“Darah!”
Leon yang menyadari gawatnya situasi tanpa pikir panjang segera membopong Ayana. Wajah Ayana kian memucat dan dia terus merintih kesakitan.
“Sakit, Mas! Sakit!” Ayana mencengkeram kuat jas Leon yang bergegas berlari ke mobil dengan panik.
Leon tidak bisa mengatakan apa-apa, hanya ada ketakutan yang memenuhi kepalanya. Jantungnya berdebar tidak karuan merasakan darah yang terus merembes keluar dari sela paha Ayana, yang kini membasahi lengannya.
Dari kejauhan, Rita, Rara, dan Chelsi memperhatikan kepergian Leon dan Ayana. Chelsi menyipitkan matanya tidak suka melihat kepanikan dan kekhawatiran di wajah Leon.
Sementara itu, Leon membawa mobilnya dengan kecepatan tinggi menuju rumah sakit terdekat. Ayana tidak lagi merintih dan matanya sudah setengah terbuka.
“Ayana?! Ayana?!” Leon terus memanggil agar kesadaran Ayana tidak menghilang, tetapi begitu tiba di rumah sakit, Ayana sudah tidak sadarkan diri.
Leon hampir tersandung saat menggendong Ayana menuju ruang Instalasi Gawat Darurat karena saking paniknya ia. “Dokter! Tolong cepat! Istri saya mengalami pendarahan! Dokter!”
Dokter muncul bersama perawat dan buru-buru mengambil alih Ayana. Paha sampai dress-nya telah basah karena darah yang keluar. Mereka membawanya masuk ke ruang penanganan, sedangkan Leon menunggu di luar.
“Tunggu di luar saja ya, Pak,” kata salah satu perawat.
Leon menghela napas panjang dan mendudukkan diri di kursi ruang tunggu. Ia mengusap wajahnya, lalu menatap darah Ayana yang membasahi lengannya.
Apa wanita itu akan baik-baik saja?
Detik demi detik terus berlalu hingga waktu telah menunjukkan pukul tujuh malam. Cukup lama Leon menunggu, tetapi belum ada kepastian perihal kondisi Ayana.
Leon yang tidak tahan duduk terus pun mulai mondar-mandir di depan ruang penanganan yang tertutup rapat. Ia merasa begitu gelisah, panik, dan juga ketakutan. Wajah kesakitan Ayana terus terngiang-ngiang di kepalanya layaknya kaset rusak.
‘Kenapa aku jadi sekhawatir ini?’
Leon memijat batang hidungnya dengan frustrasi. Ia tidak mengerti dengan segala macam perasaan yang menggerogotinya saat ini. Tidak pernah ia merasa setakut ini dalam hidupnya.
‘Apakah karena yang ada di dalam perut Ayana adalah anakku?’
Pertanyaan itu menggantung tanpa bisa Leon jawab. Perasaannya tumpang tindih dan ia tidak ingin memikirkan kemungkinan lain dari ketakutannya itu.
Leon terus melirik jam, bolak-balik depan pintu ruang penanganan. Akhirnya setelah beberapa saat, Dokter muncul dengan wajah lega.
Leon segera mendekat. “Bagaimana keadaan istri saya, Dokter? Apa dia dan bayinya baik-baik saja?”
Dokter itu mengangguk. “Syukurlah istri Anda dan bayinya baik-baik saja. Pendarahannya cukup parah dan jika pasien tidak segera dibawa ke rumah sakit, saya tidak tahu apakah nyawa keduanya bisa diselamatkan.”
Jantung Leon langsung berpacu cepat mendengar ucapan sang Dokter. Ia menarik napas dalam-dalam dan menatap sekilas ke dalam ruang di depannya. “Saya tidak akan membiarkan hal yang sama terjadi lagi, Dokter. Terima kasih.”
“Sama-sama, Pak. Sudah tugas saya,” kata sang Dokter dengan senyum tipis.
Dokter itu pun berlalu pergi, lalu Ayana dipindahkan ke ruang perawatan.
Tubuh Ayana terbaring lemas di atas ranjang rumah sakit, wajahnya sudah tidak sepucat sebelumnya, tetapi dia masih tidak sadarkan diri. Karena pendarahan hebat yang dialaminya, tenaganya jadi terkuras habis. Meskipun begitu, Ayana terlihat begitu tenang dalam tidurnya.
Leon mendekat perlahan dan duduk di kursi samping ranjang Ayana. Ditatapnya wajah istrinya, lalu perasaan itu kembali datang menerpanya.
Ini aneh. Sangat aneh.
Leon termangu di tempat dengan tatapan yang tidak lepas dari wajah istrinya. Ayana memiliki fitur wajah yang lembut, dengan mata bulat, hidung mungil, bibir tipis, dan pipi yang sering merona layaknya buah persik.
Ayana terlihat jauh lebih muda dari umurnya yang seharusnya.
Tangan Leon tanpa sadar terulur dan jemarinya dengan lembut menyentuh pipi Ayana yang hangat. Ekspresinya yang dingin sepenuhnya telah berubah. Tatapannya yang dalam terus terpaku pada wajah sang istri.
Leon masih tidak menyangka jika dalam kehidupannya, ia akan memiliki dua orang istri.
Dua wanita dengan sikap yang sangat berbanding terbalik—Chelsi yang enerjik dan ekspresif, dengan Ayana yang lemah lembut dan pendiam.
Dan keduanya sama-sama sedang hamil anaknya.
Andai saja Chelsi lebih sabar sedikit, menunggu sampai bisa hamil, Leon pasti tidak harus menikahi Ayana.
‘Kenapa takdirnya berjalan seperti ini?’ pikir Leon muram.
Leon masih ingat betul saat Chelsi pertama kali datang membawa Ayana, gadis yang 8 tahun lebih muda darinya. Tanpa memikirkan perasaan Leon, Chelsi dengan entengnya mengatakan bahwa gadis itu bersedia menjadi istri kedua Leon dan melahirkan anak untuknya.
Leon terkejut bukan main dan tentu saja menolak Ayana. Namun, Chelsi bersikeras dan terus berusaha meyakinkan Leon.
“Sayang, ayolah. Anggap saja ini sebagai salah satu permintaanku. Aku akan merasa sangat bersalah jika kamu tidak mau menerima gadis yang kubawa. Aku mohon,” ucap Chelsi waktu itu.
Leon masih menolak, tetapi Chelsi benar-benar bersikukuh dengan keinginannya.
“Aku nggak mau jadi wanita egois! Kamu mau nunggu sampai kapan sih? Umurku saja sudah 28 sekarang, kamu mau nunggu sampai kapan?” Chelsi memohon dan terus mengenggam tangan Leon yang berusaha mengabaikannya. “Aku tidak bisa ngasih kamu keturunan, Sayang. Aku mohon, terima permintaanku. Sebenarnya aku juga tidak rela membagi suamiku sendiri dengan wanita lain, tapi apa boleh buat. Aku tidak punya pilihan!”
“Kita selalu punya pilihan!” balas Leon, merasa marah karena Chelsi terus memaksanya.
Chelsi menggeleng dengan wajah sendu. “Sayang, dengerin aku. Hanya sampai anak itu lahir, ya? Dan setelahnya, kamu bisa ceraikan wanita itu dan anak itu akan jadi milik kita. Aku mohon!”
Kepala Leon rasanya akan pecah saat itu. Ia benar-benar bingung harus bagaimana. Di satu sisi, ia mengharapkan kehadiran seorang anak, tetapi di sisi lain, Chelsi tidak kunjung hamil.
Chelsi terus berusaha membujuk Leon hingga akhirnya ia terpaksa menyetujuinya.
Dan sekarang, inilah yang terjadi.
Leon menghembuskan napas panjang dan menarik tangannya dari wajah Ayana. “Kamu hanya membuat hidupku semakin rumit,” bisik Leon.
Tetapi nasi telah menjadi bubur. Ia tidak bisa menyesali apa pun sekarang. Semuanya telah terjadi.
‘Aku hanya perlu menunggu sampai anak itu lahir, kemudian aku bisa menceraikan wanita ini. Dengan begitu, aku dan Chelsi bisa hidup bahagia seperti dulu lagi’
Leon berdiri dari tempatnya dan entah kenapa ada keraguan yang tertinggal dari ucapannya sendiri.
***
Setelah tiga hari dirawat di rumah sakit, Ayana akhirnya diperbolehkan pulang pagi ini.
Ayana berjalan hati-hati menuju parkiran, dituntun oleh salah satu perawat. Di saat bersamaan, mobil Leon melaju memasuki halaman rumah sakit.
“Itu mobil suami saya, Sus,” kata Ayana.
“Ah, kebetulan sekali, kalau begitu saya pamit ya, Bu. Hati-hati,” sahut perawat itu dengan ramah.
Ayana mengangguk dan berterima kasih sebelum perawat itu berbalik pergi.
Mobil Leon yang dibawa oleh supir berhenti tepat di samping Ayana dan Leon segera keluar. “Kita langsung pulang,” ucapnya.
“Iya, Mas.”
Leon membantu Ayana masuk ke kursi penumpang, lalu duduk di sampingnya. Dia sama sekali tidak menatap Ayana dan hanya terus memandang ke depan. Ekspresinya begitu dingin. “Jalan Pak.”
Ayana melirik suaminya diam-diam dan tersenyum tipis. Walaupun Leon selalu bersikap dingin padanya, tetapi setidaknya dia masih memiliki sedikit kepedulian untuk membantunya.
“Terima kasih, Mas. Maaf aku sudah ngerepotin Mas,” ucap Ayana, menatap Leon sepenuhnya.
Tetapi Leon masih enggan untuk menatapnya, dan hanya melirik sekilas. “Hm, lain kali jangan bertindak ceroboh lagi, kamu hanya membuang-buang waktuku.”
Ayana meremat tangannya mendengar kata-kata tajam itu. Ia ingin mengatakan bahwa Ibu Leon-lah yang telah membuat Ayana mengalami pendarahan, tetapi ia hanya menelan kata-kata itu. Percuma saja menjelaskan apa pun, Leon hanya akan marah padanya.
Sepanjang perjalanan begitu hening sampai mereka tiba di kediaman Agaditya.
Leon keluar lebih dulu dari mobil, kemudian diikuti Ayana dari belakang. Namun, baru saja melangkah memasuki rumah, Rita yang sedang bersama Chelsi langsung melontarkan kata-kata pedasnya.
“Halah, beban rumah pakai dijemput segala!” kata Rita, berkacak pinggang di tempat. Tatapannya yang sinis terarah pada Ayana yang berdiri kaku di samping Leon. “Leon, kamu seharusnya tidak perlu menjemput wanita itu. Kamu harusnya biarkan saja supir yang menjemputnya! Lagi pula, kenapa tidak sekalian saja dia keguguran beneran, jadi dengan begitu, dia tidak perlu lagi berada di rumah kita!”
Rita bicara tanpa rasa bersalah sedikit pun, malahan ia kembali menatap Ayana dengan jijik seolah dia adalah segumpal kotoran. Padahal Rita sendiri yang membuat Ayana mengalami pendarahan.
Leon tidak mengatakan apa-apa dan suasana berubah menjadi tegang. Chelsi yang ingin mendapatkan pujian pun segera membuka mulut, “Mama, sudahlah. Kasihan Ayana, dia baru kembali dari rumah sakit. Leon juga pasti lelah dan butuh istirahat,” ucapnya dengan suara mendayu-dayu.
Rita mendengus kasar. “Kamu denger itu, wanita nggak tahu diri? Kalau bukan karena Chelsi yang baik sama kamu, aku pasti sudah mengusirmu dari rumah ini!” kata Rita dengan suara ditekan, lalu berbalik pergi.
Ayana menunduk dengan bibir terkatup rapat. Rupanya, ia memang tidak bisa mengharapkan apa pun di rumah ini.
“Ayana, cepat pergi ke kamarmu dan istirahat,” sahut Leon yang lelah dengan suara kasar. Kemudian, dia meraih pinggang Chelsi dan menariknya ke dalam dekapan. “Ayo Sayang, kita ke kamar. Aku lelah dan ingin istirahat.”
Chelsi tersenyum manis dan melepas pelukan Leon. “Kamu duluan saja ya Sayang, nanti aku menyusul. Aku mau mengantar Ayana dulu ke kamarnya, kasihan dia.”
Leon menatap Ayana dengan tajam dan mengangguk enggan. “Baiklah, tapi jangan lama-lama.”
“Iya, Sayang.”
***
Begitu tiba di kamar Ayana, ekspresi lembut Chelsi seketika berubah. Ia melepaskan lengan Ayana dengan kasar dan menghunuskan tatapan tajamnya.
“Kamu pikir apa yang kamu lakuin, hah? Ingat ya, kamu harus tetap berada di rumah ini sampai anak itu lahir! Apa pun yang terjadi!” Chelsi menusuk bahu Ayana dan mendengus. “Kalau kamu sampai berani kabur dari sini, kamu akan tahu sendiri akibatnya. Aku tidak akan segan-segan membunuh ibumu yang penyakitan itu!” ancam Chelsi dengan suara menakutkan dan penuh intimidasi.
Namun, Chelsi tidak tahu bahwa ada seseorang yang tidak sengaja mendengar pembicaraannya dibalik pintu kamar.
‘Astaga, kasihan sekali Nyonya Ayana!’
Bersambung ....
“Sayang, boleh tidak aku pergi ke Singapore dengan Angel selama tiga hari?”Leon yang sedang sibuk mengetik sontak menoleh mendengar permintaan Chelsi. Wanita itu tengah menatapnya dengan ekspresi memelas. “Apa? Ke Singapura?”“Iya, soalnya aku diundang ke salah satu acara pagelaran di sana. Model-model yang lain juga bakal datang, jadi boleh ya, Sayang?” kata Chelsi dengan suaranya yang manja.Chelsi menampilkan senyum termanisnya pada Leon—berharap Leon luluh—tetapi, ekspresi tidak setuju di wajah pria itu sama sekali tidak berubah. Malahan, Leon kembali melanjutkan pekerjaannya.Chelsi berdecak pelan. “Sayang? Kamu kok diam aja?”Leon menghela napas lelah. “Chelsi, kamu ini sedang hamil. Kalau untuk bepergian jauh seperti itu, aku tidak bisa mengizinkanmu. Kamu sebaiknya membatalkan rencana itu,” jelas Leon, masih fokus pada layar laptopnya yang menyala dan tengah menampilkan statistik laba perusahaan.“Ck, Sayang. Kamu ini terlalu berlebihan!” Chelsi mencebik tidak suka. Ia melipa
Rara terus termenung di tempat, bahkan saat Chelsi telah melangkah kembali ke dalam rumah dengan riang.“Aku nggak mungkin salah dengar. Kak Chelsi jelas-jelas nyebut siapa pun itu di telepon dengan sebutan ‘Sayang’. Tapi siapa? Kak Leon kan ada di rumah, jadi jelas Kak Chelsi nelpon orang lain,” gumamnya bingung.Kalau pun itu teman perempuan Chelsi, kenapa Chelsi malah terlihat seperti orang yang tengah dimabuk cinta?Rara menatap kolam ikan yang luas di hadapannya dan memutar otak untuk berpikir keras. Hanya satu kemungkinan yang kini melintas di benaknya, tetapi apakah mungkin itu terjadi?‘Apa jangan-jangan itu selingkuhin Kak Chelsi?’Rasanya mustahil. Tetapi apalagi yang bisa Rara pikirkan?Chelsi selama ini adalah kakak ipar yang baik di mata Rara. Di mata Leon sendiri, Chelsi adalah wanita 28 tahun yang sempurna tanpa celah. Leon begitu mencintainya, dan Rara pikir hal yang sama juga berlaku untuk Chelsi.Tetapi sepertinya Rara telah salah.“Ck, kenapa aku mesti dengar pembic
‘Apa Rara mungkin tahu rahasia yang selama ini Ayana sembunyikan bersama Chelsi? Tentang kontraknya untuk tetap tinggal di rumah ini?’Ayana meremas pakaiannya, merasa gugup bukan main. Berbagai dugaan kini bermunculan di kepalanya, terlebih dengan pikiran buruk yang kini berseliweran di kepalanya. Wajah Rara terlihat begitu serius sekarang dan ia tahu masalah yang akan ia bahas bukan hal sepele.Tetapi kenapa begitu tiba-tiba?Rara tampak menarik napas panjang sebelum menatap Ayana. Tatapannya sama seperti tatapan ibu mertuanya yang tajam, tetapi ekspresinya tidak terlihat sedang menghina Ayana.“Jadi, aku ingin tahu di mana sebenarnya Kak Ayana kenal sama kak Chelsi?” tanya Rara dengan suara pelan. Mereka kini berdiri dibalik tanaman-tanaman hias, bersembunyi dari siapa pun yang mungkin melihat pertemuan keduanya. “Kenapa kak Chelsi bisa sampai percaya sama Kak Ayana dan menjadikan Kakak sebagai istri kedua kak Leon?”Ayana cukup tercengang mendengar pertanyaan beruntun Rara. Chelsi
“Sayang!”Chelsi berlari memeluk Raka dengan wajah sumringah, sementara Raka membuka tangannya lebar-lebar. Keduanya tertawa dan Raka mulai menciumi sisi kepala Chelsi yang melingkarkan erat-erat kedua tangannya di leher laki-laki itu.“Sayang, awas perutmu,” kata Raka, memberi sedikit spasi agar perut Chelsi tidak tertekan.Chelsi seketika mundur dan cengengesan. “Iya, maaf.”“Jangan sampai kehamilan kamu kenapa-napa ya, Sayang.” Raka mengelus perut Chelsi dengan penuh perhatian, kemudian memberi kecupan singkat di sana.“Iya, aku tahu,” balas Chelsi dengan senyum yang tidak pernah pudar. Ia tahu benar kebersamaannya dengan Raka akan selalu membuatnya bersemangat, berbeda dengan suaminya yang membosankan itu.Mereka berdua berpelukan tanpa peduli dengan tatapan orang-orang. Lagi pula, tidak ada yang mengenali mereka dengan masker dan kacamata yang mereka pakai.“Kamu kelihatan cantik banget pakai ini Sayang,” puji Raka, tangannya turun membelai pinggang Chelsi yang dibalut dress sati
“Permisi. Bu Hana?”Ayana dan Hana yang sedang berada di ruang tengah sontak menoleh ke arah pintu. Mereka sedang asyik mengobrolkan sesuatu ketika suara panggilan itu terdengar. Tidak lama, disusul suara ketukan di pintu.“Siapa?” tanya Ayana dengan kening berkerut. Ia dan ibunya saling berpandangan dengan heran.Hana yang juga tidak tahu siapa yang datang berkunjung hanya bisa menggeleng. “Ibu juga tidak tahu Nak, coba biar Ibu cek dulu.”Hana lantas berdiri dari kursi, sementara Ayana duduk di tempatnya dengan ekspresi penasaran. Ia bertanya-tanya siapa yang datang mengunjungi ibunya sore-sore begini?Suara ketukan kembali terdengar, diikuti suara yang terdengar familier di telinga Ayana. Tetapi siapa?Hana membuka pintu dan sesosok pria bersetelan rapi berdiri di sana. Pria itu memakai jas hitam yang tampak mahal, tubuhnya tinggi, rambutnya disisir rapi ke samping, dan wajahnya begitu rupawan. Seulas senyum menawan terbentuk di bibirnya.'Wajahnya terasa familier,' pikir Hana.Han
Ayana cukup terkejut saat Darel mengusap puncak kepalanya. Itu adalah kebiasaan Darel sejak kecil dan mungkin dia spontan melakukannya. Ayana memilih tidak mempermasalahkan hal itu.“Hati-hati. Terima kasih sudah mengantarku Kak,” ucap Ayana sambil tersenyum tipis.Darel mengangguk dengan senyum mengembang. “Sama-sama. Kalau begitu, aku pamit.” Darel melambai singkat sebelum masuk ke mobilnya.Ayana memperhatikan mobil Darel yang melaju pergi untuk sejenak, kemudian melangkah masuk ke halaman rumah.Sementara itu, di belakangnya, Leon yang melihat Ayana mulai memasuki halaman rumah segera menyuruh Pak Ujang untuk mengejar Ayana dengan mobilnya.“Jangan ke garasi Pak, langsung ke halaman,” kata Leon dengan kesal.Pak Ujang yang bingung hanya bisa menurut dan membawa mobilnya mengikuti Ayana sampai ke depan rumah. Suara mobil membuat Ayana menoleh dan ia terkejut saat Leon langsung keluar dari sana.'Kenapa mobil Mas Leon tidak langsung berbelok ke garasi rumah?' Pikir Ayana bingung, te
“Mama, aku pulang!”Chelsi yang baru masuk ke dalam rumah dengan cepat berteriak heboh. Ia melangkah dengan riang menuju ruang tamu dengan paper bag yang memenuhi tangannya.Leon menyusul di belakang dan berjalan mengikuti Chelsi. Ia baru saja menjemput wanita itu di bandara, mengingat waktu liburan Chelsi di Bali telah habis.“Ah, Sayang, akhirnya kamu pulang juga!” kata Rita dengan wajah cerah. Ia berdiri dari sofa dan memeluk ringan menantu kesayangannya itu. “Mama udah kangen banget sama kamu. Selama tiga hari ini, rumah terasa sepi tanpa kamu.”Chelsi langsung memasang wajah sedihnya mendengar hal itu. “Aku jadi merasa bersalah karena harus ninggalin Mama,” ucapnya, dengan lembut mengelus lengan Rita. “Maafin aku ya, Ma. Tapi ini berkaitan sama pekerjaan aku. Mama tahu 'kan itu penting banget buat aku?”Rita mengangguk. “Mama bisa ngerti, tapi kamu jangan sedih begitu dong. Ayo senyum. Menantu kesayangan Mama jangan sampai sedih.”Senyum Chelsi perlahan terbit dan dalam hati ia i
“Mas Leon?”Leon segera mengalihkan pandangan dan berdehem pelan. Entah kenapa ia mendadak merasa gugup karena Ayana menangkapnya tengah memperhatikannya makan.“Mas Leon kenapa di sini? Apa Mas Leon butuh sesuatu?” tanya Ayana sambil berusaha berdiri dari duduknya. Ia agak kesulitan karena perutnya yang buncit.Leon yang melihat hal itu hendak membantu, tetapi kemudian tertahan oleh gengsinya.Ia tidak mau Ayana berpikir kalau ia merasa kasihan pada wanita itu. Lagi pula, selama ini ia selalu berusaha mengabaikan Ayana dan membuatnya menjauh.Leon mengepalkan tangannya dan hanya berdiri kaku saat memperhatikan Ayana yang telah berhasil untuk berdiri.“Aku butuh sendok,” ucap Leon asal. Sebenarnya ia lupa ingin mengambil apa dan terpaksa mengatakan benda yang ia lihat secara acak.Ayana mengernyit heran. “Sendok? Apa di depan tidak ada sendok, Mas?" Ayana kembali bertanya dengan bingung. Seingatnya, satu tempat sendok telah ia letakkan di meja makan sebelum ia ke dapur tadi.“Kamu den