Ketika hari H, Fika tidak bisa datang karena bertepatan dengan hari di mana tantenya meninggal dunia di Surabaya.
"Cakepan juga Kak Hendi," lirih Tasya sembari mencebik.Hendi adalah adik dari Naysilla—ibu sambung Tasya."Hendi cakep, tapi ini juga nggak kalah ganteng. Body-nya sekarang juga keren kalo dilihat-lihat. Kalian kelihatan serasi loh, Sya." Fika cekikikan di sana."Huuuft ...." Tasya tidak memungkiri kalau Ardian tak kalah keren dibandingkan pria yang selama ini ada di hatinya.Ya, ia menyukai adik dari sang ibu tiri, Hendi. Perasaan itu ada semenjak ia masih remaja. Namun, pria itu sama sekali tidak menaruh hati padanya. Hendi sudah menikah tiga setengah tahun yang lalu, bahkan sudah mempunyai seorang putra. Itu yang membuat ia patah hati.Mungkin memang salah Tasya juga, karena mencintai dalam diam. Ia tidak pernah mau mengungkapkan perasaannya itu karena takut ditolak dan tentu saja, apa tanggapan semua orang kalau tahu ia mencintai orang yang berstatus sebagai om-nya sendiri?"Udahlah, Sya. Lo lupakan Hendi. Sekarang lo mesti belajar mencintai suami lo sendiri." Fika menatap lekat ke arah sang sahabat."Lo tahu gue benci ma dia sejak dulu!" ketus Tasya tidak terima."Ya kalo gue pikir-pikir, nggak ada alasan lo buat benci dia, Sya," imbuh Afika.Tasya menatap sengit ke arah sahabatnya. "Dari sejak dia nongol, bokap gue udah suka sama dia! Bahkan Grandma! Sampe Ibu! Dia bukan siapa-siapa, Fik! Belom lagi adeknya si Arya yang tengil itu! Tapi si Ardian ini selaaalu dapat perhatian istimewa dari keluarga gue! Gimana gue nggak benci sama penjilat dan tukang cari muka kayak gitu!" omel wanita cantik itu berapi-api.Fika hanya bisa menghela napas lelah mendengar semua keluhan dari sahabatnya. Ia sudah tidak heran. Sejak dulu Tasya sudah membenci Ardian karena dianggap telah menarik perhatian seluruh keluarganya. Tidak ada orang lain yang diperlakukan seperti keluarganya memperlakukan Ardian, padahal ia hanya anak seorang supir. Kalau Arya itu hanya sesekali saja datang, karena dia anak ibu tiri Ardian yang tidak begitu dekat dengan keluarga Tasya."Lo dulu bilang, udah baikan sama dia." Afika ingat, kalau sebenarnya Tasya sudah lama tidak bermasalah dengan Ardian. Mereka bekerja di kantor yang sama. Bahkan pria itu adalah asistennya—sebagai CEO."Sekarang gue balik benci. Semenjak Grandma, Daddy, dan Ibu ngejodohin gue sama dia. Bayangin, Fik! Dia udah dapetin semuanya. Perhatian keluarga, posisi di perusahaan bokap, bahkan sekarang dia dapetin gue jadi bininya! Enak dan beruntung banget 'kaaan, idup tu orang!" Tasya semakin emosi.Fika terdiam mendengar Natasya makin panas. Ia sudah terbiasa mendengar rutukan wanita di hadapannya ini. Sebab sudah bersahabat sejak mereka masih di bangku Tsanawiyah dulu. Begitulah Tasya terhadap Ardian."Oke-oke, udah ... jangan bahas laki lo lagi. Gimana dengan bisnis lo di perusahaan sekarang, lancar?" Fika mengalihkan pembahasan. Ia tak mau sahabatnya semakin emosi."Alhamdulillah lancar. Tapi gue udah malas mau ngurusin. Bokap-nyokap juga kayaknya nggak masalah tuh. Mantu kesayangaaan! Biar aja si anak supir itu yang sibuk sendiri. gue malas ke kantor lagi. Entahlah, apa kata karyawan-karyawan ngeliat gue sama dia jadi manten."Fika hanya terdiam mendengar sang sahabat mengomel panjang lebar.Hening ..."Anyway, ngomong-ngomong lo lama di sini, Fik? Gue bosenlah kalo Sabtu-Minggu cuma dengan Ardian. Kalo di rumah sih, masih enak, gue bisa nonton bareng adek-adek gue. Lah di sini?" tanya Tasya memecah keheningan."Lo sendiri yang bilang minta pindah kemari? Etapi, gue seneng, jadi 'kan, pas gue di sini lo bisa sering nyamper gue," imbuh Afika, "tapi gue lusa mungkin udah balik lagi ke Surabaya, Say."Tasya melengos lemas."Lo ngapain juga pindah ke sini coba? Tadinya, udah bener sih, lo di sana, rame. Nggak bikin lo berdua aja sama laki lo, 'kan?" Afika mengernyitkan dahinya menatap ke arah Natasya."Ck! Itulah gue salah perhitungan. Tadinya gue pikir apartemennya ada dua kamar. Jadi, gue pengen kami bisa pisah kamar, 'kan. Kalo di rumah keluarga gue di desa, jelas-jelas nggak mungkin! Tapi nyatanya kamarnya cuma satu ... dasar mental gembel. Beli apartemen aja kayak gitu!""Hahahaaa ...!" Afika tertawa. "Salah lo juga. Mestinya lo obserpesion duluuu. Makin parah lo berduaan begini. Bisa makin mudah Ardian nangkep lo. Huaahaahaahaa!" Wanita itu tergelak-gelak membayangkan yang iya-iya."Issh! Lo! Bukannya prihatin sama temen. Malah ngomong yang nggak-nggak. Ntar jadi doa lagi. Amit-amiiit!" Tasya merinding geli.Fika makin tergelak mendengar ucapan Tasya. Dirinya teringat Tasya pernah bercerita kalau Ardian selalu tidur dengan keadaan shirtless. Bahkan Tasya memuji tubuh Ardian yang bagus.Ya. Natasya tidak memungkiri kalau Ardian memang tampan, bahkan mempunyai tubuh yang terpahat indah. Makanya ia sering mencuri-curi pandang jika Ardian mau atau habis mandi, ataupun ketika hendak tidur. Terkadang muncul juga pikiran yang iya-iya. Walau bagaimanapun juga, Natasya adalah wanita dewasa yang tentu saja tertarik dengan hal-hal yang beraroma keintiman pria dan wanita."Eh, lo ke rumah gue aja dulu, yuk!" seru Fika tiba-tiba. Karena waktu tak terasa sudah sangat sore."Nggak papa gue singgah ke rumah lo? Kata lo nyokap lagi ada arisan sore ni?"Fika melirik arlojinya. "Ini mah, udah selesai. Bentar aja! Nyokap gue masak banyak. Beliau pasti seneng lo dateng. 'Kan, dah lama nggak ketemu sama elo.""Okelah," sahut Tasya sembari mengulas senyum.Mereka pun pergi dari kafe tersebut.***"Kok, baru pulang jam segini kamu?" tanya Ardian ketika melihat Tasya baru datang.Saat ini sudah pukul 21.45 WIB. Kalau sudah ngobrol dengan sahabatnya, Fika, ia memang sering keasyikan. Kebetulan Fika juga sedang tidak bersama sang suami, jadinya mereka sampai lupa waktu."Bukan urusan kamu," ujar Tasya santai sembari menanggalkan sepatu kets-nya dan meletakkan benda itu di atas rak."Kenapa nggak angkat telepon aku?" tanya Ardian lagi.Ardian sudah pulang dari Isya tadi, karena jarak kantor sudah tidak begitu jauh. Ketika di apartemennya, ternyata tidak ada sang istri. Ia pun langsung menghubungi. Sayangnya panggilannya tidak digubris oleh Tasya karena tak mau mengeluarkan ponsel itu dari tasnya."Aku sibuk!" Tasya meraih sehelai bathrobe dari almari. Ia ingin mandi karena tubuhnya terasa lengket terkena keringat."Aku ini suami kamu." Ardian menahan emosinya."Aku tahu! Nggak perlu diperjelas." Tasya menatap nyalang ke arah Ardian. "Toh, aku juga nggak pernah ribut kalau kamu pulang malam. So, kamu nggak perlu recokin aku." Wanita cantik itu pun melangkah ke dalam kamar mandi lalu menutup pintunya.Ardian mencoba untuk tetap sabar menghadapi istrinya. Dulu Maira sangat menghargai dirinya, tidak seperti ini. 'Sepertinya Tasya perlu diberi pelajaran biar jadi istri yang baik.' Rahang Ardian mengeras. Apalagi sekarang mereka hanya berdua di rumah. Ardian berpikir tidak akan menyia-nyiakan kesempatan kali ini.Setelah selesai membersihkan diri, Natasya pun keluar dari kamar mandi. Ia menggunakan bathrobe yang cukup panjang, lebih dari lutut. Karena itu, ia merasa aman dari pandangan mata Ardian. Rambut juga ia tutup dengan handuk karena habis keramas.Tasya tidak sadar, kalau mata para pria itu berbeda. Walau sekecil apa pun, lelaki pasti mencari celah, sebab setiap inci tubuh wanita itu punya daya tarik tersendiri."Kamu harum sekali ...."Tasya terlonjak kaget karena tiba-tiba saja Ardian sudah berada di sampingnya...Sebelum kembali ke apartemen, aku memutuskan untuk berbelanja dahulu ke sebuah supermarket yang masih searah dengan tujuan pulang. Karena sudah lebih dari sebulan tidak ditinggali, kulkas pun sengaja kubiarkan kosong. Sekarang karena Tasya memutuskan untuk tinggal di sana, mau tidak mau beberapa sayur, lauk, atau bahan makanan lain mesti siap sedia.Dulu bersama Maira, aku terbiasa berbelanja berdua. Setelah kepergiannya, semua kegiatan ini aku lakukan sendiri. Saat ini walaupun sudah menikah kembali, sepertinya sulit jika mengharap bisa berjalan berduaan dengan yang namanya istri. Huuuft ... aku berharap situasi seperti ini tidak berlangsung lama. Mudah-mudahan ke depan Tasya mau membuka hatinya. Ya, aku sendiri pun mesti belajar untuk menerima dia sebagai istriku.Setelah aku memenuhi trolly dengan berbagai jenis sayuran, telur, daging-dagingan, sea food, dan beberapa macam makanan instan, lantas aku segera membayar ke kasir. Setelah itu, aku gegas menuju ke apartemen.Sesampainya
"Pulang ke mana? Ini rumahmu," ujar Ardian dengan nada suara yang datar. Lelaki itu kemudian mematikan kompor. Meletakkan sepiring roti yang sudah dipanggang ke atas meja makan.Natasya tidak menjawab, ia lalu melangkah anggun menuju ke arah pintu luar. "Childish!" cibir Ardian sembari mengoleskan selai kacang-coklat ke atas roti."Ngomong apa kamu, hah?!" Natasya menghentikan langkahnya, ia terlihat tidak terima dengan sindiran Ardian barusan."Kamu nggak tuli," sahut Ardian sembari menduduki kursi makan di sana dengan santai."Ya, aku nggak tuli! Tapi kamu itu yang tuli! Dasar anak supir udik!"Tiba-tiba saja Ardian kembali bangkit berdiri dengan wajah yang berang. Ia lalu berjalan perlahan ke arah Natasya. Wanita cantik itu bersiaga. "Aku ... memang anak supir. Dan apa kamu nggak sadar? Anak supir ini sekarang statusnya adalah sebagai suami kamu." Dengan suara datar tapi penuh penekanan Ardian menunjuk ke arah Natasya."Memang ini 'kan, yang lu incer dari dulu? Akhirnya lu dapet
Fika mengangguk. "Loh, apa salahnya lo bermain peran untuk sementara? Siapa tahu ke depan lo jadi terbiasa."Natasya meringis menatap ke arah sahabatnya."Sya, s*x itu enak tahu! Daripada lo umur segini belom pernah ngerasain surga dunia. Rugi lo! Lagian mumpung halal dan berpahala gini!" tambah Afika lagi."Hidiih ...! Lo resek ya, Fik! Gue udah serius nyimak. Malah kasih saran nggak bener. Enak di dia, nggak enak di gue!""Laaah, lo enak juga, Sya! Lagian laki lo duda. Eh, mantan duda. Pasti punya pengalaman buat bikin lo puas. Daripada lo bete dengan pernikahan lo ini, mendingan lo ambil manfaatnya. Lagian kalau lo cerai, keluarga lo gue yakin nggak bakalan setuju. Lo mau dicap sebagai anak durhaka??""Udah, ah! Gue mau cau! Males gue sama lo!" Tasya beranjak dari atas ranjang. Kemudian meraih tas selempangnya yang tergeletak di atas sofa."Eh, mau ke mana lo?" tanya Fika sedikit berteriak karena Tasya semakin menjauh."Balik! Salam ma nyokap!" teriak Natasya, "assalamualaikum!"Af
*Ardian PovDaddy beranjak dari duduknya sembari membelai pundak sang putri. Kemudian bangkit dan berisyarat menyapaku. Aku pun segera meraih tangannya dan mencium punggung telapak tangan itu dengan takzim. Daddy menepuk ringan bahuku. Lalu berjalan melenggang ke luar dari kamar ini."Kalian kapan datang, hmm?" tanya Grandma dengan suara yang sedikit bergetar. Tampak kaca-kaca memenuhi permukaan netra tuanya tersebut.Aku mendekati ranjang Grandma lalu duduk di kursi yang tadi diduduki oleh Daddy. "Baru aja, Grandma," jawabku sekenanya.Tasya bangkit dari lantai, lalu duduk di bibir ranjang sang nenek. "Grandma kenapa nggak mau nginap di klinik aja dulu?" tanya Tasya dengan mengerucutkan bibir kemerahannya.Sikap manja itu sebenarnya kadang kala membuat ia tampak lebih menarik. Hanya saja, jika di hadapanku, entah mengapa ia sering memasang wajah yang masam dan jutek."Grandma nggak apa-apa. Cuma sesak sedikit tadi. Sudah baikan. Kalian nggak usah khawatir." Grandma mengulas seuntai
"A ... aa ... tap–tapi, Ar." Tasya tergagap di sana.Ardian menautkan alisnya. 'Ada apa dengan Natasya? Mengapa ia seolah berubah pikiran?' tanyanya di dalam hati."Mmm, aku ... aku nggak jadi mau pisah sekarang, Ar," ucap wanita itu dengan gugup. Semenjak pulang dari rumah Afika, Natasya jadi berpikir ulang. Fika benar, jika ia memutuskan untuk berpisah tanpa alasan yang jelas, tentu saja seluruh keluarga tidak akan setuju.Selama ini Ardian telah mengambil hati semua orang. Yang ada nanti Natasya-lah yang akan disalahkan. Pasti semua akan marah besar kepadanya. Ia tentu tak mau itu terjadi. Apalagi sang nenek dalam keadaan sakit seperti ini."Sekarang?? Jadi nanti bisa jadi kamu bakal meneruskan rencana pisahnya kita, gitu?" tanya Ardian memastikan. Ia lalu tersenyum miring mendengar ungkapan Natasya, "nggak! Aku nggak mau kalau begitu. Lebih cepat lebih baik kalau niat kamu seperti itu. Besok aku yang akan membuka omongan. Kamu nggak perlu khawatir.""Eeh, bu–bukan begitu maksudny
"Bu Sarah terkena serangan jantung dan stroke. Ini kali kedua untuk serangan jantungnya dan kali ketiga untuk stroke-nya. Saya harap pihak keluarga bisa menjaga beliau dengan baik. Terus terang, di usia beliau yang sekian saya sangat khawatir. Ini beliau bisa melewati masa kritisnya adalah sebuah keajaiban," terang Dokter Nurhadi kepada keluarga Arnold setelah tiga hari Sarah Dramawan dirawat di rumah sakit.Steven Arnold mengangguk-anggukkan kepalanya paham."Terima kasih banyak, Dok," ucap Naysilla mewakili semua orang.Sementara Ardian dan Natasya hanya bisa menyimak apa yang sang dokter sampaikan."Ibu jangan banyak pikiran ya ... keluarga juga, harap menjaga hati dan perasaan Bu Sarah." Dokter senior itu tersenyum hangat ke arah Sarah yang kini wajahnya sedikit mencong karena terkena bell palsy, lalu mengedarkan pandangan menggilir anggota keluarga Arnold yang ada di ruangan itu."In syaa Allah, Dok," jawab Naysilla.Natasya menganggukkan kepalanya."Te–terima ka–sih, Dok," ucap
Natasya kontan berbalik menghadap sang suami ketika teringat perjanjian mereka waktu di rumah keluarga besar di desa. "Janji yang mana maksud kamu, Ar? Janji aku jadi istri yang nurut sama kamu? Tapi, 'kan kamu juga udah janji nggak bakal suruh aku layanin kamu di ranjang?" cecar wanita itu dengan perasaan yang memanas. Ya, baru saja pulang dari 'kesibukan' semua orang akibat sang nenek yang masuk rumah sakit. Eh, Ardian malah memancing emosinya.Ardian menarik napas dalam kemudian mengembuskan udara perlahan. "Alhamdulillah kalau kamu ingat janji kita," ujarnya sembari tersenyum. Tampaknya ini bukan waktu yang tepat untuk bercanda dengan Natasya."Iya, aku ingat! Memangnya aku udah pikun apa?" cetus Tasya kesal."Oke-oke. Pertama-tama, aku minta kamu kalau ngomong ke aku nadanya jangan ngegas gitu ya, istrikuuu ...."Natasya kontan meringis mendengar panggilan 'istriku' dari lisan Ardian. Terasa sangat menggelikan di telinganya. Akan tetapi, dia berusaha menahan emosinya. Ya, dia su
Tak mau semua orang berpikiran yang tidak-tidak, Natasya pun segera menarik kedua sudut bibirnya ke atas dengan terpaksa. "Hehe ... iya, Sayang ...," jawabnya berusaha menyesuaikan dengan gaya sok mesra yang diperankan oleh Ardian.Akan tetapi, di dalam hatinya Tasya merutuk, 'Ardian lebay banget! Ngapain sih, pake rangkul dan panggil sayang di depan semua orang begini?' "Grand–ma se–nang li–hat ka–lian mes–ra begi–ni." Sarah tersenyum bahagia meskipun dengan bibir yang miring sebelah itu.Binar kebahagiaan yang tercipta di kedua mata tuanya ternyata cukup menyentuh hati Natasya. Entah mengapa tanpa sadar senyuman terpaksanya kini berubah menjadi untaian senyum yang tulus. Ia ikut senang melihat sang nenek ceria. 'Aku sayang sama Grandma. Panjangkan umur Grandma ya, Rabb ... hamba masih ingin lebih lama bersamanya,' doa Natasya di dalam hati.***"Ibu senang kamu dengan Ardian akur kayak gini, Nak," ucap Naysilla kepada putri kesayangannya.Saat ini keduanya sedang berada di ruang t