Satu tonjokan keras melayang di wajah Alfrod, membuatnya terhuyung ke belakang dengan darah yang mulai mengalir dari sudut bibirnya.
Tristan, dengan mata yang menyala-nyala karena amarah, berdiri tegak seperti singa yang siap menerkam. Revana yang melihat adegan itu dari ambang pintu kamar, terperanjat, membolakan mata, dan menutup mulutnya dengan kedua tangan. Ia segera berbalik dan masuk kembali ke dalam kamar, hatinya dipenuhi pertanyaan yang bergelut tanpa henti. 'Siapa pria itu? Mengapa Tristan begitu marah padanya?' pikirnya sambil duduk di tepi tempat tidur, mencoba menenangkan detak jantungnya yang semakin kencang. Di luar kamar, Tristan menggenggam kerah baju Alfrod dan menyeretnya keluar dari rumah yang megah bak istana itu. "Keluar dari rumahku sekarang juga!" pekik Tristan, suaranya menggema di seluruh ruangan. Alfrod tertawa, tawa yang dingin dan mengejek, menatap wajah Tristan dengan penuh provokasi. "Sekarang aku tahu siapa wanita itu. Rupanya kamu telah berhasil memilikinya, hum?" katanya, senyuman licik terlukis di wajahnya. Tristan menatap Alfrod dengan tatapan nyalang, seolah ingin menembus jiwanya yang gelap. "Dia bukan siapa-siapa, hanya pembantuku di rumah ini!" ucap Tristan tegas, meski suaranya sedikit gemetar, menunjukkan upaya kerasnya untuk tetap tenang. Namun, Alfrod tidak percaya. Ia menunjuk wajah Tristan dengan jarinya yang bergetar karena marah dan ketidakpercayaan. "Ingat moto hidupku, Tristan. Aku tidak akan pernah membiarkanmu hidup dalam damai dan ketenangan. Suatu saat nanti aku akan mengambil wanita itu," ancamnya, suaranya penuh kebencian yang mendalam. Revana, yang mendengar semua percakapan itu dari balik pintu kamar, merasa hatinya mencelos. 'Siapa pria itu? Mengapa dia begitu bertekad untuk menghancurkan Tristan?' pikirnya, sambil memeluk tubuhnya sendiri, mencari rasa aman yang tiba-tiba terasa hilang. Sebelum akhirnya meninggalkan rumah itu, Alfrod berbalik badan dan menatap Tristan sekali lagi. "Wanita itu sangat berarti dalam hidupmu, kan? Maka bersiap-siaplah, Tristan!" katanya dengan nada yang penuh kemenangan, seolah sudah merencanakan sesuatu yang mengerikan di benaknya. etelah Alfrod pergi, Tristan kembali masuk ke dalam rumah, wajahnya masih merah padam karena amarah yang membara. Ia melangkah lebar menuju kamar, menemukan Revana yang duduk di tepi tempat tidur dengan mata tajamnya. Udara di ruangan itu terasa tegang, seolah setiap napas mengandung percikan listrik yang siap meledak. “Hari ini tidak perlu masuk kantor dulu,” ucapnya datar, suaranya seperti bara api yang menahan ledakan. “Aku tidak menyangka jika dia berani menginjakkan kakinya ke rumah ini!” Revana mengerutkan keningnya, wajahnya menyiratkan kebingungan. “Kenapa, Mas? Dan pria itu siapa?” tanyanya dengan nada penuh keingintahuan yang tak terelakkan. Tristan menghela napas panjang, menatap Revana dengan sorot mata yang dalam dan penuh rahasia. “Jangan pernah memberi tahu siapa dirimu sebenarnya pada kakakku itu.” Revana menaikkan alisnya, merasa kebingungannya semakin dalam. Kakak? Jadi, pria berparas tampan dan tinggi dengan guratan tato di lengannya adalah kakak Tristan? Tapi, kenapa pria itu terlihat sangat jahat pada adiknya sendiri? Banyak pertanyaan melayang di pikiran Revana ketika tahu pria yang ditonjok oleh Tristan adalah kakaknya sendiri. “Kalau boleh tahu, kenapa kamu dan kakakmu jadi musuh? Harusnya kalian saling menyayangi satu sama lain,” ucap Revana setelah mengumpulkan keberaniannya, suaranya bergetar sedikit namun tegas. Tristan tersenyum miring, senyum yang tak mengandung kebahagiaan, menatap Revana dengan tatapan yang penuh dengan kenangan pahit. “Tidak semua kakak beradik harus saling menyayangi, Revana. Justru sebaliknya. Kamu merasa disayangi dan dicintai oleh adikmu? Jangan percaya dengan kepolosannya.” Revana mengerutkan kening, ucapan Tristan membuatnya semakin bingung. Apa maksud ucapan pria itu? Mengapa dia membawa-bawa nama adiknya? “Jangan sok tahu tentang keluargaku, Mas Tristan!” sengal Revana dengan nada tak suka, matanya memancarkan kemarahan yang berusaha ia tahan. Tristan mengedikkan bahunya, ekspresinya tetap tenang meski ada kepedihan tersembunyi di balik mata tajamnya. “Kamu akan tahu semuanya setelah kamu benar-benar membuka matamu.” Ia melangkah pergi dari hadapan Revana usai memberikan banyak pertanyaan untuk istrinya itu, meninggalkan Revana dalam kebingungan yang semakin dalam. Revana benar-benar dibuat bingung dengan ucapan Tristan, hatinya bergejolak dengan berbagai perasaan yang saling bertentangan. Namun, tak lama setelahnya, Tristan kembali menghampirinya dengan langkah yang cepat dan tegas. “Kita harus pindah rumah sekarang juga!” ucapnya tiba-tiba, nada suaranya penuh dengan urgensi. “Huh?” Revana terkejut bukan main mendengarnya. Pindah rumah begitu saja, sudah seperti membeli kacang di pasar. Sangat mudah sekali. “Mengapa kita harus pindah, Mas? Apa yang sebenarnya terjadi?”Di hari yang sama, Revana dan Tristan memutuskan untuk segera pindah rumah. Langkah-langkah mereka diambil dengan cepat, penuh dengan urgensi dan ketegangan yang menggantung di udara. Ketika mereka tiba di rumah baru mereka, sebuah bangunan megah yang tak kalah mewahnya dengan rumah sebelumnya, Revana tidak bisa menyembunyikan rasa kagumnya. Matanya membesar, menganga melihat kemewahan yang terpampang di hadapannya, seolah-olah mereka baru saja melangkah ke dalam istana modern yang berkilau.Tristan menatap Revana dengan tatapan serius. “Kamu tidak boleh memberi tahu siapa pun tempat tinggal kita yang baru ini,” ucapnya dengan nada tegas, setiap kata mengandung perintah yang tidak bisa dibantah.Revana mengangguk pelan, meski hatinya bergejolak. “Apakah ayah dan adikku juga tidak boleh tahu?” tanyanya, suaranya bergetar dengan kekhawatiran.“Tidak!” tegas Tristan, suaranya menggema dengan kepastian yang menakutkan, membuat pundak Revana meringkuk ketakutan. Tatapan mata Tristan yan
Dua hari kemudian, Tristan membawa Revana ke Roma, Italia untuk berbulan madu, sebuah janji manis yang telah terlaksana dengan gemerlapnya kota tua yang mengundang dengan cahayanya yang keemasan.“Woah! Pemandangan di sini luar biasa indah,” gumamnya saat membuka jendela Villa.Revana terkesima oleh keindahan pemandangan villa yang mereka tempati, dikelilingi oleh gemerlap pantai yang berkilauan di bawah sinar matahari senja.Tristan tersenyum tipis saat melihat mata istrinya yang bersinar-sinar dalam kekaguman yang tak tersembunyi."Dilarang kampungan, ya, Revana," ujar Tristan dengan nada lembut, namun kata-katanya terdengar seperti gurauan penuh arti.Revana merasa terguncang. Ia tidak menyangka suaminya akan mengungkapkan sesuatu seperti itu.Tristan menatapnya dengan hangat, berharap untuk meredakan ketegangan yang tiba-tiba muncul."Maksudmu?" tanya Revana dengan suara yang gemetar sedikit.Tristan mengangguk, lalu menjelaskan dengan lembut, "Aku tahu ini pertama kalinya kamu ke
Dengan perlahan, Revana mengangguk, menerima nasib yang telah ia pilih sendiri.Matanya yang bercahaya menatap Tristan dengan perasaan yang sulit diungkapkan, campuran antara rasa takut dan keberanian.Ia tahu bahwa malam ini akan menjadi malam yang panjang, penuh dengan hasrat dan penyerahan yang tak terhindarkan.Tristan tersenyum tipis, melihat anggukan Revana sebagai tanda persetujuan. Ia lalu meraih wajah istrinya dengan lembut, mengangkat dagunya hingga mata mereka bertemu dalam tatapan yang intens.Sentuhan tangan Tristan terasa dingin namun menenangkan, seakan membawa ketenangan di tengah badai yang berkecamuk dalam hati Revana."Malam ini, aku akan membuatmu melayang, Revana," bisik Tristan lagi, suaranya menggema dalam keheningan yang kini terasa begitu intim.Perlahan tapi pasti, Tristan menyentuh pipi Revana dengan kelembutan yang menggetarkan hati. Sentuhan itu begitu halus, seolah-olah menyentuh permata yang rapuh, namun mampu menghantarkan kehangatan yang membakar dari
Tubuh Revana remuk seremuk-remuknya saat bangun di pagi hari. Setiap sendi terasa seperti dilumat, meninggalkan jejak kelelahan yang mendalam di setiap pori-porinya.“Aah! Tubuhku sakit sekali,” rintihnya pelan sembari mengusapi pundaknya yang terasa pegal.Dia mengeluh pelan, suara lirih yang nyaris tak terdengar, lalu menoleh ke arah samping. Tristan sudah tidak ada di tempat.Kamar yang semalam penuh gairah kini terasa kosong dan dingin, meninggalkan bekas-bekas pertempuran yang hanya ia dan Tristan yang tahu.Revana memanggil nama suaminya, namun hanya keheningan yang menjawab panggilannya."Ke mana pria itu?" gumam Revana, suaranya hampir tenggelam dalam desahan napasnya yang masih tersengal.Ia baru saja hendak bangun dari tidurnya, namun diurungkan karena badannya terlalu lelah. Rasa sakit dan lelah bercampur, membentuk beban yang sulit diangkat.“Aw! Tubuhku terasa seperti baru saja ditimpa batu satu ton. Benar-benar remuk dan sakit. Pria itu memang benar-benar gila,” gerutuny
“Heuh? Apa maksudmu, Mas?” tanyanya ingin tahu.Lagi-lagi Tristan hanya diam.Revana bertanya-tanya dalam hatinya sembari menunggu Tristan mau menjelaskan lebih detail mengenai ucapannya barusan.Namun, hingga ia selesai mandi dan Tristan membawanya lagi ke dalam kamar, pria itu tak kunjung bicara.Keheningan yang menghiasi momen itu terasa begitu berat, seolah-olah ada awan gelap yang menggantung di antara mereka, membawa misteri yang belum terungkap.Tristan hanya berkata, "Sarapan telah siap. Kamu sudah bisa jalan sendiri, kan?"Revana mengangguk pelan, bibirnya membentuk senyuman tipis. "Terima kasih telah membantuku," ucapnya dengan suara lembut.Tristan tidak menjawab lagi. Ia keluar dari kamar tersebut sembari mengambil ponsel miliknya yang ia taruh di atas nakas.Langkahnya mantap, namun ada sesuatu yang tampak terselubung dalam gerakannya, sesuatu yang membuat hati Revana semakin bertanya-tanya.Saat pintu kamar tertutup, Revana mengembungkan pipinya, perasaan frustrasi mengg
Roma, Italia…Di bawah langit biru yang luas, Revana duduk di atas hamparan pasir putih yang cantik dan mempesona.Angin sepoi-sepoi menerpa wajahnya yang pucat, namun tatapannya tetap kosong, menembus cakrawala tanpa fokus.Ia mendengar ombak yang bergulung-gulung di kejauhan, suara yang biasanya menenangkan, kini tak lebih dari gemuruh tak berirama yang menyayat hati.“Apa yang Tristan katakan memang benar. Aku tidak perlu menaruh harapan penuh padanya. Dia menikahiku karena utang Ayah yang tidak sanggup dibayar. Bukan karena mencintaiku.”Revana berbisik kepada dirinya sendiri, suaranya serak oleh emosi yang mendesak keluar. Ia menundukkan kepalanya, membiarkan butiran pasir mengalir di antara jemarinya. Setiap butiran terasa seperti luka kecil yang menambah kepedihan di hatinya.Ucapan Tristan tadi pagi masih terngiang dalam otaknya, seperti gema yang enggan memudar.“Jangan pernah berharap lebih dariku, Revana. Pernikahan ini adalah transaksi. Tak lebih dari itu,” katanya dengan
"Apa maksud Ayah?" tanya Dea ingin tahu dengan ucapan yang baru saja keluar dari mulut Rony. Namun, pria itu memilih untuk pergi meninggalkan Dea dan tidak mau menjelaskan apa yang dia maksud tadi.Dea merasakan kepedihan yang mendalam. Ia sedikit kesal, lalu bertanya-tanya, "Apakah aku kurang cantik? Kurang seksi? Bahkan aku bisa melakukan apa saja yang Tristan inginkan. Aku yakin, Revana tidak bisa melakukan apa yang Tristan mau."Pikirannya dipenuhi dengan berbagai skenario. Ia melipat tangan di dadanya, kesal dan marah juga iri dengki karena tidak bisa mendapatkan Tristan.Perasaan kecewa itu berubah menjadi tekad yang gelap dan mengancam, terbesit dalam otaknya untuk merebut Tristan dari tangan Revana.Dea tersenyum penuh misterius, senyum yang tidak menunjukkan niat baik, melainkan niat untuk mengambil sesuatu yang bukan miliknya."Aku pasti bisa merebut Tristan dari Revana!" ucapnya pelan, namun penuh dengan keyakinan dan ambisi yang berbahaya.Malam hari di Roma, Italia, bulan
Michael menghampiri Alfrod, kakak pertamanya yang tak lain adalah bosnya juga, dengan langkah pasti dan wajah serius.Di tangannya, ia membawa satu box pistol yang berhasil ia selundupkan, senjata yang kini menjadi bagian dari bisnis gelap mereka.Ruangan itu terasa berat dengan aroma tembakau dan alkohol, dindingnya dipenuhi dengan hiasan yang mencerminkan kekuasaan dan dominasi."Bos," Michael membuka percakapan dengan nada formal, meletakkan box pistol di meja di depan Alfrod. "Ini senjata yang berhasil kita dapatkan. Semua sudah sesuai dengan permintaan."Alfrod, dengan tatapan tajam dan senyum sinis, mengangguk. "Bagus, Michael. Kamu selalu bisa diandalkan dalam hal ini." Ia membuka box tersebut, memeriksa isi dengan cermat.“Tidak ada yang terlewat sedikit pun. Good, Michael!” puji sang kakak dengan senyum terbit di bibirnya.Michael menghela napas berat. “Tapi, Alfrod. Anak buah Tristan sedang mencariku di luar sana. Hampir saja aku tertangkap saat di pelabuhan tadi.”Alih-alih