"A ... aa ... tap–tapi, Ar." Tasya tergagap di sana.Ardian menautkan alisnya. 'Ada apa dengan Natasya? Mengapa ia seolah berubah pikiran?' tanyanya di dalam hati."Mmm, aku ... aku nggak jadi mau pisah sekarang, Ar," ucap wanita itu dengan gugup. Semenjak pulang dari rumah Afika, Natasya jadi berpikir ulang. Fika benar, jika ia memutuskan untuk berpisah tanpa alasan yang jelas, tentu saja seluruh keluarga tidak akan setuju.Selama ini Ardian telah mengambil hati semua orang. Yang ada nanti Natasya-lah yang akan disalahkan. Pasti semua akan marah besar kepadanya. Ia tentu tak mau itu terjadi. Apalagi sang nenek dalam keadaan sakit seperti ini."Sekarang?? Jadi nanti bisa jadi kamu bakal meneruskan rencana pisahnya kita, gitu?" tanya Ardian memastikan. Ia lalu tersenyum miring mendengar ungkapan Natasya, "nggak! Aku nggak mau kalau begitu. Lebih cepat lebih baik kalau niat kamu seperti itu. Besok aku yang akan membuka omongan. Kamu nggak perlu khawatir.""Eeh, bu–bukan begitu maksudny
"Bu Sarah terkena serangan jantung dan stroke. Ini kali kedua untuk serangan jantungnya dan kali ketiga untuk stroke-nya. Saya harap pihak keluarga bisa menjaga beliau dengan baik. Terus terang, di usia beliau yang sekian saya sangat khawatir. Ini beliau bisa melewati masa kritisnya adalah sebuah keajaiban," terang Dokter Nurhadi kepada keluarga Arnold setelah tiga hari Sarah Dramawan dirawat di rumah sakit.Steven Arnold mengangguk-anggukkan kepalanya paham."Terima kasih banyak, Dok," ucap Naysilla mewakili semua orang.Sementara Ardian dan Natasya hanya bisa menyimak apa yang sang dokter sampaikan."Ibu jangan banyak pikiran ya ... keluarga juga, harap menjaga hati dan perasaan Bu Sarah." Dokter senior itu tersenyum hangat ke arah Sarah yang kini wajahnya sedikit mencong karena terkena bell palsy, lalu mengedarkan pandangan menggilir anggota keluarga Arnold yang ada di ruangan itu."In syaa Allah, Dok," jawab Naysilla.Natasya menganggukkan kepalanya."Te–terima ka–sih, Dok," ucap
Natasya kontan berbalik menghadap sang suami ketika teringat perjanjian mereka waktu di rumah keluarga besar di desa. "Janji yang mana maksud kamu, Ar? Janji aku jadi istri yang nurut sama kamu? Tapi, 'kan kamu juga udah janji nggak bakal suruh aku layanin kamu di ranjang?" cecar wanita itu dengan perasaan yang memanas. Ya, baru saja pulang dari 'kesibukan' semua orang akibat sang nenek yang masuk rumah sakit. Eh, Ardian malah memancing emosinya.Ardian menarik napas dalam kemudian mengembuskan udara perlahan. "Alhamdulillah kalau kamu ingat janji kita," ujarnya sembari tersenyum. Tampaknya ini bukan waktu yang tepat untuk bercanda dengan Natasya."Iya, aku ingat! Memangnya aku udah pikun apa?" cetus Tasya kesal."Oke-oke. Pertama-tama, aku minta kamu kalau ngomong ke aku nadanya jangan ngegas gitu ya, istrikuuu ...."Natasya kontan meringis mendengar panggilan 'istriku' dari lisan Ardian. Terasa sangat menggelikan di telinganya. Akan tetapi, dia berusaha menahan emosinya. Ya, dia su
Tak mau semua orang berpikiran yang tidak-tidak, Natasya pun segera menarik kedua sudut bibirnya ke atas dengan terpaksa. "Hehe ... iya, Sayang ...," jawabnya berusaha menyesuaikan dengan gaya sok mesra yang diperankan oleh Ardian.Akan tetapi, di dalam hatinya Tasya merutuk, 'Ardian lebay banget! Ngapain sih, pake rangkul dan panggil sayang di depan semua orang begini?' "Grand–ma se–nang li–hat ka–lian mes–ra begi–ni." Sarah tersenyum bahagia meskipun dengan bibir yang miring sebelah itu.Binar kebahagiaan yang tercipta di kedua mata tuanya ternyata cukup menyentuh hati Natasya. Entah mengapa tanpa sadar senyuman terpaksanya kini berubah menjadi untaian senyum yang tulus. Ia ikut senang melihat sang nenek ceria. 'Aku sayang sama Grandma. Panjangkan umur Grandma ya, Rabb ... hamba masih ingin lebih lama bersamanya,' doa Natasya di dalam hati.***"Ibu senang kamu dengan Ardian akur kayak gini, Nak," ucap Naysilla kepada putri kesayangannya.Saat ini keduanya sedang berada di ruang t
"Iya. Grandma 'kan, sering bertanya soal kita yang mesti memberikan beliau ...." Ardian menggantung omongannya sembari beringsut semakin mendekatkan tubuhnya ke arah Natasya."Kok, kamu makin deket-deket gini?" protes Natasya sambil mendudukkan dirinya dengan cepat dan wajahnya terlihat mulai panik. Ia heran dengan gelagat Ardian. Ardian kontan ikut duduk kemudian mengarahkan telunjuknya ke depan bibir. "Sshhh ...."Kedua alis Natasya semakin bertaut kencang. "Grandma nyuruh kita berikan apa? Cicit itu maksud kamu?" cecarnya dengan suara yang tertahan. Ia juga malu kalau sampai berisik membahas hal intim seperti itu."Sudah hampir enam bulan loh, kita nikah, Sya." Ardian menatap ke arah sang istri dengan lekat.Denyut jantung Natasya berdebar kencang saat ini. Ia tahu ke mana arah pembicaraan Ardian sekarang. "Tapi kamu 'kan, bilang kalau nggak bakal maksa aku lakukan itu?" ujarnya memperingatkan sang suami atas perjanjian mereka."Iya, tapi rasanya sudah terlalu lama aku nunggu kamu
*Ardian POV"Kamu mau ke mana?" tanya Tasya ketika aku baru selesai mengenakan kaus tanpa lengan lengkap dengan celana training."Olahraga sebentar di ruang gym," jawabku to the point. Di rumah ini ada ruang gym milik Daddy, jadi terkadang aku ikut menggunakannya. Dulu juga Grandma melakukan fisioterapi di situ. Namun, semenjak beliau tidak lagi bisa duduk, maka terapi dilakukan di dalam kamarnya saja."Kamu nggak kerja? Katanya mau setengah hari kerjanya?" tanya Natasya lagi."Nggak. Aku udah bilang ke Santi kalau aku nggak ngantor hari ini. Nanggung!" Santi adalah sekretaris di kantor. Aku memutuskan untuk tidak bekerja saja hari ini. Tadinya memang aku hanya akan pergi sebentar kemudian kembali lagi karena ada acara keluarga nanti siang. Namun, kupikir-pikir waktunya terlalu mepet. Bikin aku capek saja bolak-balik kantor dan rumah. Pagi ini, untuk mengisi waktu luang, lebih baik aku olahraga di ruang gym milik Daddy. "Ar, aku nggak suka cara bercanda kamu kayak tadi malam ya," p
Siang itu rumah keluarga Arnold tampak begitu semarak. Bibi beserta dua sepupu Naysilla datang, terlihat juga Monalisa dengan suami beserta salah seorang putranya, kemudian Hardi—ayah Ardian, juga Arya yang ternyata membawa Naura—mantan adik ipar Ardian— ikut meramaikan suasana di sana. Satu per satu bergiliran mereka mendatangi Sarah yang masih terbaring di dalam kamarnya.Meski dalam keadaan payah, Sarah terlihat sangat bahagia dengan berkumpulnya seluruh keluarga besar mereka di rumah itu.Hendi tampak belum hadir, sehingga sedikit mengurangi kelengkapan keluarga ini. Terutama bagi Natasya yang diam-diam menanti kehadiran pria tampan itu. Untung saja ada Afika yang sedikit banyak bisa mengobati sepinya penantian diam-diam Natasya kepada seseorang yang sebenarnya tidak perlu lagi ia harapkan tersebut."Loh, Naura. Kamu ke sini juga?" tanya Ardian yang sedikit kaget karena memang mantan adik iparnya itu tidak diundang sebenarnya. Karena memang bukan bagian dari keluarga Arnold.Naura
*Ardian POV"Ar, adekmu pekan depan wisuda. Kamu sama Tasya bisa ikut dateng, 'kan? Acaranya di auditorium kampusnya," tanya ayah kepadaku. Ya, ayah dan Tante Nina—ibu Arya— ikut hadir meramaikan acara kumpul keluarga di siang hari ini."Akhirnya wisuda juga dia ya, Yah ...." Aku tersenyum tipis mendengar berita dari ayah. Bagaimana tidak, Arya dulu hampir saja di-DO—Drop Out— karena terlalu lama bersantai-santai. Mahasiswa lain normalnya kuliah S-1 dalam waktu 5 tahun saja, dia malah hampir 8 tahun, baru selesai skripsi. Adik sambungku itu terlalu banyak bermain-main."Kamu tahu aja gimana si Arya, Ar ...," timpal Tante Nina. Beliau tidak pernah membela kenakalan anaknya. Arya saja yang memang bergajulan, "acara wisuda mulainya jam 9. Kamu sama Tasya ikut ya?" ajak beliau."Oke, Tan. In syaa Allah aku usahakan datang. Nanti aku tanya Natasya, bisa apa nggak," sahutku sembari melirik ke arah Natasya dan sahabatnya tadi—Akan tetapi, bola mata ini kontan mengikuti ke mana arah langkah
"Apa maksud omongan kamu tadi, Ya?" tanya Ardian dengan melempar tatapan setajam peluru, "kalian berduaan seperti ini di dalam kamar. Dan Naura, kamu membuka dadamu di hadapan, Arya. Apa pantas?" Lelaki itu menoleh ke arah sang istri."Ba–Bang, akuu ... aku bisa jelasin semuanya." Naura tergagap di tempatnya."Bang, aku dan Naura mau jelasin sesuatu," sela Arya. Ia lalu mencoba mendekati sang kakak.Namun, Ardian segera menjauh, ia mencoba menenangkan diri dengan menjaga jarak. Lelaki itu mendaratkan bobotnya ke atas sofa single yang ada di kamar tersebut. "Oke, jelaskan!" tegasnya.Arya dan Naura saling mencuri pandang satu sama lain. Mereka sungguh merasa salah tingkah di hadapan Ardian saat ini.Karena kedua orang itu masih saja tidak memulai omongan, kembali Ardian menyeru, "Ayo! Katanya mau menjelaskan ke Abang? Ada apa dengan kalian? Kedustaan dan tipuan apa yang sudah dilakukan kepada Abang?" sindirnya. Ia tadi sempat mencerna apa yang Arya bicarakan.Arya dan Naura terlihat ge
"Bang, Abang udah di mana?" tanya Arya kepada Ardian."Abang udah nyampe di Banten ini, Ya. Ini lagi dalam perjalanan ke apartemen.""Oh, nggak jadi ke rumah sakit langsung?" "Abang mesti antar Tasya dan Syirisy dulu ke apartemen, Ya. Syirisy tiba-tiba demam, panas badannya. Gimana kabar Papa Lukman? Nanti abis antar mereka, Abang langsung ke rumah sakit!" "Bang ...." Arya menggantung omongannya."Iya?" "Papa Naura ... udah meninggal dunia," lanjut Arya.Deg!Kontan saja Ardian tertegun dan kaku. Lidahnya terasa kelu seketika karena mendengar berita mengejutkan itu."Kenapa, Yah?" tanya Natasya ketika melihat sang suami yang tiba-tiba terdiam begitu saja."Innalillaahi wa inna ilaihi raaji'uun," ucap Ardian dengan lirih.Natasya langsung mengernyitkan dahinya. "Papanya Naura meninggal?" tanyanya memastikan.Ardian refleks menganggukkan kepalanya. Natasya beringsut mendekati sang suami. Ia pun meraih telapak tangan Ardian yang bebas dan menggenggamnya erat. Wanita itu sangat menger
Natasya lalu bangkit dari tempat tidur dan berdiri tegak menatap dengan sorot mata yang nanar ke arah sang suami. "Kamu dengar apa yang aku katakan, Ar!" serunya tegas. Kelopak mata Tasya terlihat sembab karena menangis semalaman, tetapi sudah tak ada air mata lagi dari sana saat ini.Wanita itu sudah tidak lagi memanggil Ardian dengan sebutan 'ayah' karena sakit hati yang mendera sejak tadi malam."Iya, Ayah dengar. Tapi, kenapa malah kamu yang minta cerai begini, Bun?" Ardian ikut berdiri, kemudian mendekati sang istri hendak meraih tangannya.Natasya menghindar. "Naura sudah mau mundur, karena dia tahu pernikahan poligami ini nggak bakal berhasil. Aku juga berpendapat sama! So, memang harus ada yang mengalah.""Mengalah apa, Bun? Kita di pernikahan poligami ini baru sebentar, 'kan? Belum juga ada setahun," kilah Ardian memprotes apa yang Natasya sampaikan."Ooh, jadi kamu menikmati pernikahan poligami ini, heh?" cibir Natasya, "laki-laki di mana-mana kayak begini ya! Senang ngoleks
Ardian berteriak memanggil. Ia langsung bangkit dan kelabakan mengejar Natasya.Arya yang melihat hal itu pun segera mengejar kakak lelakinya.Sampai di lift, Ardian tak sempat masuk ke dalam karena Natasya lekas menutup pintunya."Bang, sudahlah. Biar aja dulu Tasya pulang!" bujuk Arya kepada sang kakak."Natasya mesti paham maksud Abang!" seru Ardian sambil terus menekan tombol lift agar segera terbuka.Tak lama kemudian pintu ruang kecil itu pun terbuka. Lelaki itu segera masuk dan Arya pun turut ke dalamnya.Arya melihat ke arah sang kakak dengan perasaan yang tidak menentu. Ingin sekali ia mendesak agar Ardian segera menceraikan Naura supaya tidak ada lagi penghalang baginya untuk mendekati kekasih hatinya itu.Sesampai di lantai bawah, lift berdenting, lantas terbuka lebar.Dengan cepat Ardian berlari hendak menuju ke parkiran mobil. Arya berjalan mengekorinya.Akan tetapi, sekali lagi, Ardian terlambat. Natasya sudah membawa kendaraan roda empat itu keluar dari gerbang area par
"Maksud kamu apa, Dek? Kok, tiba-tiba minta cerai?" Ardian menautkan kedua alisnya dan memicingkan mata menatap heran ke arah sang istri muda.Natasya terkesiap. Ia melebarkan bola mata sebab begitu kaget dengan apa yang baru saja dipinta oleh Naura kepada sang suami. 'Beneran ini? Ada apa? Masak cuma gara-gara Ardian sakit dan telat nyamperin, dia langsung minta cerai??' tanyanya dalam hati.Sementara Arya yang sudah mengetahui rencana itu memilih diam dan menunduk. Ia menyerahkan semua keputusan kepada Naura. Ia bersyukur akhirnya bisa punya kesempatan untuk bersatu dengan sang kekasih hati. Apalagi setelah tahu Arga adalah darah dagingnya sendiri, ia merasa sangat bahagia."A–ku rasa nggak bisa lagi menjalankan pernikahan poligami ini, Bang. Aku nggak sanggup. Lebih baik aku mundur," imbuh Naura tanpa mau melihat wajah Ardian.Ardian menoleh ke arah sang mertua yang seakan membuang muka juga di pembaringannya. Lalu bergiliran ia menoleh ke arah Natasya dan juga Arya. Lelaki itu sea
"Ayo, Bun!" seru Ardian kepada Natasya yang ada di belakangnya.Natasya menghela napas lelah. Ia melajukan langkah menyusul sang suami yang sudah berada di lift hotel.Ya, Ardian terbangun pukul setengah 12 malam. Ia baru teringat kalau malam ini dirinya mesti bersama Naura. Ia khawatir kalau Naura kecewa kalau ia tidak datang. Karena jatah Naura berada di kota itu tinggal dua malam saja. Malam ini, dan malam besok. Tentu saja lelaki itu merasa bersalah jika sampai tidak menunaikan kewajibannya. Padahal sudah jauh-jauh Naura berangkat ke kota Pontianak.Sementara Natasya, tadinya ia telah menjelaskan kepada sang suami kalau ia sudah menelepon Naura. Akan tetapi, Ardian yang masih sakit itu tetap berkeras mau mendatangi istri mudanya karena rasa tanggungjawab. Tadinya Natasya marah karena Ardian keras kepala. Namun, akhirnya ia kasihan melihat sang suami yang lemas karena sudah sakit, mesti ditambah pula berdebat dengannya. Akhirnya Natasya mengizinkan sang suami pergi dengan syarat
"Ma–Mama ...?" lirih Naura masih tampak terperanjat dengan kedatangan sang ibu. Tiba-tiba Arga menangis kencang. Bayi lelaki itu terkejut dengan suara keras dari Sufia. "Ya Allah, Nauraaa! Aryaaa! Kenapa kalian melakukan perbuatan setan ini ...?!" pekik Sufia lagi. Arya tampak bingung sekaligus kelabakan karena di depan ada Sufia yang marah-marah, dan di sebelahnya Arga yang terus menangis kencang. Sementara dirinya masih dalam keadaan naked di balik selimut bersama Naura. "Mama Naura, i–ini nggak seperti yang Mama Naura pikirkan," ujar Arya gugup. Ia meraih celananya yang terserak di sana, dan dengan terburu-buru ia berusaha mengenakannya lagi. "Nauraaa ... Mama nggak nyangka bisa kejadian hal seperti ini lagiii? Otak kalian ke mana?!!" bentak Sufia dengan linangan air mata serta tatapan yang nanar. Arya yang sudah mengenakan kembali celananya, dengan cepat mendatangi Arga, lantas meraih bayi kecil itu. "Cup cup cup, diam, Sayang ...." Naura tertunduk dalam sembari terus
Akan tetapi, dua detik kemudian ponselnya berdering. Itu nomor Ardian lagi. Namun, itu sebuah panggilan video, bukan suara."Tuuuh, lo liat! Ardian tidur dan dia memang lagi sakit ... biar lo percaya ...." Suara Natasya terdengar lirih dan geram sambil men-zoom gambar di kamera ponsel itu mengarah ke pembaringan Ardian. Lelaki itu terlihat meringkuk di dalam selimut. Sepertinya Tasya mengambil video dari luar kamarnya. Memang ia sengaja mengambil gambar dari jarak jauh agar jangan sampai Ardian terganggu karena mendengar suaranya yang sedang bicara dengan Naura.Naura menekan kedua rahangnya dengan keras. "Sudah, 'kan? Lo udah percaya sama gue sekarang? Sorry, ini bikin lo kecewa. Bye!" Kembali Natasya memutuskan sambungan telepon mereka."Aaaaaarrrgh ...!!!" Naura melempar ponselnya ke tempat tidur.Dengan gerakan cepat wanita itu mengambil kimono lingerie-nya, lantas mengenakannya. Kemudian ia melangkah lebar keluar kamar dan menggedor kamar Arga.Brak! Brak! Brak!Tidak butuh wak
"Dek, Arya cuma bilang dia minta masakin sama kamu," tukas Ardian menjelaskan sembari menatap lekat ke arah sang istri muda. Ia juga heran dengan Naura yang seakan tengah melantur dan tidak fokus terhadap pertanyaan Arya.Dahi Naura terlihat mengernyit kencang. Ia berusaha mencerna maksud suaminya."Yaaa, kalau nggak mau masakin aku juga nggak apa-apa. Nggak perlu ngegas juga," ucap Arya cuek. Ia lanjut mengunyah makanannya."Kamu kenapa, Nak? Memangnya kamu pikir Arya bicara apa tadi?" tanya Sufia heran.Bola mata Naura berlari ke sana kemari. Ia juga bingung mengapa pendengaran dan pikirannya jadi ke mana-mana. Sungguh, dia tadi menyangka kalau Arya membicarakan masa lalu mereka berdua di hadapan semua orang dan tentu saja dia mau membantahnya."Hmm, aku udah kenyang. Makasih banyak Tasya dan Bik Jum udah masak makanan yang enak banget siang ini. Tadi aku benar-benar lapar karena dari tadi malam belum sempat menyentuh makanan apa pun," tutur Ardian mengalihkan bahasan. Lelaki itu m