Revana menemukan pemandangan yang membuat jantungnya berdegup kencang dan darahnya seakan membeku.
Ayahnya, Rony, berlutut di depan seorang pria tampan dengan perawakan tinggi dan tegap, sosok yang begitu mendominasi seolah menguasai seluruh ruang dengan keanggunannya.
“Ayah, apa yang sedang Ayah lakukan di sini? Kenapa berlutut seperti itu?” tanyanya dengan suara bergetar, seakan angin malam yang menerpa dedaunan di hutan yang sunyi.
Rony tidak segera menjawab. Wajahnya memancarkan campuran rasa malu dan ketakutan, dua emosi yang bersarang di matanya yang kini tak berani menatap Revana.
Ia hanya memandang lurus ke depan, ke arah pria yang berdiri dengan sikap angkuh dan tak tertembus.
Revana mengikuti arah pandangan ayahnya, dan hatinya semakin mencelos saat ia mengenali siapa pria di depannya.
Sanders Valerio Tristan, seorang CEO perusahaan tempat Revana bekerja, berdiri dengan angkuh, menatapnya dengan pandangan datar yang menembus relung jiwanya.
“Pak Tristan? Apa yang Anda lakukan di sini? Kenapa ayah saya berlutut di kaki Anda?” tanya Revana, mencoba menenangkan gejolak emosinya yang berputar bak badai di tengah samudra.
Tristan, pria berusia tiga puluh dua tahun yang dikenal sebagai sosok yang dingin dan penuh perhitungan, melipat tangan di depan dada, seakan sikapnya adalah benteng kokoh yang tak bisa ditembus oleh apa pun.
“Rony memiliki utang padaku selama bertahun-tahun, dan kini saatnya aku untuk menagihnya,” katanya dengan suara tenang namun tajam, seperti pisau yang menusuk tanpa ampun.
Mulut Revana menganga mendengar ucapan dari bosnya itu. Seumur hidup, ia tidak pernah tahu bahwa ayahnya memiliki utang sebesar itu, apalagi kepada Tristan. Seakan seluruh dunia yang ia kenal runtuh di hadapannya.
“Ayah, berdirilah. Jangan merendahkan diri seperti ini di depan Pak Tristan,” kata Revana, suaranya penuh desakan dan rasa iba yang menyayat hati.
Rony menatap putrinya dengan mata berkaca-kaca, namun tidak beranjak dari posisinya. “Aku tidak punya pilihan lain, Nak,” katanya pelan, hampir berbisik, seakan setiap kata adalah beban yang menghancurkan dirinya sedikit demi sedikit.
Revana mengalihkan pandangannya kembali ke Tristan, mencoba mengumpulkan seluruh keberanian yang tersisa.
“Saya akan membayar utang ayah saya,” katanya tegas, meski hatinya gemetar seakan akan runtuh.
Tristan tertawa kecil, tawa yang dingin dan tidak menyenangkan, menggemakan kekosongan yang tak terbendung.
“Kau? Membayar utang ayahmu? Ayahmu saja tidak mampu melunasinya, apalagi kamu. Hanya seorang bawahan di kantorku,” katanya dengan nada mengejek, menambah luka di hati Revana.
Revana menggigit bibirnya, mencoba menahan air mata yang mulai menggenang, setiap tetesnya seakan adalah simbol dari rasa sakit yang tak terhingga.
“Saya serius. Berapa pun jumlahnya, saya akan membayarnya,” ucapnya dengan tegas, suara yang terbungkus dalam keberanian yang rapuh.
Tristan menatapnya lama, seakan menilai ketulusan dan keberanian di balik kata-katanya. “Kau tahu berapa besar utang ayahmu?” tanyanya akhirnya, seakan setiap kata adalah tantangan yang harus dihadapi.
Revana menggeleng, kepalanya tertunduk seakan berat oleh beban yang tak terlihat. Ia benar-benar tidak tahu, dan fakta ini membuatnya merasa semakin kecil di depan Tristan, semakin tak berdaya.
“Lima miliar. Itu jumlah utang yang harus ayahmu bayar, Revana!” ucapnya memberi tahu.
Wanita itu membolakan matanya, terkejut bukan main kala mendengar jumlah utang yang dimiliki ayahnya itu.
Tapi ia tidak akan menyerah begitu saja. “Saya butuh waktu,” katanya, suaranya terdengar lebih tenang dari yang ia rasakan, mencoba menggapai harapan di tengah kegelapan.
“Waktu tidak ada di pihakmu, Revana. Jika utang ini tidak dilunasi segera, aku harus mengambil tindakan yang mungkin tidak akan kau senangi,” kata Tristan dengan nada mengancam, seakan bayangan ancaman itu melingkari mereka dengan keganasan yang tersembunyi.
Revana terdiam beberapa saat, berusaha mencerna kenyataan pahit yang ada di depan matanya.
Ayahnya, pria yang selalu ia pandang sebagai sosok kuat dan tak terkalahkan, kini berlutut dengan penuh kehinaan di hadapan pria lain.
Seketika itu juga, dunia Revana seakan runtuh, seperti istana pasir yang diterjang ombak tanpa ampun.
"Lima miliar? Bagaimana mungkin?" pikirnya dalam hati, terkejut dan putus asa bersamaan. Ia menatap ayahnya, mencari penjelasan di mata yang kini tidak berani menatapnya.
"Ayah, untuk apa Ayah memiliki utang sebanyak itu?" tanyanya dengan nada memohon, mencari harapan di tengah keputusasaan.
Rony, dengan suara yang terdengar lebih kecil dari biasanya, berbohong, "Untuk bisnis, Nak. Ayah butuh modal untuk mengembangkan usaha."
Namun, Tristan tertawa mendengar jawaban itu, tawa yang dingin dan penuh kemenangan, seakan ia tahu kebenaran yang tersembunyi di balik kata-kata itu.
Beberapa detik kemudian, tawa Tristan berhenti, dan ia menatap Rony dengan pandangan tajam sebelum beralih pada Revana. "Bagaimana kalau aku beri penawaran?" ucap Tristan, senyum penuh arti terukir di bibirnya, seakan ia telah merencanakan semua ini sejak awal.
Rony segera menolak, "Tidak! Aku tahu siapa kamu, Tristan. Kamu bukan hanya CEO perusahaan besar, tapi juga punya bisnis ilegal dan menguasai wilayah ini. Aku tidak akan membiarkan anakku terperangkap olehmu."
Tristan mengangkat alisnya, sedikit terkejut namun tidak sepenuhnya. Ia sudah menduga reaksi Rony. Dengan sikap tenang, Tristan mendekatkan dirinya pada Revana, mengabaikan keberatan Rony.
"Ikutlah denganku, Rony. Kamu tahu ini tidak ada pilihan lain," katanya tegas, suara yang menggemakan kepastian yang tak terbantahkan.
Revana, dengan cepat mencegah Tristan menarik ayahnya, "Tunggu! Aku ingin mendengar tawaran yang akan kamu berikan," katanya, suaranya bergetar namun tegas, mencoba mempertahankan keberanian yang tersisa.
Tristan tersenyum penuh kemenangan, seakan ia telah memenangkan permainan ini sejak awal.
"Baiklah," katanya dengan nada halus. "Aku akan menghapus seluruh utang ayahmu, dengan satu syarat," lanjutnya, seakan ia memegang kendali penuh atas takdir mereka.
Revana menelan ludah, hatinya berdebar tak karuan. "Apa syaratnya?" tanyanya, suara yang penuh dengan ketidakpastian dan harapan yang rapuh.
"Menikahlah denganku dan berikan seorang anak untukku," jawab Tristan tanpa ragu, kata-katanya yang seakan adalah penentu nasib mereka.
Rony menghampiri Tristan dan berdiri tepat di depan Revana. Ia menggelengkan kepalanya, tanda tidak setuju dengan permintaan Tristan."Tidak, Pak Tristan. Saya tidak ingin Anda mengambil anak saya," ucapnya tegas. Sebab ia tahu siapa pria yang menginginkan anaknya ini."Jadi, kamu lebih menyayangi anakmu daripada nyawamu sendiri?" ucap Tristan, menantang Rony. Ia paling tidak suka dengan penolakan."Ayah. Tidak apa-apa, aku pasti baik-baik saja. Yang penting saat ini adalah utang Ayah lunas. Benar begitu kan, Pak Tristan?" ucap Revana dengan nada datarnya.Tristan mengangguk. "Ya."“Pernikahan ini akan dirahasiakan. Tidak ada yang boleh tahu. Dan keluargamu akan baik-baik saja, selama kamu patuh padaku!” sambungnya kemudian.Revana menelan ludahnya sebelum akhirnya terpaksa mengangguk, meski hatinya memberontak. Pilihan itu bukan lagi miliknya, semuanya sudah diatur sedemikian rupa."Jaga diri kamu baik-baik di sana, Nak. Maafkan Ayah. Karena kebodohan Ayah, kamu harus jadi korbannya,
“Kenapa hobi kamu mengancamku terus? Senang sekali, sepertinya melihatku menderita!” ucapnya kesal. Suara Revana menggelegar dalam keheningan malam, seolah berusaha menembus tembok kokoh yang dibangun oleh Tristan.“Itu pilihanmu. Kamu sudah menandatangani kesepakatan pernikahan kita, dan tidak boleh kamu ingkari, Revana. Bukankah nyawa orang-orang yang kamu sayangi jauh lebih penting, dari apa pun?” jawab Tristan, suaranya terdengar dingin dan tidak kenal ampun, seperti angin malam yang menusuk tulang.Revana terdiam. Ia mengaku kalah. Bodohnya dia karena sudah menandatangani kesepakatan itu. Sebuah kesepakatan yang menyeretnya ke dalam jurang kegelapan tanpa akhir.“Apa yang harus aku katakan kepada kekasihku… Mas Tristan?” tanya Revana dengan suara bergetar, mencoba menembus dinginnya malam yang semakin kelam.“Terserah kamu. Itu urusanmu. Yang jelas, kamu harus mengakhiri hubunganmu dengan lelaki tak berguna itu!” jawab Tristan dengan nada tegas, seakan memukul palu pengadilan ter
Revana menghela napas lega ketika melihat arloji di tangannya baru menunjukkan angka enam lewat tiga puluh menit. Waktu masih berpihak padanya.Namun, langkahnya terhenti saat matanya menangkap sosok Tristan sudah berdiri di ambang pintu kamar mereka, tangan terlipat di dadanya, ekspresinya datar namun penuh ketegasan yang membuat jantung Revana berdebar kencang."A-aku... aku tidak telat pulang, kan?" ucap Revana gugup, suaranya gemetar menyiratkan ketidakpastian.Tristan menatapnya dengan pandangan tajam, seakan menembus lapisan-lapisan keraguan di hati Revana. "Bagaimana pertemuanmu dengan mantan kekasihmu itu?" tanyanya dengan nada datar yang tidak mengizinkan kebohongan."Sudah selesai dan aku sudah tidak punya hubungan apa pun lagi dengannya," jawab Revana jujur, mencoba mengendalikan emosi yang berkecamuk dalam dirinya.Tristan tersenyum tipis, senyum yang dingin dan penuh perhitungan, lalu mendekati Revana dengan langkah-langkah yang mantap. "Good. Pakai baju ini, malam ini ak
Pagi yang cerah menyambut, sinar matahari yang lembut menelusuri jendela, menerpa wajah cantik Revana yang perlahan terbangun dari tidurnya.Sejenak, ia menatap wajah tampan Tristan yang masih terlelap di sampingnya, tampak damai seperti anak kecil yang tidak memiliki beban di dunia.Dengan hati-hati, ia bangkit dari tempat tidur, memastikan tidak ada suara yang mengganggu kedamaian tidur suaminya.Langkah-langkah kecilnya menuju kamar mandi terasa seperti melodi yang mengiringi pagi itu. Segera, air hangat dari shower membasuh tubuhnya, menghapus segala lelah dan penat yang mengendap."Segarnya," bisiknya pelan, merasakan kenikmatan yang begitu sederhana namun mendalam. Ia memejamkan mata, membiarkan air mengalir di wajahnya, membawa pergi segala kekhawatiran yang menyelinap di benaknya.Namun, kenikmatan itu seketika terpecah saat ia merasakan tangan kekar Tristan melingkar di pinggangnya. Kejutannya tergambar jelas di wajahnya, tapi segera tergantikan oleh senyum lembut ketika ia m
Satu tonjokan keras melayang di wajah Alfrod, membuatnya terhuyung ke belakang dengan darah yang mulai mengalir dari sudut bibirnya. Tristan, dengan mata yang menyala-nyala karena amarah, berdiri tegak seperti singa yang siap menerkam. Revana yang melihat adegan itu dari ambang pintu kamar, terperanjat, membolakan mata, dan menutup mulutnya dengan kedua tangan. Ia segera berbalik dan masuk kembali ke dalam kamar, hatinya dipenuhi pertanyaan yang bergelut tanpa henti. 'Siapa pria itu? Mengapa Tristan begitu marah padanya?' pikirnya sambil duduk di tepi tempat tidur, mencoba menenangkan detak jantungnya yang semakin kencang.Di luar kamar, Tristan menggenggam kerah baju Alfrod dan menyeretnya keluar dari rumah yang megah bak istana itu. "Keluar dari rumahku sekarang juga!" pekik Tristan, suaranya menggema di seluruh ruangan.Alfrod tertawa, tawa yang dingin dan mengejek, menatap wajah Tristan dengan penuh provokasi. "Sekarang aku tahu siapa wanita itu. Rupanya kamu telah berhasil mem
Di hari yang sama, Revana dan Tristan memutuskan untuk segera pindah rumah. Langkah-langkah mereka diambil dengan cepat, penuh dengan urgensi dan ketegangan yang menggantung di udara. Ketika mereka tiba di rumah baru mereka, sebuah bangunan megah yang tak kalah mewahnya dengan rumah sebelumnya, Revana tidak bisa menyembunyikan rasa kagumnya. Matanya membesar, menganga melihat kemewahan yang terpampang di hadapannya, seolah-olah mereka baru saja melangkah ke dalam istana modern yang berkilau.Tristan menatap Revana dengan tatapan serius. “Kamu tidak boleh memberi tahu siapa pun tempat tinggal kita yang baru ini,” ucapnya dengan nada tegas, setiap kata mengandung perintah yang tidak bisa dibantah.Revana mengangguk pelan, meski hatinya bergejolak. “Apakah ayah dan adikku juga tidak boleh tahu?” tanyanya, suaranya bergetar dengan kekhawatiran.“Tidak!” tegas Tristan, suaranya menggema dengan kepastian yang menakutkan, membuat pundak Revana meringkuk ketakutan. Tatapan mata Tristan yan
Dua hari kemudian, Tristan membawa Revana ke Roma, Italia untuk berbulan madu, sebuah janji manis yang telah terlaksana dengan gemerlapnya kota tua yang mengundang dengan cahayanya yang keemasan.“Woah! Pemandangan di sini luar biasa indah,” gumamnya saat membuka jendela Villa.Revana terkesima oleh keindahan pemandangan villa yang mereka tempati, dikelilingi oleh gemerlap pantai yang berkilauan di bawah sinar matahari senja.Tristan tersenyum tipis saat melihat mata istrinya yang bersinar-sinar dalam kekaguman yang tak tersembunyi."Dilarang kampungan, ya, Revana," ujar Tristan dengan nada lembut, namun kata-katanya terdengar seperti gurauan penuh arti.Revana merasa terguncang. Ia tidak menyangka suaminya akan mengungkapkan sesuatu seperti itu.Tristan menatapnya dengan hangat, berharap untuk meredakan ketegangan yang tiba-tiba muncul."Maksudmu?" tanya Revana dengan suara yang gemetar sedikit.Tristan mengangguk, lalu menjelaskan dengan lembut, "Aku tahu ini pertama kalinya kamu ke
Dengan perlahan, Revana mengangguk, menerima nasib yang telah ia pilih sendiri.Matanya yang bercahaya menatap Tristan dengan perasaan yang sulit diungkapkan, campuran antara rasa takut dan keberanian.Ia tahu bahwa malam ini akan menjadi malam yang panjang, penuh dengan hasrat dan penyerahan yang tak terhindarkan.Tristan tersenyum tipis, melihat anggukan Revana sebagai tanda persetujuan. Ia lalu meraih wajah istrinya dengan lembut, mengangkat dagunya hingga mata mereka bertemu dalam tatapan yang intens.Sentuhan tangan Tristan terasa dingin namun menenangkan, seakan membawa ketenangan di tengah badai yang berkecamuk dalam hati Revana."Malam ini, aku akan membuatmu melayang, Revana," bisik Tristan lagi, suaranya menggema dalam keheningan yang kini terasa begitu intim.Perlahan tapi pasti, Tristan menyentuh pipi Revana dengan kelembutan yang menggetarkan hati. Sentuhan itu begitu halus, seolah-olah menyentuh permata yang rapuh, namun mampu menghantarkan kehangatan yang membakar dari