“AKHHHH, LEON!! Aduh! Perutku sakit! Aduh tolong!”
Chelsi terus berteriak kesakitan sambil memegangi perutnya yang mulai membuncit.
Dari lorong, terdengar suara langkah buru-buru Leon mendengar suara teriakan istrinya. Keningnya berkerut begitu tiba di ruang keluarga dan melihat Chelsi sudah terduduk di lantai. Pakaiannya basah dan wajahnya terlihat kesakitan.
“Sayang? Ada apa?” Leon segera membantu Chelsi berdiri dengan hati-hati. “Kenapa pakaian kamu basah dan ada air di lantai?”
“Ayana ...,” kata Chelsi dengan suara muram. Ia lalu menunjuk Ayana yang berdiri tidak jauh di belakangnya. “Tadi aku cuma minta ambilkan air minum sama Ayana, tapi dia ... dia malah menyiramku!”
“Apa?!” wajah Leon seketika berubah menjadi murka.
Ayana yang mendengar kebohongan Chelsi sontak menggeleng. Ia mencoba menjelaskan dengan terbata-bata, “Nggak, Mas. Bukan begitu, aku nggak—”
“Diam!” bentak Leon dengan tatapan tajam menghunus yang membuat Ayana memucat di tempat.
Ayana menunduk takut, sementara Chelsi memasang wajah memelas. Ia mengelus lengan Leon dan kembali mengadu, “Setelah menyiramkan air, Ayana juga mendorongku sampai jatuh ke lantai.”
Mata Ayana melebar dan ia membuka mulut untuk membantah, “Mas, itu bohong—”
“Aku bilang diam!” Leon yang sudah terlanjur marah kembali membentak. Ia menarik Chelsi ke dalam dekapannya dan menunjuk wajah Ayana dengan geram. “Kamu ini benar-benar nggak tahu diri, ya! Kamu mau berusaha buat nyelakain Chelsi, HAH?!”
“Nggak, Mas. Nggak begitu. Tolong dengerin aku Mas, Mbak Chelsi bohong.” Ayana hanya bisa menunduk dengan hati teriris perih. Bahkan jika ia mencoba menjelaskannya pun, ia tahu Leon tidak akan mempercayainya.
“Udahlah, aku nggak mau dengar penjelasan kamu!” Leon mendengus dengan wajah kesal luar biasa.
Ayana mengelus perutnya yang membesar dan memperhatikan bagaimana ekspresi dingin Leon berubah menjadi lembut saat menatap Chelsi—istri pertamanya. Leon terlihat begitu mengkhawatirkan Chelsi, sementara Ayana hanyalah beban baginya.
Hanya ada amarah dan kebencian di mata suaminya untuknya, si istri kedua.
“Ayana, aku tahu aku sering nyusahin kamu karena kondisi aku yang lemah, tapi kamu nggak perlu sekasar ini,” kata Chelsi dengan suara sendu. Ia meringkuk ke dada Leon dan menatap Ayana dengan tatapan mata mengejek, “Kamu 'kan bisa nolak dari awal dan nggak perlu pakai dorong aku segala. Gimana kalau sesuatu terjadi sama kehamilan aku?”
'Mbak Chelsi, kenapa kamu bohong kayak gini?' Ayana sudah kehabisan kata-kata dengan drama yang dibuat Chelsi. Mirisnya, Leon percaya begitu saja.
Leon terdengar menggeram, dan dari wajahnya yang memerah terlihat jelas bahwa dia menahan diri untuk tidak menampar Ayana. “Sshh, udah Sayang. Kamu nggak perlu ngejelasin apa pun sama wanita nggak guna kayak dia.”
“Mas, tolong percaya sama aku, aku nggak lakuin itu ...,” ucap Ayana, tetapi Leon malah mendecih tidak percaya.
“Sekarang juga kamu pergi dari hadapanku sebelum aku tambah marah sama kamu! Kalau bukan karena kamu sedang mengandung anakku, aku pasti sudah menceraikan kamu!” Leon berteriak dengan tangan kuat terkepal. “PERGI!”
Ayana bergegas pergi dengan mata berkaca-kaca. Untuk terakhir kalinya saat ia menoleh ke arah Chelsi, senyum wanita itu sudah melebar di dada Leon.
Ayana mengelap sudut matanya yang berair dan melangkah cepat menuju kamarnya.
“Dasar wanita nggak tahu diri,” gumam Leon. Ia memalingkan pandangannya dan melerai pelukan mereka. Ditatapnya wajah Chelsi yang sendu sambil menghela napas. “Kamu nggak kenapa-kenapa 'kan Sayang? Apa ada yang sakit?”
Leon memeriksa tubuh Chelsi yang menggeleng pelan. Tetapi, bibir wanita itu maju beberapa senti—cemberut. “Nggak, cuma kaki aku agak sakit aja.”
“Kaki kamu sakit? Yang mana yang sakit, Sayang?”
“Dua-duanya sakit,” kata Chelsi, semakin mengeluh.
Leon pun menuntun Chelsi menuju sofa dan mendudukkannya dengan lembut di sana. “Kamu duduk dulu di sini, biar aku ambilin kompresan air es buat kompres kaki kamu.”
“Iya, tapi jangan lama-lama, ya,” kata Chelsi dan sengaja membuat suaranya menjadi manja.
Leon tersenyum dan mengelus kepala Chelsi. “Iya Sayang, nggak lama kok,” balas Leon sebelum melangkah pergi ke dapur.
Tepat setelah Leon menghilang, ekspresi Chelsi kontan berubah. Ia menyandarkan kepalanya ke sofa dan menatap kukunya yang baru dicat merah mengkilat. “Ah, senang banget deh liat Ayana dimarain lagi,” gumamnya menyeringai. “Cewek miskin itu emang perlu dikasih pelajaran. Cewek rendahan yang mimpi buat rebut suami aku. Cih!”
***
Ayana terduduk di tepi tempat tidur dengan lunglai. Air matanya terus berjatuhan membasahi perut buncitnya.
Di usia kehamilannya yang ke-5 bulan, seharusnya ia mencoba menekan emosinya. Tetapi perlakuan Leon telah menghancurkan hatinya menjadi berkeping-keping.
Suaminya?
Tetapi itu hanya sebatas status nama saja. Ayana sebagai istri kedua tidak pernah dianggap sama sekali oleh Leon.
Ayana teringat kembali dengan alasan kenapa ia berada di sini, Ayana hanya bisa terisak kencang. Ia hanya wanita yang dibayar, tetapi tetap saja ia memiliki hati.
Waktu itu, ia benar-benar membutuhkan uang untuk pengobatan ibunya. Ibunya harus menjalani operasi kanker usus dan ia berniat meminjam pada bosnya.
Tetapi yang terjadi malam itu sungguh di luar dugaannya.
“Aku bisa ngasih kamu pinjaman besar sekarang juga, tapi aku punya syarat yang harus kamu setujui,” ucap Chelsi waktu itu.
Bertempat di sebuah kelab hiburan malam tempat Ayana bekerja paruh waktu sebagai pengantar minuman, ia dipertemukan dengan Chelsi. Penampilan wanita itu begitu glamor dan berkelas, berbanding terbalik dengan Ayana yang hanya memakai kemeja dan jeans usang.
Chelsi melangkah menghampirinya dengan suara hak sepatunya yang tinggi. Rupanya, Chelsi adalah teman baik bosnya dan dia mendengar permintaan Ayana untuk meminjam uang.
“Kamu minat atau nggak? Uangnya bisa saya transfer sekarang juga kalau kamu mau.”
Ayana memainkan jarinya di atas paha dengan gugup. “Ta-tapi syarat? Syarat apa itu, Mbak?”
“Nikahin suami saya!”
Ayana langsung membelalak. Untuk sesaat ia terdiam, mengira kalau wanita di depannya hanya sekadar bercanda. “Menikahi suami—maksudnya, Mbak? Saya nggak ngerti.”
Chelsi berdecak pelan. “Ya, kamu menikah sama suami saya. Nikah beneran, bukan bohongan. Suami saya sudah sangat ingin memiliki anak sebagai pewaris di keluarganya, tapi saya belum bisa hamil sampai sekarang.”
“Maksudnya ... saya jadi istri ... kedua?”
“Ya, tentu saja. Tapi dengan sebuah kesepakatan.” Chelsi maju dan berbisik di depan wajah Ayana, “Setelah kamu melahirkan, kamu harus bercerai sama suami saya, dan anak kamu bakalan jadi milik saya dan suami saya. Mengerti 'kan?”
Ayana termangu di tempat, merasa bingung dan tercengang di saat yang bersamaan. Ia butuh uang saat ini juga, tetapi menjadi istri kedua dari pria asing yang tidak ia kenal ...
Apakah ia akan sanggup? Terlebih, umurnya baru 23 tahun.
“Ya, kamu pikir-pikir aja. Tapi bukannya ibumu udah sekarat dan butuh uang untuk operasi malam ini juga?” Chelsi mematapnya dengan seringai tipis yang membuat Ayana tidak bisa berkutik.
Pada akhirnya, Ayana menerima tawaran Chelsi. Tetapi sekali lagi, apa yang terjadi benar-benar di luar dugaannya.
Selang beberapa bulan setelah Ayana dinyatakan hamil, Chelsi tiba-tiba secara mengejutkan juga diketahui sedang hamil.
Hal itu membuat Leon bahagia bukan main. Leon yang awalnya memperlakukan Ayana dengan baik perlahan berubah menjadi dingin. Dia lebih memperhatikan Chelsi dan selalu mengabaikan Ayana yang juga sedang mengandung anaknya.
“Kamu urus diri kamu sendiri. Jangan manja. Lagi pula, setelah kamu melahirkan anak itu, kita akan segera bercerai,” ucap Leon ketika Ayana mengeluh perutnya sakit.
Belum cukup dengan pengabaian itu, Chelsi juga sering memfitnah Ayana dan membuatnya seolah-olah terlihat seperti sosok yang sangat buruk di mata Leon.
Leon yang tidak tahu menahu pun jadi membenci Ayana. Dia tidak lagi peduli untuk bersikap adil dan menganggap Ayana tidak lebih dari beban yang harus disingkirkan.
“Apa aku pergi saja dari sini, ya?” Ayana mengelus perutnya dengan sedih. Hatinya sakit, rasanya seperti ditusuk-tusuk saat mengingat perlakuan semua orang. Tetapi kemudian, wajah ibunya yang sakit terbayang-bayang di pikirannya. “Tapi ibu ... aku masih butuh uang buat biaya ibu.”
Ayana kembali sesenggukan. Ia merasa tengah berada di persimpangan jalan. Sulit untuk memilih jalur yang mana. “Aku nggak bisa biayain ibu kalau pergi dari sini. Tapi Mas Leon sama Mbak Chelsi ...”
Ayana menghela napas berat. Kepalanya mulai sakit karena tekanan emosional ini. Ia hendak berbaring ketika terdengar suara pintu yang diketuk dengan keras.
“Ayana! Bukan pintunya cepat!”
Ibu mertuanya?
Ayana mengelap wajahnya yang basah dengan asal dan segera membukakan pintu. Pandangannya bertemu dengan tatapan kesal ibu mertuanya.
Rita menggeleng-geleng melihat Ayana. Ia memperhatikan penampilan Ayana dari atas sampai ke bawah, lalu tatapannya berubah menjadi menghina.
“Ayana, kamu ini nggak pernah sadar diri ya di sini?”
Ayana mengeryit bingung. “Maksud Ibu apa?”
Rita mendecih. “Kamu masih pura-pura nggak tahu? Apa yang sudah kamu lakukan sama Chelsi sampai kakinya sakit begitu?! Kata Leon kamu sampai mendorong dia! Apa kamu sadar kalau kamu udah bikin kandungan Chelsi dalam bahaya? Kamu ini menantu nggak tahu malu ya, udah numpang aja belagu!”
Ayana menggeleng membela diri. “Aku nggak dorong Chelsi, Bu. Itu semua bohong—”
“Halah!” Rita mengibaskan tangannya tidak suka dan menarik rambut Ayana. Ia tidak bisa menahan kekesalannya lagi. “Rasakan ini wanita nggak tahu malu!”
Ayana sontak menjerit kesakitan. Tetapi Rita tidak peduli dan terus menjambak rambut Ayana tanpa ampun.
“Akkhhhh, sakitttt Bu! Tolong lepasin!”
Bersambung ....
“Sakit, Bu! Aduh! Tolong lepasin! Aku mohon Bu!”Ayana terus menjerit karena tarikan ibu mertuanya yang begitu menyakitkan. Rasanya rambutnya akan terlepas dari kulit kepalanya. Belum lagi kuku tajam ibu mertuanya yang menancap di kepalanya.“Diam kamu!” Rita justru makin menjadi-jadi hingga Ayana berteriak dengan suara melengking.“Sakittttt, Bu! Tolong lepasin! Aku mohon!” Ayana mencoba menarik tangan ibu mertuanya menjauh, tetapi kondisinya yang hamil besar membuat pergerakannya jadi terbatas.“Heh, kamu pantes dapatin ini! Siapa suruh kamu nyakitin Chelsi! Kamu pikir kamu siapa di rumah ini, hah?!” Rita tidak peduli dengan jeritan Ayana dan terus mengolok-oloknya. “Seharusnya kamu udah angkat kaki dari sini! Tapi Chelsi terlalu baik sama kamu!”Ayana sesenggukan dengan wajah bersimbah air mata. Berapa kali pun ia mencoba menjelaskan, sepertinya tidak ada seorang pun yang akan mempercayainya di rumah ini.Mereka terus menyiksanya secara fisik dan batin.Ayana hanya bisa menangis hi
“Hati-hati, Mbak. Biar saya bantu.”Ayana melemparkan senyum penuh terima kasih saat seorang gadis mengulurkan tangannya, membantu Ayana turun dari bus karena melihat perutnya yang buncit. “Terima kasih ya, Dek.”“Sama-sama, Mbak.” Gadis itu tersenyum singkat dan melambai pergi.Ayana berdiri di halte dan mengelap keringat di pelipisnya sejenak. Meskipun masih pagi, tetapi Ayana sering sekali berkeringat setelah kehamilannya.Ditatapnya rumah ibunya dari kejauhan, kemudian ia menenteng tasnya menelusuri jalan setapak. Butuh sekitar setengah kilometer untuk tiba di rumah sederhana ibunya yang terpisah dari rumah-rumah lain.Ayana menatap pohon angsana yang telah berbunga di depan rumah ibunya dan tersenyum tipis. Hal-hal sederhana seperti bunga yang mekar selalu mendatangkan percikan kebahagiaan di hatinya.“Ayana!” Hana muncul di ambang pintu ketika Ayana memetik beberapa kelopak bunga angsana.“Ibu.” Ayana segera menghambur ke pelukan ibunya dan memeluknya.Hana mengelus kepala putri
“Dua milyar?” Chelsi termangu mendengarnya. Dua milyar bukan uang yang sedikit dan jika ia langsung menarik uang sebanyak itu, Leon pasti akan mengetahuinya.Apa yang harus ia katakan?‘Ah, bodoh amat dengan pertanyaan Leon nanti!’ batin Chelsi tidak peduli.Chelsi tidak ingin membuat Raka kecewa jika ia sampai menarik kembali kata-katanya untuk membantu pria itu. Ia bisa membuat alasan lain agar Leon tidak mencurigainya.“Bagaimana, Sayang? Apa kamu keberatan?” Raka memeluk Chelsi yang terus diam di tempat.Chelsi menggeleng dan menampilkan senyum manisnya. “Aku keberatan? Mana mungkin. Sudah kubilang 'kan apa pun akan kulakukan untukmu, Sayang.”Senyum Raka seketika melebar dan ia menghujani Chelsi dengan banyak ciuman. “Terima kasih ya, Sayang,” bisiknya mesra.Chelsi tertawa bahagia, tanpa tahu niat terselubung Raka dibalik sikap dan kata-katanya yang manis. “Sama-sama, Sayang. Untuk uangnya akan aku berikan padamu sekitar dua hari lagi, ya. Setelahnya, kamu bisa memakainya untuk
“Darah!”Leon yang menyadari gawatnya situasi tanpa pikir panjang segera membopong Ayana. Wajah Ayana kian memucat dan dia terus merintih kesakitan.“Sakit, Mas! Sakit!” Ayana mencengkeram kuat jas Leon yang bergegas berlari ke mobil dengan panik.Leon tidak bisa mengatakan apa-apa, hanya ada ketakutan yang memenuhi kepalanya. Jantungnya berdebar tidak karuan merasakan darah yang terus merembes keluar dari sela paha Ayana, yang kini membasahi lengannya.Dari kejauhan, Rita, Rara, dan Chelsi memperhatikan kepergian Leon dan Ayana. Chelsi menyipitkan matanya tidak suka melihat kepanikan dan kekhawatiran di wajah Leon.Sementara itu, Leon membawa mobilnya dengan kecepatan tinggi menuju rumah sakit terdekat. Ayana tidak lagi merintih dan matanya sudah setengah terbuka.“Ayana?! Ayana?!” Leon terus memanggil agar kesadaran Ayana tidak menghilang, tetapi begitu tiba di rumah sakit, Ayana sudah tidak sadarkan diri.Leon hampir tersandung saat menggendong Ayana menuju ruang Instalasi Gawat Da
“Sayang, boleh tidak aku pergi ke Singapore dengan Angel selama tiga hari?”Leon yang sedang sibuk mengetik sontak menoleh mendengar permintaan Chelsi. Wanita itu tengah menatapnya dengan ekspresi memelas. “Apa? Ke Singapura?”“Iya, soalnya aku diundang ke salah satu acara pagelaran di sana. Model-model yang lain juga bakal datang, jadi boleh ya, Sayang?” kata Chelsi dengan suaranya yang manja.Chelsi menampilkan senyum termanisnya pada Leon—berharap Leon luluh—tetapi, ekspresi tidak setuju di wajah pria itu sama sekali tidak berubah. Malahan, Leon kembali melanjutkan pekerjaannya.Chelsi berdecak pelan. “Sayang? Kamu kok diam aja?”Leon menghela napas lelah. “Chelsi, kamu ini sedang hamil. Kalau untuk bepergian jauh seperti itu, aku tidak bisa mengizinkanmu. Kamu sebaiknya membatalkan rencana itu,” jelas Leon, masih fokus pada layar laptopnya yang menyala dan tengah menampilkan statistik laba perusahaan.“Ck, Sayang. Kamu ini terlalu berlebihan!” Chelsi mencebik tidak suka. Ia melipa
Rara terus termenung di tempat, bahkan saat Chelsi telah melangkah kembali ke dalam rumah dengan riang.“Aku nggak mungkin salah dengar. Kak Chelsi jelas-jelas nyebut siapa pun itu di telepon dengan sebutan ‘Sayang’. Tapi siapa? Kak Leon kan ada di rumah, jadi jelas Kak Chelsi nelpon orang lain,” gumamnya bingung.Kalau pun itu teman perempuan Chelsi, kenapa Chelsi malah terlihat seperti orang yang tengah dimabuk cinta?Rara menatap kolam ikan yang luas di hadapannya dan memutar otak untuk berpikir keras. Hanya satu kemungkinan yang kini melintas di benaknya, tetapi apakah mungkin itu terjadi?‘Apa jangan-jangan itu selingkuhin Kak Chelsi?’Rasanya mustahil. Tetapi apalagi yang bisa Rara pikirkan?Chelsi selama ini adalah kakak ipar yang baik di mata Rara. Di mata Leon sendiri, Chelsi adalah wanita 28 tahun yang sempurna tanpa celah. Leon begitu mencintainya, dan Rara pikir hal yang sama juga berlaku untuk Chelsi.Tetapi sepertinya Rara telah salah.“Ck, kenapa aku mesti dengar pembic
‘Apa Rara mungkin tahu rahasia yang selama ini Ayana sembunyikan bersama Chelsi? Tentang kontraknya untuk tetap tinggal di rumah ini?’Ayana meremas pakaiannya, merasa gugup bukan main. Berbagai dugaan kini bermunculan di kepalanya, terlebih dengan pikiran buruk yang kini berseliweran di kepalanya. Wajah Rara terlihat begitu serius sekarang dan ia tahu masalah yang akan ia bahas bukan hal sepele.Tetapi kenapa begitu tiba-tiba?Rara tampak menarik napas panjang sebelum menatap Ayana. Tatapannya sama seperti tatapan ibu mertuanya yang tajam, tetapi ekspresinya tidak terlihat sedang menghina Ayana.“Jadi, aku ingin tahu di mana sebenarnya Kak Ayana kenal sama kak Chelsi?” tanya Rara dengan suara pelan. Mereka kini berdiri dibalik tanaman-tanaman hias, bersembunyi dari siapa pun yang mungkin melihat pertemuan keduanya. “Kenapa kak Chelsi bisa sampai percaya sama Kak Ayana dan menjadikan Kakak sebagai istri kedua kak Leon?”Ayana cukup tercengang mendengar pertanyaan beruntun Rara. Chelsi
“Sayang!”Chelsi berlari memeluk Raka dengan wajah sumringah, sementara Raka membuka tangannya lebar-lebar. Keduanya tertawa dan Raka mulai menciumi sisi kepala Chelsi yang melingkarkan erat-erat kedua tangannya di leher laki-laki itu.“Sayang, awas perutmu,” kata Raka, memberi sedikit spasi agar perut Chelsi tidak tertekan.Chelsi seketika mundur dan cengengesan. “Iya, maaf.”“Jangan sampai kehamilan kamu kenapa-napa ya, Sayang.” Raka mengelus perut Chelsi dengan penuh perhatian, kemudian memberi kecupan singkat di sana.“Iya, aku tahu,” balas Chelsi dengan senyum yang tidak pernah pudar. Ia tahu benar kebersamaannya dengan Raka akan selalu membuatnya bersemangat, berbeda dengan suaminya yang membosankan itu.Mereka berdua berpelukan tanpa peduli dengan tatapan orang-orang. Lagi pula, tidak ada yang mengenali mereka dengan masker dan kacamata yang mereka pakai.“Kamu kelihatan cantik banget pakai ini Sayang,” puji Raka, tangannya turun membelai pinggang Chelsi yang dibalut dress sati