Share

Bab 7: Meragukan Revana

Di hari yang sama, Revana dan Tristan memutuskan untuk segera pindah rumah. Langkah-langkah mereka diambil dengan cepat, penuh dengan urgensi dan ketegangan yang menggantung di udara. 

Ketika mereka tiba di rumah baru mereka, sebuah bangunan megah yang tak kalah mewahnya dengan rumah sebelumnya, Revana tidak bisa menyembunyikan rasa kagumnya. 

Matanya membesar, menganga melihat kemewahan yang terpampang di hadapannya, seolah-olah mereka baru saja melangkah ke dalam istana modern yang berkilau.

Tristan menatap Revana dengan tatapan serius. “Kamu tidak boleh memberi tahu siapa pun tempat tinggal kita yang baru ini,” ucapnya dengan nada tegas, setiap kata mengandung perintah yang tidak bisa dibantah.

Revana mengangguk pelan, meski hatinya bergejolak. “Apakah ayah dan adikku juga tidak boleh tahu?” tanyanya, suaranya bergetar dengan kekhawatiran.

“Tidak!” tegas Tristan, suaranya menggema dengan kepastian yang menakutkan, membuat pundak Revana meringkuk ketakutan. 

Tatapan mata Tristan yang tajam seolah menusuk langsung ke dalam jiwanya, membuatnya merasa kecil dan tidak berdaya.

“Baik, Mas,” ucap Revana pelan, menundukkan kepala, hatinya diliputi oleh rasa takut yang mendalam.

Seorang pelayan rumah yang baru itu segera mendekat, membungkuk hormat di hadapan mereka. “Mari, Nyonya, saya antar ke kamar Anda,” ucapnya lembut, mencoba memberikan kenyamanan di tengah ketegangan yang terasa begitu kental.

Revana mengikuti pelayan itu dengan langkah pelan, perasaannya campur aduk antara ketakutan dan rasa penasaran akan rumah baru mereka. 

Sementara itu, Tristan tetap berdiri di ruang tamu, menunggu kedatangan anak buahnya yang sudah ia percayai, Gavin dan Hendri.

Tak lama kemudian, Gavin dan Hendri tiba. Dua pria dengan postur tegap dan wajah serius, mereka langsung menuju ke tempat Tristan berdiri. “Ada perintah, Tuan?” tanya Gavin, suaranya penuh dengan kewaspadaan.

Tristan menghela napas panjang, menatap kedua anak buahnya dengan tatapan yang penuh dengan beban tanggung jawab. 

“Kalian harus menjaga rumah ini dengan sangat ketat. Jangan sampai Alfrod maupun Michael tahu keberadaan kita di sini. Tidak boleh ada yang lolos dari pengawasan kalian,” ucapnya tegas, suaranya tidak meninggalkan ruang untuk keraguan.

Gavin dan Hendri saling bertukar pandang, lalu mengangguk serempak. “Siap, Tuan!” jawab mereka, suara mereka kompak dan penuh dengan keyakinan.

Tristan merasa sedikit lega mendengar jawaban itu. “Bagus. Pastikan tidak ada celah bagi mereka untuk menemukan kita. Aku percayakan keselamatan Revana pada kalian berdua,” tambahnya, menekankan pentingnya tugas yang mereka emban.

“Karena aku tidak yakin akan selalu ada di sisi Revana sebab pekerjaanku yang tak pernah padam,” gumamnya lalu melirik ke arah pintu utama, seolah-olah di sana terdapat Revana. 

Gavin dan Hendri kembali mengangguk, lalu segera berpencar untuk mulai menjalankan tugas mereka. 

Sementara itu, Tristan melangkah menuju kamar, di mana Revana sudah menunggunya. Ketika ia membuka pintu, ia melihat istrinya duduk di tepi tempat tidur, wajahnya masih menyiratkan kekhawatiran yang mendalam.

“Ada apa?” tanya Tristan dengan suara datar, penuh ketegasan yang membuat suasana semakin tegang.

Revana menggeleng pelan, matanya penuh keraguan. “Apakah aku benar-benar tidak boleh bertemu dengan ayah dan adikku lagi, Mas?” tanyanya memastikan, mencoba mencari sedikit ruang untuk meyakinkan dirinya.

Tristan mengangguk dengan tegas. “Ya. Kamu tidak boleh bertemu dengan mereka lagi. Aku lebih tahu siapa mereka, Revana!” ucapnya, suaranya terdengar dingin dan penuh kepastian.

Revana mengerutkan kening, rasa penasaran dan kebingungan bercampur dalam pikirannya. “Tapi, mereka adalah keluargaku. Bagaimana mungkin kamu tahu tentang mereka?” tanyanya, mencoba mencari jawaban yang masuk akal dari situasi yang membingungkan ini.

Tristan tertawa pasi, sebuah tawa yang terdengar sinis dan penuh rahasia. “Hei! Jika kamu mau mengingat-ingat saat pertama kali kamu kerja di kantorku, seharusnya kamu paham maksud dari ucapanku,” ucapnya dengan nada yang semakin membuat Revana bingung.

“Apa itu?” tanyanya dengan polos, berharap ada penjelasan yang bisa membuatnya mengerti.

Tristan memutar bola matanya dengan lelah. “Simple saja, Revana. Ayahmu memiliki utang padaku dalam tiga tahun terakhir ini. Jadi, aku tahu siapa kamu, adikmu, dan juga kedua orang tuamu!” ucapnya dengan tegas, seolah-olah itu adalah fakta yang tidak bisa dibantah.

Revana terdiam, merenungkan apa yang dikatakan oleh Tristan. Apa yang dikatakan oleh Tristan ada benarnya. Mungkin Tristan tahu tentang keluarganya karena ayahnya memiliki utang padanya. Perlahan, rasa cemas semakin merayapi hatinya.

“Jadi, utang ayahku lunas, kan?” tanya Revana memastikan, suaranya penuh harap namun juga rasa cemas yang mendalam.

“Baru tiga puluh persen,” ucap Tristan dengan datar, seolah-olah itu adalah hal yang biasa.

Mata Revana membola, terkejut mendengar jawaban itu. “Mas! Apa maksudmu? Kenapa kamu mempermainkan janji yang telah kamu berikan padaku?!” pekik Revana tak terima jika utang ayahnya baru lunas tiga puluh persen. Rasa kecewa dan marah bercampur menjadi satu dalam dirinya.

Mata tajam bak elang itu menatap lekat wajah Revana, membuatnya merasa terintimidasi. “Karena kamu belum memberiku anak, kamu belum hamil anakku. Dan aku juga tidak tahu, apakah kamu masih gadis, atau sudah hilang diambil pria sialan itu!” bisiknya dengan suara berat, penuh dengan kecurigaan dan ketidakpercayaan.

Revana terdiam, merasa terpojok oleh kata-kata Tristan. Ketidakadilan dan rasa sakit hati meliputi dirinya. Bagaimana mungkin Tristan bisa meragukan dirinya seperti itu? 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status