Share

Dituduh Mencuri

“Dua milyar?” Chelsi termangu mendengarnya. Dua milyar bukan uang yang sedikit dan jika ia langsung menarik uang sebanyak itu, Leon pasti akan mengetahuinya.

Apa yang harus ia katakan?

‘Ah, bodoh amat dengan pertanyaan Leon nanti!’ batin Chelsi tidak peduli.

Chelsi tidak ingin membuat Raka kecewa jika ia sampai menarik kembali kata-katanya untuk membantu pria itu. Ia bisa membuat alasan lain agar Leon tidak mencurigainya.

“Bagaimana, Sayang? Apa kamu keberatan?” Raka memeluk Chelsi yang terus diam di tempat.

Chelsi menggeleng dan menampilkan senyum manisnya. “Aku keberatan? Mana mungkin. Sudah kubilang 'kan apa pun akan kulakukan untukmu, Sayang.”

Senyum Raka seketika melebar dan ia menghujani Chelsi dengan banyak ciuman. “Terima kasih ya, Sayang,” bisiknya mesra.

Chelsi tertawa bahagia, tanpa tahu niat terselubung Raka dibalik sikap dan kata-katanya yang manis. “Sama-sama, Sayang. Untuk uangnya akan aku berikan padamu sekitar dua hari lagi, ya. Setelahnya, kamu bisa memakainya untuk kebutuhan bar barumu itu, tapi ...”

“Tapi?” Raka menaikkan satu alis mendengar kalimat menggantung Chelsi, sementara Chelsi menatap dengan ekspresi manja khasnya.

“Tapi sebagai imbalannya, kamu harus membawaku berlibur dan memuaskanku!” kata Chelsi seraya mencium pipi Raka yang otomatis tersenyum.

“Tentu, Sayang. Kita akan pergi berlibur dan bersenang-senang sampai kamu puas,” sahut Raka, kemudian menarik Chelsi untuk berbaring di sofa.

Chelsi menatap kekasihnya dengan tatapan penuh cinta, tanpa sadar bahwa Raka hanya melihatnya sebagai tambang uangnya. Chelsi bahkan tidak pernah merasa curiga sedikit pun, sekalipun Raka terus meminta uang kepadanya.

‘Dasar wanita bodoh!’

Raka tersenyum licik dan memainkan rambut Chelsi. Dengan sedikit godaan saja, ia bisa memeras Chelsi sampai wanita itu rela membohongi suaminya sendiri berulang kali.

Sebab Raka tahu benar wanita yang dibutakan oleh cinta tidak akan pernah menyadari apa pun. Seperti halnya seseorang yang tengah melihat dari kaca yang berembun.

***

“Mama! Mama di mana?! Ma?!” Rara berteriak di sepanjang lorong rumah keluarga Agaditya yang luas. Bibirnya semakin lama semakin maju saat ia melangkah lebar mencari keberadaan sang Ibu. “Mama di mana?!”

“Iya? Kamu kenapa teriak-teriak, Sayang?” Rita yang mendengar teriakan Rara sontak bangkit dari tempatnya. Ia tengah bersantai di sofa ruang tengah ketika Rara terus memanggil namanya. “Mama di sini, Sayang!”

Rara muncul di bukaan ruang tengah dengan ekspresi jengkel. Dengan lunglai, ia menjatuhkan tubuhnya di atas sofa.

“Kamu kenapa teriak-teriak? Kok mukanya kesal gitu?” tanya Rita pada putri bungsunya itu. Berbeda dengan Leon yang cenderung tenang dalam menanggapi apa pun, Rara sang adik suka sekali berteriak dan membuat kehebohan.

“Cincin berlian aku hilang, Ma,” jawab Rara lesu.

“HAH?! Kok bisa?” Rita membulatkan matanya terkejut dan menatap tidak habis pikir.

Rara menggeleng-geleng. “Aku juga nggak tahu, Ma. Padahal itu cincin kesayangan aku,” jelasnya dengan frustrasi.

Rita berdecak pelan dan ikut frustrasi mendengar penjelasan Rara. Ia mondar-mandir di depan sofa seraya mengingat-ingat kapan terakhir kali Rara mengenakan cincin itu.

Cincin berlian itu merupakan hadiah ulang tahun dari mendiang ayah Rara. Cincinnya begitu berharga sampai Rara tidak mengenakannya setiap hari, hanya di acara-acara tertentu saja seperti acara ulang tahunnya.

“Memangnya kamu taruh di mana cincinnya sebelumnya?” tanya Rita. Ia hanya ingat kalau Rara pernah membersihkan kamarnya dan mungkin memindahkan tempat cincin itu.

“Di kotak perhiasanku, Ma. Biasanya juga Rara taruh di sana,” jawab Rara. Ia memijat-mijat sisi kepalanya, pusing memikirkan keberadaan cincin itu. Awalnya Rara hanya ingin mengecek cincinnya karena merindukan ayahnya, tetapi ia tidak menemukan cincin itu di mana-mana.

“Kamu sudah cek betul-betul? Barangkali cincinnya terselip atau tertimpa perhiasan lain. Coba cek lagi, siapa tahu kamu cuma salah simpan. Ayo.”

Rita memanggil Rara dan berjalan cepat ke kamar gadis itu. Matanya melebar melihat kamar Rara yang agak berantakan, sudah pasti karena mencari cincin berlian itu.

“Kamu taruh di sini, 'kan?” Rita menunjuk kotak perhiasan besar berisi koleksi perhiasan milik putrinya di atas nakas.

“Iya, Ma,” sahut Rara lesu.

Rita lantas mengeluarkan semua perhiasan dari kotak merah itu dan memeriksa sampai ke lapis terbawah. Namun, cincin itu memang tidak ada di sana.

“Tuh kan, nggak ada, Ma,” kata Rara dan Rita kembali berdecak. Ia mulai memeriksa rak-rak kecil hingga ke kolong tempat tidur, tetapi nihil.

“Benar, cincinnya hilang. Tapi kalau nggak ada di kamar kamu, terus di mana?” Rita berkacak pinggang dan menatap sekeliling kamar Rara.

“Ya, Rara juga nggak tahu, Ma.” Rara bersedekap di depan dada dengan mata yang mulai berkaca-kaca. Tidak mungkin ia kehilangan hadiah berharga itu, itu satu-satunya kenangan yang ia miliki tentang ayahnya. “Gimana nih Ma? Padahal itu 'kan satu-satunya kenang-kenangan yang Papa berikan pas Rara ulang tahun yang ke tujuh belas.”

Rita hanya terus memijat kepalanya yang pusing, sementara Rara sudah kepalang emosi. Ia berpikir bahwa bukan ia yang menghilangkannya, tetapi ada seseorang yang sengaja mengambilnya.

“Pasti ada orang yang ngambil cincin itu, Ma!” sahut Rara kesal. “Tidak mungkin cincinnya hilang sendiri di kotak perhiasanku.”

“Kamu benar, Sayang. Dan baru kali ini kamu kehilangan cincin itu, kamu nggak pernah ceroboh menaruhnya,” kata Rita, menyetujui kecurigaan Rara.

Mereka mulai memikirkan kemungkinan yang bisa terjadi ketika Chelsi muncul. Chelsi baru kembali dari apartemen Raka dan kebetulan lewat di depan pintu kamar Rara hendak menuju kamarnya.

Langkahnya kemudian terhenti tatkala melihat wajah ibu mertua dan adik iparnya yang tampak pusing. Chelsi pun membuka pintu lebih lebar. “Ma? Rara? Kalian kenapa? Kok kelihatan pusing begitu?”

Rita dan Rara hanya saling tetap, lantas Chelsi melangkah ke dalam kamar.

Rita menghela napas kasar. “Chelsi Sayang, duduk dulu di sini,” ucap Rita, mengisyaratkan Chelsi untuk duduk di tepi tempat tidur Rara. “Cincin Rara hilang,” lanjutnya, menjelaskan.

“Hah? Cincin yang mana?” Chelsi mengerutkan kening bingung.

“Cincin berlian itu, Kak. Cincin spesial dari mendiang Papa,” jelas Rara dengan wajah sedih. “Kakak ingat 'kan cincin perak dengan hiasan berlian di bagian tengahnya itu? Yang ada inisial nama aku di bagian dalamnya? Cincin itu ...” rengek Rara.

Chelsi mengangguk. “Astaga, itu 'kan cincin kesayangan kamu.”

“Iya, makanya itu,” kata Rara kesal.

Chelsi mengernyitkan dahinya dengan heran. “Kok bisa hilang sih cincinnya? Emangnya kamu taruh di mana cincinnya? Kalau di kotak perhiasan 'kan nggak mungkin hilang sendiri.”

“Hah, itu dia kak!” Rara setengah berteriak. “Aku juga bingung soalnya aku taruh terus di kotak perhiasan. Entah kenapa bisa hilang begitu aja.”

Chelsi terdiam memikirkan sesuatu, lalu matanya menyipit curiga. “Jangan-jangan ada yang sengaja curi cincinnya? Maksud aku datang ke kamar kamu dan langsung mengambilnya dari kotak perhiasan kamu.”

Rita menjentikkan jarinya setuju. “Bener, itu masuk akal. Mama tadi juga mikir gitu,” timpal Rita cepat.

“Tapi siapa?” tanya Rara. “Ini pertama kalinya kita kehilangan sesuatu.”

Chelsi tersenyum samar. “Aku bukan nuduh ya, tapi apa mungkin Ayana yang ngambil cincin kamu? Dia 'kan lagi butuh uang akhir-akhir ini buat ibunya yang sakit.”

Kata-kata Chelsi membuat Rita dan Rara saling berpandangan. Mereka juga tahu kalau Ayana adalah wanita miskin yang terus membutuhkan uang untuk membiayai ibunya.

“Sepertinya memang dia pelakunya,” ucap Rita dengan sinis. “Dia 'kan orang baru di rumah ini. Apalagi tidak pernah ada pencurian apa pun sebelumnya. Benar-benar wanita miskin itu!”

Rita mengepalkan tangannya dan berjalan cepat keluar kamar untuk menemui Ayana, sementara Chelsi berteriak bahagia dalam hati. Di waktu-waktu seperti ini, Rita tahu kalau Ayana sedang berada di dapur.

Ayana yang tengah memasak pun sontak terkejut saat bajunya tiba-tiba ditarik dengan kasar dari belakang. Ia menoleh dan melihat wajah ibu mertuanya yang memerah karena marah. “Ibu? Kenapa ini? Kenapa baju aku—”

“Diam kamu!” Rita membentak dan membalikkan tubuh Ayana menghadapnya. “Sekarang kamu ngaku atau Ibu akan hukum kamu! Dasar pencuri!”

“Ngaku apa, Bu?” tanya Ayana tidak mengerti. Dan kenapa ibu mertuanya memanggilnya pencuri?

Rita mendecih kesal. “Jangan pura-pura tidak tau! Ibu tahu segala kebusukan kamu, wanita nggak tahu diri! Kamu 'kan yang mencuri cincinnya Rara? Ayo ngaku!”

Ayana yang kebingungan dan tidak tahu apa-apa hanya bisa menggeleng. “Cincin apa, Bu? Bukan aku, aku sama sekali nggak ambil apa-apa!”

Rita yang emosi dan merasa tidak sabar kontan menampar pipi Ayana dengan sangat keras. Tubuh Ayana sampai terdorong ke belakang dan secara tidak sengaja sudut perutnya membentur dinding.

“ARGHHHH!!” Ayana meringis kesakitan sambil memegangi perutnya yang terasa sakit luar biasa. “Sakit! Akhhh!”

Rita buru-buru mundur dengan wajah panik.

“Sakit, Bu!” jerit Ayana.

Leon yang baru pulang dari kantor segera mendekat begitu mendengar jeritan Ayana. “Ada apa ini?!” tanyanya. Keningnya berkerut menatap Ayana dan ibunya.

Ayana yang sudah pucat pasi dan kesakitan berusaha mendekat. “Mas, tolong! Sakit! Perutku sakit sekali!” ucapnya dengan suara lirih. Ayana yang tidak kuat berdiri lagi dengan cepat merosot ke lantai. Ia terus memegangi perutnya yang terasa ditusuk-tusuk. “Sakit Mas! Tolong!”

Leon menatap perut Ayana dan membelalak melihat darah yang mulai mengalir keluar dari sela paha wanita itu.

Bersambung ....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status