Revana menghela napas lega ketika melihat arloji di tangannya baru menunjukkan angka enam lewat tiga puluh menit. Waktu masih berpihak padanya.
Namun, langkahnya terhenti saat matanya menangkap sosok Tristan sudah berdiri di ambang pintu kamar mereka, tangan terlipat di dadanya, ekspresinya datar namun penuh ketegasan yang membuat jantung Revana berdebar kencang.
"A-aku... aku tidak telat pulang, kan?" ucap Revana gugup, suaranya gemetar menyiratkan ketidakpastian.
Tristan menatapnya dengan pandangan tajam, seakan menembus lapisan-lapisan keraguan di hati Revana. "Bagaimana pertemuanmu dengan mantan kekasihmu itu?" tanyanya dengan nada datar yang tidak mengizinkan kebohongan.
"Sudah selesai dan aku sudah tidak punya hubungan apa pun lagi dengannya," jawab Revana jujur, mencoba mengendalikan emosi yang berkecamuk dalam dirinya.
Tristan tersenyum tipis, senyum yang dingin dan penuh perhitungan, lalu mendekati Revana dengan langkah-langkah yang mantap. "Good. Pakai baju ini, malam ini aku ingin kamu menemaniku makan malam," katanya sambil melemparkan gaun tipis berwarna merah ke arah Revana.
"Apa? Aku harus memakai baju seperti ini?" Mata Revana spontan membola saat melihat gaun yang harus ia kenakan malam itu. Baju itu terlalu terbuka dan provokatif, tidak sesuai dengan rasa malu dan ketidaknyamanannya.
**
Setelah makan malam, Revana kembali ke dalam kamar sesuai perintah dari sang suami. Sementara Tristan masih sibuk dengan panggilan telepon dari beberapa kliennya.
Revana menghela napas panjang sembari duduk di tepi tempat tidur, pikirannya melayang pada ucapan Tristan tadi. Nasibnya dan juga adiknya sedang di ambang kehancuran jika Tristan tidak menyelamatkan mereka.
“Kenapa dia ingin menolongku? Apa yang sebenarnya terjadi? Atau hanya aku, yang tidak tahu apa-apa tentang ini?” gumamnya sambil mengembungkan pipinya. Ia lalu menatap dirinya ke bawah. Pakaian seksi, lingerie tipis berwarna hitam sangat cocok untuk kulitnya yang putih mulus itu.
“Apakah setiap malam aku harus mengenakan pakaian seperti ini? Tapi, dia suamiku. Sudah kewajibanku melayaninya,” ucapnya lagi, mencoba meyakinkan dirinya sendiri.
Kini, hanya kepasrahan yang dapat Revana lakukan. Ia tidak pernah menyangka bahwa akhirnya harus menjadi istri dari konglomerat yang memiliki banyak bisnis di mana-mana.
Ceklek!
Suara pintu terbuka membuat jantung Revana semakin berdebar. Langkah kaki yang lebar semakin mendekat ke arahnya. Tristan masuk dengan senyum seringai terbit di bibirnya, lalu mengangkat kepala Revana agar menatapnya.
“Sudah lama menungguku di sini, hm?” tanyanya dengan suara berat.
Revana menelan ludah. Ia hanya menatap, tak menjawab apa pun bahkan mengangguk pun tidak.
“Tunggu lima menit lagi. Aku ke kamar mandi dulu,” ucap Tristan sebelum melangkahkan kakinya masuk ke dalam kamar mandi. Revana menoleh pelan, melihat punggung Tristan hingga lelaki itu menghilang di balik pintu kamar mandi.
“Kenapa dia tampak bahagia sekali? Apakah dia mencintaiku? Mana mungkin. Wanita biasa sepertiku bukanlah tipenya,” ucapnya merendah diri, menunduk sembari menendang-nendang kecil kakinya.
Tak lama setelah itu, Tristan kembali dengan handuk saja yang melilit di tubuhnya. Berdiri tepat di depan Revana, membuat perempuan itu mengangkat kepalanya menatap lelaki yang kini berdiri di depannya. Jantung Revana berdetak tak karuan melihat Tristan yang hanya berbalut handuk.
“Besok, aku harus ke Meksiko. Hanya dua hari. Silakan pilih tempat yang ingin kamu kunjungi. Kita akan berbulan madu usai pulang dari Meksiko,” ucap Tristan dengan nada tegas.
Revana menoleh pelan ke arah Tristan. “Bukankah pernikahan ini hanya pernikahan di atas kertas? Kenapa kamu ingin membawaku bulan madu?” tanyanya penuh kebingungan.
Tristan menaikkan alisnya, sedikit tersenyum tipis. “Memangnya kenapa? Ada yang salah dengan ajakanku?” Tristan balik bertanya dengan nada yang tak mengizinkan sanggahan.
Revana menggelengkan kepalanya. “Tidak ada. Aku hanya bingung saja,” jawabnya jujur.
Tristan berkacak pinggang menatap sang istri. “Lakukan saja, perintahku. Aku sudah memberi semua yang kamu butuhkan. Uang, kendaraan, tempat tinggal, dan semuanya. Dan aku hanya meminta satu saja darimu. Turuti apa yang aku perintahkan. Meski begitu, kamu pun paham. Perintah yang aku berikan itu bercabang.”
Revana menghela napas panjang. “Ada yang ingin aku tanyakan padamu, Mas,” katanya, mencoba mengumpulkan keberanian.
Tristan menatapnya dengan tatapan penasaran. “Tanyakan,” jawabnya singkat.
Revana menelan salivanya, mengumpulkan keberanian untuk menanyakan hal ini pada suaminya. “Setelah aku melahirkan anakmu kelak, apakah kamu akan membuangku begitu saja? Kesepakatan yang sudah aku tanda tangani, apakah akan berakhir juga?”
Tristan menatap wajah Revana yang tengah menunggu jawaban darinya. "Kamu perlu jawaban jujur, atau tidak?" tanyanya dengan nada serius.
Revana mengerutkan keningnya. "Maksudmu?" tanyanya kembali.
Tristan tersenyum tipis. Ia kemudian memegang pundak istrinya seraya menatapnya dengan lekat. "Kamu pikir, aku meminta anak padamu hanya satu? Aku mau lima. Besarkan anak-anak kita sampai mereka menemukan jodohnya masing-masing."
Revana menganga, meski sedikit tak paham dengan ucapan Tristan. "Maksudmu, kesepak—"
"Jangan banyak bertanya lagi. Aku sedang malas menjelaskan panjang lebar mengenai janji yang sudah kamu tanda tangani." Tristan kemudian masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan diri.
Revana menelan salivanya. "Aku tidak paham, dengan tujuan dia. Aku tidak mengerti. Sama sekali tidak mengerti. Tapi, biarlah. Aku yakin, Tristan tidak akan menyakitiku selama aku nurut padanya," gumamnya pada dirinya sendiri, mencoba menenangkan hatinya yang gelisah.
Pagi yang cerah menyambut, sinar matahari yang lembut menelusuri jendela, menerpa wajah cantik Revana yang perlahan terbangun dari tidurnya.Sejenak, ia menatap wajah tampan Tristan yang masih terlelap di sampingnya, tampak damai seperti anak kecil yang tidak memiliki beban di dunia.Dengan hati-hati, ia bangkit dari tempat tidur, memastikan tidak ada suara yang mengganggu kedamaian tidur suaminya.Langkah-langkah kecilnya menuju kamar mandi terasa seperti melodi yang mengiringi pagi itu. Segera, air hangat dari shower membasuh tubuhnya, menghapus segala lelah dan penat yang mengendap."Segarnya," bisiknya pelan, merasakan kenikmatan yang begitu sederhana namun mendalam. Ia memejamkan mata, membiarkan air mengalir di wajahnya, membawa pergi segala kekhawatiran yang menyelinap di benaknya.Namun, kenikmatan itu seketika terpecah saat ia merasakan tangan kekar Tristan melingkar di pinggangnya. Kejutannya tergambar jelas di wajahnya, tapi segera tergantikan oleh senyum lembut ketika ia m
Satu tonjokan keras melayang di wajah Alfrod, membuatnya terhuyung ke belakang dengan darah yang mulai mengalir dari sudut bibirnya. Tristan, dengan mata yang menyala-nyala karena amarah, berdiri tegak seperti singa yang siap menerkam. Revana yang melihat adegan itu dari ambang pintu kamar, terperanjat, membolakan mata, dan menutup mulutnya dengan kedua tangan. Ia segera berbalik dan masuk kembali ke dalam kamar, hatinya dipenuhi pertanyaan yang bergelut tanpa henti. 'Siapa pria itu? Mengapa Tristan begitu marah padanya?' pikirnya sambil duduk di tepi tempat tidur, mencoba menenangkan detak jantungnya yang semakin kencang.Di luar kamar, Tristan menggenggam kerah baju Alfrod dan menyeretnya keluar dari rumah yang megah bak istana itu. "Keluar dari rumahku sekarang juga!" pekik Tristan, suaranya menggema di seluruh ruangan.Alfrod tertawa, tawa yang dingin dan mengejek, menatap wajah Tristan dengan penuh provokasi. "Sekarang aku tahu siapa wanita itu. Rupanya kamu telah berhasil mem
Di hari yang sama, Revana dan Tristan memutuskan untuk segera pindah rumah. Langkah-langkah mereka diambil dengan cepat, penuh dengan urgensi dan ketegangan yang menggantung di udara. Ketika mereka tiba di rumah baru mereka, sebuah bangunan megah yang tak kalah mewahnya dengan rumah sebelumnya, Revana tidak bisa menyembunyikan rasa kagumnya. Matanya membesar, menganga melihat kemewahan yang terpampang di hadapannya, seolah-olah mereka baru saja melangkah ke dalam istana modern yang berkilau.Tristan menatap Revana dengan tatapan serius. “Kamu tidak boleh memberi tahu siapa pun tempat tinggal kita yang baru ini,” ucapnya dengan nada tegas, setiap kata mengandung perintah yang tidak bisa dibantah.Revana mengangguk pelan, meski hatinya bergejolak. “Apakah ayah dan adikku juga tidak boleh tahu?” tanyanya, suaranya bergetar dengan kekhawatiran.“Tidak!” tegas Tristan, suaranya menggema dengan kepastian yang menakutkan, membuat pundak Revana meringkuk ketakutan. Tatapan mata Tristan yan
Dua hari kemudian, Tristan membawa Revana ke Roma, Italia untuk berbulan madu, sebuah janji manis yang telah terlaksana dengan gemerlapnya kota tua yang mengundang dengan cahayanya yang keemasan.“Woah! Pemandangan di sini luar biasa indah,” gumamnya saat membuka jendela Villa.Revana terkesima oleh keindahan pemandangan villa yang mereka tempati, dikelilingi oleh gemerlap pantai yang berkilauan di bawah sinar matahari senja.Tristan tersenyum tipis saat melihat mata istrinya yang bersinar-sinar dalam kekaguman yang tak tersembunyi."Dilarang kampungan, ya, Revana," ujar Tristan dengan nada lembut, namun kata-katanya terdengar seperti gurauan penuh arti.Revana merasa terguncang. Ia tidak menyangka suaminya akan mengungkapkan sesuatu seperti itu.Tristan menatapnya dengan hangat, berharap untuk meredakan ketegangan yang tiba-tiba muncul."Maksudmu?" tanya Revana dengan suara yang gemetar sedikit.Tristan mengangguk, lalu menjelaskan dengan lembut, "Aku tahu ini pertama kalinya kamu ke
Dengan perlahan, Revana mengangguk, menerima nasib yang telah ia pilih sendiri.Matanya yang bercahaya menatap Tristan dengan perasaan yang sulit diungkapkan, campuran antara rasa takut dan keberanian.Ia tahu bahwa malam ini akan menjadi malam yang panjang, penuh dengan hasrat dan penyerahan yang tak terhindarkan.Tristan tersenyum tipis, melihat anggukan Revana sebagai tanda persetujuan. Ia lalu meraih wajah istrinya dengan lembut, mengangkat dagunya hingga mata mereka bertemu dalam tatapan yang intens.Sentuhan tangan Tristan terasa dingin namun menenangkan, seakan membawa ketenangan di tengah badai yang berkecamuk dalam hati Revana."Malam ini, aku akan membuatmu melayang, Revana," bisik Tristan lagi, suaranya menggema dalam keheningan yang kini terasa begitu intim.Perlahan tapi pasti, Tristan menyentuh pipi Revana dengan kelembutan yang menggetarkan hati. Sentuhan itu begitu halus, seolah-olah menyentuh permata yang rapuh, namun mampu menghantarkan kehangatan yang membakar dari
Tubuh Revana remuk seremuk-remuknya saat bangun di pagi hari. Setiap sendi terasa seperti dilumat, meninggalkan jejak kelelahan yang mendalam di setiap pori-porinya.“Aah! Tubuhku sakit sekali,” rintihnya pelan sembari mengusapi pundaknya yang terasa pegal.Dia mengeluh pelan, suara lirih yang nyaris tak terdengar, lalu menoleh ke arah samping. Tristan sudah tidak ada di tempat.Kamar yang semalam penuh gairah kini terasa kosong dan dingin, meninggalkan bekas-bekas pertempuran yang hanya ia dan Tristan yang tahu.Revana memanggil nama suaminya, namun hanya keheningan yang menjawab panggilannya."Ke mana pria itu?" gumam Revana, suaranya hampir tenggelam dalam desahan napasnya yang masih tersengal.Ia baru saja hendak bangun dari tidurnya, namun diurungkan karena badannya terlalu lelah. Rasa sakit dan lelah bercampur, membentuk beban yang sulit diangkat.“Aw! Tubuhku terasa seperti baru saja ditimpa batu satu ton. Benar-benar remuk dan sakit. Pria itu memang benar-benar gila,” gerutuny
“Heuh? Apa maksudmu, Mas?” tanyanya ingin tahu.Lagi-lagi Tristan hanya diam.Revana bertanya-tanya dalam hatinya sembari menunggu Tristan mau menjelaskan lebih detail mengenai ucapannya barusan.Namun, hingga ia selesai mandi dan Tristan membawanya lagi ke dalam kamar, pria itu tak kunjung bicara.Keheningan yang menghiasi momen itu terasa begitu berat, seolah-olah ada awan gelap yang menggantung di antara mereka, membawa misteri yang belum terungkap.Tristan hanya berkata, "Sarapan telah siap. Kamu sudah bisa jalan sendiri, kan?"Revana mengangguk pelan, bibirnya membentuk senyuman tipis. "Terima kasih telah membantuku," ucapnya dengan suara lembut.Tristan tidak menjawab lagi. Ia keluar dari kamar tersebut sembari mengambil ponsel miliknya yang ia taruh di atas nakas.Langkahnya mantap, namun ada sesuatu yang tampak terselubung dalam gerakannya, sesuatu yang membuat hati Revana semakin bertanya-tanya.Saat pintu kamar tertutup, Revana mengembungkan pipinya, perasaan frustrasi mengg
Roma, Italia…Di bawah langit biru yang luas, Revana duduk di atas hamparan pasir putih yang cantik dan mempesona.Angin sepoi-sepoi menerpa wajahnya yang pucat, namun tatapannya tetap kosong, menembus cakrawala tanpa fokus.Ia mendengar ombak yang bergulung-gulung di kejauhan, suara yang biasanya menenangkan, kini tak lebih dari gemuruh tak berirama yang menyayat hati.“Apa yang Tristan katakan memang benar. Aku tidak perlu menaruh harapan penuh padanya. Dia menikahiku karena utang Ayah yang tidak sanggup dibayar. Bukan karena mencintaiku.”Revana berbisik kepada dirinya sendiri, suaranya serak oleh emosi yang mendesak keluar. Ia menundukkan kepalanya, membiarkan butiran pasir mengalir di antara jemarinya. Setiap butiran terasa seperti luka kecil yang menambah kepedihan di hatinya.Ucapan Tristan tadi pagi masih terngiang dalam otaknya, seperti gema yang enggan memudar.“Jangan pernah berharap lebih dariku, Revana. Pernikahan ini adalah transaksi. Tak lebih dari itu,” katanya dengan
Langit malam membentangkan jubah hitamnya, bertabur bintang yang gemerlap bagai luka-luka kecil yang menganga di dada langit.Tristan berdiri di tengah ruangan yang sepi, memegang berkas terakhir dari masa lalunya yang kelam. Matanya menatap Louis, sahabat lama yang menjadi saksi bisu keputusannya."Aku serahkan semuanya padamu," ucapnya, suaranya penuh kelelahan yang berat seperti batu yang diangkat dengan tangan telanjang. "Jangan pernah membawa namaku lagi dalam misi apa pun itu!"Louis menerima berkas itu dengan gerakan lambat, seperti menghormati akhir sebuah era. Senyumnya merekah samar di sudut bibirnya, sebuah ironi yang menggantung di udara."Aku tahu kamu masih memiliki urusan dengan Alfrod," ujarnya, nada bicaranya bagai belati yang menyentuh luka lama. "Dia sedang marah besar sebab kamu telah membombardir markas utamanya."Tristan mengangkat wajahnya, tatapannya yang gelap bertaut dengan mata Louis. Dalam diam itu ada badai yang berusaha ia redam. "Apakah dia sedang mencar
“Dengar kabar dari Alfrod?” tanya Tristan sambil menatap Gave yang baru saja menyerahkan dokumen-dokumen yang menuntut tanda tangannya.Nada suaranya tenang, tapi di balik ketenangan itu tersirat kewaspadaan, seperti badai yang sedang menanti waktu untuk meledak.Gave menggeleng perlahan, ekspresinya penuh kehati-hatian. “Belum ada kabar. Tapi sebaiknya kamu tetap waspada. Kemungkinan besar dia sedang menyusun strategi untuk balas dendam. Kamu tahu, Alfrod tak akan tinggal diam begitu saja setelah serangan itu.”Tristan membuka dokumen itu satu per satu, menelusuri kata-kata di dalamnya seakan setiap kata adalah butiran pasir waktu yang akan segera hilang.Pikirannya berkecamuk antara tugasnya sebagai pemimpin mafia dan permintaan Revana yang tak henti terngiang di kepalanya.“Revana memintaku berhenti jadi mafia, Gave. Tapi, aku bingung harus menyerahkan semuanya pada siapa. Tidak mungkin kalau aku memberikannya pada Alfrod—itu sama saja dengan menyerahkan harga diriku padanya.”Gave
Usia Naira kini telah mencapai satu bulan. Bayi mungil itu, dengan pipi lembut bak kelopak mawar yang baru merekah, semakin aktif dan sehat setelah berhasil melewati masa-masa rapuhnya, di mana ia terlahir ke dunia dengan napas yang tertatih-tatih.Revana menghela napas panjang, baru saja selesai mandi, namun segera dihadapkan dengan tangis lembut Naira yang seolah memenuhi ruangan seperti melodi lembut."Sayang..." panggilan Tristan menggema, mendesak Revana keluar dari kamar mandi dengan langkah cepat namun penuh kelembutan seorang ibu."Sudah tahu, Mas." Dengan senyum yang menyiratkan kasih tak terbatas, Revana mengambil alih Naira dari dekapan sang suami. Bayi itu, yang sebelumnya tampak resah, perlahan tenang dalam kehangatan pelukannya.ASI Revana kini telah keluar, setelah minggu-minggu penuh ketekunan dan harapan. Ia ingin memberikan Naira bukan sekadar nutrisi, tetapi juga sepenggal jiwanya, sesuatu yang hanya seorang ibu bisa tawarkan pada darah dagingnya sendiri."Anteng ba
Satu minggu kemudian. Tepat hari ini, minggu ketiga Revana menjalani rawat inapnya di rumah sakit. Aroma disinfektan yang dulu membuatnya merasa gerah kini terasa seperti bagian dari napasnya, tapi hari ini, itu semua akan menjadi kenangan.Ruang perawatan yang dingin dan bernuansa steril akan ia tinggalkan, digantikan dengan kehangatan rumah yang sudah lama ia rindukan.“Namun, harus tetap cek rutin, ya. Luka dalam Anda masih dalam tahap penyembuhan. Jangan terlalu banyak melakukan aktivitas yang melelahkan,” kata dokter Pram, suaranya tegas namun hangat, menatap Revana yang tengah menggendong bayi kecilnya dengan hati-hati, seolah-olah dunia ini hanya berpusat pada mereka berdua.Baby Naira, sang buah hati yang mungil dan rapuh, sudah diperbolehkan pulang. Semakin hari, kesehatannya pun terus membaik, seperti embun yang makin bening saat sinar mentari mulai merayapi langit.Ada kelegaan mendalam yang terpancar di mata Revana, kelegaan yang hanya seorang ibu yang tahu, sebuah perasaa
Sudah dua hari Revana dipindahkan ke ruang rawat. Ketika Tristan baru saja tiba di kamar, matanya langsung menangkap wajah Revana yang ditekuk, menunjukkan ekspresi memelas yang begitu menggemaskan, seolah memohon sesuatu dengan lirih dari balik sorot matanya yang teduh.“Sayang, ada apa? Kenapa wajahmu ditekuk seperti itu, hm?” Tristan bertanya dengan senyum lembut yang terulas di bibirnya.Tanpa ragu, ia mendekat dan mencium kening istrinya dengan penuh kasih, memberikan kehangatan yang membuat Revana tersipu.“Mas… aku ingin melihat anak kita. Aku ingin melihat baby Naira. Aku sudah membaik lho, Mas.” Revana merajuk, nada suaranya manis seperti anak kecil yang merengek ingin hadiah, membuat Tristan tersenyum geli.Melihat Revana begitu menggemaskan, Tristan tak bisa menahan senyumnya. “Baiklah. Kita akan melihat anak kita hari ini,” ucapnya lembut, suaranya seperti angin sejuk yang membawa kebahagiaan di hati Revana.Seketika, senyum lebar menghiasi bibir Revana, matanya berbinar p
“Kenapa kamu menyelamatkanku?” tanya Revana, suaranya begitu lirih, seolah datang dari tempat yang jauh.Tatapan matanya yang masih redup menatap Tristan dengan penuh kebingungan dan rasa bersalah yang mengabur di kedalaman matanya.Tristan menggelengkan kepalanya pelan, senyum kecil namun penuh kasih sayang menghiasi wajahnya.“Aku tidak akan membiarkanmu meninggalkanku, Revana. Jangan pernah berpikir aku rela kehilanganmu,” bisiknya, seraya menggenggam tangan Revana dengan lembut namun erat, seolah memastikan bahwa ia tidak akan pernah terlepas lagi.Revana menutup matanya, tenggelam dalam keheningan yang begitu dalam. Rasa bersalah menggerogoti hatinya; ia terbayang kehilangan buah hatinya, menyalahkan dirinya sendiri yang tak mampu melindungi kehidupan yang pernah tumbuh dalam rahimnya.“Aku akan menjadi ibu yang jahat karena tidak melindungi anakku sendiri,” bisiknya, suaranya nyaris tak terdengar, penuh kepedihan yang ia pendam sendirian.“Tidak, Sayang. Jangan berpikir seperti
Dua minggu kemudian ...Langkah Tristan terdengar pelan namun penuh keteguhan ketika ia memasuki rumah sakit.Di tangannya, tergenggam sebuah paper bag besar berisi popok dan susu formula untuk putrinya yang mungil, yang hingga kini masih terlelap dalam ruang inkubator, seolah berselimut dalam kehangatan buatan yang melindunginya dari dunia yang masih terlalu keras.“Sus. Ini, susu dan popok untuk satu minggu ke depan.” Tristan menyerahkan tas itu kepada perawat, suaranya tenang namun terselip rasa sayang yang dalam.“Baik, Pak. Terima kasih,” jawab perawat itu, mengangguk hormat.Tristan menghela napas panjang, lalu sedikit membungkukkan tubuhnya, ingin menyapa sang buah hati yang belum sepenuhnya ia rangkul. Senyum tipis terlukis di bibirnya, menyiratkan kerinduan yang tak terkatakan.“Hei. Sebentar lagi kamu sudah bisa Papi gendong,” ucapnya dengan kelembutan yang menetes seperti embun pagi. Pandangannya melekat pada wajah mungil yang terbaring tenang, jiwanya berbisik penuh harapa
“Siapa yang berani menghancurkan markasku!” pekik Alfrod, suaranya bergemuruh bak badai menggelegar, mengguncang dunia di bawah cakrawala yang muram.Matanya menatap kosong pada pemandangan yang menyayat hati; markas yang selama ini menjadi simbol kejayaannya kini hanya menyisakan puing-puing berdebu, sisa-sisa dari ledakan yang menyapu semalam, meninggalkan kehampaan yang dingin dan mematikan.Empat nyawa turut lenyap dalam kobaran tanpa sisa—hanya debu dan kenangan yang tinggal mengambang di udara yang pekat.“Berengsek! Barang-barang berhargaku hancur lebur! Arghh!!” teriaknya lagi.Amarah menyelubunginya, merambat seperti api liar dalam gurun kering, sampai-sampai tangan kasarnya tak segan-segan menjambak rambutnya sendiri, seolah merobek sebagian dari dirinya yang tak mampu menerima kenyataan pahit ini.Michael, dengan ketenangan yang kontras, menatap Alfrod. “Siapa lagi kalau bukan Tristan,” ujarnya ringan, suaranya seperti angin yang mengalir lembut di tengah badai.Ia sangat y
Tristan melangkah perlahan mendekati tabung inkubator, tempat bayi mungilnya tertidur dengan damai, seolah terlelap dalam dunia kecilnya yang penuh ketenangan.Wajahnya yang lembut dan polos dipagari tabung kaca, memberikan Tristan pandangan pertama pada keajaiban yang kini menjadi bagian dari hidupnya.Dengan hati yang penuh haru, Tristan mengulas senyum lirih, menyadari bahwa dirinya kini seorang ayah.“Hai, Nak,” bisiknya lembut, suaranya nyaris serak oleh emosi yang meluap. “Ini Papi… Ayah yang selalu menunggumu sejak tahu kamu hadir di perut mamimu.”Kata-katanya mengalir pelan, penuh kehangatan dan kasih sayang yang mendalam. Ia menatap buah hatinya dengan sorot penuh kelembutan, mengagumi setiap detail wajah mungil itu—wajah yang begitu mirip dirinya.Di sampingnya, Gave tersenyum lebar sambil melihat lebih dekat keponakan kecilnya. “Wajahnya mirip sekali denganmu, Tristan. Sepertinya Revana hanya mengandung saja,” canda Gave, tertawa pelan.Tristan tersenyum, teringat betapa b