Ardian melirik ke arah Tasya ketika wanita itu bersalaman dengan Hardi, ayahnya. Hatinya bersyukur perempuan itu tidak menunjukkan sikap yang buruk. Tadinya Ardian sedikit khawatir, ia tentu tidak mau jika sang ayah tidak dihormati oleh menantunya sendiri.
Selarik senyum keharuan terukir di bibir Hardi menyambut uluran tangan menantu barunya. Selama ini Ardian memang sama sekali belum pernah melihat dengan mata dan mendengar dengan telinganya sendiri Tasya melontarkan kata-kata hinaan langsung kepada sang ayah. Namun, ketika ia remaja dulu, Tasya sangat sering menghina Ardian, menunjukkan ketidaksukaannya kepada lelaki itu. Hingga suatu hari Ardian melihat kalau ia mulai berubah lebih baik, karena wanita itu berulangkali dinasehati oleh ibu sambung yang sangat disayanginya.Wajar saja Ardian merasa khawatir. Karena Tasya tiba-tiba kembali menghinanya oleh sebab profesi sang ayah ketika ia tahu bakal dijodohkan dengan pria tersebut. Sejak dulu Ardian memang tidak pernah menceritakan hinaan itu kepada orang tuanya, tentu saja untuk menjaga hati mereka."Hehehe ... akhirnya Kakak nikah juga," seloroh Zack yang kini sudah berusia lima belas tahun sembari ber-tos ria dengan adiknya—Mikael— yang hanya terpaut usia satu tahun setengah di sampingnya."Berisik lu berdua!" ketus Tasya lirih sambil terus menyalami orang-orang.Tadi, ketika momen mencium tangan suami dan Ardian mesti mengecup dahinya, lelaki itu dapat menangkap gelagat ketidaksukaan wanita yang sudah berstatus menjadi istrinya itu. Walaupun Tasya mampu menyembunyikan dari semua orang dengan senyum palsunya, tetapi tidak bisa membohongi hati Ardian.***"Kamu jangan macam-macam ya. Jangan mimpi aku mau disentuh oleh tangan bau laki-laki seperti kamu!" cetus Tasya sembari memberi batas dengan guling diletakkan di tengah-tengah tempat tidur mereka di dalam kamar..Ardian menghela napas bosan mendengar ucapan Tasya. Ia berpikir mengapa Tasya ini seperti anak kecil saja? Apa gunanya batas sebuah guling? Kalau memang ia mau, tentu dengan mudah melempar guling itu dari sana.Ardian mematikan lampu utama. Kemudian melenggang dan duduk di bibir ranjang. Ia lalu membuka kaus berkerah yang tadi dikenakan. Ardian memang terbiasa tidur dengan tidak memakai baju, biasa hanya dengan celana boxer saja."Eeeh, apa-apaan kamu pake buka baju segala?!" protes Tasya dengan wajah panik sekaligus memerah, ia belum pernah melihat tubuh shirtless Ardian sebelumnya, yang ternyata cukup bagus dengan otot perut yang terbentuk indah."Aku biasa tidur begini." Dengan cuek Ardian merebahkan badan dan meletakkan kepalanya di atas bantal."Dasar udik! Kamar sudah ber-AC masih aja kepanasan!" omel Tasya. Kemudian dengan cepat membaringkan tubuhnya, lantas memunggungi Ardian.Pria manis itu hanya melirik gadis itu sejenak. Lalu ia mematikan lampu tidur di nakas sebelahnya. Lelaki itu lalu menutup kepalanya dengan sebuah bantal, merasa terganggu dengan cahaya dari lampu yang masih menyala di sebelah Tasya. Akan tetapi, ia tidak mau menegur wanita itu.***Pagi pun tiba. Ardian tadi terlambat bangun. Hampir setengah enam pagi ia baru terjaga. Bagaimana tidak, ia nyaris tidak bisa tidur semalaman karena Tasya tidak juga mematikan lampu di sebelahnya. Pria itu terbiasa tidur dalam keadaan gelap. Jadi, cahaya itu cukup mengganggu untuknya.Tasya pun sebenarnya tidak bisa tidur, ia merasa aneh dengan suasana baru dan ada rasa cemas yang melanda. Ia takut kalau-kalau Ardian berani menyentuh dan meminta hak suami di malam pertama mereka. Namun, akhirnya ia tertidur juga karena kelelahan. Nyatanya Ardian sama sekali tidak berniat menyentuhnya. Untung saja wanita itu tidak terlambat bangun. Tepat di saat adzan subuh berkumandang, ia pun terjaga."Kamu dari mana, Nak?" tanya Nay yang heran melihat Tasya datang dengan wajah penuh keringat."Habis jogging!" jawabnya singkat sembari meraih gelas dan mengisi benda itu dengan air dari dispenser. Kemudian duduk dan menengguk air putih itu hingga tandas."Ardian mana?" tanya Nay lagi sembari menata sandwich yang sudah selesai dibuat."Taauk!" sahut Tasya cuek seraya meraih sepotong roti isi dan memasukkannya ke dalam mulut."Udah nikah, masih jogging sendirian aja, Kak?" goda Mikael yang sudah duduk di salah satu kursi di sana sambil menikmati sarapan."Iya, nih!" sahut Zack tidak mau kalah.Mereka berdua memang sangat kompak kalau mem-bully sang kakak. Akan tetapi, mereka juga paling peduli jika kakaknya sakit atau membutuhkan bantuan."Berisik!" ketus Tasya sebal.Nay hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkah ketiga anaknya."Pagi ...."Terdengar suara Sarah mendekat. Kursi rodanya didorong oleh Leha, salah seorang pembantu di rumah mereka."Grandmaa ...!" Zack dan Mikael serentak menyapa nenek mereka."Grandma?" Mata Tasya melebar demi melihat Sarah yang mendekat."Yaa," sahut sang nenek sambil tersenyum semringah. Tangannya yang bergetar meraih secangkir teh yang diserahkan Leha untuknya, kemudian dengan lirih wanita tua itu mengucap basmalah, lalu meneguk teh tersebut perlahan-lahan. Usia yang sudah jelas jauh dari kata muda telah menggerus kekuatannya."Grandma sudah sembuh??" tanya Tasya heran. Kemarin saja, sang nenek masih terbaring di sebuah brankar ketika akad nikah berlangsung."Grandma sudah sembuh, karena sudah melihat kamu menikah dengan Ardian."Nay mengulum sebuah senyuman.Tasya melirik ke arah sang ibu dengan sorot sebal. "Syukurlah kalau Grandma sudah sembuh. Aku senang ...," ucapnya datar.Sang nenek tersenyum melihat ekspresi sang cucu perempuan yang tampak menarik kedua bibir ke atas dengan terpaksa. "Ardian mana?" tanyanya."Aku di sini, Grandma."Tiba-tiba Ardian muncul dari belakang kursi roda milik Sarah. Pria itu sudah mengganti panggilannya. Tadinya ia terbiasa menyebut Sarah dan Nay dengan sebutan 'nyonya'."Aah, sini sarapan, Sayang!" ajak Sarah menyambut cucu menantunya di meja makan tersebut.Tampak Tasya mendengkus tidak suka.Ardian menarik kedua ujung bibirnya ke atas. Menghargai ajakan sang nenek. Ia pun duduk di samping Tasya."Kok, kelihatannya kamu tadi nggak pergi bersama Daddy dan kedua bocah ini ke masjid pas shalat subuh, Ar?" Sarah mengedarkan pandangan ke arah cucu-cucu lelakinya."Aah, Grandma kayak nggak ngerti aja. Aku dan Mikael aja ngerti, kok. Hahahahaa!" Zack menyenggol lengan adiknya, dan mereka pun tertawa terbahak-bahak bersama.Tasya memicingkan mata menatap tajam ke arah kedua adik isengnya itu."Emm, aku ... telat bangun tadi, Grandma." Ardian menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, wajahnya terasa menghangat.Natasya makin kesal dengan sikap Ardian yang absurd. 'Apa-apaan dia cengengesan begitu? Semalam nggak ngapa-ngapain juga! Bikin orang mikir yang nggak-nggak aja, issh!' rutuknya di dalam hati..."Ooh, heheheee. Mungkin kalian kecapekan ...." Sarah terkekeh pelan.Nay juga hanya tertawa kecil mendengar ucapan mertuanya. Zack dan Mikael menertawakan kakaknya kembali."Ekheem!" deham Tasya sengaja dikeraskan, "aku ke kamar dulu, mau mandi. Di sini gerah!" sindir wanita itu sambil mendengkus. Lalu ia pun beranjak pergi dengan langkah lebar. Digoda seperti itu, hati wanita itu merasa begitu panas. Apalagi setelah muncul Ardian di hadapannya, perut yang tadi terasa cukup lapar, automatis kenyang hanya dengan sepotong roti isi. Padahal biasanya wanita itu melahap minimal dua potong untuknya sendiri.Ardian hanya bisa diam menatap punggung sang istri yang berlalu dengan wajah masam. Ia tahu hal itu karena ketidaksukaan akan keberadaan dirinya di rumah mereka. "Kamu yang sabar aja ya dengan sikap Tasya, Ar ...," ucap Nay dengan raut yang prihatin. Dia sangat paham bagaimana sikap Tasya sejak kecil terhadap Ardian."In syaa Allah, Bu," jawab Ardian sembari mengangguk."Makan ... maka
"Kamu yakin mau pindah ke apartemenku?" ulangku sembari meletakkan bokong di bibir tempat tidur, "di sana sempit, nggak kayak di sini," lanjutku sambil melenggang menyampirkan handuk di jemuran di dekat pintu kamar mandi, lalu kembali lagi duduk di pinggir ranjang."Ya. Kasihan juga sama kamu karena sering pulang malam kayak gini. Kalo aku sih, sekarang udah males ke kantor. Lagian 'kan, kamu yang wajib mencari nafkah. Kalau dari apartemenmu 'kan, nggak terlalu jauh dari kantor. Nggak kayak ke sini." Udah malas ke kantor? Dari dulu juga kamu males, Sya .... Lagipula makin malas ke kantor itu pasti karena kamu malu, sebab asistenmu sendiri, si anak supir ini yang jadi suamimu. Huuufft, aku merutuk di dalam hati. Tapi, tumben dia peduli denganku yang capek bolak-balik kejauhan dari rumah ini ke kantor setiap hari? Aku menatapnya penuh selidik. Tasya tampak menggigiti bibirnya. Aku tersenyum miring. Tentu saja yang namanya Tasya tidak akan murni memedulikan aku. Apa mau dia sebenarnya?
Aku jadi tertawa menyeringai. Lucu sekali anak ini."Kan ... kan ... kamu ngejek aku!" "Astaghfirullahal adziim," ucapku sembari menurunkan kedua sudut bibir. Benar-benar nggak habis pikir dengan perempuan ini. Maunya apa coba? Kok, senengnya cari gara-gara sama suami?"Aku nggak suka kamu anggap aku kayak anak kecil, tahu!" cetusnya tampak sebal."Yang bilang kamu anak kecil siapa, Tasya?" Aku menekan pangkal hidungku sendiri. Sabar ... sabar, Ardian. Aku terus memantrai diri agar tidak terpancing emosi karena sikap wanita ini."Huh!" Tasya pun kembali membaringkan tubuhnya dan langsung saja memunggungiku. Aneh banget ni orang. Memang kayak anak kecil kalau kayak begini. Heran!Aku pun tak mau lagi memperpanjang masalah. Lantas ikut merebah dan kembali menutup mataku dengan bantal. Klik!Lampu dipadamkan olehnya. Kembali aku menghela napas lelah. Tasya ... Tasya ....***"Sebenarnya Grandma nggak masalah kalau kalian mau tinggal di sini ataupun di apartemen sana," tutur Grandma se
"Aku mesti ke kantor siang ini." Ardian berkata seraya mengunyah suapan terakhir makan siang yang tadi ia pesan dari restoran yang melayani delivery order."Balik malem lagi?" tanya Tasya sambil menikmati paru balado dari restoran masakan Padang itu. Sebenarnya ia curiga dengan kebiasaan Ardian pulang malam. Ya, karena dia tahu kalau normalnya jam kantor hanya sampai setengah lima sore. Namun, semenjak mereka menikah, Ardian hampir selalu pulang larut malam. Namun, Tasya malas untuk menegur itu. Wanita itu justru senang, karena tidak harus sering bertemu dengan suaminya itu."Ya," jawab Ardian singkat, ia meletakkan piringnya yang sudah kosong dan meraih cup es teh dari atas meja, kemudian menyeruputnya. Setelah tandas, ia bangkit berdiri hendak masuk ke kamar mengganti pakaian."Sore ini aku juga mau turun," ujar Tasya menahan langkah sang suami.Ardian menoleh ke arahnya. "Mau ke mana?" tanya pria itu."Ya, sekali-kali aku juga mau jalan-jalan, dong!" sahut Tasya santai."Iya, ke ma
Ketika hari H, Fika tidak bisa datang karena bertepatan dengan hari di mana tantenya meninggal dunia di Surabaya."Cakepan juga Kak Hendi," lirih Tasya sembari mencebik.Hendi adalah adik dari Naysilla—ibu sambung Tasya."Hendi cakep, tapi ini juga nggak kalah ganteng. Body-nya sekarang juga keren kalo dilihat-lihat. Kalian kelihatan serasi loh, Sya." Fika cekikikan di sana."Huuuft ...." Tasya tidak memungkiri kalau Ardian tak kalah keren dibandingkan pria yang selama ini ada di hatinya. Ya, ia menyukai adik dari sang ibu tiri, Hendi. Perasaan itu ada semenjak ia masih remaja. Namun, pria itu sama sekali tidak menaruh hati padanya. Hendi sudah menikah tiga setengah tahun yang lalu, bahkan sudah mempunyai seorang putra. Itu yang membuat ia patah hati. Mungkin memang salah Tasya juga, karena mencintai dalam diam. Ia tidak pernah mau mengungkapkan perasaannya itu karena takut ditolak dan tentu saja, apa tanggapan semua orang kalau tahu ia mencintai orang yang berstatus sebagai om-nya
Sebelum kembali ke apartemen, aku memutuskan untuk berbelanja dahulu ke sebuah supermarket yang masih searah dengan tujuan pulang. Karena sudah lebih dari sebulan tidak ditinggali, kulkas pun sengaja kubiarkan kosong. Sekarang karena Tasya memutuskan untuk tinggal di sana, mau tidak mau beberapa sayur, lauk, atau bahan makanan lain mesti siap sedia.Dulu bersama Maira, aku terbiasa berbelanja berdua. Setelah kepergiannya, semua kegiatan ini aku lakukan sendiri. Saat ini walaupun sudah menikah kembali, sepertinya sulit jika mengharap bisa berjalan berduaan dengan yang namanya istri. Huuuft ... aku berharap situasi seperti ini tidak berlangsung lama. Mudah-mudahan ke depan Tasya mau membuka hatinya. Ya, aku sendiri pun mesti belajar untuk menerima dia sebagai istriku.Setelah aku memenuhi trolly dengan berbagai jenis sayuran, telur, daging-dagingan, sea food, dan beberapa macam makanan instan, lantas aku segera membayar ke kasir. Setelah itu, aku gegas menuju ke apartemen.Sesampainya
"Pulang ke mana? Ini rumahmu," ujar Ardian dengan nada suara yang datar. Lelaki itu kemudian mematikan kompor. Meletakkan sepiring roti yang sudah dipanggang ke atas meja makan.Natasya tidak menjawab, ia lalu melangkah anggun menuju ke arah pintu luar. "Childish!" cibir Ardian sembari mengoleskan selai kacang-coklat ke atas roti."Ngomong apa kamu, hah?!" Natasya menghentikan langkahnya, ia terlihat tidak terima dengan sindiran Ardian barusan."Kamu nggak tuli," sahut Ardian sembari menduduki kursi makan di sana dengan santai."Ya, aku nggak tuli! Tapi kamu itu yang tuli! Dasar anak supir udik!"Tiba-tiba saja Ardian kembali bangkit berdiri dengan wajah yang berang. Ia lalu berjalan perlahan ke arah Natasya. Wanita cantik itu bersiaga. "Aku ... memang anak supir. Dan apa kamu nggak sadar? Anak supir ini sekarang statusnya adalah sebagai suami kamu." Dengan suara datar tapi penuh penekanan Ardian menunjuk ke arah Natasya."Memang ini 'kan, yang lu incer dari dulu? Akhirnya lu dapet
Fika mengangguk. "Loh, apa salahnya lo bermain peran untuk sementara? Siapa tahu ke depan lo jadi terbiasa."Natasya meringis menatap ke arah sahabatnya."Sya, s*x itu enak tahu! Daripada lo umur segini belom pernah ngerasain surga dunia. Rugi lo! Lagian mumpung halal dan berpahala gini!" tambah Afika lagi."Hidiih ...! Lo resek ya, Fik! Gue udah serius nyimak. Malah kasih saran nggak bener. Enak di dia, nggak enak di gue!""Laaah, lo enak juga, Sya! Lagian laki lo duda. Eh, mantan duda. Pasti punya pengalaman buat bikin lo puas. Daripada lo bete dengan pernikahan lo ini, mendingan lo ambil manfaatnya. Lagian kalau lo cerai, keluarga lo gue yakin nggak bakalan setuju. Lo mau dicap sebagai anak durhaka??""Udah, ah! Gue mau cau! Males gue sama lo!" Tasya beranjak dari atas ranjang. Kemudian meraih tas selempangnya yang tergeletak di atas sofa."Eh, mau ke mana lo?" tanya Fika sedikit berteriak karena Tasya semakin menjauh."Balik! Salam ma nyokap!" teriak Natasya, "assalamualaikum!"Af