Share

Istri Tak Diinginkan
Istri Tak Diinginkan
Author: Missia

Difitnah

“AKHHHH, LEON!! Aduh! Perutku sakit! Aduh tolong!”

Chelsi terus berteriak kesakitan sambil memegangi perutnya yang mulai membuncit.

Dari lorong, terdengar suara langkah buru-buru Leon mendengar suara teriakan istrinya. Keningnya berkerut begitu tiba di ruang keluarga dan melihat Chelsi sudah terduduk di lantai. Pakaiannya basah dan wajahnya terlihat kesakitan.

“Sayang? Ada apa?” Leon segera membantu Chelsi berdiri dengan hati-hati. “Kenapa pakaian kamu basah dan ada air di lantai?”

“Ayana ...,” kata Chelsi dengan suara muram. Ia lalu menunjuk Ayana yang berdiri tidak jauh di belakangnya. “Tadi aku cuma minta ambilkan air minum sama Ayana, tapi dia ... dia malah menyiramku!”

“Apa?!” wajah Leon seketika berubah menjadi murka.

Ayana yang mendengar kebohongan Chelsi sontak menggeleng. Ia mencoba menjelaskan dengan terbata-bata, “Nggak, Mas. Bukan begitu, aku nggak—”

“Diam!” bentak Leon dengan tatapan tajam menghunus yang membuat Ayana memucat di tempat.

Ayana menunduk takut, sementara Chelsi memasang wajah memelas. Ia mengelus lengan Leon dan kembali mengadu, “Setelah menyiramkan air, Ayana juga mendorongku sampai jatuh ke lantai.”

Mata Ayana melebar dan ia membuka mulut untuk membantah, “Mas, itu bohong—”

“Aku bilang diam!” Leon yang sudah terlanjur marah kembali membentak. Ia menarik Chelsi ke dalam dekapannya dan menunjuk wajah Ayana dengan geram. “Kamu ini benar-benar nggak tahu diri, ya! Kamu mau berusaha buat nyelakain Chelsi, HAH?!”

“Nggak, Mas. Nggak begitu. Tolong dengerin aku Mas, Mbak Chelsi bohong.” Ayana hanya bisa menunduk dengan hati teriris perih. Bahkan jika ia mencoba menjelaskannya pun, ia tahu Leon tidak akan mempercayainya.

“Udahlah, aku nggak mau dengar penjelasan kamu!” Leon mendengus dengan wajah kesal luar biasa.

Ayana mengelus perutnya yang membesar dan memperhatikan bagaimana ekspresi dingin Leon berubah menjadi lembut saat menatap Chelsi—istri pertamanya. Leon terlihat begitu mengkhawatirkan Chelsi, sementara Ayana hanyalah beban baginya.

Hanya ada amarah dan kebencian di mata suaminya untuknya, si istri kedua.

“Ayana, aku tahu aku sering nyusahin kamu karena kondisi aku yang lemah, tapi kamu nggak perlu sekasar ini,” kata Chelsi dengan suara sendu. Ia meringkuk ke dada Leon dan menatap Ayana dengan tatapan mata mengejek, “Kamu 'kan bisa nolak dari awal dan nggak perlu pakai dorong aku segala. Gimana kalau sesuatu terjadi sama kehamilan aku?”

'Mbak Chelsi, kenapa kamu bohong kayak gini?' Ayana sudah kehabisan kata-kata dengan drama yang dibuat Chelsi. Mirisnya, Leon percaya begitu saja.

Leon terdengar menggeram, dan dari wajahnya yang memerah terlihat jelas bahwa dia menahan diri untuk tidak menampar Ayana. “Sshh, udah Sayang. Kamu nggak perlu ngejelasin apa pun sama wanita nggak guna kayak dia.”

“Mas, tolong percaya sama aku, aku nggak lakuin itu ...,” ucap Ayana, tetapi Leon malah mendecih tidak percaya.

“Sekarang juga kamu pergi dari hadapanku sebelum aku tambah marah sama kamu! Kalau bukan karena kamu sedang mengandung anakku, aku pasti sudah menceraikan kamu!” Leon berteriak dengan tangan kuat terkepal. “PERGI!”

Ayana bergegas pergi dengan mata berkaca-kaca. Untuk terakhir kalinya saat ia menoleh ke arah Chelsi, senyum wanita itu sudah melebar di dada Leon.

Ayana mengelap sudut matanya yang berair dan melangkah cepat menuju kamarnya.

“Dasar wanita nggak tahu diri,” gumam Leon. Ia memalingkan pandangannya dan melerai pelukan mereka. Ditatapnya wajah Chelsi yang sendu sambil menghela napas. “Kamu nggak kenapa-kenapa 'kan Sayang? Apa ada yang sakit?”

Leon memeriksa tubuh Chelsi yang menggeleng pelan. Tetapi, bibir wanita itu maju beberapa senti—cemberut. “Nggak, cuma kaki aku agak sakit aja.”

“Kaki kamu sakit? Yang mana yang sakit, Sayang?”

“Dua-duanya sakit,” kata Chelsi, semakin mengeluh.

Leon pun menuntun Chelsi menuju sofa dan mendudukkannya dengan lembut di sana. “Kamu duduk dulu di sini, biar aku ambilin kompresan air es buat kompres kaki kamu.”

“Iya, tapi jangan lama-lama, ya,” kata Chelsi dan sengaja membuat suaranya menjadi manja.

Leon tersenyum dan mengelus kepala Chelsi. “Iya Sayang, nggak lama kok,” balas Leon sebelum melangkah pergi ke dapur.

Tepat setelah Leon menghilang, ekspresi Chelsi kontan berubah. Ia menyandarkan kepalanya ke sofa dan menatap kukunya yang baru dicat merah mengkilat. “Ah, senang banget deh liat Ayana dimarain lagi,” gumamnya menyeringai. “Cewek miskin itu emang perlu dikasih pelajaran. Cewek rendahan yang mimpi buat rebut suami aku. Cih!”

***

Ayana terduduk di tepi tempat tidur dengan lunglai. Air matanya terus berjatuhan membasahi perut buncitnya.

Di usia kehamilannya yang ke-5 bulan, seharusnya ia mencoba menekan emosinya. Tetapi perlakuan Leon telah menghancurkan hatinya menjadi berkeping-keping.

Suaminya?

Tetapi itu hanya sebatas status nama saja. Ayana sebagai istri kedua tidak pernah dianggap sama sekali oleh Leon.

Ayana teringat kembali dengan alasan kenapa ia berada di sini, Ayana hanya bisa terisak kencang. Ia hanya wanita yang dibayar, tetapi tetap saja ia memiliki hati.

Waktu itu, ia benar-benar membutuhkan uang untuk pengobatan ibunya. Ibunya harus menjalani operasi kanker usus dan ia berniat meminjam pada bosnya.

Tetapi yang terjadi malam itu sungguh di luar dugaannya.

“Aku bisa ngasih kamu pinjaman besar sekarang juga, tapi aku punya syarat yang harus kamu setujui,” ucap Chelsi waktu itu.

Bertempat di sebuah kelab hiburan malam tempat Ayana bekerja paruh waktu sebagai pengantar minuman, ia dipertemukan dengan Chelsi. Penampilan wanita itu begitu glamor dan berkelas, berbanding terbalik dengan Ayana yang hanya memakai kemeja dan jeans usang.

Chelsi melangkah menghampirinya dengan suara hak sepatunya yang tinggi. Rupanya, Chelsi adalah teman baik bosnya dan dia mendengar permintaan Ayana untuk meminjam uang.

“Kamu minat atau nggak? Uangnya bisa saya transfer sekarang juga kalau kamu mau.”

Ayana memainkan jarinya di atas paha dengan gugup. “Ta-tapi syarat? Syarat apa itu, Mbak?”

“Nikahin suami saya!”

Ayana langsung membelalak. Untuk sesaat ia terdiam, mengira kalau wanita di depannya hanya sekadar bercanda. “Menikahi suami—maksudnya, Mbak? Saya nggak ngerti.”

Chelsi berdecak pelan. “Ya, kamu menikah sama suami saya. Nikah beneran, bukan bohongan. Suami saya sudah sangat ingin memiliki anak sebagai pewaris di keluarganya, tapi saya belum bisa hamil sampai sekarang.”

“Maksudnya ... saya jadi istri ... kedua?”

“Ya, tentu saja. Tapi dengan sebuah kesepakatan.” Chelsi maju dan berbisik di depan wajah Ayana, “Setelah kamu melahirkan, kamu harus bercerai sama suami saya, dan anak kamu bakalan jadi milik saya dan suami saya. Mengerti 'kan?”

Ayana termangu di tempat, merasa bingung dan tercengang di saat yang bersamaan. Ia butuh uang saat ini juga, tetapi menjadi istri kedua dari pria asing yang tidak ia kenal ...

Apakah ia akan sanggup? Terlebih, umurnya baru 23 tahun.

“Ya, kamu pikir-pikir aja. Tapi bukannya ibumu udah sekarat dan butuh uang untuk operasi malam ini juga?” Chelsi mematapnya dengan seringai tipis yang membuat Ayana tidak bisa berkutik.

Pada akhirnya, Ayana menerima tawaran Chelsi. Tetapi sekali lagi, apa yang terjadi benar-benar di luar dugaannya.

Selang beberapa bulan setelah Ayana dinyatakan hamil, Chelsi tiba-tiba secara mengejutkan juga diketahui sedang hamil.

Hal itu membuat Leon bahagia bukan main. Leon yang awalnya memperlakukan Ayana dengan baik perlahan berubah menjadi dingin. Dia lebih memperhatikan Chelsi dan selalu mengabaikan Ayana yang juga sedang mengandung anaknya.

“Kamu urus diri kamu sendiri. Jangan manja. Lagi pula, setelah kamu melahirkan anak itu, kita akan segera bercerai,” ucap Leon ketika Ayana mengeluh perutnya sakit.

Belum cukup dengan pengabaian itu, Chelsi juga sering memfitnah Ayana dan membuatnya seolah-olah terlihat seperti sosok yang sangat buruk di mata Leon.

Leon yang tidak tahu menahu pun jadi membenci Ayana. Dia tidak lagi peduli untuk bersikap adil dan menganggap Ayana tidak lebih dari beban yang harus disingkirkan.

“Apa aku pergi saja dari sini, ya?” Ayana mengelus perutnya dengan sedih. Hatinya sakit, rasanya seperti ditusuk-tusuk saat mengingat perlakuan semua orang. Tetapi kemudian, wajah ibunya yang sakit terbayang-bayang di pikirannya. “Tapi ibu ... aku masih butuh uang buat biaya ibu.”

Ayana kembali sesenggukan. Ia merasa tengah berada di persimpangan jalan. Sulit untuk memilih jalur yang mana. “Aku nggak bisa biayain ibu kalau pergi dari sini. Tapi Mas Leon sama Mbak Chelsi ...”

Ayana menghela napas berat. Kepalanya mulai sakit karena tekanan emosional ini. Ia hendak berbaring ketika terdengar suara pintu yang diketuk dengan keras.

“Ayana! Bukan pintunya cepat!”

Ibu mertuanya?

Ayana mengelap wajahnya yang basah dengan asal dan segera membukakan pintu. Pandangannya bertemu dengan tatapan kesal ibu mertuanya.

Rita menggeleng-geleng melihat Ayana. Ia memperhatikan penampilan Ayana dari atas sampai ke bawah, lalu tatapannya berubah menjadi menghina.

“Ayana, kamu ini nggak pernah sadar diri ya di sini?”

Ayana mengeryit bingung. “Maksud Ibu apa?”

Rita mendecih. “Kamu masih pura-pura nggak tahu? Apa yang sudah kamu lakukan sama Chelsi sampai kakinya sakit begitu?! Kata Leon kamu sampai mendorong dia! Apa kamu sadar kalau kamu udah bikin kandungan Chelsi dalam bahaya? Kamu ini menantu nggak tahu malu ya, udah numpang aja belagu!”

Ayana menggeleng membela diri. “Aku nggak dorong Chelsi, Bu. Itu semua bohong—”

“Halah!” Rita mengibaskan tangannya tidak suka dan menarik rambut Ayana. Ia tidak bisa menahan kekesalannya lagi. “Rasakan ini wanita nggak tahu malu!”

Ayana sontak menjerit kesakitan. Tetapi Rita tidak peduli dan terus menjambak rambut Ayana tanpa ampun.

“Akkhhhh, sakitttt Bu! Tolong lepasin!”

 Bersambung ....

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status