Share

Diperlakukan Tidak Adil

“Sakit, Bu! Aduh! Tolong lepasin! Aku mohon Bu!”

Ayana terus menjerit karena tarikan ibu mertuanya yang begitu menyakitkan. Rasanya rambutnya akan terlepas dari kulit kepalanya. Belum lagi kuku tajam ibu mertuanya yang menancap di kepalanya.

“Diam kamu!” Rita justru makin menjadi-jadi hingga Ayana berteriak dengan suara melengking.

“Sakittttt, Bu! Tolong lepasin! Aku mohon!” Ayana mencoba menarik tangan ibu mertuanya menjauh, tetapi kondisinya yang hamil besar membuat pergerakannya jadi terbatas.

“Heh, kamu pantes dapatin ini! Siapa suruh kamu nyakitin Chelsi! Kamu pikir kamu siapa di rumah ini, hah?!” Rita tidak peduli dengan jeritan Ayana dan terus mengolok-oloknya. “Seharusnya kamu udah angkat kaki dari sini! Tapi Chelsi terlalu baik sama kamu!”

Ayana sesenggukan dengan wajah bersimbah air mata. Berapa kali pun ia mencoba menjelaskan, sepertinya tidak ada seorang pun yang akan mempercayainya di rumah ini.

Mereka terus menyiksanya secara fisik dan batin.

Ayana hanya bisa menangis hingga akhirnya Rita melepaskan jambakan rambutnya. Terlihat beberapa helai rambut Ayana yang tertinggal di tangan Rita, saking kerasnya tarikan sang ibu mertua.

“Untung Ibu cuma jambak rambut kamu. Seharusnya kamu minta maaf sama Chelsi dan berlutut di kakinya,” kata Rita dengan sinis.

Ayana hanya diam dengan wajah tertunduk menahan sakit. Ia sudah lelah untuk sekedar berkata ‘Aku tidak salah’, sebab semua itu percuma saja.

“Apa sekarang kamu udah sadar setelah dijambak?” Dengan senyum puas tanpa rasa bersalah, Rita lalu menusuk-nusuk bahu Ayana dengan jari telunjuknya. “Kamu harus sadar statusmu di sini. Kamu itu cuma wanita bayaran, nggak tahu diri dan mata duitan. Setelah anak itu lahir, kamu harus segera angkat kaki dari rumah ini!”

Ayana meremas bajunya kuat-kuat mendengar hal itu. Seandainya mereka tahu bahwa Chelsi-lah yang lebih dulu datang menemuinya, apa mereka masih akan mengatakan hal yang sama?

“Sekali lagi kamu berani menyentuh menantu kesayanganku, aku nggak akan segan-segan buat lakuin sesuatu yang lebih dari ini.” Rita mendengus dengan wajah jijik, lalu berbalik pergi.

Ayana masih mematung di tempat. Suara isakannya telah terhenti, tetapi air matanya terus mengalir deras membasahi pipinya.

Seandainya takdir tidak menjepitnya seperti ini, maka ia sudah lama pergi dari rumah ini.

Meninggalkan luka dan sumber rasa sakitnya.

***

Suara denting piring dan sendok terdengar bersahutan di ruang makan keluarga besar Agaditya.

Pagi ini, mereka semua sarapan bersama sembari mengobrol hangat tentang perkembangan kehamilan Chelsi.

“Besok kita harus check-up ke rumah sakit buat periksa kehamilan kamu, Nak. Udah masuk tiga bulan 'kan ini?” kata Rita dengan suara lembut.

“Iya, benar, Sayang. Besok aku bakal anterin kamu ke rumah sakit,” sahut Leon ikut menimpali.

“Baiklah kalau begitu!” balas Chelsi dengan suara riang.

Sementara itu, di sudut dapur, Ayana hanya bisa menelan sarapannya dengan susah payah mendengar percakapan itu. Mereka peduli saja tidak, apalagi mau mengantarnya ke rumah sakit untuk mengecek kondisi kehamilannya.

Ayana sarapan bersama pembantu lainnya dengan duduk di lantai, memakan nasi dan lauk yang tidak disajikan di meja makan.

Ayana tidak ingin mengganggu keluarga bahagia itu. Ia tahu kehadirannya akan membuat semua orang di sana merasa tidak nyaman. Ia hanya akan berakhir menyakiti dirinya sendiri.

“Nyonya Ayana duduk di kursi saja. Tidak baik duduk lesehan di sini sama kami,” ujar salah satu pembantu, ia merasa sedih melihat Ayana yang lagi-lagi tidak bergabung dengan keluarga majikannya.

Ayana tersenyum tipis dan menggeleng pelan. “Nggak apa-apa, Bi. Ayo, Bibi lanjut aja sarapannya.”

Para pembantu itu hanya bisa mengangguk, meskipun merasa prihatin dengan keadaan Ayana yang terus diabaikan.

Di sisi lain, Leon dan Chelsi yang telah selesai sarapan lantas berpindah ke kamar mereka. Dengan telaten, Chelsi memasangkan dasi di leher Leon. Pagi ini, Leon memiliki jadwal rapat penting dan harus berangkat lebih awal.

Sebagai CEO perusahaan, Leon memang dikenal disiplin dan tidak pernah terlambat ke kantor. Hal itu membuatnya menjadi panutan di perusahaan yang dipimpinnya sekarang—New Pacific Group.

“Sayang, pagi ini aku ada janji sama Angel buat ketemu pemilik brand yang mau jadiin aku model produk mereka,” ujar Chelsi, lalu menyelesaikan simpul dasi Leon dan mengusap dada pria itu. Ia kemudian mendongak dengan senyum manis andalannya. “Aku boleh pergi, ya? Nggak lama kok, cuma sebentar aja.”

Leon tidak langsung menjawab. Dari ekspresinya terlihat kalau dia agak keberatan dengan permintaan Chelsi. “Memangnya tidak bisa ditunda dulu? Kaki kamu 'kan masih sakit.”

“Nggak kok, Sayang. Ini penting, aku udah janji soalnya. Jadi, aku boleh pergi, ya?” Chelsi mulai menatap manja dan mengedip-ngedipkan matanya. “Paling setelah makan siang aku langsung pulang. Boleh, ya?”

Leon menghela nafas panjang. “Tapi Sayang, kamu 'kan sedang hamil. Aku pikir pekerjaan kamu itu bisa ditunda dulu, kamu ambil cuti gitu. Kamu bisa jadi model lagi setelah kamu melahirkan nanti. Aku cuma nggak mau terjadi sesuatu sama kamu dan anak kita,” ujar Leon panjang lebar. Ia mengusap lembut perut Chelsi yang justru cemberut.

“Kamu nggak ngertiin aku, ya? Kamu 'kan tahu jadi model terkenal adalah impian aku sejak dulu.” Chelsi berujar dengan suara kesal. Ia memalingkan muka dan berkacak pinggang. “Lagi pula, aku 'kan perginya sama Angel, dia pasti bakal jagain aku kayak biasa. Kamu terlalu khawatir dan berlebihan.”

Leon memijat keningnya melihat betapa keras kepalanya Chelsie. “Sayang ...”

“Udahlah, kamu sama sekali nggak ngertiin aku!”

“Oke, oke, kamu boleh pergi,” kata Leon dengan terpaksa. Ia mendukung Chelsi dan tidak ingin membuat istrinya itu berkecil hati. “Tapi dengan syarat, aku yang harus anterin kamu ke sana."

Chelsi tersenyum senang dan berjinjit untuk mencium pipi Leon. “Makasih ya Sayang, tapi kamu nggak perlu kok anterin aku.”

“Kenapa?” tanya Leon heran.

“Angel sebentar lagi bakalan datang,” jawab Chelsi. “Aku nggak mau kamu sampai terlambat ke kantor. Kamu ada rapat penting 'kan pagi ini?”

Leon hendak membantah, tetapi suara klakson mobil Angel mendadak menginterupsi.

Chelsi bergegas meraih tasnya dengan bahagia dan melambai pelan pada Leon. “Aku berangkat dulu ya, Sayang!”

***

Ayana merapikan sweater-nya dan menatap bayangannya di cermin untuk sejenak. Cuaca pagi ini agak dingin, jadi ia memutuskan untuk memakai pakaian tambahan. Dielusnya perutnya dengan penuh sayang, kemudian menarik napas panjang.

Kalau bukan karena bayinya, Ayana mungkin tidak akan berusaha untuk setegar ini.

“Jangan lagi. Jangan nangis. Kamu harus kuat.” Ayana menepuk-nepuk pipinya dan menghalau pikiran buruk dalam kepalanya.

Pagi ini, ia harus menemui ibunya.

Setiap hari, Ayana akan pergi ke rumah lamanya untuk mengecek kondisi ibunya seperti biasa. Ia melirik jam yang telah menunjukkan pukul delapan pagi, lantas buru-buru keluar dari kamar.

Ibu mertuanya terlihat sedang menikmati teh di ruang tengah. Dia hanya melirik Ayana sekilas, lalu memalingkan muka. “Pergi aja sana! Kalau bisa nggak usah kembali lagi ke sini,” gumamnya menyindir.

Ayana mengusap kepalanya mengingat kejadian kemarin dan melangkah pergi dengan cepat. Ia akan melupakan kejadian itu layaknya angin lalu.

Lagi pula, apa yang bisa ia lakukan?

Ia bergegas pergi ke halte dan menggunakan bus umum untuk pergi ke rumah ibunya. Angin dingin terasa menyapu wajahnya dengan lembut. Ayana menempelkan kepalanya ke kaca jendela dan memperhatikan pemandangan di luar.

Bus baru saja berhenti untuk mengambil penumpang ketika sesuatu menarik perhatian Ayana.

‘Mbak Chelsi?’

Ayana menajamkan penglihatannya tatkala melihat sosok yang familier. Di seberang jalan sana, terlihat seorang wanita sedang berdiri di samping mobil Porsche hitam. Hanya dari postur badannya saja Ayana bisa tahu kalau itu adalah Chelsi.

Apa yang Mbak Chelsi lakukan di sana?

Seorang pria terlihat keluar dari mobil lain dan Chelsi dengan senyum mengembang menghampiri pria berkacamata hitam itu. Mereka berpelukan, kemudian Chelsi mencium bibir pria itu dengan mesra.

“Astaga!” Ayana sontak membekap mulutnya karena terkejut. “Mbak Chelsi ...”

‘Apa itu temannya Mbak Chelsi? Tapi, kenapa Mbak Chelsi sampai mencium pria itu? Mereka juga kelihatan mesra banget’, batin Ayana heran.

Ayana tahu bahwa Chelsi adalah model yang memiliki banyak kenalan pria. Dia cantik, tubuhnya indah dan tinggi semampai, semua orang menyukainya. Hanya saja, interaksinya dengan pria itu terasa berlebihan jika hanya sekadar teman akrab.

Ayana menoleh ke arah yang sama dan melihat pria itu sudah membungkuk untuk mencium perut Chelsi. Dengan model pakaian yang dikenakannya, kehamilan Chelsi yang baru 3 bulan tidak terlalu kentara.

Pria itu mengangkat kepalanya dan Ayana akhirnya bisa melihat wajah pria itu dengan jelas.

Tuan Raka?

Mantan bosnya di kelab tempatnya bekerja dulu.

“Apa ini ...” Ayana tidak bisa menahan keterkejutannya dan terus menatap ke arah yang sama.

Ketika bus telah bergerak dan mereka hilang dari pandangan, Ayana mengulang kejadian tadi di dalam kepalanya.

Chelsi dan Raka, mereka terlihat seperti pasangan yang sedang dimabuk cinta. Tidak mungkin mereka hanya sekadar teman dengan segala keintiman itu.

Ayana tertegun di tempat memikirkan kemungkinan dari kejadian tadi. Kemudian, pikiran buruk melintas di benaknya.

‘Apa jangan-jangan Tuan Raka adalah selingkuhannya Mbak Chelsi?’

Bersambung ....

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status