Dua hari kemudian, Tristan membawa Revana ke Roma, Italia untuk berbulan madu, sebuah janji manis yang telah terlaksana dengan gemerlapnya kota tua yang mengundang dengan cahayanya yang keemasan.
“Woah! Pemandangan di sini luar biasa indah,” gumamnya saat membuka jendela Villa.
Revana terkesima oleh keindahan pemandangan villa yang mereka tempati, dikelilingi oleh gemerlap pantai yang berkilauan di bawah sinar matahari senja.
Tristan tersenyum tipis saat melihat mata istrinya yang bersinar-sinar dalam kekaguman yang tak tersembunyi.
"Dilarang kampungan, ya, Revana," ujar Tristan dengan nada lembut, namun kata-katanya terdengar seperti gurauan penuh arti.
Revana merasa terguncang. Ia tidak menyangka suaminya akan mengungkapkan sesuatu seperti itu.
Tristan menatapnya dengan hangat, berharap untuk meredakan ketegangan yang tiba-tiba muncul.
"Maksudmu?" tanya Revana dengan suara yang gemetar sedikit.
Tristan mengangguk, lalu menjelaskan dengan lembut, "Aku tahu ini pertama kalinya kamu keluar negeri, Revana. Maka dari itu, jangan kampungan."
Revana terdiam. Ia tidak bisa menyangkal fakta itu. Ini memang kali pertama baginya merasakan tanah asing di bawah telapak kakinya.
Ia memandang sekelilingnya, menghirup udara yang berbeda, menikmati aroma Italia yang begitu khas. Sungguh, ini adalah petualangan yang belum pernah ia bayangkan sebelumnya.
“Ya, aku tahu. Kamu memang benar. Tapi, jangan juga kamu mengatakan jika aku kampungan,” ucapnya dengan pelan. Sangat tersindir oleh ucapan pedas dari bibir Tristan.
“Bersiaplah untuk malam ini,” bisik Tristan sembari memegang kedua pundak Revana kemudian mencium lembut pipi wanita itu.
Yang berhasil membuat tubuh Revana meremang. Seolah merespon setiap sentuhan yang dilakukan oleh suaminya itu.
‘Oh, Revana. Sadarlah. Kamu terlalu terbawa suasana,’ ucapnya dalam hati.
Revana menoleh ke belakang saat Tristan perlahan meninggalkan dirinya, meninggalkan jejak kehangatan yang perlahan memudar di udara.
Keningnya mengerut saat matanya menangkap sosok dua pria bertubuh tinggi tegap yang tengah dihampiri oleh suaminya.
Pikirannya berkelana, bertanya-tanya siapa gerangan kedua pria itu, dan apa hubungan mereka dengan Tristan.
“Dengan siapa Tristan berbicara? Apakah dia mengenal seseorang di sini?” gumamnya.
“Oh, aku lupa. Pria yang kunikahi ini adalah bukan pria biasa,” lanjutnya.
Sinar matahari senja yang lembut memantul dari wajah Tristan saat ia berbicara dengan kedua pria itu dalam bahasa Italia yang fasih.
Setiap kata yang keluar dari bibirnya terdengar seperti musik asing bagi Revana, mengalir dengan irama dan harmoni yang membuatnya terpesona.
“Wah! Dia pandai sekali berbicara bahasa asing.”
Revana tidak menyangka bahwa suaminya, yang selama ini ia kenal sebagai pria yang dingin dan penuh perhitungan, ternyata memiliki sisi yang begitu cerdas dan penuh kharisma.
Namun, kenyataan yang menyakitkan segera menghantamnya. Ia mengingatkan dirinya sendiri dengan tegas.
"Ingat, Revana. Dia menikahimu hanya untuk memberinya anak. Tidak lebih dari itu!" Suara hatinya bergema dalam kesunyian yang tiba-tiba terasa pekat.
Revana menghela napas panjang, berusaha menenangkan gemuruh emosi yang berkecamuk dalam dadanya.
Pandangannya kembali tertuju pada Tristan, yang tampak begitu berbeda dalam sosok yang kini ia lihat.
Ia tahu bahwa ia tidak boleh menaruh hati pada pria yang tidak pernah benar-benar mencintainya.
Ia hanya seorang pion dalam rencana besar Tristan, alat untuk mencapai tujuan yang lebih besar yang hanya diketahui oleh suaminya itu.
Matanya menatap tajam pada punggung Tristan yang sedang sibuk berbicara dengan kedua pria tersebut.
Ada sesuatu yang terasa asing dalam cara mereka berinteraksi, sesuatu yang membuat hatinya semakin curiga.
Tetapi ia tahu bahwa ini bukanlah saat yang tepat untuk mencari tahu lebih jauh. Yang perlu ia lakukan sekarang adalah tetap tenang dan tidak terlalu banyak berharap dari suami yang kejam dan penuh perhitungan itu.
Revana memejamkan mata sejenak, merasakan angin malam yang mulai berhembus pelan, membawa aroma laut yang segar.
Ia mengingatkan dirinya untuk tetap kuat dan tidak terjebak dalam ilusi kebahagiaan yang ditawarkan oleh Tristan.
Ia harus ingat bahwa pernikahannya hanyalah kontrak yang dingin, tanpa adanya kehangatan cinta yang sejati.
**
Malam hari tiba, menyelimuti villa dengan keheningan yang penuh rahasia. Langit Roma yang gelap dihiasi bintang-bintang yang bersinar redup, seakan menjadi saksi bisu dari segala peristiwa yang akan terjadi.
Tristan perlahan menghampiri Revana yang sudah duduk di tepi tempat tidur, tubuhnya yang dibalut lingerie tipis nan transparan berwarna hitam memancarkan kilauan samar di bawah cahaya lampu kamar yang temaram.
Desir hasrat mengalir dalam diri Tristan, membangkitkan naluri yang sudah lama terpendam.
Ia mendekati Revana dengan langkah yang mantap, setiap gerakan membawa serta merta keinginan yang membara untuk menjamah tubuh istrinya.
Tatapannya tajam, penuh gairah, menelusuri setiap lekuk tubuh Revana yang tampak begitu mempesona dalam balutan lingerie yang memikat.
Revana menatap Tristan dengan mata yang setengah tertutup, merasakan aura yang menggetarkan dari suaminya yang semakin mendekat.
Hati kecilnya berdebar-debar, bercampur antara rasa takut dan harapan yang tak terelakkan. Tristan berdiri di hadapannya, menundukkan kepala hingga wajah mereka hampir bersentuhan.
Napasnya yang hangat terasa di kulit wajah Revana, membawa sentuhan yang menggugah naluri terdalamnya.
"Are you ready for tonight, Baby Girl?" bisik Tristan dengan suara yang rendah dan serak, menggema dalam keheningan malam yang pekat.
Dengan perlahan, Revana mengangguk, menerima nasib yang telah ia pilih sendiri.Matanya yang bercahaya menatap Tristan dengan perasaan yang sulit diungkapkan, campuran antara rasa takut dan keberanian.Ia tahu bahwa malam ini akan menjadi malam yang panjang, penuh dengan hasrat dan penyerahan yang tak terhindarkan.Tristan tersenyum tipis, melihat anggukan Revana sebagai tanda persetujuan. Ia lalu meraih wajah istrinya dengan lembut, mengangkat dagunya hingga mata mereka bertemu dalam tatapan yang intens.Sentuhan tangan Tristan terasa dingin namun menenangkan, seakan membawa ketenangan di tengah badai yang berkecamuk dalam hati Revana."Malam ini, aku akan membuatmu melayang, Revana," bisik Tristan lagi, suaranya menggema dalam keheningan yang kini terasa begitu intim.Perlahan tapi pasti, Tristan menyentuh pipi Revana dengan kelembutan yang menggetarkan hati. Sentuhan itu begitu halus, seolah-olah menyentuh permata yang rapuh, namun mampu menghantarkan kehangatan yang membakar dari
Tubuh Revana remuk seremuk-remuknya saat bangun di pagi hari. Setiap sendi terasa seperti dilumat, meninggalkan jejak kelelahan yang mendalam di setiap pori-porinya.“Aah! Tubuhku sakit sekali,” rintihnya pelan sembari mengusapi pundaknya yang terasa pegal.Dia mengeluh pelan, suara lirih yang nyaris tak terdengar, lalu menoleh ke arah samping. Tristan sudah tidak ada di tempat.Kamar yang semalam penuh gairah kini terasa kosong dan dingin, meninggalkan bekas-bekas pertempuran yang hanya ia dan Tristan yang tahu.Revana memanggil nama suaminya, namun hanya keheningan yang menjawab panggilannya."Ke mana pria itu?" gumam Revana, suaranya hampir tenggelam dalam desahan napasnya yang masih tersengal.Ia baru saja hendak bangun dari tidurnya, namun diurungkan karena badannya terlalu lelah. Rasa sakit dan lelah bercampur, membentuk beban yang sulit diangkat.“Aw! Tubuhku terasa seperti baru saja ditimpa batu satu ton. Benar-benar remuk dan sakit. Pria itu memang benar-benar gila,” gerutuny
“Heuh? Apa maksudmu, Mas?” tanyanya ingin tahu.Lagi-lagi Tristan hanya diam.Revana bertanya-tanya dalam hatinya sembari menunggu Tristan mau menjelaskan lebih detail mengenai ucapannya barusan.Namun, hingga ia selesai mandi dan Tristan membawanya lagi ke dalam kamar, pria itu tak kunjung bicara.Keheningan yang menghiasi momen itu terasa begitu berat, seolah-olah ada awan gelap yang menggantung di antara mereka, membawa misteri yang belum terungkap.Tristan hanya berkata, "Sarapan telah siap. Kamu sudah bisa jalan sendiri, kan?"Revana mengangguk pelan, bibirnya membentuk senyuman tipis. "Terima kasih telah membantuku," ucapnya dengan suara lembut.Tristan tidak menjawab lagi. Ia keluar dari kamar tersebut sembari mengambil ponsel miliknya yang ia taruh di atas nakas.Langkahnya mantap, namun ada sesuatu yang tampak terselubung dalam gerakannya, sesuatu yang membuat hati Revana semakin bertanya-tanya.Saat pintu kamar tertutup, Revana mengembungkan pipinya, perasaan frustrasi mengg
Roma, Italia…Di bawah langit biru yang luas, Revana duduk di atas hamparan pasir putih yang cantik dan mempesona.Angin sepoi-sepoi menerpa wajahnya yang pucat, namun tatapannya tetap kosong, menembus cakrawala tanpa fokus.Ia mendengar ombak yang bergulung-gulung di kejauhan, suara yang biasanya menenangkan, kini tak lebih dari gemuruh tak berirama yang menyayat hati.“Apa yang Tristan katakan memang benar. Aku tidak perlu menaruh harapan penuh padanya. Dia menikahiku karena utang Ayah yang tidak sanggup dibayar. Bukan karena mencintaiku.”Revana berbisik kepada dirinya sendiri, suaranya serak oleh emosi yang mendesak keluar. Ia menundukkan kepalanya, membiarkan butiran pasir mengalir di antara jemarinya. Setiap butiran terasa seperti luka kecil yang menambah kepedihan di hatinya.Ucapan Tristan tadi pagi masih terngiang dalam otaknya, seperti gema yang enggan memudar.“Jangan pernah berharap lebih dariku, Revana. Pernikahan ini adalah transaksi. Tak lebih dari itu,” katanya dengan
"Apa maksud Ayah?" tanya Dea ingin tahu dengan ucapan yang baru saja keluar dari mulut Rony. Namun, pria itu memilih untuk pergi meninggalkan Dea dan tidak mau menjelaskan apa yang dia maksud tadi.Dea merasakan kepedihan yang mendalam. Ia sedikit kesal, lalu bertanya-tanya, "Apakah aku kurang cantik? Kurang seksi? Bahkan aku bisa melakukan apa saja yang Tristan inginkan. Aku yakin, Revana tidak bisa melakukan apa yang Tristan mau."Pikirannya dipenuhi dengan berbagai skenario. Ia melipat tangan di dadanya, kesal dan marah juga iri dengki karena tidak bisa mendapatkan Tristan.Perasaan kecewa itu berubah menjadi tekad yang gelap dan mengancam, terbesit dalam otaknya untuk merebut Tristan dari tangan Revana.Dea tersenyum penuh misterius, senyum yang tidak menunjukkan niat baik, melainkan niat untuk mengambil sesuatu yang bukan miliknya."Aku pasti bisa merebut Tristan dari Revana!" ucapnya pelan, namun penuh dengan keyakinan dan ambisi yang berbahaya.Malam hari di Roma, Italia, bulan
Michael menghampiri Alfrod, kakak pertamanya yang tak lain adalah bosnya juga, dengan langkah pasti dan wajah serius.Di tangannya, ia membawa satu box pistol yang berhasil ia selundupkan, senjata yang kini menjadi bagian dari bisnis gelap mereka.Ruangan itu terasa berat dengan aroma tembakau dan alkohol, dindingnya dipenuhi dengan hiasan yang mencerminkan kekuasaan dan dominasi."Bos," Michael membuka percakapan dengan nada formal, meletakkan box pistol di meja di depan Alfrod. "Ini senjata yang berhasil kita dapatkan. Semua sudah sesuai dengan permintaan."Alfrod, dengan tatapan tajam dan senyum sinis, mengangguk. "Bagus, Michael. Kamu selalu bisa diandalkan dalam hal ini." Ia membuka box tersebut, memeriksa isi dengan cermat.“Tidak ada yang terlewat sedikit pun. Good, Michael!” puji sang kakak dengan senyum terbit di bibirnya.Michael menghela napas berat. “Tapi, Alfrod. Anak buah Tristan sedang mencariku di luar sana. Hampir saja aku tertangkap saat di pelabuhan tadi.”Alih-alih
Alfrod menatap adiknya dengan mata yang penuh keyakinan, seolah-olah seluruh semesta terpusat pada momen itu.Di bawah sorotan lampu redup, bayangannya tampak seperti bayangan seorang pahlawan dalam lukisan tua."Kita akan mencari tahu lebih banyak tentang Aluna. Jika kita bisa menemukan keberadaannya atau setidaknya mendapatkan informasi yang lebih jelas tentang apa yang terjadi padanya, kita bisa menggunakan itu sebagai leverage terhadap Tristan," ucapnya dengan nada yang penuh tekad dan sedikit nada bisikan yang menyeramkan.Michael mengangguk, merasakan ketegangan yang terjalin dalam setiap kata Alfrod, merasa bahwa rencana ini mungkin bisa memberikan mereka keunggulan dalam permainan yang penuh dengan intrik dan bahaya ini."Baik, aku akan mencari tahu apa yang bisa aku temukan tentang Aluna," jawabnya dengan suara yang mengandung campuran antusiasme dan ketakutan, seperti seorang prajurit yang berangkat ke medan perang dengan senjata baru.Tatapan penuh harapan Alfrod menyelami
Sambil melipat tangan di dadanya, Tristan menatap Revana dengan tatapan datarnya, seperti seorang raja yang mengamati bawahannya dengan penuh ketidakpedulian."Berapa banyak, pembicaraan yang kamu dengar tadi?" tanyanya dingin, suaranya seperti es yang menusuk kulit.Revana menelan salivanya dengan berat. Sangat takut, bahkan kini tubuhnya terasa kaku seraya menatap sang suami yang tengah menunggu jawaban darinya."Ti—tidak ada. Eum! Maksudku tidak banyak," jawabnya gugup, suaranya hampir tidak terdengar, seolah-olah setiap kata adalah batu yang berat untuk diucapkan.Tristan menaikkan alisnya, mengamati Revana dengan tatapan yang penuh kecurigaan. "Sudah selesai, packing-nya?""Sudah. Sudah kukemas semua. Bajumu pun sudah aku masukkan ke dalam kopermu," balas Revana dengan nada yang bergetar, mencoba menjaga ketenangannya di bawah pandangan Tristan yang menembus.Tanpa menjawab apa pun, Tristan meninggalkan Revana dan keluar dari kamar itu. Revana menghela napas lega, meskipun sikap