Revana menghela napas lega ketika melihat arloji di tangannya baru menunjukkan angka enam lewat tiga puluh menit. Waktu masih berpihak padanya.
Namun, langkahnya terhenti saat matanya menangkap sosok Tristan sudah berdiri di ambang pintu kamar mereka, tangan terlipat di dadanya, ekspresinya datar namun penuh ketegasan yang membuat jantung Revana berdebar kencang.
"A-aku... aku tidak telat pulang, kan?" ucap Revana gugup, suaranya gemetar menyiratkan ketidakpastian.
Tristan menatapnya dengan pandangan tajam, seakan menembus lapisan-lapisan keraguan di hati Revana. "Bagaimana pertemuanmu dengan mantan kekasihmu itu?" tanyanya dengan nada datar yang tidak mengizinkan kebohongan.
"Sudah selesai dan aku sudah tidak punya hubungan apa pun lagi dengannya," jawab Revana jujur, mencoba mengendalikan emosi yang berkecamuk dalam dirinya.
Tristan tersenyum tipis, senyum yang dingin dan penuh perhitungan, lalu mendekati Revana dengan langkah-langkah yang mantap. "Good. Pakai baju ini, malam ini aku ingin kamu menemaniku makan malam," katanya sambil melemparkan gaun tipis berwarna merah ke arah Revana.
"Apa? Aku harus memakai baju seperti ini?" Mata Revana spontan membola saat melihat gaun yang harus ia kenakan malam itu. Baju itu terlalu terbuka dan provokatif, tidak sesuai dengan rasa malu dan ketidaknyamanannya.
**
Setelah makan malam, Revana kembali ke dalam kamar sesuai perintah dari sang suami. Sementara Tristan masih sibuk dengan panggilan telepon dari beberapa kliennya.
Revana menghela napas panjang sembari duduk di tepi tempat tidur, pikirannya melayang pada ucapan Tristan tadi. Nasibnya dan juga adiknya sedang di ambang kehancuran jika Tristan tidak menyelamatkan mereka.
“Kenapa dia ingin menolongku? Apa yang sebenarnya terjadi? Atau hanya aku, yang tidak tahu apa-apa tentang ini?” gumamnya sambil mengembungkan pipinya. Ia lalu menatap dirinya ke bawah. Pakaian seksi, lingerie tipis berwarna hitam sangat cocok untuk kulitnya yang putih mulus itu.
“Apakah setiap malam aku harus mengenakan pakaian seperti ini? Tapi, dia suamiku. Sudah kewajibanku melayaninya,” ucapnya lagi, mencoba meyakinkan dirinya sendiri.
Kini, hanya kepasrahan yang dapat Revana lakukan. Ia tidak pernah menyangka bahwa akhirnya harus menjadi istri dari konglomerat yang memiliki banyak bisnis di mana-mana.
Ceklek!
Suara pintu terbuka membuat jantung Revana semakin berdebar. Langkah kaki yang lebar semakin mendekat ke arahnya. Tristan masuk dengan senyum seringai terbit di bibirnya, lalu mengangkat kepala Revana agar menatapnya.
“Sudah lama menungguku di sini, hm?” tanyanya dengan suara berat.
Revana menelan ludah. Ia hanya menatap, tak menjawab apa pun bahkan mengangguk pun tidak.
“Tunggu lima menit lagi. Aku ke kamar mandi dulu,” ucap Tristan sebelum melangkahkan kakinya masuk ke dalam kamar mandi. Revana menoleh pelan, melihat punggung Tristan hingga lelaki itu menghilang di balik pintu kamar mandi.
“Kenapa dia tampak bahagia sekali? Apakah dia mencintaiku? Mana mungkin. Wanita biasa sepertiku bukanlah tipenya,” ucapnya merendah diri, menunduk sembari menendang-nendang kecil kakinya.
Tak lama setelah itu, Tristan kembali dengan handuk saja yang melilit di tubuhnya. Berdiri tepat di depan Revana, membuat perempuan itu mengangkat kepalanya menatap lelaki yang kini berdiri di depannya. Jantung Revana berdetak tak karuan melihat Tristan yang hanya berbalut handuk.
“Besok, aku harus ke Meksiko. Hanya dua hari. Silakan pilih tempat yang ingin kamu kunjungi. Kita akan berbulan madu usai pulang dari Meksiko,” ucap Tristan dengan nada tegas.
Revana menoleh pelan ke arah Tristan. “Bukankah pernikahan ini hanya pernikahan di atas kertas? Kenapa kamu ingin membawaku bulan madu?” tanyanya penuh kebingungan.
Tristan menaikkan alisnya, sedikit tersenyum tipis. “Memangnya kenapa? Ada yang salah dengan ajakanku?” Tristan balik bertanya dengan nada yang tak mengizinkan sanggahan.
Revana menggelengkan kepalanya. “Tidak ada. Aku hanya bingung saja,” jawabnya jujur.
Tristan berkacak pinggang menatap sang istri. “Lakukan saja, perintahku. Aku sudah memberi semua yang kamu butuhkan. Uang, kendaraan, tempat tinggal, dan semuanya. Dan aku hanya meminta satu saja darimu. Turuti apa yang aku perintahkan. Meski begitu, kamu pun paham. Perintah yang aku berikan itu bercabang.”
Revana menghela napas panjang. “Ada yang ingin aku tanyakan padamu, Mas,” katanya, mencoba mengumpulkan keberanian.
Tristan menatapnya dengan tatapan penasaran. “Tanyakan,” jawabnya singkat.
Revana menelan salivanya, mengumpulkan keberanian untuk menanyakan hal ini pada suaminya. “Setelah aku melahirkan anakmu kelak, apakah kamu akan membuangku begitu saja? Kesepakatan yang sudah aku tanda tangani, apakah akan berakhir juga?”
Tristan menatap wajah Revana yang tengah menunggu jawaban darinya. "Kamu perlu jawaban jujur, atau tidak?" tanyanya dengan nada serius.
Revana mengerutkan keningnya. "Maksudmu?" tanyanya kembali.
Tristan tersenyum tipis. Ia kemudian memegang pundak istrinya seraya menatapnya dengan lekat. "Kamu pikir, aku meminta anak padamu hanya satu? Aku mau lima. Besarkan anak-anak kita sampai mereka menemukan jodohnya masing-masing."
Revana menganga, meski sedikit tak paham dengan ucapan Tristan. "Maksudmu, kesepak—"
"Jangan banyak bertanya lagi. Aku sedang malas menjelaskan panjang lebar mengenai janji yang sudah kamu tanda tangani." Tristan kemudian masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan diri.
Revana menelan salivanya. "Aku tidak paham, dengan tujuan dia. Aku tidak mengerti. Sama sekali tidak mengerti. Tapi, biarlah. Aku yakin, Tristan tidak akan menyakitiku selama aku nurut padanya," gumamnya pada dirinya sendiri, mencoba menenangkan hatinya yang gelisah.
Pagi yang cerah menyambut, sinar matahari yang lembut menelusuri jendela, menerpa wajah cantik Revana yang perlahan terbangun dari tidurnya.Sejenak, ia menatap wajah tampan Tristan yang masih terlelap di sampingnya, tampak damai seperti anak kecil yang tidak memiliki beban di dunia.Dengan hati-hati, ia bangkit dari tempat tidur, memastikan tidak ada suara yang mengganggu kedamaian tidur suaminya.Langkah-langkah kecilnya menuju kamar mandi terasa seperti melodi yang mengiringi pagi itu. Segera, air hangat dari shower membasuh tubuhnya, menghapus segala lelah dan penat yang mengendap."Segarnya," bisiknya pelan, merasakan kenikmatan yang begitu sederhana namun mendalam. Ia memejamkan mata, membiarkan air mengalir di wajahnya, membawa pergi segala kekhawatiran yang menyelinap di benaknya.Namun, kenikmatan itu seketika terpecah saat ia merasakan tangan kekar Tristan melingkar di pinggangnya. Kejutannya tergambar jelas di wajahnya, tapi segera tergantikan oleh senyum lembut ketika ia m
Satu tonjokan keras melayang di wajah Alfrod, membuatnya terhuyung ke belakang dengan darah yang mulai mengalir dari sudut bibirnya. Tristan, dengan mata yang menyala-nyala karena amarah, berdiri tegak seperti singa yang siap menerkam. Revana yang melihat adegan itu dari ambang pintu kamar, terperanjat, membolakan mata, dan menutup mulutnya dengan kedua tangan. Ia segera berbalik dan masuk kembali ke dalam kamar, hatinya dipenuhi pertanyaan yang bergelut tanpa henti. 'Siapa pria itu? Mengapa Tristan begitu marah padanya?' pikirnya sambil duduk di tepi tempat tidur, mencoba menenangkan detak jantungnya yang semakin kencang.Di luar kamar, Tristan menggenggam kerah baju Alfrod dan menyeretnya keluar dari rumah yang megah bak istana itu. "Keluar dari rumahku sekarang juga!" pekik Tristan, suaranya menggema di seluruh ruangan.Alfrod tertawa, tawa yang dingin dan mengejek, menatap wajah Tristan dengan penuh provokasi. "Sekarang aku tahu siapa wanita itu. Rupanya kamu telah berhasil mem
Di hari yang sama, Revana dan Tristan memutuskan untuk segera pindah rumah. Langkah-langkah mereka diambil dengan cepat, penuh dengan urgensi dan ketegangan yang menggantung di udara. Ketika mereka tiba di rumah baru mereka, sebuah bangunan megah yang tak kalah mewahnya dengan rumah sebelumnya, Revana tidak bisa menyembunyikan rasa kagumnya. Matanya membesar, menganga melihat kemewahan yang terpampang di hadapannya, seolah-olah mereka baru saja melangkah ke dalam istana modern yang berkilau.Tristan menatap Revana dengan tatapan serius. “Kamu tidak boleh memberi tahu siapa pun tempat tinggal kita yang baru ini,” ucapnya dengan nada tegas, setiap kata mengandung perintah yang tidak bisa dibantah.Revana mengangguk pelan, meski hatinya bergejolak. “Apakah ayah dan adikku juga tidak boleh tahu?” tanyanya, suaranya bergetar dengan kekhawatiran.“Tidak!” tegas Tristan, suaranya menggema dengan kepastian yang menakutkan, membuat pundak Revana meringkuk ketakutan. Tatapan mata Tristan yan
Dua hari kemudian, Tristan membawa Revana ke Roma, Italia untuk berbulan madu, sebuah janji manis yang telah terlaksana dengan gemerlapnya kota tua yang mengundang dengan cahayanya yang keemasan.“Woah! Pemandangan di sini luar biasa indah,” gumamnya saat membuka jendela Villa.Revana terkesima oleh keindahan pemandangan villa yang mereka tempati, dikelilingi oleh gemerlap pantai yang berkilauan di bawah sinar matahari senja.Tristan tersenyum tipis saat melihat mata istrinya yang bersinar-sinar dalam kekaguman yang tak tersembunyi."Dilarang kampungan, ya, Revana," ujar Tristan dengan nada lembut, namun kata-katanya terdengar seperti gurauan penuh arti.Revana merasa terguncang. Ia tidak menyangka suaminya akan mengungkapkan sesuatu seperti itu.Tristan menatapnya dengan hangat, berharap untuk meredakan ketegangan yang tiba-tiba muncul."Maksudmu?" tanya Revana dengan suara yang gemetar sedikit.Tristan mengangguk, lalu menjelaskan dengan lembut, "Aku tahu ini pertama kalinya kamu ke
Dengan perlahan, Revana mengangguk, menerima nasib yang telah ia pilih sendiri.Matanya yang bercahaya menatap Tristan dengan perasaan yang sulit diungkapkan, campuran antara rasa takut dan keberanian.Ia tahu bahwa malam ini akan menjadi malam yang panjang, penuh dengan hasrat dan penyerahan yang tak terhindarkan.Tristan tersenyum tipis, melihat anggukan Revana sebagai tanda persetujuan. Ia lalu meraih wajah istrinya dengan lembut, mengangkat dagunya hingga mata mereka bertemu dalam tatapan yang intens.Sentuhan tangan Tristan terasa dingin namun menenangkan, seakan membawa ketenangan di tengah badai yang berkecamuk dalam hati Revana."Malam ini, aku akan membuatmu melayang, Revana," bisik Tristan lagi, suaranya menggema dalam keheningan yang kini terasa begitu intim.Perlahan tapi pasti, Tristan menyentuh pipi Revana dengan kelembutan yang menggetarkan hati. Sentuhan itu begitu halus, seolah-olah menyentuh permata yang rapuh, namun mampu menghantarkan kehangatan yang membakar dari
Tubuh Revana remuk seremuk-remuknya saat bangun di pagi hari. Setiap sendi terasa seperti dilumat, meninggalkan jejak kelelahan yang mendalam di setiap pori-porinya.“Aah! Tubuhku sakit sekali,” rintihnya pelan sembari mengusapi pundaknya yang terasa pegal.Dia mengeluh pelan, suara lirih yang nyaris tak terdengar, lalu menoleh ke arah samping. Tristan sudah tidak ada di tempat.Kamar yang semalam penuh gairah kini terasa kosong dan dingin, meninggalkan bekas-bekas pertempuran yang hanya ia dan Tristan yang tahu.Revana memanggil nama suaminya, namun hanya keheningan yang menjawab panggilannya."Ke mana pria itu?" gumam Revana, suaranya hampir tenggelam dalam desahan napasnya yang masih tersengal.Ia baru saja hendak bangun dari tidurnya, namun diurungkan karena badannya terlalu lelah. Rasa sakit dan lelah bercampur, membentuk beban yang sulit diangkat.“Aw! Tubuhku terasa seperti baru saja ditimpa batu satu ton. Benar-benar remuk dan sakit. Pria itu memang benar-benar gila,” gerutuny
“Heuh? Apa maksudmu, Mas?” tanyanya ingin tahu.Lagi-lagi Tristan hanya diam.Revana bertanya-tanya dalam hatinya sembari menunggu Tristan mau menjelaskan lebih detail mengenai ucapannya barusan.Namun, hingga ia selesai mandi dan Tristan membawanya lagi ke dalam kamar, pria itu tak kunjung bicara.Keheningan yang menghiasi momen itu terasa begitu berat, seolah-olah ada awan gelap yang menggantung di antara mereka, membawa misteri yang belum terungkap.Tristan hanya berkata, "Sarapan telah siap. Kamu sudah bisa jalan sendiri, kan?"Revana mengangguk pelan, bibirnya membentuk senyuman tipis. "Terima kasih telah membantuku," ucapnya dengan suara lembut.Tristan tidak menjawab lagi. Ia keluar dari kamar tersebut sembari mengambil ponsel miliknya yang ia taruh di atas nakas.Langkahnya mantap, namun ada sesuatu yang tampak terselubung dalam gerakannya, sesuatu yang membuat hati Revana semakin bertanya-tanya.Saat pintu kamar tertutup, Revana mengembungkan pipinya, perasaan frustrasi mengg
Roma, Italia…Di bawah langit biru yang luas, Revana duduk di atas hamparan pasir putih yang cantik dan mempesona.Angin sepoi-sepoi menerpa wajahnya yang pucat, namun tatapannya tetap kosong, menembus cakrawala tanpa fokus.Ia mendengar ombak yang bergulung-gulung di kejauhan, suara yang biasanya menenangkan, kini tak lebih dari gemuruh tak berirama yang menyayat hati.“Apa yang Tristan katakan memang benar. Aku tidak perlu menaruh harapan penuh padanya. Dia menikahiku karena utang Ayah yang tidak sanggup dibayar. Bukan karena mencintaiku.”Revana berbisik kepada dirinya sendiri, suaranya serak oleh emosi yang mendesak keluar. Ia menundukkan kepalanya, membiarkan butiran pasir mengalir di antara jemarinya. Setiap butiran terasa seperti luka kecil yang menambah kepedihan di hatinya.Ucapan Tristan tadi pagi masih terngiang dalam otaknya, seperti gema yang enggan memudar.“Jangan pernah berharap lebih dariku, Revana. Pernikahan ini adalah transaksi. Tak lebih dari itu,” katanya dengan