Baru saja Ardian mendaratkan bokongnya di sebelah sang istri, tiba-tiba saja Natasya langsung mengomel—"Daddy kebiasaan! Sukanya maksain kehendak. Kenapa nggak suruh orang lain aja sih, urus pabrik dan pergi ke Kalimantan?!" keluh Natasya kepada sang suami di taman rumah keluarga besar mereka. Natasya tadinya hanya duduk sendirian di sebuah bangku panjang di taman itu. Namun, karena sudah mulai larut dan wanita itu masih terus saja termenung di sana, akhirnya Ardian menyusul. Ketika ia ikut duduk di samping sang istri, Natasya pun menyampaikan uneg-unegnya. Wanita itu sangat kesal, karena kalau sang ayah sudah membuat keputusan bulat, maka siapa pun tidak akan boleh membantah, kecuali sang nenek. Ya, Steven tidak akan mau mendengar penolakan dari siapa pun juga. Pria paruh baya itu hanya mau menurut kepada ibunya saja."Masih dalam proses juga pabriknya, Sya ...," sahut sang suami berusaha menenangkan istrinya."Iya, emang. Tapi 'kan, tetep aja aku disuruh pindah nanti kalo pabrikn
*Ardian POV"Kamu lebay tahu nggak?! Apalagi ini di hadapan Kak Hendi!" Dahiku mengernyit keras mendengar dia berulang-ulang menyebut nama Hendi. Memang kalau di hadapan Hendi kenapa?! Daging merah di dalam dada ini terasa benar-benar panas!"Lagipula aku juga nggak bakal pernah mau dicium sama kamu, meskipun di ruang privasi sekalipun!" serunya makin terlihat kesal."Oh, yaa?!" Dengan cepat Aku menangkap tangan Natasya dan menariknya ke dalam pelukanku. Ia tampak terperanjat dengan apa yang kuperbuat."Lepasin, ah, Ardian!" Ia berusaha meronta.Akan tetapi, aku justru mempererat pelukan dan menarik tubuhnya semakin rapat. "Memangnya kenapa kalau aku mau cium kamu? Kamu 'kan, istriku, heh? Jangankan cuma cium, bahkan lebih dari itu, aku berhak!" ucapku geram.Natasya terus saja berontak. Namun, ia pasti tahu perbuatannya itu sia-sia. Kekuatannya tak sebanding denganku."Kamu sudah janji ke aku akan menuruti apa yang aku mau. Ingat?"Tasya menatap nanar ke arah bibirku. Ia tidak mau
Pok!Natasya memukul ke arah wajah Ardian. Akan tetapi, karena sang suami refleks menghindar, maka lehernyalah yang terkena pukulan. "Kamu!" Sorot mata wanita cantik itu terlihat sangat emosi."Kenapa? Kamu marah?" Ardian menangkap tangan sang istri yang barusan memukulnya."Ya jelas aku marah! Kamu asal cium sembarangan!" Natasya menarik tangannya hingga terlepas sembari bangkit berdiri dan terus menatap Ardian dengan sorot mata yang nanar. Ia benar-benar kesal karena Ardian bertindak seenaknya."Kamu istriku, aku berhak cium kamu!" tegas Ardian ikut bangkit."Kamu memang suka bikin aku marah, Ar! Udahlah tingkahmu makin hari makin lebay. Sekarang kamu berani cium aku! Aku nggak sudi. Paham kamu?!" cetus Tasya berang."Melayani aku di ranjang nggak boleh, sekadar cium pun nggak boleh. Aku ini suamimu, Sya!" ingat Ardian untuk ke sekian kali."Terus kamu maunya apa??" geram Natasya menantang."Kamu yang maunya apa?!" teriak Ardian akhirnya."Shhhhh ...!" Natasya kontan mengarahkan tel
"Enak ciumannya?" tanya Afika sembari meraih French Fries di hadapan dan mengunyahnya.Natasya mengangguk-anggukkan kepala. Wanita itu juga bingung dengan perasaannya tadi subuh. Ternyata ketika dia pasrah dan Ardian melembutkan ciumannya, justru ia sangat menikmati hal itu."Mungkin lo udah mulai membuka hati buat dia," ujar Fika sembari mencebik dan menaikkan kedua alisnya, "bagus dong, kalo gitu, Sya."Natasya menghela napas panjang. Lalu ia memegang kepala dengan dua tangannya. "Kayaknya itu cuma nafsu, Fik," kilahnya, membantah omongan sang sahabat.Afika mengendikkan bahu. "Bisa jadi juga," ucapnya membenarkan, "tapi nggak masalah sih, Sya. Seperti kata gue dulu. Lo lebih baik ambil manfaat dari pernikahan ini. Kayaknya juga lo udah mulai terbuka dengan masuknya Ardian lebih dalam di kehidupan lo," sambungnya."Menurut lo begitu?" Natasya menautkan kedua alisnya."Hu um." Afika menaikkan kedua alisnya dan mengangguk sekali."Tapi jujur gue nggak suka sikapnya yang lebay banget d
*Ardian POVSepanjang hari di kantor entah mengapa bibir ini rasanya tak kuasa untuk menahan senyuman. Di kepalaku ini selalu saja berputar-putar bayangan Natasya. Aku teringat terus kejadian tadi subuh di kamar. Ya, Tasya membalas ciuman bibirku dan dia sangat menikmati itu. Aaah ... aku jadi kangen kamu, Sya.Hari ini sengaja aku mengerjakan pekerjaan lebih cepat dari biasanya. Untung saja pekerjaan sudah selesai sejak jam dua siang ini. Jadinya ba'da ashar aku pun memutuskan untuk segera pulang."San, saya mau pulang sekarang. Kalau ada apa-apa kamu hubungi handphone saya aja ya," ucapku kepada Santi, sekretarisku di kantor."Oh, tumben Bapak pulang awal, biasanya malah nggak mau kalau terlalu awal begini." Santi tersenyum hangat.Dia tahu betul, kalau aku selama ini malah sengaja memperlama pekerjaanku. Bahkan kalau sudah selesai pun, aku sengaja mencari kesibukan lain supaya pulangnya makin lama."Iya. Kamu ingat pesan saya ya," jawabku singkat tanpa menjelaskan apa pun. Nggak
Keluarga Daddy dan juga Ibu tampak kembali berkumpul. Kali ini bukan untuk acara makan-makan lagi. Akan tetapi, menghadiri pemulasaran dan pemakaman jenazah Grandma.Para tetangga dan warga desa silih berganti berta'ziah dan menyampaikan rasa belasungkawa kepada kami semua. Tidak ketinggalan hadir juga mantan ibu mertuaku—Mama Sufia— dan juga mantan adik iparku—Naura."Salam dari papa buat keluarga Arnold ya, Ar. Kami ikut berduka cita," ucap Mama kepadaku."Iya, Ma," jawabku singkat."Kak Tasya mana, Bang?" tanya Naura."Ada di sana." Aku menunjuk ke arah tempat duduk Tasya yang sedang dihibur oleh sahabat dekatnya, Afika. "Tasya terpukul banget dengan meninggalnya Grandma," lanjutku.Mama Sufia dan Naura mengangguk-anggukkan kepala. Mereka tentu memahami apa yang dirasakan keluarga ini. Mereka dan aku juga dulu pernah merasakan hal yang sama. Yakni kehilangan seseorang yang sangat dikasihi. Bahkan Mama waktu itu sampai pingsan beberapa kali ketika menghadapi kematian putri pertamany
Gelap malam telah mengganti warna jingga di langit senja. Para kerabat keluarga Arnold dan keluarga Naysilla sudah banyak yang pulang. Mereka tidak mengadakan acara apa pun, sebab itu wasiat dari Sarah Dramawan sendiri."Kalau kalian mau bersedekah, berikan saja langsung kepada panti asuhan atau warga desa yang miskin. Jangan adakan acara apa pun ketika saya nanti dipanggil Allah. Doakan saja di dalam setiap shalat kalian. Doa kalian lebih utama dan penting untuk saya," pesan Sarah kepada anak, menantu, dan para cucunya.Ketika mereka sedang berkumpul bersama di ruang keluarga, ada yang menekan bell dan mengetuk pintu. Padahal ini sudah hampir pukul 21.00 WIB. Leha segera berlari kecil hendak membukakan pintu besar itu.Ternyata yang datang itu Hendi, adik dari Ibu sambung Natasya. "Maaf, aku telat, Kak. Soalnya kaget, baru aja aku nyampe Bandung, eh, malah denger berita duka ini. Aku nggak bisa langsung tinggalin kerjaan," ucapnya sambil menyalami Naysilla. Kemudian ia menangkupkan
"Abang dan Kak Tasya bisa dateng, 'kan?" tanya Naura memastikan, "ini juga undangan buat Pak Hardi dan juga Arya," lanjutnya menunjukkan surat undangan dua lembar lagi."In syaa Allah, Nau. Nanti ini Abang sampekan," ujar Ardian sembari mengibas pelan surat undangan tersebut."Ya udah kalau gitu aku pamit dulu, Bang. Salam aja buat Kak Tasya dan Pak Hardi ya," imbuh Naura sembari bangkit berdiri."Oke. Hati-hati," sahut Ardian seraya menggiring mantan adik iparnya sampai ke pintu.***Sementara di rumah keluarga Arnold, tampak Hendi yang baru mendaratkan bokongnya di ruang tengah karena dipanggil oleh sang kakak. "Kenapa, Kak? Kok, tumben ngajak aku ngobrol berdua gini?" Hendi menarik kedua sudut bibirnya ke atas. Ia heran, karena sepekan ini ia biasa berkumpul dengan anggota keluarga lain juga saling bercanda dan berbicara. Kali ini Nay memanggilnya dam berkata ingin bicara serius berdua saja."Kamu jangan pura-pura lagi sama Kakak. Kakak tahu, kamu pasti ada masalah 'kan, sama Anni