Share

Bab 6: Harus Pindah Rumah

Satu tonjokan keras melayang di wajah Alfrod, membuatnya terhuyung ke belakang dengan darah yang mulai mengalir dari sudut bibirnya. 

Tristan, dengan mata yang menyala-nyala karena amarah, berdiri tegak seperti singa yang siap menerkam. Revana yang melihat adegan itu dari ambang pintu kamar, terperanjat, membolakan mata, dan menutup mulutnya dengan kedua tangan. 

Ia segera berbalik dan masuk kembali ke dalam kamar, hatinya dipenuhi pertanyaan yang bergelut tanpa henti. 

'Siapa pria itu? Mengapa Tristan begitu marah padanya?' pikirnya sambil duduk di tepi tempat tidur, mencoba menenangkan detak jantungnya yang semakin kencang.

Di luar kamar, Tristan menggenggam kerah baju Alfrod dan menyeretnya keluar dari rumah yang megah bak istana itu. "Keluar dari rumahku sekarang juga!" pekik Tristan, suaranya menggema di seluruh ruangan.

Alfrod tertawa, tawa yang dingin dan mengejek, menatap wajah Tristan dengan penuh provokasi. "Sekarang aku tahu siapa wanita itu. Rupanya kamu telah berhasil memilikinya, hum?" katanya, senyuman licik terlukis di wajahnya.

Tristan menatap Alfrod dengan tatapan nyalang, seolah ingin menembus jiwanya yang gelap. "Dia bukan siapa-siapa, hanya pembantuku di rumah ini!" ucap Tristan tegas, meski suaranya sedikit gemetar, menunjukkan upaya kerasnya untuk tetap tenang.

Namun, Alfrod tidak percaya. Ia menunjuk wajah Tristan dengan jarinya yang bergetar karena marah dan ketidakpercayaan. 

"Ingat moto hidupku, Tristan. Aku tidak akan pernah membiarkanmu hidup dalam damai dan ketenangan. Suatu saat nanti aku akan mengambil wanita itu," ancamnya, suaranya penuh kebencian yang mendalam.

Revana, yang mendengar semua percakapan itu dari balik pintu kamar, merasa hatinya mencelos. 

'Siapa pria itu? Mengapa dia begitu bertekad untuk menghancurkan Tristan?' pikirnya, sambil memeluk tubuhnya sendiri, mencari rasa aman yang tiba-tiba terasa hilang.

Sebelum akhirnya meninggalkan rumah itu, Alfrod berbalik badan dan menatap Tristan sekali lagi. 

"Wanita itu sangat berarti dalam hidupmu, kan? Maka bersiap-siaplah, Tristan!" katanya dengan nada yang penuh kemenangan, seolah sudah merencanakan sesuatu yang mengerikan di benaknya.

etelah Alfrod pergi, Tristan kembali masuk ke dalam rumah, wajahnya masih merah padam karena amarah yang membara. Ia melangkah lebar menuju kamar, menemukan Revana yang duduk di tepi tempat tidur dengan mata tajamnya. 

Udara di ruangan itu terasa tegang, seolah setiap napas mengandung percikan listrik yang siap meledak.

“Hari ini tidak perlu masuk kantor dulu,” ucapnya datar, suaranya seperti bara api yang menahan ledakan. “Aku tidak menyangka jika dia berani menginjakkan kakinya ke rumah ini!”

Revana mengerutkan keningnya, wajahnya menyiratkan kebingungan. “Kenapa, Mas? Dan pria itu siapa?” tanyanya dengan nada penuh keingintahuan yang tak terelakkan.

Tristan menghela napas panjang, menatap Revana dengan sorot mata yang dalam dan penuh rahasia. “Jangan pernah memberi tahu siapa dirimu sebenarnya pada kakakku itu.”

Revana menaikkan alisnya, merasa kebingungannya semakin dalam. Kakak? Jadi, pria berparas tampan dan tinggi dengan guratan tato di lengannya adalah kakak Tristan? 

Tapi, kenapa pria itu terlihat sangat jahat pada adiknya sendiri? Banyak pertanyaan melayang di pikiran Revana ketika tahu pria yang ditonjok oleh Tristan adalah kakaknya sendiri.

“Kalau boleh tahu, kenapa kamu dan kakakmu jadi musuh? Harusnya kalian saling menyayangi satu sama lain,” ucap Revana setelah mengumpulkan keberaniannya, suaranya bergetar sedikit namun tegas.

Tristan tersenyum miring, senyum yang tak mengandung kebahagiaan, menatap Revana dengan tatapan yang penuh dengan kenangan pahit. 

“Tidak semua kakak beradik harus saling menyayangi, Revana. Justru sebaliknya. Kamu merasa disayangi dan dicintai oleh adikmu? Jangan percaya dengan kepolosannya.”

Revana mengerutkan kening, ucapan Tristan membuatnya semakin bingung. Apa maksud ucapan pria itu? Mengapa dia membawa-bawa nama adiknya?

“Jangan sok tahu tentang keluargaku, Mas Tristan!” sengal Revana dengan nada tak suka, matanya memancarkan kemarahan yang berusaha ia tahan.

Tristan mengedikkan bahunya, ekspresinya tetap tenang meski ada kepedihan tersembunyi di balik mata tajamnya. “Kamu akan tahu semuanya setelah kamu benar-benar membuka matamu.”

Ia melangkah pergi dari hadapan Revana usai memberikan banyak pertanyaan untuk istrinya itu, meninggalkan Revana dalam kebingungan yang semakin dalam. 

Revana benar-benar dibuat bingung dengan ucapan Tristan, hatinya bergejolak dengan berbagai perasaan yang saling bertentangan.

Namun, tak lama setelahnya, Tristan kembali menghampirinya dengan langkah yang cepat dan tegas. “Kita harus pindah rumah sekarang juga!” ucapnya tiba-tiba, nada suaranya penuh dengan urgensi.

“Huh?” Revana terkejut bukan main mendengarnya. Pindah rumah begitu saja, sudah seperti membeli kacang di pasar. Sangat mudah sekali. “Mengapa kita harus pindah, Mas? Apa yang sebenarnya terjadi?”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status