sendiri, suaranya nyaris tenggelam dalam kesunyian.Ting!Ponselnya kembali berbunyi. Ia pun menghela napas panjang, memberanikan diri untuk membuka isi pesan tersebut.Keningnya semakin berkerut saat melihat foto seorang wanita yang tak asing baginya—Aluna. Pesan itu menyusul:[Dia adalah Aluna. Wanita yang sangat Tristan cintai. Alias suamimu hanya mencintai Aluna seorang, bukan kamu. Maka jangan pernah mengharapkan cinta dari Tristan. Bahkan anak yang sedang kamu kandu
Revana membuka matanya perlahan saat sinar matahari mulai mengintip melalui celah-celah tirai jendela.Ia menghela napas dalam-dalam, lalu duduk menyandar pada sandaran tempat tidur. Di sampingnya, Tristan masih terlelap dalam dunia mimpinya, wajahnya tenang dan damai, jauh dari sikap angkuh dan arogan yang biasa terpancar ketika ia terjaga.Revana menatap wajah pria itu dengan tatapan yang penuh perasaan. 'Sayangnya, pemandangan seperti ini hanya bisa kulihat saat dia tertidur. Jika sudah bangun, maka jangan harap bisa melihat wajah damainya ini,' pikirnya dalam hati sebelum akhirnya turun dari tempat tidur dan melangkah menuju kamar mandi.Ia ingin membersihkan diri sebelum Tristan terbangun.Air hangat dari shower mengguyur tubuhnya, memberikan sensasi relaksasi yang sangat ia rindukan. Aroma lavender yang lembut memenuhi ruang kamar mandi, menenangkan pikiran dan tubuhnya."Segarnya …," gumam Revana sambil membilas busa sabun dari tubuhnya.Namun, ketenangan itu terpecah ketika ia
"Tapi kamu masih mencintainya, kan?" desis Revana dengan suara yang hampir terdengar putus asa, tangan memegang erat lengan Tristan. "Aku hanya ingin bersiap andai wanita itu sudah kembali padamu. Sampai saat ini dia pasti belum tahu kan, kalau kamu sudah menikah?"Kepalan tangan Tristan semakin mengencang, mengekspresikan gelisah yang sulit diungkapkan dengan kata-kata.Raut wajah Revana memucat, seolah dihantam oleh pukulan emosional yang tak terduga. "Bahkan sampai saat ini pun kamu tidak mencintaiku. Dan sekarang aku paham. Karena ada wanita lain yang selalu kamu cintai hingga detik ini," ucapnya lirih, tersenyum getir dalam kehampaan yang melanda.“Memangnya kamu mencintaiku?” tanya Tristan pada akhirnya. Pertanyaan yang terlontar dari bibir Tristan mengoyak hatinya lebih dalam lagi. "Memangnya kamu mencintaiku?"Revana terdiam, menggaruk ujung kuku dengan ragu. Hatinya terombang-ambing antara keinginan untuk mencintai dan rasa sakit yang mendalam karena kepastian yang menggan
“Mas?” Revana menghampiri Tristan yang baru pulang dari kantor. Raut wajah pria itu terlihat sangat kusut, sepertinya kerjaannya banyak sekali sampai wajahnya berantakan seperti itu.“Tolong siapkan air hangat untukku. Aku ingin berendam. Tubuhku lelah sekali,” pinta Tristan pada Revana yang baru saja mengambil tas kerja miliknya.“Baik. Aku siapkan dulu.” Revana beralih masuk ke dalam kamar mandi untuk mengisi bath tub atas perintah Tristan.“Kenapa dia sepertinya lelah sekali? Bahkan selama dua hari ini dia selalu pulang di jam yang masih sore. Biasanya jam sembilan, jam sepuluh.”Revana jadi bingung sendiri dengan Tristan yang tiba-tiba tidak pernah telat pulang apalagi tidak pulang sama sekali.“Mas. Air hangatnya sudah siap.” Revana menghampiri Tristan yang tengah berdiri menghadap jendela.Tristan menoleh pada Revana dan menatapnya. “Ada yang ingin aku tanyakan padamu, Revana.”Wanita itu menaikan alisnya. “Silakan. Tanyakan saja. Aku akan menjawabnya.”Kilatan mata Tristan yang
Revana dan Tristan berjalan ke kamar mereka dalam diam yang penuh makna.Begitu pintu kamar tertutup, Revana menghentikan langkahnya dan menatap Tristan yang berdiri di hadapannya dengan tatapan tajam namun tersembunyi.Ia merasakan ada sesuatu yang perlu diungkapkan oleh suaminya malam ini."Ada apa?" tanyanya lembut, berusaha menjaga nada suaranya tetap tenang meskipun jantungnya berdebar kencang.Tristan memandang wajah Revana yang dipenuhi oleh rasa ingin tahu. Sembari menyedekapkan tangannya di dada, Tristan terdiam, seolah mencari kata-kata yang tepat untuk diucapkan.“Jika ada yang ingin kamu tanyakan, tanyakan saja. Oh, iya. Calon bayimu baik-baik saja. Selama kamu tidak ada di rumah pun ada pelayan dan bodyguard yang menemaniku di sini.”Tanpa berkata-kata, Tristan melepaskan tangannya dari dadanya lalu menarik tangan Revana, memintanya duduk di tepi tempat tidur.Revana menelan saliva yang mendadak terasa kering. Apakah pria ini mau minta haknya malam ini? Pikiran itu mengha