Pok!Natasya memukul ke arah wajah Ardian. Akan tetapi, karena sang suami refleks menghindar, maka lehernyalah yang terkena pukulan. "Kamu!" Sorot mata wanita cantik itu terlihat sangat emosi."Kenapa? Kamu marah?" Ardian menangkap tangan sang istri yang barusan memukulnya."Ya jelas aku marah! Kamu asal cium sembarangan!" Natasya menarik tangannya hingga terlepas sembari bangkit berdiri dan terus menatap Ardian dengan sorot mata yang nanar. Ia benar-benar kesal karena Ardian bertindak seenaknya."Kamu istriku, aku berhak cium kamu!" tegas Ardian ikut bangkit."Kamu memang suka bikin aku marah, Ar! Udahlah tingkahmu makin hari makin lebay. Sekarang kamu berani cium aku! Aku nggak sudi. Paham kamu?!" cetus Tasya berang."Melayani aku di ranjang nggak boleh, sekadar cium pun nggak boleh. Aku ini suamimu, Sya!" ingat Ardian untuk ke sekian kali."Terus kamu maunya apa??" geram Natasya menantang."Kamu yang maunya apa?!" teriak Ardian akhirnya."Shhhhh ...!" Natasya kontan mengarahkan tel
"Enak ciumannya?" tanya Afika sembari meraih French Fries di hadapan dan mengunyahnya.Natasya mengangguk-anggukkan kepala. Wanita itu juga bingung dengan perasaannya tadi subuh. Ternyata ketika dia pasrah dan Ardian melembutkan ciumannya, justru ia sangat menikmati hal itu."Mungkin lo udah mulai membuka hati buat dia," ujar Fika sembari mencebik dan menaikkan kedua alisnya, "bagus dong, kalo gitu, Sya."Natasya menghela napas panjang. Lalu ia memegang kepala dengan dua tangannya. "Kayaknya itu cuma nafsu, Fik," kilahnya, membantah omongan sang sahabat.Afika mengendikkan bahu. "Bisa jadi juga," ucapnya membenarkan, "tapi nggak masalah sih, Sya. Seperti kata gue dulu. Lo lebih baik ambil manfaat dari pernikahan ini. Kayaknya juga lo udah mulai terbuka dengan masuknya Ardian lebih dalam di kehidupan lo," sambungnya."Menurut lo begitu?" Natasya menautkan kedua alisnya."Hu um." Afika menaikkan kedua alisnya dan mengangguk sekali."Tapi jujur gue nggak suka sikapnya yang lebay banget d
*Ardian POVSepanjang hari di kantor entah mengapa bibir ini rasanya tak kuasa untuk menahan senyuman. Di kepalaku ini selalu saja berputar-putar bayangan Natasya. Aku teringat terus kejadian tadi subuh di kamar. Ya, Tasya membalas ciuman bibirku dan dia sangat menikmati itu. Aaah ... aku jadi kangen kamu, Sya.Hari ini sengaja aku mengerjakan pekerjaan lebih cepat dari biasanya. Untung saja pekerjaan sudah selesai sejak jam dua siang ini. Jadinya ba'da ashar aku pun memutuskan untuk segera pulang."San, saya mau pulang sekarang. Kalau ada apa-apa kamu hubungi handphone saya aja ya," ucapku kepada Santi, sekretarisku di kantor."Oh, tumben Bapak pulang awal, biasanya malah nggak mau kalau terlalu awal begini." Santi tersenyum hangat.Dia tahu betul, kalau aku selama ini malah sengaja memperlama pekerjaanku. Bahkan kalau sudah selesai pun, aku sengaja mencari kesibukan lain supaya pulangnya makin lama."Iya. Kamu ingat pesan saya ya," jawabku singkat tanpa menjelaskan apa pun. Nggak
Keluarga Daddy dan juga Ibu tampak kembali berkumpul. Kali ini bukan untuk acara makan-makan lagi. Akan tetapi, menghadiri pemulasaran dan pemakaman jenazah Grandma.Para tetangga dan warga desa silih berganti berta'ziah dan menyampaikan rasa belasungkawa kepada kami semua. Tidak ketinggalan hadir juga mantan ibu mertuaku—Mama Sufia— dan juga mantan adik iparku—Naura."Salam dari papa buat keluarga Arnold ya, Ar. Kami ikut berduka cita," ucap Mama kepadaku."Iya, Ma," jawabku singkat."Kak Tasya mana, Bang?" tanya Naura."Ada di sana." Aku menunjuk ke arah tempat duduk Tasya yang sedang dihibur oleh sahabat dekatnya, Afika. "Tasya terpukul banget dengan meninggalnya Grandma," lanjutku.Mama Sufia dan Naura mengangguk-anggukkan kepala. Mereka tentu memahami apa yang dirasakan keluarga ini. Mereka dan aku juga dulu pernah merasakan hal yang sama. Yakni kehilangan seseorang yang sangat dikasihi. Bahkan Mama waktu itu sampai pingsan beberapa kali ketika menghadapi kematian putri pertamany
Gelap malam telah mengganti warna jingga di langit senja. Para kerabat keluarga Arnold dan keluarga Naysilla sudah banyak yang pulang. Mereka tidak mengadakan acara apa pun, sebab itu wasiat dari Sarah Dramawan sendiri."Kalau kalian mau bersedekah, berikan saja langsung kepada panti asuhan atau warga desa yang miskin. Jangan adakan acara apa pun ketika saya nanti dipanggil Allah. Doakan saja di dalam setiap shalat kalian. Doa kalian lebih utama dan penting untuk saya," pesan Sarah kepada anak, menantu, dan para cucunya.Ketika mereka sedang berkumpul bersama di ruang keluarga, ada yang menekan bell dan mengetuk pintu. Padahal ini sudah hampir pukul 21.00 WIB. Leha segera berlari kecil hendak membukakan pintu besar itu.Ternyata yang datang itu Hendi, adik dari Ibu sambung Natasya. "Maaf, aku telat, Kak. Soalnya kaget, baru aja aku nyampe Bandung, eh, malah denger berita duka ini. Aku nggak bisa langsung tinggalin kerjaan," ucapnya sambil menyalami Naysilla. Kemudian ia menangkupkan
"Abang dan Kak Tasya bisa dateng, 'kan?" tanya Naura memastikan, "ini juga undangan buat Pak Hardi dan juga Arya," lanjutnya menunjukkan surat undangan dua lembar lagi."In syaa Allah, Nau. Nanti ini Abang sampekan," ujar Ardian sembari mengibas pelan surat undangan tersebut."Ya udah kalau gitu aku pamit dulu, Bang. Salam aja buat Kak Tasya dan Pak Hardi ya," imbuh Naura sembari bangkit berdiri."Oke. Hati-hati," sahut Ardian seraya menggiring mantan adik iparnya sampai ke pintu.***Sementara di rumah keluarga Arnold, tampak Hendi yang baru mendaratkan bokongnya di ruang tengah karena dipanggil oleh sang kakak. "Kenapa, Kak? Kok, tumben ngajak aku ngobrol berdua gini?" Hendi menarik kedua sudut bibirnya ke atas. Ia heran, karena sepekan ini ia biasa berkumpul dengan anggota keluarga lain juga saling bercanda dan berbicara. Kali ini Nay memanggilnya dam berkata ingin bicara serius berdua saja."Kamu jangan pura-pura lagi sama Kakak. Kakak tahu, kamu pasti ada masalah 'kan, sama Anni
*Ardian POV"Yang bener aja, Bang ... masak aku disuruh jadi pegawai biasa? Apa nggak ada jabatan yang lebih tinggi dikit gitu, setidaknya manager-laaah ...."Aku menghela napas lelah mendengar keluhan Arya. Dia baru saja lulus kuliah, belum ada pengalaman sama sekali, malah minta jabatan? Yang bener aja. "Kamu mau apa nggak? Sementara lowongan yang ada buat kamu itu. Kalau nggak mau, kamu boleh cari kerja tempat lain sana," sahutku cuek. Aku lantas bangkit dari sofa dan berjalan menuju kursi kerjaku."Masak adeknya CEO jadi pegawai rendahan?" lirih Arya masih mengeluh."Sana kamu pergi dari sini, Ya! Ngabisin waktu Abang aja." Aku mengusirnya karena kesal."Ee–eeh! Iya ... iya deh, Bang. Aku ambil kerjaan ini. Daripada nganggur," ujar Arya akhirnya."Ck!" decakku. Kemudian aku meraih gagang telepon, lalu menghubungi Santi. "San, ke sini kamu." "Baik, Pak," jawab Santi.Tak lama kemudian terdengar suara ketukan pintu dan muncullah Santi. Arya tampak mengerlingkan mata kepada sekreta
"Mama kadang ngomong ke aku, soal Abang. Kenapa sudah jarang datang ke rumah, gitu katanya." Naura tertawa kecil. Ia bercerita dengan sinar mata yang cerah.Tasya terlihat diam dengan gestur yang dingin. Ia mengalihkan pandangan ke arah pengantin yang tengah berfoto dengan para tamu yang hendak pulang."Abang beberapa waktu ini lagi banyak kerjaan, Nau," jawabku, "dua pekan lalu Grandma Tasya juga 'kan baru meninggal. Kami masih dalam suasana berkabung," sambungku menerangkan."Iyalah. Aku juga bilang gitu ke Mama," ujar Naura seraya menganggukkan kepala, "nenek Kak Tasya sakit apa kemarin meninggalnya, Bang? Aku lupa tanya.""Kena serangan jantung," jawabku sekenanya.Tasya tetap cuek di sana. Tapi, aku yakin kalau dia menyimak pembicaraan kami."Oh iya." Kembali Naura mengangguk. "Eh, aku panggil mama dulu, Bang. Mama pasti seneng Abang udah datang!" Gadis itu beranjak dari kursinya, lantas melenggang dan menjauh dari hadapan kami."Enak ya, satenya, Sya?" Aku menoleh ke arah istrik
"Apa maksud omongan kamu tadi, Ya?" tanya Ardian dengan melempar tatapan setajam peluru, "kalian berduaan seperti ini di dalam kamar. Dan Naura, kamu membuka dadamu di hadapan, Arya. Apa pantas?" Lelaki itu menoleh ke arah sang istri."Ba–Bang, akuu ... aku bisa jelasin semuanya." Naura tergagap di tempatnya."Bang, aku dan Naura mau jelasin sesuatu," sela Arya. Ia lalu mencoba mendekati sang kakak.Namun, Ardian segera menjauh, ia mencoba menenangkan diri dengan menjaga jarak. Lelaki itu mendaratkan bobotnya ke atas sofa single yang ada di kamar tersebut. "Oke, jelaskan!" tegasnya.Arya dan Naura saling mencuri pandang satu sama lain. Mereka sungguh merasa salah tingkah di hadapan Ardian saat ini.Karena kedua orang itu masih saja tidak memulai omongan, kembali Ardian menyeru, "Ayo! Katanya mau menjelaskan ke Abang? Ada apa dengan kalian? Kedustaan dan tipuan apa yang sudah dilakukan kepada Abang?" sindirnya. Ia tadi sempat mencerna apa yang Arya bicarakan.Arya dan Naura terlihat ge
"Bang, Abang udah di mana?" tanya Arya kepada Ardian."Abang udah nyampe di Banten ini, Ya. Ini lagi dalam perjalanan ke apartemen.""Oh, nggak jadi ke rumah sakit langsung?" "Abang mesti antar Tasya dan Syirisy dulu ke apartemen, Ya. Syirisy tiba-tiba demam, panas badannya. Gimana kabar Papa Lukman? Nanti abis antar mereka, Abang langsung ke rumah sakit!" "Bang ...." Arya menggantung omongannya."Iya?" "Papa Naura ... udah meninggal dunia," lanjut Arya.Deg!Kontan saja Ardian tertegun dan kaku. Lidahnya terasa kelu seketika karena mendengar berita mengejutkan itu."Kenapa, Yah?" tanya Natasya ketika melihat sang suami yang tiba-tiba terdiam begitu saja."Innalillaahi wa inna ilaihi raaji'uun," ucap Ardian dengan lirih.Natasya langsung mengernyitkan dahinya. "Papanya Naura meninggal?" tanyanya memastikan.Ardian refleks menganggukkan kepalanya. Natasya beringsut mendekati sang suami. Ia pun meraih telapak tangan Ardian yang bebas dan menggenggamnya erat. Wanita itu sangat menger
Natasya lalu bangkit dari tempat tidur dan berdiri tegak menatap dengan sorot mata yang nanar ke arah sang suami. "Kamu dengar apa yang aku katakan, Ar!" serunya tegas. Kelopak mata Tasya terlihat sembab karena menangis semalaman, tetapi sudah tak ada air mata lagi dari sana saat ini.Wanita itu sudah tidak lagi memanggil Ardian dengan sebutan 'ayah' karena sakit hati yang mendera sejak tadi malam."Iya, Ayah dengar. Tapi, kenapa malah kamu yang minta cerai begini, Bun?" Ardian ikut berdiri, kemudian mendekati sang istri hendak meraih tangannya.Natasya menghindar. "Naura sudah mau mundur, karena dia tahu pernikahan poligami ini nggak bakal berhasil. Aku juga berpendapat sama! So, memang harus ada yang mengalah.""Mengalah apa, Bun? Kita di pernikahan poligami ini baru sebentar, 'kan? Belum juga ada setahun," kilah Ardian memprotes apa yang Natasya sampaikan."Ooh, jadi kamu menikmati pernikahan poligami ini, heh?" cibir Natasya, "laki-laki di mana-mana kayak begini ya! Senang ngoleks
Ardian berteriak memanggil. Ia langsung bangkit dan kelabakan mengejar Natasya.Arya yang melihat hal itu pun segera mengejar kakak lelakinya.Sampai di lift, Ardian tak sempat masuk ke dalam karena Natasya lekas menutup pintunya."Bang, sudahlah. Biar aja dulu Tasya pulang!" bujuk Arya kepada sang kakak."Natasya mesti paham maksud Abang!" seru Ardian sambil terus menekan tombol lift agar segera terbuka.Tak lama kemudian pintu ruang kecil itu pun terbuka. Lelaki itu segera masuk dan Arya pun turut ke dalamnya.Arya melihat ke arah sang kakak dengan perasaan yang tidak menentu. Ingin sekali ia mendesak agar Ardian segera menceraikan Naura supaya tidak ada lagi penghalang baginya untuk mendekati kekasih hatinya itu.Sesampai di lantai bawah, lift berdenting, lantas terbuka lebar.Dengan cepat Ardian berlari hendak menuju ke parkiran mobil. Arya berjalan mengekorinya.Akan tetapi, sekali lagi, Ardian terlambat. Natasya sudah membawa kendaraan roda empat itu keluar dari gerbang area par
"Maksud kamu apa, Dek? Kok, tiba-tiba minta cerai?" Ardian menautkan kedua alisnya dan memicingkan mata menatap heran ke arah sang istri muda.Natasya terkesiap. Ia melebarkan bola mata sebab begitu kaget dengan apa yang baru saja dipinta oleh Naura kepada sang suami. 'Beneran ini? Ada apa? Masak cuma gara-gara Ardian sakit dan telat nyamperin, dia langsung minta cerai??' tanyanya dalam hati.Sementara Arya yang sudah mengetahui rencana itu memilih diam dan menunduk. Ia menyerahkan semua keputusan kepada Naura. Ia bersyukur akhirnya bisa punya kesempatan untuk bersatu dengan sang kekasih hati. Apalagi setelah tahu Arga adalah darah dagingnya sendiri, ia merasa sangat bahagia."A–ku rasa nggak bisa lagi menjalankan pernikahan poligami ini, Bang. Aku nggak sanggup. Lebih baik aku mundur," imbuh Naura tanpa mau melihat wajah Ardian.Ardian menoleh ke arah sang mertua yang seakan membuang muka juga di pembaringannya. Lalu bergiliran ia menoleh ke arah Natasya dan juga Arya. Lelaki itu sea
"Ayo, Bun!" seru Ardian kepada Natasya yang ada di belakangnya.Natasya menghela napas lelah. Ia melajukan langkah menyusul sang suami yang sudah berada di lift hotel.Ya, Ardian terbangun pukul setengah 12 malam. Ia baru teringat kalau malam ini dirinya mesti bersama Naura. Ia khawatir kalau Naura kecewa kalau ia tidak datang. Karena jatah Naura berada di kota itu tinggal dua malam saja. Malam ini, dan malam besok. Tentu saja lelaki itu merasa bersalah jika sampai tidak menunaikan kewajibannya. Padahal sudah jauh-jauh Naura berangkat ke kota Pontianak.Sementara Natasya, tadinya ia telah menjelaskan kepada sang suami kalau ia sudah menelepon Naura. Akan tetapi, Ardian yang masih sakit itu tetap berkeras mau mendatangi istri mudanya karena rasa tanggungjawab. Tadinya Natasya marah karena Ardian keras kepala. Namun, akhirnya ia kasihan melihat sang suami yang lemas karena sudah sakit, mesti ditambah pula berdebat dengannya. Akhirnya Natasya mengizinkan sang suami pergi dengan syarat
"Ma–Mama ...?" lirih Naura masih tampak terperanjat dengan kedatangan sang ibu. Tiba-tiba Arga menangis kencang. Bayi lelaki itu terkejut dengan suara keras dari Sufia. "Ya Allah, Nauraaa! Aryaaa! Kenapa kalian melakukan perbuatan setan ini ...?!" pekik Sufia lagi. Arya tampak bingung sekaligus kelabakan karena di depan ada Sufia yang marah-marah, dan di sebelahnya Arga yang terus menangis kencang. Sementara dirinya masih dalam keadaan naked di balik selimut bersama Naura. "Mama Naura, i–ini nggak seperti yang Mama Naura pikirkan," ujar Arya gugup. Ia meraih celananya yang terserak di sana, dan dengan terburu-buru ia berusaha mengenakannya lagi. "Nauraaa ... Mama nggak nyangka bisa kejadian hal seperti ini lagiii? Otak kalian ke mana?!!" bentak Sufia dengan linangan air mata serta tatapan yang nanar. Arya yang sudah mengenakan kembali celananya, dengan cepat mendatangi Arga, lantas meraih bayi kecil itu. "Cup cup cup, diam, Sayang ...." Naura tertunduk dalam sembari terus
Akan tetapi, dua detik kemudian ponselnya berdering. Itu nomor Ardian lagi. Namun, itu sebuah panggilan video, bukan suara."Tuuuh, lo liat! Ardian tidur dan dia memang lagi sakit ... biar lo percaya ...." Suara Natasya terdengar lirih dan geram sambil men-zoom gambar di kamera ponsel itu mengarah ke pembaringan Ardian. Lelaki itu terlihat meringkuk di dalam selimut. Sepertinya Tasya mengambil video dari luar kamarnya. Memang ia sengaja mengambil gambar dari jarak jauh agar jangan sampai Ardian terganggu karena mendengar suaranya yang sedang bicara dengan Naura.Naura menekan kedua rahangnya dengan keras. "Sudah, 'kan? Lo udah percaya sama gue sekarang? Sorry, ini bikin lo kecewa. Bye!" Kembali Natasya memutuskan sambungan telepon mereka."Aaaaaarrrgh ...!!!" Naura melempar ponselnya ke tempat tidur.Dengan gerakan cepat wanita itu mengambil kimono lingerie-nya, lantas mengenakannya. Kemudian ia melangkah lebar keluar kamar dan menggedor kamar Arga.Brak! Brak! Brak!Tidak butuh wak
"Dek, Arya cuma bilang dia minta masakin sama kamu," tukas Ardian menjelaskan sembari menatap lekat ke arah sang istri muda. Ia juga heran dengan Naura yang seakan tengah melantur dan tidak fokus terhadap pertanyaan Arya.Dahi Naura terlihat mengernyit kencang. Ia berusaha mencerna maksud suaminya."Yaaa, kalau nggak mau masakin aku juga nggak apa-apa. Nggak perlu ngegas juga," ucap Arya cuek. Ia lanjut mengunyah makanannya."Kamu kenapa, Nak? Memangnya kamu pikir Arya bicara apa tadi?" tanya Sufia heran.Bola mata Naura berlari ke sana kemari. Ia juga bingung mengapa pendengaran dan pikirannya jadi ke mana-mana. Sungguh, dia tadi menyangka kalau Arya membicarakan masa lalu mereka berdua di hadapan semua orang dan tentu saja dia mau membantahnya."Hmm, aku udah kenyang. Makasih banyak Tasya dan Bik Jum udah masak makanan yang enak banget siang ini. Tadi aku benar-benar lapar karena dari tadi malam belum sempat menyentuh makanan apa pun," tutur Ardian mengalihkan bahasan. Lelaki itu m