Sebelum kembali ke apartemen, aku memutuskan untuk berbelanja dahulu ke sebuah supermarket yang masih searah dengan tujuan pulang. Karena sudah lebih dari sebulan tidak ditinggali, kulkas pun sengaja kubiarkan kosong. Sekarang karena Tasya memutuskan untuk tinggal di sana, mau tidak mau beberapa sayur, lauk, atau bahan makanan lain mesti siap sedia.
Dulu bersama Maira, aku terbiasa berbelanja berdua. Setelah kepergiannya, semua kegiatan ini aku lakukan sendiri. Saat ini walaupun sudah menikah kembali, sepertinya sulit jika mengharap bisa berjalan berduaan dengan yang namanya istri.Huuuft ... aku berharap situasi seperti ini tidak berlangsung lama. Mudah-mudahan ke depan Tasya mau membuka hatinya. Ya, aku sendiri pun mesti belajar untuk menerima dia sebagai istriku.Setelah aku memenuhi trolly dengan berbagai jenis sayuran, telur, daging-dagingan, sea food, dan beberapa macam makanan instan, lantas aku segera membayar ke kasir. Setelah itu, aku gegas menuju ke apartemen.Sesampainya di kediaman kami, rupanya Tasya belum pulang juga. Tadi katanya pergi menemui sahabatnya, Fika. "Hhhh ... sudah kuingatkan, jangan pulang malam, masih aja," gumamku kesal.Kulihat ke arah wastafel, piring kotor bekas kami makan tadi siang masih menumpuk di sana. Aku memutuskan untuk menata barang belanjaan ke dalam lemari es dahulu. Setelah itu baru aku mencuci piring-piring kotor tersebut.Ini bukan masalah sebenarnya buatku. Aku sudah terbiasa melakukan hal-hal seperti ini sejak masih remaja. Di pondok pesantren dulu, kami selalu bergiliran mencuci piring kotor bekas makan santri-santri. Hanya saja, aku heran dengan Tasya, padahal cuma dua buah piring kotor saja, mengapa tidak dicuci sebentar?Usai mencuci piring, aku meraih ponsel yang tadi kuletakkan di atas meja makan. Kuhubungi Tasya, mungkin ia pergi ke rumah Fika. Harusnya ia mengirimiku pesan. Namun, tidak ia lakukan."Ck!" Aku berdecak kesal. Tiga kali aku mencoba dan tunggu, panggilanku sama sekali tidak dihiraukannya. "Aah, mandi aja dulu!"***Aku menahan emosi melihat respons Tasya yang sama sekali tidak menghargaiku sebagai suami. Bukan menjawab ke mana ia pergi dan mengapa panggilan teleponku tidak dijawab. Malah ia bilang aku ini hanya merecoki dirinya. Maira tidak pernah memperlakukan aku seperti ini!Ia meraih bathrobe dari dalam almari. Kemudian masuk ke dalam kamar mandi.Aku menunggu di atas ranjang kami. Ini tidak bisa dibiarkan. Natasya mesti paham posisinya sekarang ialah sebagai seorang istri. Suka ataupun tidak, ia mesti menurut kepadaku. Toh, aku bukan menyuruhnya berbuat yang tidak benar. Mau jadi apa rumah tangga ini kalau terus menerus seperti ini?Sekitar dua puluh menit di dalam kamar mandi, akhirnya wanita itu keluar. Ia tampak menarik seperti biasanya, bahkan lebih menggoda dengan balutan bathrobe itu. Membuat pikiranku melanglang buana ke mana-mana.Aku bangkit dari ranjang lalu menghampirinya dengan langkah pelan. "Kamu harum sekali."Ia terperanjat. Sepertinya ia tak menyadari ketika aku mendekat barusan. "Kamu mau apa?!" tanyanya dengan nada sewot. Matanya memicing tajam.Kulihat semburat rona kemerahan muncul di pipi ranumnya. "Sudah lebih dari sebulan kita menikah ya, Sya," tuturku sembari mengulurkan tangan hendak menyentuh lengannya."Jangan pegang-pegang!" Ia menepis tanganku sembari melangkah mundur. Wajahnya terlihat marah dan panik sekarang.Hahah ...! Aku senang kamu ketakutan seperti ini, Tasya. Makanya jangan main-main denganku."Kamu makin hari makin cantik aja, Sya. Sebenarnya aku sudah lama menunggu momen biar kita bisa berduaan seperti ini." Aku terus melangkah lamban ke arahnya."Kamu mau apa, Ardian! Jangan macam-macam kamu ya! Jangan dekat-dekat!" teriaknya tertahan. Ia terus mundur dengan wajah yang semakin panik.Aku tersenyum ketika melihat ia tersandung kemudian akhirnya terjatuh di ranjang. Dengan gerakan cepat aku mengukungnya."Menja–uh sana!" Ia berontak dan memukuliku. Astaghfirullah, bar-bar sekali Natasya.Akhirnya aku meraih pergelangan tangan istriku dengan gemas, lalu menekan di atas kepalanya. Ia terus berusaha berontak, tetapi tentu saja, tidak bisa melawan kekuatanku.Gulungan handuk di kepalanya terlepas, surainya yang basah kini berantakan menutupi sebagian wajah cantiknya. Aroma harum shampo lebih menguar di indera penciumanku. "Kamu sangat menggoda, Sya," bisikku di dekat telinganya."Lep–paskan aku, berengs*k!"Alisku bertaut demi mendengar umpatannya. Jujur saja hatiku kesal. "Masih berani kamu mencaciku, hhh?" Aku terus menahan pergelangan tangannya yang terus saja meronta-ronta."Cuih!!!"Aku tersentak. Kuusap ludahnya yang beraroma mint dari wajahku dengan tangan kanan, sementara tangan sebelahku masih menahan kedua pergelangan tangannya. Sungguh, kalau aku tidak ingat dia perempuan ... hhhhgg!Terus terang, tadinya aku hanya ingin mengerjainya saja. Akan tetapi, dengan sikapnya yang sangat ... aargh! Dia kira dia siapa, menghinaku seperti ini??Dengan perlahan aku menyingkap sedikit bathrobe yang ia kenakan. Benar saja, ia belum mengenakan pakaian dalam sama sekali. Wajahnya semakin gelisah.Sepasang mata Natasya terlihat nanar menatap emosi ke arahku. Dia juga mengeraskan kedua rahangnya.Aku bukan tidak berhasrat dengannya saat ini. Akan tetapi, lebih didominasi rasa marahku karena sikap kurang ajarnya dari tadi.Aku menyeringai, lalu sengaja menyentuh kulit halusnya, menjalankan sebelah tanganku merabanya dari betis ke bagian atas tubuhnya.Tampak jelas sorot ketakutan di matanya saat ini. Rahangnya semakin mengeras bahkan aku merasakan pori-porinya yang menonjol sebab roma yang sontak berdiri akibat sentuhan jemariku."A–Ar ... Ardian ... ja–jangan sentuh aku ...." Tiba-tiba netra coklat beningnya dipenuhi dengan kaca-kaca. Ia terus menggeliat mencoba lepas dariku, tapi perbuatannya sia-sia belaka. Tenaganya jelas kalah jauh.Telapak tangan kananku kini menahan rahangnya, kemudian perlahan aku mendaratkan bibirku ke bibir kemerahan lembut yang kini telah memucat.Ia berusaha terus meronta dan meronta, tetapi tanganku masih menahan gerak wajahnya. Sehingga ia tidak dapat mengelak. Kelopak matanya kontan memejam dengan kencang.Setelah beberapa saat bibir manis itu kupermainkan, lalu kulepas. Bibir itu tampak sedikit membengkak dan semakin berwarna. Tampak air mata mengalir di pipinya.Hatiku sedikit tersentuh melihat ia mulai menangis. Semakin lama, isakannya semakin bertambah, lalu semakin menjadi-jadi dan sesegukan.Alisku bertaut melihat Tasya yang tampak kalah kali ini.Karena tidak tega, akhirnya aku melepaskan cekalan di pergelangan tangannya. Kemudian aku bangkit dari tubuh yang sebagian telah terbuka itu. Dengan cepat ia menutupinya.Aku lalu berbalik, melangkah lebar ke arah luar kamar, lantas membanting pintunya dengan keras."Sh*t!!!" umpatku ketika langkah sudah sampai di ruang depan. Kuenyakkan bokong di sofa di sana, bersandar dan meremas rambut. Kepalaku kini terasa berdenyut.Kuhirup udara di sekitar sedalam-dalamnya lalu kuembuskan kasar. Aaarrgh ...!***Alarm subuh terdengar dari ponselku yang tergeletak di meja dari tadi malam. Waktu masih menunjukkan pukul setengah empat pagi. Kurenggangkan badan yang terasa kaku karena semalaman tidur di atas sofa di depan televisi. Kemudian aku beranjak dan melenggang ke arah kamar karena kamar mandi dan toilet berada di dalam sana.Kutekan handle dan membuka pintu kamar. Tampak Tasya yang sedikit kaget melihat ke arahku. Sorot itu tampak ... aah, entah. Ia mengenakan mukena, sepertinya bersiap-siap untuk shalat. Aku terus melangkah ke arah kamar mandi tanpa menyapanya sama sekali.Setelah selesai menggosok gigi dan berwudhu, aku pun menunaikan shalat witir di ruang tamu sekaligus ruang tengah. Lalu aku pergi menuju mushallah yang berada di lantai bawah.Usai shalat, aku kembali ke unit apartemen. Melihat kamar kembali tertutup, aku langsung menuju ke dapur, ingin membuat kopi dan mungkin sedikit makanan buat sarapan pagi.Aku merebus air, setelahnya kuseduh kopi untuk dua cangkir. Aku akan membuatkan untuk Tasya juga sekalian. Setelahnya aku memanggang roti di atas teflon yang sudah dibaluri mentega—"Aku mau pulang ...."Aku sedikit tersentak karena mendengar suara, lantas menoleh ke belakang. Tampak Natasya sudah berpenampilan rapi dengan sebuah koper berada di sampingnya..."Pulang ke mana? Ini rumahmu," ujar Ardian dengan nada suara yang datar. Lelaki itu kemudian mematikan kompor. Meletakkan sepiring roti yang sudah dipanggang ke atas meja makan.Natasya tidak menjawab, ia lalu melangkah anggun menuju ke arah pintu luar. "Childish!" cibir Ardian sembari mengoleskan selai kacang-coklat ke atas roti."Ngomong apa kamu, hah?!" Natasya menghentikan langkahnya, ia terlihat tidak terima dengan sindiran Ardian barusan."Kamu nggak tuli," sahut Ardian sembari menduduki kursi makan di sana dengan santai."Ya, aku nggak tuli! Tapi kamu itu yang tuli! Dasar anak supir udik!"Tiba-tiba saja Ardian kembali bangkit berdiri dengan wajah yang berang. Ia lalu berjalan perlahan ke arah Natasya. Wanita cantik itu bersiaga. "Aku ... memang anak supir. Dan apa kamu nggak sadar? Anak supir ini sekarang statusnya adalah sebagai suami kamu." Dengan suara datar tapi penuh penekanan Ardian menunjuk ke arah Natasya."Memang ini 'kan, yang lu incer dari dulu? Akhirnya lu dapet
Fika mengangguk. "Loh, apa salahnya lo bermain peran untuk sementara? Siapa tahu ke depan lo jadi terbiasa."Natasya meringis menatap ke arah sahabatnya."Sya, s*x itu enak tahu! Daripada lo umur segini belom pernah ngerasain surga dunia. Rugi lo! Lagian mumpung halal dan berpahala gini!" tambah Afika lagi."Hidiih ...! Lo resek ya, Fik! Gue udah serius nyimak. Malah kasih saran nggak bener. Enak di dia, nggak enak di gue!""Laaah, lo enak juga, Sya! Lagian laki lo duda. Eh, mantan duda. Pasti punya pengalaman buat bikin lo puas. Daripada lo bete dengan pernikahan lo ini, mendingan lo ambil manfaatnya. Lagian kalau lo cerai, keluarga lo gue yakin nggak bakalan setuju. Lo mau dicap sebagai anak durhaka??""Udah, ah! Gue mau cau! Males gue sama lo!" Tasya beranjak dari atas ranjang. Kemudian meraih tas selempangnya yang tergeletak di atas sofa."Eh, mau ke mana lo?" tanya Fika sedikit berteriak karena Tasya semakin menjauh."Balik! Salam ma nyokap!" teriak Natasya, "assalamualaikum!"Af
*Ardian PovDaddy beranjak dari duduknya sembari membelai pundak sang putri. Kemudian bangkit dan berisyarat menyapaku. Aku pun segera meraih tangannya dan mencium punggung telapak tangan itu dengan takzim. Daddy menepuk ringan bahuku. Lalu berjalan melenggang ke luar dari kamar ini."Kalian kapan datang, hmm?" tanya Grandma dengan suara yang sedikit bergetar. Tampak kaca-kaca memenuhi permukaan netra tuanya tersebut.Aku mendekati ranjang Grandma lalu duduk di kursi yang tadi diduduki oleh Daddy. "Baru aja, Grandma," jawabku sekenanya.Tasya bangkit dari lantai, lalu duduk di bibir ranjang sang nenek. "Grandma kenapa nggak mau nginap di klinik aja dulu?" tanya Tasya dengan mengerucutkan bibir kemerahannya.Sikap manja itu sebenarnya kadang kala membuat ia tampak lebih menarik. Hanya saja, jika di hadapanku, entah mengapa ia sering memasang wajah yang masam dan jutek."Grandma nggak apa-apa. Cuma sesak sedikit tadi. Sudah baikan. Kalian nggak usah khawatir." Grandma mengulas seuntai
"A ... aa ... tap–tapi, Ar." Tasya tergagap di sana.Ardian menautkan alisnya. 'Ada apa dengan Natasya? Mengapa ia seolah berubah pikiran?' tanyanya di dalam hati."Mmm, aku ... aku nggak jadi mau pisah sekarang, Ar," ucap wanita itu dengan gugup. Semenjak pulang dari rumah Afika, Natasya jadi berpikir ulang. Fika benar, jika ia memutuskan untuk berpisah tanpa alasan yang jelas, tentu saja seluruh keluarga tidak akan setuju.Selama ini Ardian telah mengambil hati semua orang. Yang ada nanti Natasya-lah yang akan disalahkan. Pasti semua akan marah besar kepadanya. Ia tentu tak mau itu terjadi. Apalagi sang nenek dalam keadaan sakit seperti ini."Sekarang?? Jadi nanti bisa jadi kamu bakal meneruskan rencana pisahnya kita, gitu?" tanya Ardian memastikan. Ia lalu tersenyum miring mendengar ungkapan Natasya, "nggak! Aku nggak mau kalau begitu. Lebih cepat lebih baik kalau niat kamu seperti itu. Besok aku yang akan membuka omongan. Kamu nggak perlu khawatir.""Eeh, bu–bukan begitu maksudny
"Bu Sarah terkena serangan jantung dan stroke. Ini kali kedua untuk serangan jantungnya dan kali ketiga untuk stroke-nya. Saya harap pihak keluarga bisa menjaga beliau dengan baik. Terus terang, di usia beliau yang sekian saya sangat khawatir. Ini beliau bisa melewati masa kritisnya adalah sebuah keajaiban," terang Dokter Nurhadi kepada keluarga Arnold setelah tiga hari Sarah Dramawan dirawat di rumah sakit.Steven Arnold mengangguk-anggukkan kepalanya paham."Terima kasih banyak, Dok," ucap Naysilla mewakili semua orang.Sementara Ardian dan Natasya hanya bisa menyimak apa yang sang dokter sampaikan."Ibu jangan banyak pikiran ya ... keluarga juga, harap menjaga hati dan perasaan Bu Sarah." Dokter senior itu tersenyum hangat ke arah Sarah yang kini wajahnya sedikit mencong karena terkena bell palsy, lalu mengedarkan pandangan menggilir anggota keluarga Arnold yang ada di ruangan itu."In syaa Allah, Dok," jawab Naysilla.Natasya menganggukkan kepalanya."Te–terima ka–sih, Dok," ucap
Natasya kontan berbalik menghadap sang suami ketika teringat perjanjian mereka waktu di rumah keluarga besar di desa. "Janji yang mana maksud kamu, Ar? Janji aku jadi istri yang nurut sama kamu? Tapi, 'kan kamu juga udah janji nggak bakal suruh aku layanin kamu di ranjang?" cecar wanita itu dengan perasaan yang memanas. Ya, baru saja pulang dari 'kesibukan' semua orang akibat sang nenek yang masuk rumah sakit. Eh, Ardian malah memancing emosinya.Ardian menarik napas dalam kemudian mengembuskan udara perlahan. "Alhamdulillah kalau kamu ingat janji kita," ujarnya sembari tersenyum. Tampaknya ini bukan waktu yang tepat untuk bercanda dengan Natasya."Iya, aku ingat! Memangnya aku udah pikun apa?" cetus Tasya kesal."Oke-oke. Pertama-tama, aku minta kamu kalau ngomong ke aku nadanya jangan ngegas gitu ya, istrikuuu ...."Natasya kontan meringis mendengar panggilan 'istriku' dari lisan Ardian. Terasa sangat menggelikan di telinganya. Akan tetapi, dia berusaha menahan emosinya. Ya, dia su
Tak mau semua orang berpikiran yang tidak-tidak, Natasya pun segera menarik kedua sudut bibirnya ke atas dengan terpaksa. "Hehe ... iya, Sayang ...," jawabnya berusaha menyesuaikan dengan gaya sok mesra yang diperankan oleh Ardian.Akan tetapi, di dalam hatinya Tasya merutuk, 'Ardian lebay banget! Ngapain sih, pake rangkul dan panggil sayang di depan semua orang begini?' "Grand–ma se–nang li–hat ka–lian mes–ra begi–ni." Sarah tersenyum bahagia meskipun dengan bibir yang miring sebelah itu.Binar kebahagiaan yang tercipta di kedua mata tuanya ternyata cukup menyentuh hati Natasya. Entah mengapa tanpa sadar senyuman terpaksanya kini berubah menjadi untaian senyum yang tulus. Ia ikut senang melihat sang nenek ceria. 'Aku sayang sama Grandma. Panjangkan umur Grandma ya, Rabb ... hamba masih ingin lebih lama bersamanya,' doa Natasya di dalam hati.***"Ibu senang kamu dengan Ardian akur kayak gini, Nak," ucap Naysilla kepada putri kesayangannya.Saat ini keduanya sedang berada di ruang t
"Iya. Grandma 'kan, sering bertanya soal kita yang mesti memberikan beliau ...." Ardian menggantung omongannya sembari beringsut semakin mendekatkan tubuhnya ke arah Natasya."Kok, kamu makin deket-deket gini?" protes Natasya sambil mendudukkan dirinya dengan cepat dan wajahnya terlihat mulai panik. Ia heran dengan gelagat Ardian. Ardian kontan ikut duduk kemudian mengarahkan telunjuknya ke depan bibir. "Sshhh ...."Kedua alis Natasya semakin bertaut kencang. "Grandma nyuruh kita berikan apa? Cicit itu maksud kamu?" cecarnya dengan suara yang tertahan. Ia juga malu kalau sampai berisik membahas hal intim seperti itu."Sudah hampir enam bulan loh, kita nikah, Sya." Ardian menatap ke arah sang istri dengan lekat.Denyut jantung Natasya berdebar kencang saat ini. Ia tahu ke mana arah pembicaraan Ardian sekarang. "Tapi kamu 'kan, bilang kalau nggak bakal maksa aku lakukan itu?" ujarnya memperingatkan sang suami atas perjanjian mereka."Iya, tapi rasanya sudah terlalu lama aku nunggu kamu