*Ardian POV"Yang bener aja, Bang ... masak aku disuruh jadi pegawai biasa? Apa nggak ada jabatan yang lebih tinggi dikit gitu, setidaknya manager-laaah ...."Aku menghela napas lelah mendengar keluhan Arya. Dia baru saja lulus kuliah, belum ada pengalaman sama sekali, malah minta jabatan? Yang bener aja. "Kamu mau apa nggak? Sementara lowongan yang ada buat kamu itu. Kalau nggak mau, kamu boleh cari kerja tempat lain sana," sahutku cuek. Aku lantas bangkit dari sofa dan berjalan menuju kursi kerjaku."Masak adeknya CEO jadi pegawai rendahan?" lirih Arya masih mengeluh."Sana kamu pergi dari sini, Ya! Ngabisin waktu Abang aja." Aku mengusirnya karena kesal."Ee–eeh! Iya ... iya deh, Bang. Aku ambil kerjaan ini. Daripada nganggur," ujar Arya akhirnya."Ck!" decakku. Kemudian aku meraih gagang telepon, lalu menghubungi Santi. "San, ke sini kamu." "Baik, Pak," jawab Santi.Tak lama kemudian terdengar suara ketukan pintu dan muncullah Santi. Arya tampak mengerlingkan mata kepada sekreta
"Mama kadang ngomong ke aku, soal Abang. Kenapa sudah jarang datang ke rumah, gitu katanya." Naura tertawa kecil. Ia bercerita dengan sinar mata yang cerah.Tasya terlihat diam dengan gestur yang dingin. Ia mengalihkan pandangan ke arah pengantin yang tengah berfoto dengan para tamu yang hendak pulang."Abang beberapa waktu ini lagi banyak kerjaan, Nau," jawabku, "dua pekan lalu Grandma Tasya juga 'kan baru meninggal. Kami masih dalam suasana berkabung," sambungku menerangkan."Iyalah. Aku juga bilang gitu ke Mama," ujar Naura seraya menganggukkan kepala, "nenek Kak Tasya sakit apa kemarin meninggalnya, Bang? Aku lupa tanya.""Kena serangan jantung," jawabku sekenanya.Tasya tetap cuek di sana. Tapi, aku yakin kalau dia menyimak pembicaraan kami."Oh iya." Kembali Naura mengangguk. "Eh, aku panggil mama dulu, Bang. Mama pasti seneng Abang udah datang!" Gadis itu beranjak dari kursinya, lantas melenggang dan menjauh dari hadapan kami."Enak ya, satenya, Sya?" Aku menoleh ke arah istrik
Natasya tiba-tiba terdiam mendengar ungkapan yang keluar dari lisan sahabat kentalnya itu. Ia terduduk sembari menyusut ingus yang mengalir dari hidungnya."Iya, 'kan?" Afika kembali menekan Natasya."Sembarangan aja lo ngomong, Fik!" cetus Natasya tidak terima, "dari segi mana cemburunya coba? Aku cemburu sama Ardian? Nggak bakal!" sangkalnya tegas."Lo inget-inget lagi, deh, Sya. Waktu itu lo bilang, lo menikmati ciuman bersama lakilo. Giliran sekarang lo malaah ...." Fika menggantung omongannya.Natasya menautkan alisnya. Ia mencoba mengingat-ingat kejadian ketika ia dicium oleh Ardian di rumah di desa. Benar, waktu itu ia merasa terhanyut dalam permainan bibir Ardian yang luar biasa. Sebelumnya memang ia menolak dan berontak, tetapi berikutnya ia benar-benar terbuai."Giliran sekarang, ketika lo tahu Ardian masih akrab dengan adik ipar dan mertuanya yang lama, lo malah uring-uringan begini," lanjut Afika. Tiba-tiba wajah Natasya terasa kebas sekaligus menghangat. Entah mengapa ia
Akhirnya Natasya tidak tahan lagi dengan sikap Ardian yang kini seolah tidak mau lagi peduli akan keberadaan dirinya di sana.Ardian hanya melihat ke arahnya dengan tatapan yang dingin. Ketika selesai merapikan kaus berkerahnya, lelaki itu melenggang menuju ke arah pintu luar. Pria tersebut sama sekali tidak menjawab pertanyaan yang dilontarkan oleh sang istri.Secepat kilat Natasya melangkah mengejar Ardian, lalu menghalangi pintu. "Kamu nggak boleh pergi hari ini! Kita selesaikan dulu pembicaraan kita. Sekarang!" tegasnya dengan sorot mata yang nanar ke arah sang suami.Masih dengan tatapannya yang beku dan sedingin Gunung Everest, Ardian berkata, "Aku capek begini terus, Sya.""Maksud kamu?" tanya Tasya memastikan, alisnya bertaut dengan kencang."Selama ini kamu benar. Sebaiknya kita berpikir ulang untuk terus melanjutkan ikatan pernikahan ini," imbuh Ardian lagi.Deg!Denyut jantung Natasya seakan berhenti berdetak sebentar. Dan berikutnya justru berdebar dengan kencang."Ap–apa
*Ardian POVNatasya bergerak cepat, kemudian menghalangi jalanku. "Kamu nggak boleh pergi hari ini! Kita selesaikan dulu pembicaraan kita. Sekarang!"Aku menatapnya lekat. "Aku capek begini terus, Sya," ucapku sambil menghela napas berat."Maksud kamu?" tanya Tasya tampak bingung dengan perkataanku barusan."Selama ini kamu benar. Sebaiknya kita pikir ulang untuk terus melanjutkan ikatan pernikahan ini." Jujur aku benar-benar lelah."Ap–apa ...?" lirihnya. Tasya tampak tergamang setelah mendengar perkataanku.Sudahlah ... aku bosan dengan semua ini. Aku lalu melangkah melewati Natasya yang malah terdiam di tempatnya."A'–Ar! Tunggu!" teriaknya memanggilku. Peduli setan! Kuabaikan panggilannya.***Terlihat di depan mataku, Naura bersama seorang temannya, entah siapa duduk di sana. Ia belum menyadari kedatanganku. Aku memang menyuruhnya ke sini dengan membawa seorang teman. Biar kami tidak berdua saja. Aku terus melangkah semakin mendekat ke arah mereka."Eh, Bang!" sapa Naura ketika
"Fik ... lo denger gue nggak, siiih ...?" Natasya kembali merengek karena Afika cuma mengucap kata, 'Hah?", tetapi selanjutnya malah diam seribu bahasa."Sya ... lo ke sini, deh, sekarang. Ke rumah gue. Gue tunggu ya!"Klik!Natasya tercenung melihat ke arah gawainya yang lamban menggelap. "Issh ... malah diputus si Fika ...," lirih Natasya kesal. Kemudian ia segera menenggak kopi susu di hadapannya dengan satu kali tegukan, lantas meraih selembar tisyu dan mengusut sisa cairan kecoklatan itu dari bibirnya.Kemudian wanita cantik itu bangkit, lalu gegas melenggang menuju ke kasir dan membayar minumannya.Sambil berjalan keluar food court, Tasya berusaha menutupi wajah dengan kain kerudung yang ia kenakan. "Awas kalian berduaaa!" cetusnya lirih dengan wajah kesal sekaligus sedih.Natasya pun berjalan menuju ke area parkir. Ia memutuskan untuk menemui Afika di rumahnya. Sebab ia berpikir, percuma saja terus berada di tempat tadi. Obrolan Ardian dengan Naura tidak dapat ia dengar, mala
'Tidak pernah sama sekali aku melihat Tasya dengan penampilan begini. Wanita cantik tersebut terlelap, seperti kelelahan. Mungkinkah ia menungguku? Akan tetapi, ap–apa maksudnya ia mengenakan lingerie merah seperti ini?' Hati Ardian bertanya-tanya.Dengan denyut jantung yang berdebar kencang dan denyar yang merambat hangat di dalam tubuh, Ardian melangkah perlahan mendekat ke arah sofa di mana Natasya tengah tertidur dengan pulas. Pria itu memadamkan televisi. Ruang itu tidak begitu gelap karena masih mendapatkan pendar cahaya dari ruang dapur yang kalau malam memang tidak dipadamkan lampunya. Berusaha berhati-hati dengan setiap gerak langkah, ia tidak mau membangunkan wanita yang saat ini membuat darahnya terasa berdesir hebat.Ardian menatap lekat, dari ujung rambut sampai ke ujung kaki Natasya. 'Kamu benar-benar bidadari, Sya ...,' bisiknya di dalam hati memuji makhluk indah ciptaan Yang Maha Kuasa di hadapannya.Entah mengapa seakan-akan Ardian lupa dengan keputusan yang telah ia
*Ardian POVKukerjapkan mata, terbangun. Kulihat jam meja di atas nakas menunjukkan pukul 03.07 WIB. Kutarik napas dalam-dalam kemudian menoleh ke samping kiriku sembari mengembuskan udara perlahan-lahan. Kedua ujung bibir ini tertarik ke atas melihat ia yang tengah tertidur dengan sangat pulas. Tampak dirinya yang benar-benar kelelahan.Malam ini terasa sangat indah. Aku tidur begitu nyenyak. Entah apa yang ada di pikiran Natasya. Aku yakin dia sengaja ingin menggodaku malam tadi. Hanya saja sampai saat ini aku tidak tahu alasannya.Awalnya wanita secantik bidadari ini memancingku, tetapi berikutnya ia seakan ingin menolakku. Aneh. Namun, aku tidak mungkin melepasnya lagi di saat berada di puncak gairah. Tentu saja, tentu saja Tasya tidak bisa lari dariku. Ia juga pasti memahami itu. Wanita cantik ini yang memulai. Aku hanya memenuhi undangannya. Pada permulaan aku tahu ia merasakan sakit. Ya, Tasya jelas masih perawan—s