Share

Bab 4: Aku ingin Punya Anak Lima

Revana menghela napas lega ketika melihat arloji di tangannya baru menunjukkan angka enam lewat tiga puluh menit. Waktu masih berpihak padanya.

Namun, langkahnya terhenti saat matanya menangkap sosok Tristan sudah berdiri di ambang pintu kamar mereka, tangan terlipat di dadanya, ekspresinya datar namun penuh ketegasan yang membuat jantung Revana berdebar kencang.

"A-aku... aku tidak telat pulang, kan?" ucap Revana gugup, suaranya gemetar menyiratkan ketidakpastian.

Tristan menatapnya dengan pandangan tajam, seakan menembus lapisan-lapisan keraguan di hati Revana. "Bagaimana pertemuanmu dengan mantan kekasihmu itu?" tanyanya dengan nada datar yang tidak mengizinkan kebohongan.

"Sudah selesai dan aku sudah tidak punya hubungan apa pun lagi dengannya," jawab Revana jujur, mencoba mengendalikan emosi yang berkecamuk dalam dirinya.

Tristan tersenyum tipis, senyum yang dingin dan penuh perhitungan, lalu mendekati Revana dengan langkah-langkah yang mantap. "Good. Pakai baju ini, malam ini aku ingin kamu menemaniku makan malam," katanya sambil melemparkan gaun tipis berwarna merah ke arah Revana.

"Apa? Aku harus memakai baju seperti ini?" Mata Revana spontan membola saat melihat gaun yang harus ia kenakan malam itu. Baju itu terlalu terbuka dan provokatif, tidak sesuai dengan rasa malu dan ketidaknyamanannya.

**

Setelah makan malam, Revana kembali ke dalam kamar sesuai perintah dari sang suami. Sementara Tristan masih sibuk dengan panggilan telepon dari beberapa kliennya.

Revana menghela napas panjang sembari duduk di tepi tempat tidur, pikirannya melayang pada ucapan Tristan tadi. Nasibnya dan juga adiknya sedang di ambang kehancuran jika Tristan tidak menyelamatkan mereka.

“Kenapa dia ingin menolongku? Apa yang sebenarnya terjadi? Atau hanya aku, yang tidak tahu apa-apa tentang ini?” gumamnya sambil mengembungkan pipinya. Ia lalu menatap dirinya ke bawah. Pakaian seksi, lingerie tipis berwarna hitam sangat cocok untuk kulitnya yang putih mulus itu.

“Apakah setiap malam aku harus mengenakan pakaian seperti ini? Tapi, dia suamiku. Sudah kewajibanku melayaninya,” ucapnya lagi, mencoba meyakinkan dirinya sendiri.

Kini, hanya kepasrahan yang dapat Revana lakukan. Ia tidak pernah menyangka bahwa akhirnya harus menjadi istri dari konglomerat yang memiliki banyak bisnis di mana-mana.

Ceklek!

Suara pintu terbuka membuat jantung Revana semakin berdebar. Langkah kaki yang lebar semakin mendekat ke arahnya. Tristan masuk dengan senyum seringai terbit di bibirnya, lalu mengangkat kepala Revana agar menatapnya.

“Sudah lama menungguku di sini, hm?” tanyanya dengan suara berat.

Revana menelan ludah. Ia hanya menatap, tak menjawab apa pun bahkan mengangguk pun tidak.

“Tunggu lima menit lagi. Aku ke kamar mandi dulu,” ucap Tristan sebelum melangkahkan kakinya masuk ke dalam kamar mandi. Revana menoleh pelan, melihat punggung Tristan hingga lelaki itu menghilang di balik pintu kamar mandi.

“Kenapa dia tampak bahagia sekali? Apakah dia mencintaiku? Mana mungkin. Wanita biasa sepertiku bukanlah tipenya,” ucapnya merendah diri, menunduk sembari menendang-nendang kecil kakinya.

Tak lama setelah itu, Tristan kembali dengan handuk saja yang melilit di tubuhnya. Berdiri tepat di depan Revana, membuat perempuan itu mengangkat kepalanya menatap lelaki yang kini berdiri di depannya. Jantung Revana berdetak tak karuan melihat Tristan yang hanya berbalut handuk.

“Besok, aku harus ke Meksiko. Hanya dua hari. Silakan pilih tempat yang ingin kamu kunjungi. Kita akan berbulan madu usai pulang dari Meksiko,” ucap Tristan dengan nada tegas.

Revana menoleh pelan ke arah Tristan. “Bukankah pernikahan ini hanya pernikahan di atas kertas? Kenapa kamu ingin membawaku bulan madu?” tanyanya penuh kebingungan.

Tristan menaikkan alisnya, sedikit tersenyum tipis. “Memangnya kenapa? Ada yang salah dengan ajakanku?” Tristan balik bertanya dengan nada yang tak mengizinkan sanggahan.

Revana menggelengkan kepalanya. “Tidak ada. Aku hanya bingung saja,” jawabnya jujur.

Tristan berkacak pinggang menatap sang istri. “Lakukan saja, perintahku. Aku sudah memberi semua yang kamu butuhkan. Uang, kendaraan, tempat tinggal, dan semuanya. Dan aku hanya meminta satu saja darimu. Turuti apa yang aku perintahkan. Meski begitu, kamu pun paham. Perintah yang aku berikan itu bercabang.”

Revana menghela napas panjang. “Ada yang ingin aku tanyakan padamu, Mas,” katanya, mencoba mengumpulkan keberanian.

Tristan menatapnya dengan tatapan penasaran. “Tanyakan,” jawabnya singkat.

Revana menelan salivanya, mengumpulkan keberanian untuk menanyakan hal ini pada suaminya. “Setelah aku melahirkan anakmu kelak, apakah kamu akan membuangku begitu saja? Kesepakatan yang sudah aku tanda tangani, apakah akan berakhir juga?”

Tristan menatap wajah Revana yang tengah menunggu jawaban darinya. "Kamu perlu jawaban jujur, atau tidak?" tanyanya dengan nada serius.

Revana mengerutkan keningnya. "Maksudmu?" tanyanya kembali.

Tristan tersenyum tipis. Ia kemudian memegang pundak istrinya seraya menatapnya dengan lekat. "Kamu pikir, aku meminta anak padamu hanya satu? Aku mau lima. Besarkan anak-anak kita sampai mereka menemukan jodohnya masing-masing."

Revana menganga, meski sedikit tak paham dengan ucapan Tristan. "Maksudmu, kesepak—"

"Jangan banyak bertanya lagi. Aku sedang malas menjelaskan panjang lebar mengenai janji yang sudah kamu tanda tangani." Tristan kemudian masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan diri.

Revana menelan salivanya. "Aku tidak paham, dengan tujuan dia. Aku tidak mengerti. Sama sekali tidak mengerti. Tapi, biarlah. Aku yakin, Tristan tidak akan menyakitiku selama aku nurut padanya," gumamnya pada dirinya sendiri, mencoba menenangkan hatinya yang gelisah.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status