*Ardian POV"Kamu mau ke mana?" tanya Tasya ketika aku baru selesai mengenakan kaus tanpa lengan lengkap dengan celana training."Olahraga sebentar di ruang gym," jawabku to the point. Di rumah ini ada ruang gym milik Daddy, jadi terkadang aku ikut menggunakannya. Dulu juga Grandma melakukan fisioterapi di situ. Namun, semenjak beliau tidak lagi bisa duduk, maka terapi dilakukan di dalam kamarnya saja."Kamu nggak kerja? Katanya mau setengah hari kerjanya?" tanya Natasya lagi."Nggak. Aku udah bilang ke Santi kalau aku nggak ngantor hari ini. Nanggung!" Santi adalah sekretaris di kantor. Aku memutuskan untuk tidak bekerja saja hari ini. Tadinya memang aku hanya akan pergi sebentar kemudian kembali lagi karena ada acara keluarga nanti siang. Namun, kupikir-pikir waktunya terlalu mepet. Bikin aku capek saja bolak-balik kantor dan rumah. Pagi ini, untuk mengisi waktu luang, lebih baik aku olahraga di ruang gym milik Daddy. "Ar, aku nggak suka cara bercanda kamu kayak tadi malam ya," p
Siang itu rumah keluarga Arnold tampak begitu semarak. Bibi beserta dua sepupu Naysilla datang, terlihat juga Monalisa dengan suami beserta salah seorang putranya, kemudian Hardi—ayah Ardian, juga Arya yang ternyata membawa Naura—mantan adik ipar Ardian— ikut meramaikan suasana di sana. Satu per satu bergiliran mereka mendatangi Sarah yang masih terbaring di dalam kamarnya.Meski dalam keadaan payah, Sarah terlihat sangat bahagia dengan berkumpulnya seluruh keluarga besar mereka di rumah itu.Hendi tampak belum hadir, sehingga sedikit mengurangi kelengkapan keluarga ini. Terutama bagi Natasya yang diam-diam menanti kehadiran pria tampan itu. Untung saja ada Afika yang sedikit banyak bisa mengobati sepinya penantian diam-diam Natasya kepada seseorang yang sebenarnya tidak perlu lagi ia harapkan tersebut."Loh, Naura. Kamu ke sini juga?" tanya Ardian yang sedikit kaget karena memang mantan adik iparnya itu tidak diundang sebenarnya. Karena memang bukan bagian dari keluarga Arnold.Naura
*Ardian POV"Ar, adekmu pekan depan wisuda. Kamu sama Tasya bisa ikut dateng, 'kan? Acaranya di auditorium kampusnya," tanya ayah kepadaku. Ya, ayah dan Tante Nina—ibu Arya— ikut hadir meramaikan acara kumpul keluarga di siang hari ini."Akhirnya wisuda juga dia ya, Yah ...." Aku tersenyum tipis mendengar berita dari ayah. Bagaimana tidak, Arya dulu hampir saja di-DO—Drop Out— karena terlalu lama bersantai-santai. Mahasiswa lain normalnya kuliah S-1 dalam waktu 5 tahun saja, dia malah hampir 8 tahun, baru selesai skripsi. Adik sambungku itu terlalu banyak bermain-main."Kamu tahu aja gimana si Arya, Ar ...," timpal Tante Nina. Beliau tidak pernah membela kenakalan anaknya. Arya saja yang memang bergajulan, "acara wisuda mulainya jam 9. Kamu sama Tasya ikut ya?" ajak beliau."Oke, Tan. In syaa Allah aku usahakan datang. Nanti aku tanya Natasya, bisa apa nggak," sahutku sembari melirik ke arah Natasya dan sahabatnya tadi—Akan tetapi, bola mata ini kontan mengikuti ke mana arah langkah
Sesampai di kamar Sarah, ternyata ada Ely—bibi dari Nay—yang sedang mengobrol bersama Sarah. "Eh, ada kamu, Hen?" sapa Ely kepada keponakan kesayangannya itu.Hendi mengulas senyum semringah sambil meraih tangan sang bibi dan mengecup kedua pipi bibinya itu. "Bibi apa kabar? Bu Sarah juga gimana?" Tak lupa pria itu pun menyapa Sarah di pembaringannya."Alhamdulillah, Bibi baik ... mana Nisa sama Fikri?" Fikri adalah anak Hendi yang masih berusia dua tahun."Ibu baik, alham—dulillah. Iya nih, mana istri dan anakmu, Hen?" sahut Sarah. Lidahnya sudah lebih baik dalam berbicara. Karena sering melakukan terapi. Bell palsy di wajahnya pun sudah tidak separah waktu itu."Mereka nggak ikut, sedang di Bogor."Hendi, Ardian, dan Natasya pun mengambil duduk di kursi yang disediakan di ruang kamar itu.Natasya berusaha menghindari tangan sang suami karena merasa risih Ardian terus saja tidak mau melepasnya. Namun, Ardian sengaja mempererat genggaman tangan mereka. Ia memasang wajah cuek di had
Baru saja Ardian mendaratkan bokongnya di sebelah sang istri, tiba-tiba saja Natasya langsung mengomel—"Daddy kebiasaan! Sukanya maksain kehendak. Kenapa nggak suruh orang lain aja sih, urus pabrik dan pergi ke Kalimantan?!" keluh Natasya kepada sang suami di taman rumah keluarga besar mereka. Natasya tadinya hanya duduk sendirian di sebuah bangku panjang di taman itu. Namun, karena sudah mulai larut dan wanita itu masih terus saja termenung di sana, akhirnya Ardian menyusul. Ketika ia ikut duduk di samping sang istri, Natasya pun menyampaikan uneg-unegnya. Wanita itu sangat kesal, karena kalau sang ayah sudah membuat keputusan bulat, maka siapa pun tidak akan boleh membantah, kecuali sang nenek. Ya, Steven tidak akan mau mendengar penolakan dari siapa pun juga. Pria paruh baya itu hanya mau menurut kepada ibunya saja."Masih dalam proses juga pabriknya, Sya ...," sahut sang suami berusaha menenangkan istrinya."Iya, emang. Tapi 'kan, tetep aja aku disuruh pindah nanti kalo pabrikn
*Ardian POV"Kamu lebay tahu nggak?! Apalagi ini di hadapan Kak Hendi!" Dahiku mengernyit keras mendengar dia berulang-ulang menyebut nama Hendi. Memang kalau di hadapan Hendi kenapa?! Daging merah di dalam dada ini terasa benar-benar panas!"Lagipula aku juga nggak bakal pernah mau dicium sama kamu, meskipun di ruang privasi sekalipun!" serunya makin terlihat kesal."Oh, yaa?!" Dengan cepat Aku menangkap tangan Natasya dan menariknya ke dalam pelukanku. Ia tampak terperanjat dengan apa yang kuperbuat."Lepasin, ah, Ardian!" Ia berusaha meronta.Akan tetapi, aku justru mempererat pelukan dan menarik tubuhnya semakin rapat. "Memangnya kenapa kalau aku mau cium kamu? Kamu 'kan, istriku, heh? Jangankan cuma cium, bahkan lebih dari itu, aku berhak!" ucapku geram.Natasya terus saja berontak. Namun, ia pasti tahu perbuatannya itu sia-sia. Kekuatannya tak sebanding denganku."Kamu sudah janji ke aku akan menuruti apa yang aku mau. Ingat?"Tasya menatap nanar ke arah bibirku. Ia tidak mau
Pok!Natasya memukul ke arah wajah Ardian. Akan tetapi, karena sang suami refleks menghindar, maka lehernyalah yang terkena pukulan. "Kamu!" Sorot mata wanita cantik itu terlihat sangat emosi."Kenapa? Kamu marah?" Ardian menangkap tangan sang istri yang barusan memukulnya."Ya jelas aku marah! Kamu asal cium sembarangan!" Natasya menarik tangannya hingga terlepas sembari bangkit berdiri dan terus menatap Ardian dengan sorot mata yang nanar. Ia benar-benar kesal karena Ardian bertindak seenaknya."Kamu istriku, aku berhak cium kamu!" tegas Ardian ikut bangkit."Kamu memang suka bikin aku marah, Ar! Udahlah tingkahmu makin hari makin lebay. Sekarang kamu berani cium aku! Aku nggak sudi. Paham kamu?!" cetus Tasya berang."Melayani aku di ranjang nggak boleh, sekadar cium pun nggak boleh. Aku ini suamimu, Sya!" ingat Ardian untuk ke sekian kali."Terus kamu maunya apa??" geram Natasya menantang."Kamu yang maunya apa?!" teriak Ardian akhirnya."Shhhhh ...!" Natasya kontan mengarahkan tel
"Enak ciumannya?" tanya Afika sembari meraih French Fries di hadapan dan mengunyahnya.Natasya mengangguk-anggukkan kepala. Wanita itu juga bingung dengan perasaannya tadi subuh. Ternyata ketika dia pasrah dan Ardian melembutkan ciumannya, justru ia sangat menikmati hal itu."Mungkin lo udah mulai membuka hati buat dia," ujar Fika sembari mencebik dan menaikkan kedua alisnya, "bagus dong, kalo gitu, Sya."Natasya menghela napas panjang. Lalu ia memegang kepala dengan dua tangannya. "Kayaknya itu cuma nafsu, Fik," kilahnya, membantah omongan sang sahabat.Afika mengendikkan bahu. "Bisa jadi juga," ucapnya membenarkan, "tapi nggak masalah sih, Sya. Seperti kata gue dulu. Lo lebih baik ambil manfaat dari pernikahan ini. Kayaknya juga lo udah mulai terbuka dengan masuknya Ardian lebih dalam di kehidupan lo," sambungnya."Menurut lo begitu?" Natasya menautkan kedua alisnya."Hu um." Afika menaikkan kedua alisnya dan mengangguk sekali."Tapi jujur gue nggak suka sikapnya yang lebay banget d