"Enak ciumannya?" tanya Afika sembari meraih French Fries di hadapan dan mengunyahnya.Natasya mengangguk-anggukkan kepala. Wanita itu juga bingung dengan perasaannya tadi subuh. Ternyata ketika dia pasrah dan Ardian melembutkan ciumannya, justru ia sangat menikmati hal itu."Mungkin lo udah mulai membuka hati buat dia," ujar Fika sembari mencebik dan menaikkan kedua alisnya, "bagus dong, kalo gitu, Sya."Natasya menghela napas panjang. Lalu ia memegang kepala dengan dua tangannya. "Kayaknya itu cuma nafsu, Fik," kilahnya, membantah omongan sang sahabat.Afika mengendikkan bahu. "Bisa jadi juga," ucapnya membenarkan, "tapi nggak masalah sih, Sya. Seperti kata gue dulu. Lo lebih baik ambil manfaat dari pernikahan ini. Kayaknya juga lo udah mulai terbuka dengan masuknya Ardian lebih dalam di kehidupan lo," sambungnya."Menurut lo begitu?" Natasya menautkan kedua alisnya."Hu um." Afika menaikkan kedua alisnya dan mengangguk sekali."Tapi jujur gue nggak suka sikapnya yang lebay banget d
*Ardian POVSepanjang hari di kantor entah mengapa bibir ini rasanya tak kuasa untuk menahan senyuman. Di kepalaku ini selalu saja berputar-putar bayangan Natasya. Aku teringat terus kejadian tadi subuh di kamar. Ya, Tasya membalas ciuman bibirku dan dia sangat menikmati itu. Aaah ... aku jadi kangen kamu, Sya.Hari ini sengaja aku mengerjakan pekerjaan lebih cepat dari biasanya. Untung saja pekerjaan sudah selesai sejak jam dua siang ini. Jadinya ba'da ashar aku pun memutuskan untuk segera pulang."San, saya mau pulang sekarang. Kalau ada apa-apa kamu hubungi handphone saya aja ya," ucapku kepada Santi, sekretarisku di kantor."Oh, tumben Bapak pulang awal, biasanya malah nggak mau kalau terlalu awal begini." Santi tersenyum hangat.Dia tahu betul, kalau aku selama ini malah sengaja memperlama pekerjaanku. Bahkan kalau sudah selesai pun, aku sengaja mencari kesibukan lain supaya pulangnya makin lama."Iya. Kamu ingat pesan saya ya," jawabku singkat tanpa menjelaskan apa pun. Nggak
Keluarga Daddy dan juga Ibu tampak kembali berkumpul. Kali ini bukan untuk acara makan-makan lagi. Akan tetapi, menghadiri pemulasaran dan pemakaman jenazah Grandma.Para tetangga dan warga desa silih berganti berta'ziah dan menyampaikan rasa belasungkawa kepada kami semua. Tidak ketinggalan hadir juga mantan ibu mertuaku—Mama Sufia— dan juga mantan adik iparku—Naura."Salam dari papa buat keluarga Arnold ya, Ar. Kami ikut berduka cita," ucap Mama kepadaku."Iya, Ma," jawabku singkat."Kak Tasya mana, Bang?" tanya Naura."Ada di sana." Aku menunjuk ke arah tempat duduk Tasya yang sedang dihibur oleh sahabat dekatnya, Afika. "Tasya terpukul banget dengan meninggalnya Grandma," lanjutku.Mama Sufia dan Naura mengangguk-anggukkan kepala. Mereka tentu memahami apa yang dirasakan keluarga ini. Mereka dan aku juga dulu pernah merasakan hal yang sama. Yakni kehilangan seseorang yang sangat dikasihi. Bahkan Mama waktu itu sampai pingsan beberapa kali ketika menghadapi kematian putri pertamany
Gelap malam telah mengganti warna jingga di langit senja. Para kerabat keluarga Arnold dan keluarga Naysilla sudah banyak yang pulang. Mereka tidak mengadakan acara apa pun, sebab itu wasiat dari Sarah Dramawan sendiri."Kalau kalian mau bersedekah, berikan saja langsung kepada panti asuhan atau warga desa yang miskin. Jangan adakan acara apa pun ketika saya nanti dipanggil Allah. Doakan saja di dalam setiap shalat kalian. Doa kalian lebih utama dan penting untuk saya," pesan Sarah kepada anak, menantu, dan para cucunya.Ketika mereka sedang berkumpul bersama di ruang keluarga, ada yang menekan bell dan mengetuk pintu. Padahal ini sudah hampir pukul 21.00 WIB. Leha segera berlari kecil hendak membukakan pintu besar itu.Ternyata yang datang itu Hendi, adik dari Ibu sambung Natasya. "Maaf, aku telat, Kak. Soalnya kaget, baru aja aku nyampe Bandung, eh, malah denger berita duka ini. Aku nggak bisa langsung tinggalin kerjaan," ucapnya sambil menyalami Naysilla. Kemudian ia menangkupkan
"Abang dan Kak Tasya bisa dateng, 'kan?" tanya Naura memastikan, "ini juga undangan buat Pak Hardi dan juga Arya," lanjutnya menunjukkan surat undangan dua lembar lagi."In syaa Allah, Nau. Nanti ini Abang sampekan," ujar Ardian sembari mengibas pelan surat undangan tersebut."Ya udah kalau gitu aku pamit dulu, Bang. Salam aja buat Kak Tasya dan Pak Hardi ya," imbuh Naura sembari bangkit berdiri."Oke. Hati-hati," sahut Ardian seraya menggiring mantan adik iparnya sampai ke pintu.***Sementara di rumah keluarga Arnold, tampak Hendi yang baru mendaratkan bokongnya di ruang tengah karena dipanggil oleh sang kakak. "Kenapa, Kak? Kok, tumben ngajak aku ngobrol berdua gini?" Hendi menarik kedua sudut bibirnya ke atas. Ia heran, karena sepekan ini ia biasa berkumpul dengan anggota keluarga lain juga saling bercanda dan berbicara. Kali ini Nay memanggilnya dam berkata ingin bicara serius berdua saja."Kamu jangan pura-pura lagi sama Kakak. Kakak tahu, kamu pasti ada masalah 'kan, sama Anni
*Ardian POV"Yang bener aja, Bang ... masak aku disuruh jadi pegawai biasa? Apa nggak ada jabatan yang lebih tinggi dikit gitu, setidaknya manager-laaah ...."Aku menghela napas lelah mendengar keluhan Arya. Dia baru saja lulus kuliah, belum ada pengalaman sama sekali, malah minta jabatan? Yang bener aja. "Kamu mau apa nggak? Sementara lowongan yang ada buat kamu itu. Kalau nggak mau, kamu boleh cari kerja tempat lain sana," sahutku cuek. Aku lantas bangkit dari sofa dan berjalan menuju kursi kerjaku."Masak adeknya CEO jadi pegawai rendahan?" lirih Arya masih mengeluh."Sana kamu pergi dari sini, Ya! Ngabisin waktu Abang aja." Aku mengusirnya karena kesal."Ee–eeh! Iya ... iya deh, Bang. Aku ambil kerjaan ini. Daripada nganggur," ujar Arya akhirnya."Ck!" decakku. Kemudian aku meraih gagang telepon, lalu menghubungi Santi. "San, ke sini kamu." "Baik, Pak," jawab Santi.Tak lama kemudian terdengar suara ketukan pintu dan muncullah Santi. Arya tampak mengerlingkan mata kepada sekreta
"Mama kadang ngomong ke aku, soal Abang. Kenapa sudah jarang datang ke rumah, gitu katanya." Naura tertawa kecil. Ia bercerita dengan sinar mata yang cerah.Tasya terlihat diam dengan gestur yang dingin. Ia mengalihkan pandangan ke arah pengantin yang tengah berfoto dengan para tamu yang hendak pulang."Abang beberapa waktu ini lagi banyak kerjaan, Nau," jawabku, "dua pekan lalu Grandma Tasya juga 'kan baru meninggal. Kami masih dalam suasana berkabung," sambungku menerangkan."Iyalah. Aku juga bilang gitu ke Mama," ujar Naura seraya menganggukkan kepala, "nenek Kak Tasya sakit apa kemarin meninggalnya, Bang? Aku lupa tanya.""Kena serangan jantung," jawabku sekenanya.Tasya tetap cuek di sana. Tapi, aku yakin kalau dia menyimak pembicaraan kami."Oh iya." Kembali Naura mengangguk. "Eh, aku panggil mama dulu, Bang. Mama pasti seneng Abang udah datang!" Gadis itu beranjak dari kursinya, lantas melenggang dan menjauh dari hadapan kami."Enak ya, satenya, Sya?" Aku menoleh ke arah istrik
Natasya tiba-tiba terdiam mendengar ungkapan yang keluar dari lisan sahabat kentalnya itu. Ia terduduk sembari menyusut ingus yang mengalir dari hidungnya."Iya, 'kan?" Afika kembali menekan Natasya."Sembarangan aja lo ngomong, Fik!" cetus Natasya tidak terima, "dari segi mana cemburunya coba? Aku cemburu sama Ardian? Nggak bakal!" sangkalnya tegas."Lo inget-inget lagi, deh, Sya. Waktu itu lo bilang, lo menikmati ciuman bersama lakilo. Giliran sekarang lo malaah ...." Fika menggantung omongannya.Natasya menautkan alisnya. Ia mencoba mengingat-ingat kejadian ketika ia dicium oleh Ardian di rumah di desa. Benar, waktu itu ia merasa terhanyut dalam permainan bibir Ardian yang luar biasa. Sebelumnya memang ia menolak dan berontak, tetapi berikutnya ia benar-benar terbuai."Giliran sekarang, ketika lo tahu Ardian masih akrab dengan adik ipar dan mertuanya yang lama, lo malah uring-uringan begini," lanjut Afika. Tiba-tiba wajah Natasya terasa kebas sekaligus menghangat. Entah mengapa ia