Di hari yang sama, Revana dan Tristan memutuskan untuk segera pindah rumah. Langkah-langkah mereka diambil dengan cepat, penuh dengan urgensi dan ketegangan yang menggantung di udara.
Ketika mereka tiba di rumah baru mereka, sebuah bangunan megah yang tak kalah mewahnya dengan rumah sebelumnya, Revana tidak bisa menyembunyikan rasa kagumnya. Matanya membesar, menganga melihat kemewahan yang terpampang di hadapannya, seolah-olah mereka baru saja melangkah ke dalam istana modern yang berkilau. Tristan menatap Revana dengan tatapan serius. “Kamu tidak boleh memberi tahu siapa pun tempat tinggal kita yang baru ini,” ucapnya dengan nada tegas, setiap kata mengandung perintah yang tidak bisa dibantah. Revana mengangguk pelan, meski hatinya bergejolak. “Apakah ayah dan adikku juga tidak boleh tahu?” tanyanya, suaranya bergetar dengan kekhawatiran. “Tidak!” tegas Tristan, suaranya menggema dengan kepastian yang menakutkan, membuat pundak Revana meringkuk ketakutan. Tatapan mata Tristan yang tajam seolah menusuk langsung ke dalam jiwanya, membuatnya merasa kecil dan tidak berdaya. “Baik, Mas,” ucap Revana pelan, menundukkan kepala, hatinya diliputi oleh rasa takut yang mendalam. Seorang pelayan rumah yang baru itu segera mendekat, membungkuk hormat di hadapan mereka. “Mari, Nyonya, saya antar ke kamar Anda,” ucapnya lembut, mencoba memberikan kenyamanan di tengah ketegangan yang terasa begitu kental. Revana mengikuti pelayan itu dengan langkah pelan, perasaannya campur aduk antara ketakutan dan rasa penasaran akan rumah baru mereka. Sementara itu, Tristan tetap berdiri di ruang tamu, menunggu kedatangan anak buahnya yang sudah ia percayai, Gavin dan Hendri. Tak lama kemudian, Gavin dan Hendri tiba. Dua pria dengan postur tegap dan wajah serius, mereka langsung menuju ke tempat Tristan berdiri. “Ada perintah, Tuan?” tanya Gavin, suaranya penuh dengan kewaspadaan. Tristan menghela napas panjang, menatap kedua anak buahnya dengan tatapan yang penuh dengan beban tanggung jawab. “Kalian harus menjaga rumah ini dengan sangat ketat. Jangan sampai Alfrod maupun Michael tahu keberadaan kita di sini. Tidak boleh ada yang lolos dari pengawasan kalian,” ucapnya tegas, suaranya tidak meninggalkan ruang untuk keraguan. Gavin dan Hendri saling bertukar pandang, lalu mengangguk serempak. “Siap, Tuan!” jawab mereka, suara mereka kompak dan penuh dengan keyakinan. Tristan merasa sedikit lega mendengar jawaban itu. “Bagus. Pastikan tidak ada celah bagi mereka untuk menemukan kita. Aku percayakan keselamatan Revana pada kalian berdua,” tambahnya, menekankan pentingnya tugas yang mereka emban. “Karena aku tidak yakin akan selalu ada di sisi Revana sebab pekerjaanku yang tak pernah padam,” gumamnya lalu melirik ke arah pintu utama, seolah-olah di sana terdapat Revana. Gavin dan Hendri kembali mengangguk, lalu segera berpencar untuk mulai menjalankan tugas mereka. Sementara itu, Tristan melangkah menuju kamar, di mana Revana sudah menunggunya. Ketika ia membuka pintu, ia melihat istrinya duduk di tepi tempat tidur, wajahnya masih menyiratkan kekhawatiran yang mendalam. “Ada apa?” tanya Tristan dengan suara datar, penuh ketegasan yang membuat suasana semakin tegang. Revana menggeleng pelan, matanya penuh keraguan. “Apakah aku benar-benar tidak boleh bertemu dengan ayah dan adikku lagi, Mas?” tanyanya memastikan, mencoba mencari sedikit ruang untuk meyakinkan dirinya. Tristan mengangguk dengan tegas. “Ya. Kamu tidak boleh bertemu dengan mereka lagi. Aku lebih tahu siapa mereka, Revana!” ucapnya, suaranya terdengar dingin dan penuh kepastian. Revana mengerutkan kening, rasa penasaran dan kebingungan bercampur dalam pikirannya. “Tapi, mereka adalah keluargaku. Bagaimana mungkin kamu tahu tentang mereka?” tanyanya, mencoba mencari jawaban yang masuk akal dari situasi yang membingungkan ini. Tristan tertawa pasi, sebuah tawa yang terdengar sinis dan penuh rahasia. “Hei! Jika kamu mau mengingat-ingat saat pertama kali kamu kerja di kantorku, seharusnya kamu paham maksud dari ucapanku,” ucapnya dengan nada yang semakin membuat Revana bingung. “Apa itu?” tanyanya dengan polos, berharap ada penjelasan yang bisa membuatnya mengerti. Tristan memutar bola matanya dengan lelah. “Simple saja, Revana. Ayahmu memiliki utang padaku dalam tiga tahun terakhir ini. Jadi, aku tahu siapa kamu, adikmu, dan juga kedua orang tuamu!” ucapnya dengan tegas, seolah-olah itu adalah fakta yang tidak bisa dibantah. Revana terdiam, merenungkan apa yang dikatakan oleh Tristan. Apa yang dikatakan oleh Tristan ada benarnya. Mungkin Tristan tahu tentang keluarganya karena ayahnya memiliki utang padanya. Perlahan, rasa cemas semakin merayapi hatinya. “Jadi, utang ayahku lunas, kan?” tanya Revana memastikan, suaranya penuh harap namun juga rasa cemas yang mendalam. “Baru tiga puluh persen,” ucap Tristan dengan datar, seolah-olah itu adalah hal yang biasa. Mata Revana membola, terkejut mendengar jawaban itu. “Mas! Apa maksudmu? Kenapa kamu mempermainkan janji yang telah kamu berikan padaku?!” pekik Revana tak terima jika utang ayahnya baru lunas tiga puluh persen. Rasa kecewa dan marah bercampur menjadi satu dalam dirinya. Mata tajam bak elang itu menatap lekat wajah Revana, membuatnya merasa terintimidasi. “Karena kamu belum memberiku anak, kamu belum hamil anakku. Dan aku juga tidak tahu, apakah kamu masih gadis, atau sudah hilang diambil pria sialan itu!” bisiknya dengan suara berat, penuh dengan kecurigaan dan ketidakpercayaan. Revana terdiam, merasa terpojok oleh kata-kata Tristan. Ketidakadilan dan rasa sakit hati meliputi dirinya. Bagaimana mungkin Tristan bisa meragukan dirinya seperti itu?Dua hari kemudian, Tristan membawa Revana ke Roma, Italia untuk berbulan madu, sebuah janji manis yang telah terlaksana dengan gemerlapnya kota tua yang mengundang dengan cahayanya yang keemasan.“Woah! Pemandangan di sini luar biasa indah,” gumamnya saat membuka jendela Villa.Revana terkesima oleh keindahan pemandangan villa yang mereka tempati, dikelilingi oleh gemerlap pantai yang berkilauan di bawah sinar matahari senja.Tristan tersenyum tipis saat melihat mata istrinya yang bersinar-sinar dalam kekaguman yang tak tersembunyi."Dilarang kampungan, ya, Revana," ujar Tristan dengan nada lembut, namun kata-katanya terdengar seperti gurauan penuh arti.Revana merasa terguncang. Ia tidak menyangka suaminya akan mengungkapkan sesuatu seperti itu.Tristan menatapnya dengan hangat, berharap untuk meredakan ketegangan yang tiba-tiba muncul."Maksudmu?" tanya Revana dengan suara yang gemetar sedikit.Tristan mengangguk, lalu menjelaskan dengan lembut, "Aku tahu ini pertama kalinya kamu ke
Dengan perlahan, Revana mengangguk, menerima nasib yang telah ia pilih sendiri.Matanya yang bercahaya menatap Tristan dengan perasaan yang sulit diungkapkan, campuran antara rasa takut dan keberanian.Ia tahu bahwa malam ini akan menjadi malam yang panjang, penuh dengan hasrat dan penyerahan yang tak terhindarkan.Tristan tersenyum tipis, melihat anggukan Revana sebagai tanda persetujuan. Ia lalu meraih wajah istrinya dengan lembut, mengangkat dagunya hingga mata mereka bertemu dalam tatapan yang intens.Sentuhan tangan Tristan terasa dingin namun menenangkan, seakan membawa ketenangan di tengah badai yang berkecamuk dalam hati Revana."Malam ini, aku akan membuatmu melayang, Revana," bisik Tristan lagi, suaranya menggema dalam keheningan yang kini terasa begitu intim.Perlahan tapi pasti, Tristan menyentuh pipi Revana dengan kelembutan yang menggetarkan hati. Sentuhan itu begitu halus, seolah-olah menyentuh permata yang rapuh, namun mampu menghantarkan kehangatan yang membakar dari
Tubuh Revana remuk seremuk-remuknya saat bangun di pagi hari. Setiap sendi terasa seperti dilumat, meninggalkan jejak kelelahan yang mendalam di setiap pori-porinya.“Aah! Tubuhku sakit sekali,” rintihnya pelan sembari mengusapi pundaknya yang terasa pegal.Dia mengeluh pelan, suara lirih yang nyaris tak terdengar, lalu menoleh ke arah samping. Tristan sudah tidak ada di tempat.Kamar yang semalam penuh gairah kini terasa kosong dan dingin, meninggalkan bekas-bekas pertempuran yang hanya ia dan Tristan yang tahu.Revana memanggil nama suaminya, namun hanya keheningan yang menjawab panggilannya."Ke mana pria itu?" gumam Revana, suaranya hampir tenggelam dalam desahan napasnya yang masih tersengal.Ia baru saja hendak bangun dari tidurnya, namun diurungkan karena badannya terlalu lelah. Rasa sakit dan lelah bercampur, membentuk beban yang sulit diangkat.“Aw! Tubuhku terasa seperti baru saja ditimpa batu satu ton. Benar-benar remuk dan sakit. Pria itu memang benar-benar gila,” gerutuny
“Heuh? Apa maksudmu, Mas?” tanyanya ingin tahu.Lagi-lagi Tristan hanya diam.Revana bertanya-tanya dalam hatinya sembari menunggu Tristan mau menjelaskan lebih detail mengenai ucapannya barusan.Namun, hingga ia selesai mandi dan Tristan membawanya lagi ke dalam kamar, pria itu tak kunjung bicara.Keheningan yang menghiasi momen itu terasa begitu berat, seolah-olah ada awan gelap yang menggantung di antara mereka, membawa misteri yang belum terungkap.Tristan hanya berkata, "Sarapan telah siap. Kamu sudah bisa jalan sendiri, kan?"Revana mengangguk pelan, bibirnya membentuk senyuman tipis. "Terima kasih telah membantuku," ucapnya dengan suara lembut.Tristan tidak menjawab lagi. Ia keluar dari kamar tersebut sembari mengambil ponsel miliknya yang ia taruh di atas nakas.Langkahnya mantap, namun ada sesuatu yang tampak terselubung dalam gerakannya, sesuatu yang membuat hati Revana semakin bertanya-tanya.Saat pintu kamar tertutup, Revana mengembungkan pipinya, perasaan frustrasi mengg
Roma, Italia…Di bawah langit biru yang luas, Revana duduk di atas hamparan pasir putih yang cantik dan mempesona.Angin sepoi-sepoi menerpa wajahnya yang pucat, namun tatapannya tetap kosong, menembus cakrawala tanpa fokus.Ia mendengar ombak yang bergulung-gulung di kejauhan, suara yang biasanya menenangkan, kini tak lebih dari gemuruh tak berirama yang menyayat hati.“Apa yang Tristan katakan memang benar. Aku tidak perlu menaruh harapan penuh padanya. Dia menikahiku karena utang Ayah yang tidak sanggup dibayar. Bukan karena mencintaiku.”Revana berbisik kepada dirinya sendiri, suaranya serak oleh emosi yang mendesak keluar. Ia menundukkan kepalanya, membiarkan butiran pasir mengalir di antara jemarinya. Setiap butiran terasa seperti luka kecil yang menambah kepedihan di hatinya.Ucapan Tristan tadi pagi masih terngiang dalam otaknya, seperti gema yang enggan memudar.“Jangan pernah berharap lebih dariku, Revana. Pernikahan ini adalah transaksi. Tak lebih dari itu,” katanya dengan
"Apa maksud Ayah?" tanya Dea ingin tahu dengan ucapan yang baru saja keluar dari mulut Rony. Namun, pria itu memilih untuk pergi meninggalkan Dea dan tidak mau menjelaskan apa yang dia maksud tadi.Dea merasakan kepedihan yang mendalam. Ia sedikit kesal, lalu bertanya-tanya, "Apakah aku kurang cantik? Kurang seksi? Bahkan aku bisa melakukan apa saja yang Tristan inginkan. Aku yakin, Revana tidak bisa melakukan apa yang Tristan mau."Pikirannya dipenuhi dengan berbagai skenario. Ia melipat tangan di dadanya, kesal dan marah juga iri dengki karena tidak bisa mendapatkan Tristan.Perasaan kecewa itu berubah menjadi tekad yang gelap dan mengancam, terbesit dalam otaknya untuk merebut Tristan dari tangan Revana.Dea tersenyum penuh misterius, senyum yang tidak menunjukkan niat baik, melainkan niat untuk mengambil sesuatu yang bukan miliknya."Aku pasti bisa merebut Tristan dari Revana!" ucapnya pelan, namun penuh dengan keyakinan dan ambisi yang berbahaya.Malam hari di Roma, Italia, bulan
Michael menghampiri Alfrod, kakak pertamanya yang tak lain adalah bosnya juga, dengan langkah pasti dan wajah serius.Di tangannya, ia membawa satu box pistol yang berhasil ia selundupkan, senjata yang kini menjadi bagian dari bisnis gelap mereka.Ruangan itu terasa berat dengan aroma tembakau dan alkohol, dindingnya dipenuhi dengan hiasan yang mencerminkan kekuasaan dan dominasi."Bos," Michael membuka percakapan dengan nada formal, meletakkan box pistol di meja di depan Alfrod. "Ini senjata yang berhasil kita dapatkan. Semua sudah sesuai dengan permintaan."Alfrod, dengan tatapan tajam dan senyum sinis, mengangguk. "Bagus, Michael. Kamu selalu bisa diandalkan dalam hal ini." Ia membuka box tersebut, memeriksa isi dengan cermat.“Tidak ada yang terlewat sedikit pun. Good, Michael!” puji sang kakak dengan senyum terbit di bibirnya.Michael menghela napas berat. “Tapi, Alfrod. Anak buah Tristan sedang mencariku di luar sana. Hampir saja aku tertangkap saat di pelabuhan tadi.”Alih-alih
Alfrod menatap adiknya dengan mata yang penuh keyakinan, seolah-olah seluruh semesta terpusat pada momen itu.Di bawah sorotan lampu redup, bayangannya tampak seperti bayangan seorang pahlawan dalam lukisan tua."Kita akan mencari tahu lebih banyak tentang Aluna. Jika kita bisa menemukan keberadaannya atau setidaknya mendapatkan informasi yang lebih jelas tentang apa yang terjadi padanya, kita bisa menggunakan itu sebagai leverage terhadap Tristan," ucapnya dengan nada yang penuh tekad dan sedikit nada bisikan yang menyeramkan.Michael mengangguk, merasakan ketegangan yang terjalin dalam setiap kata Alfrod, merasa bahwa rencana ini mungkin bisa memberikan mereka keunggulan dalam permainan yang penuh dengan intrik dan bahaya ini."Baik, aku akan mencari tahu apa yang bisa aku temukan tentang Aluna," jawabnya dengan suara yang mengandung campuran antusiasme dan ketakutan, seperti seorang prajurit yang berangkat ke medan perang dengan senjata baru.Tatapan penuh harapan Alfrod menyelami
Langit malam membentangkan jubah hitamnya, bertabur bintang yang gemerlap bagai luka-luka kecil yang menganga di dada langit.Tristan berdiri di tengah ruangan yang sepi, memegang berkas terakhir dari masa lalunya yang kelam. Matanya menatap Louis, sahabat lama yang menjadi saksi bisu keputusannya."Aku serahkan semuanya padamu," ucapnya, suaranya penuh kelelahan yang berat seperti batu yang diangkat dengan tangan telanjang. "Jangan pernah membawa namaku lagi dalam misi apa pun itu!"Louis menerima berkas itu dengan gerakan lambat, seperti menghormati akhir sebuah era. Senyumnya merekah samar di sudut bibirnya, sebuah ironi yang menggantung di udara."Aku tahu kamu masih memiliki urusan dengan Alfrod," ujarnya, nada bicaranya bagai belati yang menyentuh luka lama. "Dia sedang marah besar sebab kamu telah membombardir markas utamanya."Tristan mengangkat wajahnya, tatapannya yang gelap bertaut dengan mata Louis. Dalam diam itu ada badai yang berusaha ia redam. "Apakah dia sedang mencar
“Dengar kabar dari Alfrod?” tanya Tristan sambil menatap Gave yang baru saja menyerahkan dokumen-dokumen yang menuntut tanda tangannya.Nada suaranya tenang, tapi di balik ketenangan itu tersirat kewaspadaan, seperti badai yang sedang menanti waktu untuk meledak.Gave menggeleng perlahan, ekspresinya penuh kehati-hatian. “Belum ada kabar. Tapi sebaiknya kamu tetap waspada. Kemungkinan besar dia sedang menyusun strategi untuk balas dendam. Kamu tahu, Alfrod tak akan tinggal diam begitu saja setelah serangan itu.”Tristan membuka dokumen itu satu per satu, menelusuri kata-kata di dalamnya seakan setiap kata adalah butiran pasir waktu yang akan segera hilang.Pikirannya berkecamuk antara tugasnya sebagai pemimpin mafia dan permintaan Revana yang tak henti terngiang di kepalanya.“Revana memintaku berhenti jadi mafia, Gave. Tapi, aku bingung harus menyerahkan semuanya pada siapa. Tidak mungkin kalau aku memberikannya pada Alfrod—itu sama saja dengan menyerahkan harga diriku padanya.”Gave
Usia Naira kini telah mencapai satu bulan. Bayi mungil itu, dengan pipi lembut bak kelopak mawar yang baru merekah, semakin aktif dan sehat setelah berhasil melewati masa-masa rapuhnya, di mana ia terlahir ke dunia dengan napas yang tertatih-tatih.Revana menghela napas panjang, baru saja selesai mandi, namun segera dihadapkan dengan tangis lembut Naira yang seolah memenuhi ruangan seperti melodi lembut."Sayang..." panggilan Tristan menggema, mendesak Revana keluar dari kamar mandi dengan langkah cepat namun penuh kelembutan seorang ibu."Sudah tahu, Mas." Dengan senyum yang menyiratkan kasih tak terbatas, Revana mengambil alih Naira dari dekapan sang suami. Bayi itu, yang sebelumnya tampak resah, perlahan tenang dalam kehangatan pelukannya.ASI Revana kini telah keluar, setelah minggu-minggu penuh ketekunan dan harapan. Ia ingin memberikan Naira bukan sekadar nutrisi, tetapi juga sepenggal jiwanya, sesuatu yang hanya seorang ibu bisa tawarkan pada darah dagingnya sendiri."Anteng ba
Satu minggu kemudian. Tepat hari ini, minggu ketiga Revana menjalani rawat inapnya di rumah sakit. Aroma disinfektan yang dulu membuatnya merasa gerah kini terasa seperti bagian dari napasnya, tapi hari ini, itu semua akan menjadi kenangan.Ruang perawatan yang dingin dan bernuansa steril akan ia tinggalkan, digantikan dengan kehangatan rumah yang sudah lama ia rindukan.“Namun, harus tetap cek rutin, ya. Luka dalam Anda masih dalam tahap penyembuhan. Jangan terlalu banyak melakukan aktivitas yang melelahkan,” kata dokter Pram, suaranya tegas namun hangat, menatap Revana yang tengah menggendong bayi kecilnya dengan hati-hati, seolah-olah dunia ini hanya berpusat pada mereka berdua.Baby Naira, sang buah hati yang mungil dan rapuh, sudah diperbolehkan pulang. Semakin hari, kesehatannya pun terus membaik, seperti embun yang makin bening saat sinar mentari mulai merayapi langit.Ada kelegaan mendalam yang terpancar di mata Revana, kelegaan yang hanya seorang ibu yang tahu, sebuah perasaa
Sudah dua hari Revana dipindahkan ke ruang rawat. Ketika Tristan baru saja tiba di kamar, matanya langsung menangkap wajah Revana yang ditekuk, menunjukkan ekspresi memelas yang begitu menggemaskan, seolah memohon sesuatu dengan lirih dari balik sorot matanya yang teduh.“Sayang, ada apa? Kenapa wajahmu ditekuk seperti itu, hm?” Tristan bertanya dengan senyum lembut yang terulas di bibirnya.Tanpa ragu, ia mendekat dan mencium kening istrinya dengan penuh kasih, memberikan kehangatan yang membuat Revana tersipu.“Mas… aku ingin melihat anak kita. Aku ingin melihat baby Naira. Aku sudah membaik lho, Mas.” Revana merajuk, nada suaranya manis seperti anak kecil yang merengek ingin hadiah, membuat Tristan tersenyum geli.Melihat Revana begitu menggemaskan, Tristan tak bisa menahan senyumnya. “Baiklah. Kita akan melihat anak kita hari ini,” ucapnya lembut, suaranya seperti angin sejuk yang membawa kebahagiaan di hati Revana.Seketika, senyum lebar menghiasi bibir Revana, matanya berbinar p
“Kenapa kamu menyelamatkanku?” tanya Revana, suaranya begitu lirih, seolah datang dari tempat yang jauh.Tatapan matanya yang masih redup menatap Tristan dengan penuh kebingungan dan rasa bersalah yang mengabur di kedalaman matanya.Tristan menggelengkan kepalanya pelan, senyum kecil namun penuh kasih sayang menghiasi wajahnya.“Aku tidak akan membiarkanmu meninggalkanku, Revana. Jangan pernah berpikir aku rela kehilanganmu,” bisiknya, seraya menggenggam tangan Revana dengan lembut namun erat, seolah memastikan bahwa ia tidak akan pernah terlepas lagi.Revana menutup matanya, tenggelam dalam keheningan yang begitu dalam. Rasa bersalah menggerogoti hatinya; ia terbayang kehilangan buah hatinya, menyalahkan dirinya sendiri yang tak mampu melindungi kehidupan yang pernah tumbuh dalam rahimnya.“Aku akan menjadi ibu yang jahat karena tidak melindungi anakku sendiri,” bisiknya, suaranya nyaris tak terdengar, penuh kepedihan yang ia pendam sendirian.“Tidak, Sayang. Jangan berpikir seperti
Dua minggu kemudian ...Langkah Tristan terdengar pelan namun penuh keteguhan ketika ia memasuki rumah sakit.Di tangannya, tergenggam sebuah paper bag besar berisi popok dan susu formula untuk putrinya yang mungil, yang hingga kini masih terlelap dalam ruang inkubator, seolah berselimut dalam kehangatan buatan yang melindunginya dari dunia yang masih terlalu keras.“Sus. Ini, susu dan popok untuk satu minggu ke depan.” Tristan menyerahkan tas itu kepada perawat, suaranya tenang namun terselip rasa sayang yang dalam.“Baik, Pak. Terima kasih,” jawab perawat itu, mengangguk hormat.Tristan menghela napas panjang, lalu sedikit membungkukkan tubuhnya, ingin menyapa sang buah hati yang belum sepenuhnya ia rangkul. Senyum tipis terlukis di bibirnya, menyiratkan kerinduan yang tak terkatakan.“Hei. Sebentar lagi kamu sudah bisa Papi gendong,” ucapnya dengan kelembutan yang menetes seperti embun pagi. Pandangannya melekat pada wajah mungil yang terbaring tenang, jiwanya berbisik penuh harapa
“Siapa yang berani menghancurkan markasku!” pekik Alfrod, suaranya bergemuruh bak badai menggelegar, mengguncang dunia di bawah cakrawala yang muram.Matanya menatap kosong pada pemandangan yang menyayat hati; markas yang selama ini menjadi simbol kejayaannya kini hanya menyisakan puing-puing berdebu, sisa-sisa dari ledakan yang menyapu semalam, meninggalkan kehampaan yang dingin dan mematikan.Empat nyawa turut lenyap dalam kobaran tanpa sisa—hanya debu dan kenangan yang tinggal mengambang di udara yang pekat.“Berengsek! Barang-barang berhargaku hancur lebur! Arghh!!” teriaknya lagi.Amarah menyelubunginya, merambat seperti api liar dalam gurun kering, sampai-sampai tangan kasarnya tak segan-segan menjambak rambutnya sendiri, seolah merobek sebagian dari dirinya yang tak mampu menerima kenyataan pahit ini.Michael, dengan ketenangan yang kontras, menatap Alfrod. “Siapa lagi kalau bukan Tristan,” ujarnya ringan, suaranya seperti angin yang mengalir lembut di tengah badai.Ia sangat y
Tristan melangkah perlahan mendekati tabung inkubator, tempat bayi mungilnya tertidur dengan damai, seolah terlelap dalam dunia kecilnya yang penuh ketenangan.Wajahnya yang lembut dan polos dipagari tabung kaca, memberikan Tristan pandangan pertama pada keajaiban yang kini menjadi bagian dari hidupnya.Dengan hati yang penuh haru, Tristan mengulas senyum lirih, menyadari bahwa dirinya kini seorang ayah.“Hai, Nak,” bisiknya lembut, suaranya nyaris serak oleh emosi yang meluap. “Ini Papi… Ayah yang selalu menunggumu sejak tahu kamu hadir di perut mamimu.”Kata-katanya mengalir pelan, penuh kehangatan dan kasih sayang yang mendalam. Ia menatap buah hatinya dengan sorot penuh kelembutan, mengagumi setiap detail wajah mungil itu—wajah yang begitu mirip dirinya.Di sampingnya, Gave tersenyum lebar sambil melihat lebih dekat keponakan kecilnya. “Wajahnya mirip sekali denganmu, Tristan. Sepertinya Revana hanya mengandung saja,” canda Gave, tertawa pelan.Tristan tersenyum, teringat betapa b