Share

Istri Tawanan CEO Kejam
Istri Tawanan CEO Kejam
Author: Suhadii90

Bab 1: Syarat Penebus Utang

Revana menemukan pemandangan yang membuat jantungnya berdegup kencang dan darahnya seakan membeku.

Ayahnya, Rony, berlutut di depan seorang pria tampan dengan perawakan tinggi dan tegap, sosok yang begitu mendominasi seolah menguasai seluruh ruang dengan keanggunannya.

“Ayah, apa yang sedang Ayah lakukan di sini? Kenapa berlutut seperti itu?” tanyanya dengan suara bergetar, seakan angin malam yang menerpa dedaunan di hutan yang sunyi.

Rony tidak segera menjawab. Wajahnya memancarkan campuran rasa malu dan ketakutan, dua emosi yang bersarang di matanya yang kini tak berani menatap Revana.

Ia hanya memandang lurus ke depan, ke arah pria yang berdiri dengan sikap angkuh dan tak tertembus.

Revana mengikuti arah pandangan ayahnya, dan hatinya semakin mencelos saat ia mengenali siapa pria di depannya.

Sanders Valerio Tristan, seorang CEO perusahaan tempat Revana bekerja, berdiri dengan angkuh, menatapnya dengan pandangan datar yang menembus relung jiwanya.

“Pak Tristan? Apa yang Anda lakukan di sini? Kenapa ayah saya berlutut di kaki Anda?” tanya Revana, mencoba menenangkan gejolak emosinya yang berputar bak badai di tengah samudra.

Tristan, pria berusia tiga puluh dua tahun yang dikenal sebagai sosok yang dingin dan penuh perhitungan, melipat tangan di depan dada, seakan sikapnya adalah benteng kokoh yang tak bisa ditembus oleh apa pun.

“Rony memiliki utang padaku selama bertahun-tahun, dan kini saatnya aku untuk menagihnya,” katanya dengan suara tenang namun tajam, seperti pisau yang menusuk tanpa ampun.

Mulut Revana menganga mendengar ucapan dari bosnya itu. Seumur hidup, ia tidak pernah tahu bahwa ayahnya memiliki utang sebesar itu, apalagi kepada Tristan. Seakan seluruh dunia yang ia kenal runtuh di hadapannya.

“Ayah, berdirilah. Jangan merendahkan diri seperti ini di depan Pak Tristan,” kata Revana, suaranya penuh desakan dan rasa iba yang menyayat hati.

Rony menatap putrinya dengan mata berkaca-kaca, namun tidak beranjak dari posisinya. “Aku tidak punya pilihan lain, Nak,” katanya pelan, hampir berbisik, seakan setiap kata adalah beban yang menghancurkan dirinya sedikit demi sedikit.

Revana mengalihkan pandangannya kembali ke Tristan, mencoba mengumpulkan seluruh keberanian yang tersisa.

“Saya akan membayar utang ayah saya,” katanya tegas, meski hatinya gemetar seakan akan runtuh.

Tristan tertawa kecil, tawa yang dingin dan tidak menyenangkan, menggemakan kekosongan yang tak terbendung.

“Kau? Membayar utang ayahmu? Ayahmu saja tidak mampu melunasinya, apalagi kamu. Hanya seorang bawahan di kantorku,” katanya dengan nada mengejek, menambah luka di hati Revana.

Revana menggigit bibirnya, mencoba menahan air mata yang mulai menggenang, setiap tetesnya seakan adalah simbol dari rasa sakit yang tak terhingga.

“Saya serius. Berapa pun jumlahnya, saya akan membayarnya,” ucapnya dengan tegas, suara yang terbungkus dalam keberanian yang rapuh.

Tristan menatapnya lama, seakan menilai ketulusan dan keberanian di balik kata-katanya. “Kau tahu berapa besar utang ayahmu?” tanyanya akhirnya, seakan setiap kata adalah tantangan yang harus dihadapi.

Revana menggeleng, kepalanya tertunduk seakan berat oleh beban yang tak terlihat. Ia benar-benar tidak tahu, dan fakta ini membuatnya merasa semakin kecil di depan Tristan, semakin tak berdaya.

“Lima miliar. Itu jumlah utang yang harus ayahmu bayar, Revana!” ucapnya memberi tahu.

Wanita itu membolakan matanya, terkejut bukan main kala mendengar jumlah utang yang dimiliki ayahnya itu.

Tapi ia tidak akan menyerah begitu saja. “Saya butuh waktu,” katanya, suaranya terdengar lebih tenang dari yang ia rasakan, mencoba menggapai harapan di tengah kegelapan.

“Waktu tidak ada di pihakmu, Revana. Jika utang ini tidak dilunasi segera, aku harus mengambil tindakan yang mungkin tidak akan kau senangi,” kata Tristan dengan nada mengancam, seakan bayangan ancaman itu melingkari mereka dengan keganasan yang tersembunyi.

Revana terdiam beberapa saat, berusaha mencerna kenyataan pahit yang ada di depan matanya.

Ayahnya, pria yang selalu ia pandang sebagai sosok kuat dan tak terkalahkan, kini berlutut dengan penuh kehinaan di hadapan pria lain.

Seketika itu juga, dunia Revana seakan runtuh, seperti istana pasir yang diterjang ombak tanpa ampun.

"Lima miliar? Bagaimana mungkin?" pikirnya dalam hati, terkejut dan putus asa bersamaan. Ia menatap ayahnya, mencari penjelasan di mata yang kini tidak berani menatapnya.

"Ayah, untuk apa Ayah memiliki utang sebanyak itu?" tanyanya dengan nada memohon, mencari harapan di tengah keputusasaan.

Rony, dengan suara yang terdengar lebih kecil dari biasanya, berbohong, "Untuk bisnis, Nak. Ayah butuh modal untuk mengembangkan usaha."

Namun, Tristan tertawa mendengar jawaban itu, tawa yang dingin dan penuh kemenangan, seakan ia tahu kebenaran yang tersembunyi di balik kata-kata itu.

Beberapa detik kemudian, tawa Tristan berhenti, dan ia menatap Rony dengan pandangan tajam sebelum beralih pada Revana. "Bagaimana kalau aku beri penawaran?" ucap Tristan, senyum penuh arti terukir di bibirnya, seakan ia telah merencanakan semua ini sejak awal.

Rony segera menolak, "Tidak! Aku tahu siapa kamu, Tristan. Kamu bukan hanya CEO perusahaan besar, tapi juga punya bisnis ilegal dan menguasai wilayah ini. Aku tidak akan membiarkan anakku terperangkap olehmu."

Tristan mengangkat alisnya, sedikit terkejut namun tidak sepenuhnya. Ia sudah menduga reaksi Rony. Dengan sikap tenang, Tristan mendekatkan dirinya pada Revana, mengabaikan keberatan Rony.

"Ikutlah denganku, Rony. Kamu tahu ini tidak ada pilihan lain," katanya tegas, suara yang menggemakan kepastian yang tak terbantahkan.

Revana, dengan cepat mencegah Tristan menarik ayahnya, "Tunggu! Aku ingin mendengar tawaran yang akan kamu berikan," katanya, suaranya bergetar namun tegas, mencoba mempertahankan keberanian yang tersisa.

Tristan tersenyum penuh kemenangan, seakan ia telah memenangkan permainan ini sejak awal.

"Baiklah," katanya dengan nada halus. "Aku akan menghapus seluruh utang ayahmu, dengan satu syarat," lanjutnya, seakan ia memegang kendali penuh atas takdir mereka.

Revana menelan ludah, hatinya berdebar tak karuan. "Apa syaratnya?" tanyanya, suara yang penuh dengan ketidakpastian dan harapan yang rapuh.

"Menikahlah denganku dan berikan seorang anak untukku," jawab Tristan tanpa ragu, kata-katanya yang seakan adalah penentu nasib mereka.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status