“Hati-hati, Mbak. Biar saya bantu.”
Ayana melemparkan senyum penuh terima kasih saat seorang gadis mengulurkan tangannya, membantu Ayana turun dari bus karena melihat perutnya yang buncit. “Terima kasih ya, Dek.”
“Sama-sama, Mbak.” Gadis itu tersenyum singkat dan melambai pergi.
Ayana berdiri di halte dan mengelap keringat di pelipisnya sejenak. Meskipun masih pagi, tetapi Ayana sering sekali berkeringat setelah kehamilannya.
Ditatapnya rumah ibunya dari kejauhan, kemudian ia menenteng tasnya menelusuri jalan setapak. Butuh sekitar setengah kilometer untuk tiba di rumah sederhana ibunya yang terpisah dari rumah-rumah lain.
Ayana menatap pohon angsana yang telah berbunga di depan rumah ibunya dan tersenyum tipis. Hal-hal sederhana seperti bunga yang mekar selalu mendatangkan percikan kebahagiaan di hatinya.
“Ayana!” Hana muncul di ambang pintu ketika Ayana memetik beberapa kelopak bunga angsana.
“Ibu.” Ayana segera menghambur ke pelukan ibunya dan memeluknya.
Hana mengelus kepala putrinya dengan penuh sayang, lalu melepas pelukan mereka. Senyum hangat terbit di wajahnya yang telah disinggahi garis-garis keriput. Penyakit yang dideritanya pun membuat wajahnya jauh terlihat lebih tua dari usianya yang sesungguhnya—50 tahun. “Akhirnya kamu datang juga, Nak. Ibu baru saja buatin makanan kesukaanmu. Ayo masuk, kita makan sama-sama,” ajak Hana dengan antusias.
Ayana mengangguk dengan senyum mengembang dan masuk ke dalam rumah. Meskipun ia telah sarapan tadinya, tetapi mendengar ibunya membuatkan makanan kesukaannya membuatnya merasa lapar kembali.
Mereka duduk di meja bundar kecil dengan sup sayur yang asapnya masih mengepul. “Ayo, makan yang banyak, Nak. Ibu buat banyak supnya,” kata Hana, lantas menyendokkan beberapa sendok nasi ke piring Ayana.
“Ibu makan yang banyak juga, ya,” sahut Ayana, memberikan lebih banyak nasi ke piring ibunya.
“Iya, Nak.”
Mereka tertawa bersama dan saling membagi lauk.
Ayana tersenyum sumringah dan menyuapkan nasi ke dalam mulutnya dengan lahap. Tidak seperti di rumah mertuanya yang membawa duka di hatinya, berada di rumah sederhana ini bersama ibunya seperti obat untuk segalanya.
Seadainya saja ia memiliki pilihan ....
“Nak?” Hana tiba-tiba memanggil.
Lamunan Ayana buyar dan ia menatap ibunya. “Eh, iya, Bu?”
“Kandungan kamu baik-baik saja 'kan? Orang-orang di rumah suamimu selalu memperhatikan kamu 'kan, Nak?” tanya Hana.
Ayana termangu untuk beberapa saat, kemudian menganggukkan kepalanya. Ia buru-buru menarik sudut bibirnya untuk tersenyum. “Iya, Bu. Kandunganku baik-baik saja kok. Dan semua orang di rumah Mas Leon sangat perhatian, mereka baik banget sama Ayana, Bu.”
Ayana terus memaksakan senyumnya, meskipun hatinya perih mengingat perlakuan ibu mertuanya, Chelsi, terutama suaminya sendiri. Ia tidak ingin menambah beban ibunya yang sakit-sakitan. Ayana bisa menanggung itu semua demi melihat senyum di wajah ibunya.
“Syukurlah kalau begitu. Ibu lega mendengarnya, Nak,” kata Hana dengan senyum palsu di bibirnya.
Sejujurnya ia tidak mempercayai perkataan Ayana.
Sebagai seorang Ibu, ia memiliki firasat yang kuat tentang apa yang mungkin Ayana lalui di rumah itu. Ayana pandai menyembunyikan perasaannya di bawah raut wajahnya yang tenang. Tetapi tetap saja, Hana merasa kalau Ayana tidak bahagia dengan pernikahannya. Terlebih dengan statusnya sebagai istri kedua.
“Ibu, ada apa? Kenapa Ibu diam saja? Apa ibu sakit lagi?” Ayana meletakkan sendoknya dan menatap ibunya lekat-lekat. “Apa ada sesuatu yang mengganggu pikiran, Ibu?” tanya Ayana khawatir.
Hana menggeleng pelan. “Ah, tidak ada, Nak. Ibu tidak apa-apa,” jawab Hana dengan senyum tipis. Kemudian, ia meraih tangan Ayana dan menggenggamnya. “Ibu cuma mau bilang, kalau ada apa-apa cerita saja sama Ibu ya, Nak? Ibu tidak mau kamu menanggung semuanya sendirian.”
Ayana tersenyum mendengarnya. “Ayana pasti akan cerita kok, Bu. Ibu tenang aja.”
Hana menatap sendu Ayana. “Kamu sudah banyak menderita karena Ibu, Nak. Jadi sepanjang hidup Ibu, selama Ibu masih hidup, Ibu terus berharap kamu bisa menemukan kebahagiaanmu yang sesungguhnya, Nak.”
Kebahagiaan yang sesungguhnya?
Kalimat terakhir terasa seperti pukulan keras untuk Ayana. Ayana menggigit bibir bawahnya saat sudut matanya mendadak terasa panas. Ia tidak ingin menangis dan membuat ibunya merasa khawatir.
“Ibu kenapa bicara begitu. Ibu sama sekali tidak menyusahkan Ayana.” Ayana balas menggenggem erat tangan ibunya. Matanya sudah mulai berkaca-kaca. “Ibu satu-satunya keluarga yang Ayana miliki. Tanpa Ibu, Ayana tidak tahu lagi harus bagaimana, Bu. Jadi, Ibu harus tetap semangat supaya sehat terus, ya.”
“Ibu juga selalu ingin sehat dan melihat cucu Ibu lahir ke dunia, Nak. Ibu harap diberi umur yang panjang supaya bisa lihat anak kamu tumbuh besar.” Hana meremas pelan tangan putrinya dan menatap perut Ayana yang kian membesar. Tinggal empat bulan lagi sebelum Ayana melahirkan.
“Ayana selalu berdoa untuk kesehatan, Ibu,” kata Ayana dengan suara serak. Ia berdiri dari kursinya dan memeluk ibunya erat-erat. Air matanya telah menetes ke bahu ibunya. “Ayana sayang banget sama Ibu.”
“Ibu juga sangat sayang kamu, Nak.”
Dan Ayana rela melakukan apa pun agar ibunya tidak sakit lagi.
***
“Sayang, kapan kita bisa pergi liburan lagi? Aku bosan di rumah terus!”
Chelsi merengek dan bergelayut manja di lengan pria yang duduk di sampingnya. Yang tak lain adalah Raka—selingkuhannya.
Ya, Chelsi dan Raka telah lama menjalin hubungan gelap tanpa sepengetahuan Leon. Di balik punggung Leon, Chelsi selalu menggunakan alasan ‘pekerjaan’ sebagai tameng untuk menemui kekasih pujaannya. Suaminya sendiri tidak pernah menaruh curiga dan selalu percaya dengan apa pun yang terlontar dari mulutnya.
Pria bodoh.
Chelsi menyebut Leon sebagai pria bodoh yang bisa ia manfaatkan sesuka hati. Chelsi tahu bahwa kecantikannya-lah yang membuat Leon bertekuk lutut padanya. Selain itu, Leon selalu mengira kalau Chelsi adalah wanita setia yang tidak akan pernah mengkhianatinya.
“Sayang, kamu 'kan tahu kalau di rumah mereka semua ngebatasin banyak hal. Apalagi kehamilan ini bikin aku nggak bebas kayak biasanya,” rutuk Chelsi dengan wajah kusut. Ditatapnya langit-langit apartemen yang berwarna putih bersih itu, kemudian menghela napas.
Chelsi dan Raka tengah bersantai di apartemen mewah milik Raka. Tetapi sejak tadi, Raka terlihat sibuk mengurus sesuatu di ponselnya.
“Tunggu sebentar ya, Sayang,” kata Raka, lalu mengecup singkat puncak kepala Chelsi.
Chelsi mengangguk dan tidak lagi memasang wajah cemberut. Tangannya membelai sisi wajah Raka yang luar biasa tampan di matanya. Raka setahun lebih muda dari Leon—30 tahun—dan memiliki fitur wajah pria dewasa yang seksi.
Menurutnya, Raka adalah pria sempurna yang bisa mengimbanginya.
Berbeda dengan Leon yang kurang menantang dan terlalu mudah untuk mengiyakan semua permintaannya, Raka terbilang urakan dan selalu mendominasi.
Chelsi adalah tipe wanita yang suka tantangan, apa pun itu.
Maka dari itu, ia memilih berselingkuh dengan Raka yang selalu bisa memacu adrenalin dan hasratnya. Raka dapat memberikan banyak kesenangan liar yang tidak Chelsi dapatkan dari suaminya yang membosankan.
Leon hanya terus bekerja dan bekerja. Dia adalah workaholic yang begitu ambisius dengan pekerjaannya. Itu membuat Leon menjadi tidak menarik di matanya. Apalagi topik yang dia bicarakan hanya membuat Chelsi ingin melarikan diri.
Leon Agaditya itu pria yang menyedihkan, sama seperti Ayana Salsabilla yang tidak kalah menyedihkan.
“Apa kamu masih mikirin masalah itu, Sayang?” tanya Chelsi saat memperhatikan Raka yang terlihat pusing.
Raka akhirnya menyingkirkan ponselnya dan menatap Chelsi. “Iya, Sayang. Soal liburan itu, kamu harus sabar, ya. Aku sedang sibuk memikirkan cabang bar-ku yang baru. Aku pusing harus mendapatkan uang dari mana untuk menutupi kerugian yang terjadi beberapa waktu lalu,” kata Raka, kemudian menghela napas panjang.
“Kamu sedang butuh uang? Kenapa tidak bilang dari awal?” Chelsi memeluk lengan Raka lebih erat dan melanjutkan dengan santai, “Aku 'kan bisa bantu kamu, Sayang. Berapa pun yang kamu butuhkan.”
‘Ini dia’, batin Raka menyeringai senang. Ia memang sengaja memancing Chelsi untuk mengatakan hal itu.
Raka lantas memasang wajah ragu-ragu, “Yah, kalau kamu tidak keberatan sih boleh-boleh saja, tapi ... apa suamimu nggak akan curiga? Uang yang aku butuhkan kali ini nggak sedikit Sayang.”
Chelsi tertawa kecil dan mengibaskan tangannya ke udara. “Aduh Sayang, kamu nggak perlu khawatirin itu. Leon itu selalu percaya sama aku, aku yakin dia tidak akan curiga sama sekali.”
“Kamu yakin seratus persen, Sayang?” tanya Raka, ingin memastikan.
Chelsi mengangguk tanpa keraguan. “Iya, kamu jangan khawatir, ya? Leon nggak akan pernah ngecek atau protes pengeluaranku. Kalau pun dia sampai lihat, aku tinggal bilang kalau uang itu aku pakai buat belanja tas-tas mahal dan branded,” jelas Chelsi.
Selama ini, Leon selalu menyetujui segala permintaan belanja yang biasa Chelsi beli. Itu semua Leon lakukan semata-mata demi mendukung obsesi Chelsi menjadi model terkenal.
Ia selalu menggunakan alasan itu untuk membohongi Leon.
“Berapa pun yang kamu mau, kamu tinggal bilang supaya aku bisa bantu bisnis kamu,” ujar Chelsi.
Mata Raka berbinar mendengar hal itu dan ia tersenyum lebar. Sekali lagi, dia mengecup puncak kepala Chelsi. “Kamu memang yang terbaik, Sayang.”
Chelsi menyeringai bahagia. “Apa pun buat kamu, Sayang,” ucapnya, bergantian mengecup pipi Raka.
Mereka berpelukan di sofa luas itu untuk waktu yang lama, sampai kemudian Chelsi penasaran dengan total nominal yang kekasihnya inginkan. “Sayang,” panggilnya.
“Hm? Kenapa?”
“Ngomong-ngomong, berapa total uang yang kamu butuhkan itu?” tanya Chelsi.
Raka tidak langsung menjawab, melainkan menegakkan tubuhnya dan menatap Chelsi dengan senyumnya yang menggoda. “Dua milyar. Aku butuh dua milyar, Sayang.”
Bersambung ....
“Dua milyar?” Chelsi termangu mendengarnya. Dua milyar bukan uang yang sedikit dan jika ia langsung menarik uang sebanyak itu, Leon pasti akan mengetahuinya.Apa yang harus ia katakan?‘Ah, bodoh amat dengan pertanyaan Leon nanti!’ batin Chelsi tidak peduli.Chelsi tidak ingin membuat Raka kecewa jika ia sampai menarik kembali kata-katanya untuk membantu pria itu. Ia bisa membuat alasan lain agar Leon tidak mencurigainya.“Bagaimana, Sayang? Apa kamu keberatan?” Raka memeluk Chelsi yang terus diam di tempat.Chelsi menggeleng dan menampilkan senyum manisnya. “Aku keberatan? Mana mungkin. Sudah kubilang 'kan apa pun akan kulakukan untukmu, Sayang.”Senyum Raka seketika melebar dan ia menghujani Chelsi dengan banyak ciuman. “Terima kasih ya, Sayang,” bisiknya mesra.Chelsi tertawa bahagia, tanpa tahu niat terselubung Raka dibalik sikap dan kata-katanya yang manis. “Sama-sama, Sayang. Untuk uangnya akan aku berikan padamu sekitar dua hari lagi, ya. Setelahnya, kamu bisa memakainya untuk
“Darah!”Leon yang menyadari gawatnya situasi tanpa pikir panjang segera membopong Ayana. Wajah Ayana kian memucat dan dia terus merintih kesakitan.“Sakit, Mas! Sakit!” Ayana mencengkeram kuat jas Leon yang bergegas berlari ke mobil dengan panik.Leon tidak bisa mengatakan apa-apa, hanya ada ketakutan yang memenuhi kepalanya. Jantungnya berdebar tidak karuan merasakan darah yang terus merembes keluar dari sela paha Ayana, yang kini membasahi lengannya.Dari kejauhan, Rita, Rara, dan Chelsi memperhatikan kepergian Leon dan Ayana. Chelsi menyipitkan matanya tidak suka melihat kepanikan dan kekhawatiran di wajah Leon.Sementara itu, Leon membawa mobilnya dengan kecepatan tinggi menuju rumah sakit terdekat. Ayana tidak lagi merintih dan matanya sudah setengah terbuka.“Ayana?! Ayana?!” Leon terus memanggil agar kesadaran Ayana tidak menghilang, tetapi begitu tiba di rumah sakit, Ayana sudah tidak sadarkan diri.Leon hampir tersandung saat menggendong Ayana menuju ruang Instalasi Gawat Da
“Sayang, boleh tidak aku pergi ke Singapore dengan Angel selama tiga hari?”Leon yang sedang sibuk mengetik sontak menoleh mendengar permintaan Chelsi. Wanita itu tengah menatapnya dengan ekspresi memelas. “Apa? Ke Singapura?”“Iya, soalnya aku diundang ke salah satu acara pagelaran di sana. Model-model yang lain juga bakal datang, jadi boleh ya, Sayang?” kata Chelsi dengan suaranya yang manja.Chelsi menampilkan senyum termanisnya pada Leon—berharap Leon luluh—tetapi, ekspresi tidak setuju di wajah pria itu sama sekali tidak berubah. Malahan, Leon kembali melanjutkan pekerjaannya.Chelsi berdecak pelan. “Sayang? Kamu kok diam aja?”Leon menghela napas lelah. “Chelsi, kamu ini sedang hamil. Kalau untuk bepergian jauh seperti itu, aku tidak bisa mengizinkanmu. Kamu sebaiknya membatalkan rencana itu,” jelas Leon, masih fokus pada layar laptopnya yang menyala dan tengah menampilkan statistik laba perusahaan.“Ck, Sayang. Kamu ini terlalu berlebihan!” Chelsi mencebik tidak suka. Ia melipa
Rara terus termenung di tempat, bahkan saat Chelsi telah melangkah kembali ke dalam rumah dengan riang.“Aku nggak mungkin salah dengar. Kak Chelsi jelas-jelas nyebut siapa pun itu di telepon dengan sebutan ‘Sayang’. Tapi siapa? Kak Leon kan ada di rumah, jadi jelas Kak Chelsi nelpon orang lain,” gumamnya bingung.Kalau pun itu teman perempuan Chelsi, kenapa Chelsi malah terlihat seperti orang yang tengah dimabuk cinta?Rara menatap kolam ikan yang luas di hadapannya dan memutar otak untuk berpikir keras. Hanya satu kemungkinan yang kini melintas di benaknya, tetapi apakah mungkin itu terjadi?‘Apa jangan-jangan itu selingkuhin Kak Chelsi?’Rasanya mustahil. Tetapi apalagi yang bisa Rara pikirkan?Chelsi selama ini adalah kakak ipar yang baik di mata Rara. Di mata Leon sendiri, Chelsi adalah wanita 28 tahun yang sempurna tanpa celah. Leon begitu mencintainya, dan Rara pikir hal yang sama juga berlaku untuk Chelsi.Tetapi sepertinya Rara telah salah.“Ck, kenapa aku mesti dengar pembic
‘Apa Rara mungkin tahu rahasia yang selama ini Ayana sembunyikan bersama Chelsi? Tentang kontraknya untuk tetap tinggal di rumah ini?’Ayana meremas pakaiannya, merasa gugup bukan main. Berbagai dugaan kini bermunculan di kepalanya, terlebih dengan pikiran buruk yang kini berseliweran di kepalanya. Wajah Rara terlihat begitu serius sekarang dan ia tahu masalah yang akan ia bahas bukan hal sepele.Tetapi kenapa begitu tiba-tiba?Rara tampak menarik napas panjang sebelum menatap Ayana. Tatapannya sama seperti tatapan ibu mertuanya yang tajam, tetapi ekspresinya tidak terlihat sedang menghina Ayana.“Jadi, aku ingin tahu di mana sebenarnya Kak Ayana kenal sama kak Chelsi?” tanya Rara dengan suara pelan. Mereka kini berdiri dibalik tanaman-tanaman hias, bersembunyi dari siapa pun yang mungkin melihat pertemuan keduanya. “Kenapa kak Chelsi bisa sampai percaya sama Kak Ayana dan menjadikan Kakak sebagai istri kedua kak Leon?”Ayana cukup tercengang mendengar pertanyaan beruntun Rara. Chelsi
“Sayang!”Chelsi berlari memeluk Raka dengan wajah sumringah, sementara Raka membuka tangannya lebar-lebar. Keduanya tertawa dan Raka mulai menciumi sisi kepala Chelsi yang melingkarkan erat-erat kedua tangannya di leher laki-laki itu.“Sayang, awas perutmu,” kata Raka, memberi sedikit spasi agar perut Chelsi tidak tertekan.Chelsi seketika mundur dan cengengesan. “Iya, maaf.”“Jangan sampai kehamilan kamu kenapa-napa ya, Sayang.” Raka mengelus perut Chelsi dengan penuh perhatian, kemudian memberi kecupan singkat di sana.“Iya, aku tahu,” balas Chelsi dengan senyum yang tidak pernah pudar. Ia tahu benar kebersamaannya dengan Raka akan selalu membuatnya bersemangat, berbeda dengan suaminya yang membosankan itu.Mereka berdua berpelukan tanpa peduli dengan tatapan orang-orang. Lagi pula, tidak ada yang mengenali mereka dengan masker dan kacamata yang mereka pakai.“Kamu kelihatan cantik banget pakai ini Sayang,” puji Raka, tangannya turun membelai pinggang Chelsi yang dibalut dress sati
“Permisi. Bu Hana?”Ayana dan Hana yang sedang berada di ruang tengah sontak menoleh ke arah pintu. Mereka sedang asyik mengobrolkan sesuatu ketika suara panggilan itu terdengar. Tidak lama, disusul suara ketukan di pintu.“Siapa?” tanya Ayana dengan kening berkerut. Ia dan ibunya saling berpandangan dengan heran.Hana yang juga tidak tahu siapa yang datang berkunjung hanya bisa menggeleng. “Ibu juga tidak tahu Nak, coba biar Ibu cek dulu.”Hana lantas berdiri dari kursi, sementara Ayana duduk di tempatnya dengan ekspresi penasaran. Ia bertanya-tanya siapa yang datang mengunjungi ibunya sore-sore begini?Suara ketukan kembali terdengar, diikuti suara yang terdengar familier di telinga Ayana. Tetapi siapa?Hana membuka pintu dan sesosok pria bersetelan rapi berdiri di sana. Pria itu memakai jas hitam yang tampak mahal, tubuhnya tinggi, rambutnya disisir rapi ke samping, dan wajahnya begitu rupawan. Seulas senyum menawan terbentuk di bibirnya.'Wajahnya terasa familier,' pikir Hana.Han
Ayana cukup terkejut saat Darel mengusap puncak kepalanya. Itu adalah kebiasaan Darel sejak kecil dan mungkin dia spontan melakukannya. Ayana memilih tidak mempermasalahkan hal itu.“Hati-hati. Terima kasih sudah mengantarku Kak,” ucap Ayana sambil tersenyum tipis.Darel mengangguk dengan senyum mengembang. “Sama-sama. Kalau begitu, aku pamit.” Darel melambai singkat sebelum masuk ke mobilnya.Ayana memperhatikan mobil Darel yang melaju pergi untuk sejenak, kemudian melangkah masuk ke halaman rumah.Sementara itu, di belakangnya, Leon yang melihat Ayana mulai memasuki halaman rumah segera menyuruh Pak Ujang untuk mengejar Ayana dengan mobilnya.“Jangan ke garasi Pak, langsung ke halaman,” kata Leon dengan kesal.Pak Ujang yang bingung hanya bisa menurut dan membawa mobilnya mengikuti Ayana sampai ke depan rumah. Suara mobil membuat Ayana menoleh dan ia terkejut saat Leon langsung keluar dari sana.'Kenapa mobil Mas Leon tidak langsung berbelok ke garasi rumah?' Pikir Ayana bingung, te