"Saya terima nikahnya dan kawinnya Ayana Putri Binti Hartono dengan mas kawin satu set perhiasan berlian seberat 20 gram dengan uang tunai satu milyar dibayar tunai," ucap Wijaya Langit dengan lantang saat menikahi gadis pilihan kakeknya. "Bagaimana syah saudara-saudara?" tanya penghulu di depan Wijaya Langit saat menjabat tangan Hartono ayah Ayana. "Syah," ucap serentak dari semua tamu undangan termasuk kakek Dony yang meneteskan air matanya terharu karena ia bisa melaksanakan amanat sahabatnya. Semua orang bersorak-sorai atas pernikahan ini semua terlihat bahagia kecuali Vina Ranti yang terlihat kesal dengan pernikahan putranya. Setelah acara akad nikah sang pengantin wanita pun datang ke hadapan Wijaya Langit dan itu pertama kalinya laki-laki ini melihat istrinya sendiri. Sesaat Wijaya Langit sempat terpukau saat melihat istrinya sendiri namun, ia buru-buru berpaling dan melihat sekitar tamu undangan yang hadir. "Terima kasih karena memenuhi amanat dari kakekku," ucap Ayana m
Wijaya meloncat dari tempat tidurnya dan segera berlari ke kamar mandi. "Ada apa?" tanyanya khawatir. "Airnya terlalu panas," jawab Ayana hampir menangis karena tangan kanannya melepuh karena air panas yang keluar dari shower. Wijaya menghembuskan napas sembari menggelengkan kepalanya. "Kamu itu hidup di planet mana sih, kaya gini saja ga tau!" serunya sembari menarik tuas shower. Ayana diam saja saat memperhatikan suaminya menarik tuas di depan shower. "Dengarkan aku!" hardik Wijaya sembari menoleh ke arah Ayana. Ayana mengangguk-anggukkan kepalanya melihat ke arah Wijaya. "Sebelah kiri, air panas, sebelah kanan air di dingin dan tengah-tengah air hangat jika ingin air biasa tarik yang sebelah atas ini," tutur Wijaya menjelaskan. Ayana menganggukan kepalanya sembari mengusap tangan kanannya yang sudah terasa panas sudah mulai bengkak. Wijaya menarik tangan Ayana dan mulai membasuh tangan yang melepuh dengan air hangat membuka kotak obat di depannya mengoleskan salep pada ta
Semua orang tertuju pada Ayana yang menjerit karena tertusuk pecahan piring. "Tanganmu berdarah nak?" tanya Kakek Dony khawatir. Ayana hanya menganggukkan kepalanya sembari menahan air mata agar tak keluar. "Tak perlu membereskan pecahan piring itu, biar para pembantu saja yang bereskan," ungkap Kakek Dony masih memperlihatkan kekhawatirannya. "Wijaya, obati istrimu," pinta Kakek Dony lagi. Wijaya pun menganggukan kepalanya dan meminta pelayan rumah membawakan kotak obat. "Kenapa kamu ceroboh sekali?" tanya Wijaya sembari membersihkan sisa-sisa pecahan piring di tangan istrinya. "Maaf," ungkap Ayana sembari meneteskan air matanya. "Ga usah cengeng." Wijaya masih membersihkan pecahan piring setelah itu memberikan obat merah pada lukanya. "Ayo kita sarapan," ajak Kakek Dony begitu cucunya selesai mengobati luka di tangan istrinya. "Kamu tau, berapa harga piring yang kamu pecahkan?" tanya Vira tiba-tiba saat mereka sarapan pagi. Ayana menggelengkan kepalanya tak tau berapa kar
Ayana menghapus air matanya dan berusaha untuk menghapus air mata. Beranjak bangun untuk membuka pintu kamarnya. "Mana Wijaya?" tanya Kakek Dony tiba-tiba. "Ada di dalam kamar," jawab Ayana. "Oh di kamar, ya sudah, ..." Kakek Dony pergi begitu saja tanpa mengatakan apapun membuat Ayana bingung dan kembali masuk kamarnya. Beberapa saat kemudian Wijaya terbangun karena suara ponselnya terus saja berdering. "Halo," jawab Wijaya setengah sadar. "Cepat jemput Ayana di Mallcity!" seru seseorang di balik telpon. "Iya, aku ke sana sekarang," jawab Wijaya lagi langsung beranjak bangun dan segera bergegas ke kamar mandi untuk bersiap. Sampai 60 menit, Wijaya baru saja datang ke Mallcity dan Kakek Dony pun sudah menunggu di depan pintu keluar dengan ekspresi marah. "Kenapa lama sekali?" tanya Kakek Dony marah. "Maaf Kek, jalanan macet," jawab Wijaya. "Yah sudah bawa istrimu jalan-jalan ke dalam," gumam Kakek Dony lagi. Wijaya mengerutkan keningnya. "Bukankah kakek mau pulang?" tanya
Wijaya sudah berkeliling satu Mallcity tapi, Ayana masih belum ketemu. Ia tak bisa memberitahu Kakek Dony kalau istrinya hilang bisa-bisa ia sendiri yang kena marah. Langkahnya terhenti saat ia melihat istrinya tepat di depan bioskop sedang makan eskrim dengan santai. "Jadi sedari tadi kamu di sini?" tanya Wijaya begitu ia dihadapan istrinya. "Iya, sedari tadi aku duduk di sini menunggumu sampai habis 24 cup eskrim," jawab Ayana santai. Wijaya menghembuskan napas panjang. Rasanya ia kesal sekali dengan istrinya tapi, salahnya juga karena ia tak tau nomor istrinya. "Berikan nomormu padaku?" tanyanya sembari memberikan ponselnya pada Ayana. Wanita itu pun mengambil ponsel suaminya dan menuliskan nomor ponselnya. Setelah itu, Wijaya pun menghubungi nomor yang diberikan Ayana. "Itu nomorku, simpan di ponselmu kalau ada apa-apa kamu bisa hubungi nomor itu!" serunya berpaling. Rasanya Wijaya masih kesal tapi, sudahlah yang penting istrinya sudah ketemu. Sepanjang perjalanan pulang W
Setelah beberapa saat Wijaya pun masuk kembali ke ruangan istrinya terlihat Ayena masih memegangi perutnya. "Perutmu masih sakit?" tanya Wijaya begitu ia masuk. Ayana menggelengkan kepalanya dan ekspresi Wijaya pun mengerutkan keningnya penuh tanda tanya. "Aku lapar," gumam Ayana lagi. "Kamu mau makan apa, biar aku pesan online saja sekalian?" tanya Wijaya menoleh ke arah istrinya. "Mau nasi padang!" "Ga, jangan nasi padang kamu kan sakit perut." Wijaya melotot menolak permintaan istrinya. "Yah udah nasi goreng seafood aja." Ayana cemberut karena suaminya menolak permintaannya. "Oke, aku pesankan nasi goreng seafood dengan jus alpukat." "Kenapa ga jus jeruk aja minumnya?" "Kamu kan sedang sakit perut, jus alpukat pun tanpa es?" Ayana berpaling mengiyakan ucapan suaminya. Lagi-lagi Wijaya terus saja memainkan ponselnya tanpa mengatakan apapun ataupun mengajak istrinya berbicara selama menunggu makanan. Karena bosan Ayana pun terus saja menguap, dengan sudut matanya Wijaya
Ayana pun mengurungkan niatnya untuk mengambil ponsel suaminya. "Aku tak boleh mengambil ponsel Wijaya tanpa izin," gumam Ayana lagi membiarkan ponsel suaminya terus saja berdering sampai berhenti sendiri. Sampai besok pagi keduanya pun tertidur di ranjang yang sama. Pagi-pagi sekali Kakek Dony sudah sampai di rumah sakit namun, balik lagi begitu ia masuk. "Dokter jangan dulu masuk," tahan Kakek Dony begitu melihat dokter sudah ada di depannya. "Kenapa?" tanya dokter bingung. "Cucu saya ...." Kakek Dony bingung bagaimana menjelaskannya. Dokter pun tersenyum mengerti maksud kakek dan pergi dari sana. Kakek menunggu di luar ruangan tak berani menganggu pasangan suami istri itu di dalam ruangan. Seorang wanita terhenti begitu melihat Kakek Dony di depannya ia terdiam tak bisa berkata-kata lagi karena sudah ketahuan pria tua itu. "Untuk apa kamu datang ke sini?" tanya Kakek Dony sengaja menghampiri wanita itu. "Maaf kek, aku tak bermaksud menganggu ...." "Jangan sok lugu di de
Wijaya beranjak bangun dari tempat duduknya dan setelah itu keluar dari ruangan Ayana. "Kenapa sikap Wijaya jadi aneh begitu?" tanya Ayana bingung. "Apa ada yang salah dengan pertanyaanku?" Ayana bertanya-tanya dalam hati tak mengerti sikap dari suaminya. Wijaya menghembuskan napas panjang menjauh dari ruangan istrinya ia duduk di ruang rokok sambil mengeluarkan rokoknya laki-laki itu mulai merokok. "Kenapa Ayana bertanya seperti itu?" tanya Wijaya dalam hati. "Apa kakek memberitahu Ayana?" Wijaya bingung bagaimana menjelaskannya pada istrinya kalau benar ia tak bisa meninggalkan kekasihnya sekalipun ia menikahi Ayana. Seseorang pun duduk di samping Wijaya. "Lagi banyak pikiran yah?" tanyanya. Wijaya pun menoleh. "Eh Dokter Farhan," panggil Wijaya sambil tersenyum. "Istrimu cantik loh," gumam Dokter Farhan. "Ayana?" "Memangnya ada wanita lain selain istrimu?" Wijaya mengerutkan keningnya pertanyaan spontan Dokter Farhan membuatnya memikirkannya. "Kamu itu beruntung memil