Natasya kontan berbalik menghadap sang suami ketika teringat perjanjian mereka waktu di rumah keluarga besar di desa. "Janji yang mana maksud kamu, Ar? Janji aku jadi istri yang nurut sama kamu? Tapi, 'kan kamu juga udah janji nggak bakal suruh aku layanin kamu di ranjang?" cecar wanita itu dengan perasaan yang memanas. Ya, baru saja pulang dari 'kesibukan' semua orang akibat sang nenek yang masuk rumah sakit. Eh, Ardian malah memancing emosinya.Ardian menarik napas dalam kemudian mengembuskan udara perlahan. "Alhamdulillah kalau kamu ingat janji kita," ujarnya sembari tersenyum. Tampaknya ini bukan waktu yang tepat untuk bercanda dengan Natasya."Iya, aku ingat! Memangnya aku udah pikun apa?" cetus Tasya kesal."Oke-oke. Pertama-tama, aku minta kamu kalau ngomong ke aku nadanya jangan ngegas gitu ya, istrikuuu ...."Natasya kontan meringis mendengar panggilan 'istriku' dari lisan Ardian. Terasa sangat menggelikan di telinganya. Akan tetapi, dia berusaha menahan emosinya. Ya, dia su
Tak mau semua orang berpikiran yang tidak-tidak, Natasya pun segera menarik kedua sudut bibirnya ke atas dengan terpaksa. "Hehe ... iya, Sayang ...," jawabnya berusaha menyesuaikan dengan gaya sok mesra yang diperankan oleh Ardian.Akan tetapi, di dalam hatinya Tasya merutuk, 'Ardian lebay banget! Ngapain sih, pake rangkul dan panggil sayang di depan semua orang begini?' "Grand–ma se–nang li–hat ka–lian mes–ra begi–ni." Sarah tersenyum bahagia meskipun dengan bibir yang miring sebelah itu.Binar kebahagiaan yang tercipta di kedua mata tuanya ternyata cukup menyentuh hati Natasya. Entah mengapa tanpa sadar senyuman terpaksanya kini berubah menjadi untaian senyum yang tulus. Ia ikut senang melihat sang nenek ceria. 'Aku sayang sama Grandma. Panjangkan umur Grandma ya, Rabb ... hamba masih ingin lebih lama bersamanya,' doa Natasya di dalam hati.***"Ibu senang kamu dengan Ardian akur kayak gini, Nak," ucap Naysilla kepada putri kesayangannya.Saat ini keduanya sedang berada di ruang t
"Iya. Grandma 'kan, sering bertanya soal kita yang mesti memberikan beliau ...." Ardian menggantung omongannya sembari beringsut semakin mendekatkan tubuhnya ke arah Natasya."Kok, kamu makin deket-deket gini?" protes Natasya sambil mendudukkan dirinya dengan cepat dan wajahnya terlihat mulai panik. Ia heran dengan gelagat Ardian. Ardian kontan ikut duduk kemudian mengarahkan telunjuknya ke depan bibir. "Sshhh ...."Kedua alis Natasya semakin bertaut kencang. "Grandma nyuruh kita berikan apa? Cicit itu maksud kamu?" cecarnya dengan suara yang tertahan. Ia juga malu kalau sampai berisik membahas hal intim seperti itu."Sudah hampir enam bulan loh, kita nikah, Sya." Ardian menatap ke arah sang istri dengan lekat.Denyut jantung Natasya berdebar kencang saat ini. Ia tahu ke mana arah pembicaraan Ardian sekarang. "Tapi kamu 'kan, bilang kalau nggak bakal maksa aku lakukan itu?" ujarnya memperingatkan sang suami atas perjanjian mereka."Iya, tapi rasanya sudah terlalu lama aku nunggu kamu
*Ardian POV"Kamu mau ke mana?" tanya Tasya ketika aku baru selesai mengenakan kaus tanpa lengan lengkap dengan celana training."Olahraga sebentar di ruang gym," jawabku to the point. Di rumah ini ada ruang gym milik Daddy, jadi terkadang aku ikut menggunakannya. Dulu juga Grandma melakukan fisioterapi di situ. Namun, semenjak beliau tidak lagi bisa duduk, maka terapi dilakukan di dalam kamarnya saja."Kamu nggak kerja? Katanya mau setengah hari kerjanya?" tanya Natasya lagi."Nggak. Aku udah bilang ke Santi kalau aku nggak ngantor hari ini. Nanggung!" Santi adalah sekretaris di kantor. Aku memutuskan untuk tidak bekerja saja hari ini. Tadinya memang aku hanya akan pergi sebentar kemudian kembali lagi karena ada acara keluarga nanti siang. Namun, kupikir-pikir waktunya terlalu mepet. Bikin aku capek saja bolak-balik kantor dan rumah. Pagi ini, untuk mengisi waktu luang, lebih baik aku olahraga di ruang gym milik Daddy. "Ar, aku nggak suka cara bercanda kamu kayak tadi malam ya," p
Siang itu rumah keluarga Arnold tampak begitu semarak. Bibi beserta dua sepupu Naysilla datang, terlihat juga Monalisa dengan suami beserta salah seorang putranya, kemudian Hardi—ayah Ardian, juga Arya yang ternyata membawa Naura—mantan adik ipar Ardian— ikut meramaikan suasana di sana. Satu per satu bergiliran mereka mendatangi Sarah yang masih terbaring di dalam kamarnya.Meski dalam keadaan payah, Sarah terlihat sangat bahagia dengan berkumpulnya seluruh keluarga besar mereka di rumah itu.Hendi tampak belum hadir, sehingga sedikit mengurangi kelengkapan keluarga ini. Terutama bagi Natasya yang diam-diam menanti kehadiran pria tampan itu. Untung saja ada Afika yang sedikit banyak bisa mengobati sepinya penantian diam-diam Natasya kepada seseorang yang sebenarnya tidak perlu lagi ia harapkan tersebut."Loh, Naura. Kamu ke sini juga?" tanya Ardian yang sedikit kaget karena memang mantan adik iparnya itu tidak diundang sebenarnya. Karena memang bukan bagian dari keluarga Arnold.Naura
*Ardian POV"Ar, adekmu pekan depan wisuda. Kamu sama Tasya bisa ikut dateng, 'kan? Acaranya di auditorium kampusnya," tanya ayah kepadaku. Ya, ayah dan Tante Nina—ibu Arya— ikut hadir meramaikan acara kumpul keluarga di siang hari ini."Akhirnya wisuda juga dia ya, Yah ...." Aku tersenyum tipis mendengar berita dari ayah. Bagaimana tidak, Arya dulu hampir saja di-DO—Drop Out— karena terlalu lama bersantai-santai. Mahasiswa lain normalnya kuliah S-1 dalam waktu 5 tahun saja, dia malah hampir 8 tahun, baru selesai skripsi. Adik sambungku itu terlalu banyak bermain-main."Kamu tahu aja gimana si Arya, Ar ...," timpal Tante Nina. Beliau tidak pernah membela kenakalan anaknya. Arya saja yang memang bergajulan, "acara wisuda mulainya jam 9. Kamu sama Tasya ikut ya?" ajak beliau."Oke, Tan. In syaa Allah aku usahakan datang. Nanti aku tanya Natasya, bisa apa nggak," sahutku sembari melirik ke arah Natasya dan sahabatnya tadi—Akan tetapi, bola mata ini kontan mengikuti ke mana arah langkah
Sesampai di kamar Sarah, ternyata ada Ely—bibi dari Nay—yang sedang mengobrol bersama Sarah. "Eh, ada kamu, Hen?" sapa Ely kepada keponakan kesayangannya itu.Hendi mengulas senyum semringah sambil meraih tangan sang bibi dan mengecup kedua pipi bibinya itu. "Bibi apa kabar? Bu Sarah juga gimana?" Tak lupa pria itu pun menyapa Sarah di pembaringannya."Alhamdulillah, Bibi baik ... mana Nisa sama Fikri?" Fikri adalah anak Hendi yang masih berusia dua tahun."Ibu baik, alham—dulillah. Iya nih, mana istri dan anakmu, Hen?" sahut Sarah. Lidahnya sudah lebih baik dalam berbicara. Karena sering melakukan terapi. Bell palsy di wajahnya pun sudah tidak separah waktu itu."Mereka nggak ikut, sedang di Bogor."Hendi, Ardian, dan Natasya pun mengambil duduk di kursi yang disediakan di ruang kamar itu.Natasya berusaha menghindari tangan sang suami karena merasa risih Ardian terus saja tidak mau melepasnya. Namun, Ardian sengaja mempererat genggaman tangan mereka. Ia memasang wajah cuek di had
Baru saja Ardian mendaratkan bokongnya di sebelah sang istri, tiba-tiba saja Natasya langsung mengomel—"Daddy kebiasaan! Sukanya maksain kehendak. Kenapa nggak suruh orang lain aja sih, urus pabrik dan pergi ke Kalimantan?!" keluh Natasya kepada sang suami di taman rumah keluarga besar mereka. Natasya tadinya hanya duduk sendirian di sebuah bangku panjang di taman itu. Namun, karena sudah mulai larut dan wanita itu masih terus saja termenung di sana, akhirnya Ardian menyusul. Ketika ia ikut duduk di samping sang istri, Natasya pun menyampaikan uneg-unegnya. Wanita itu sangat kesal, karena kalau sang ayah sudah membuat keputusan bulat, maka siapa pun tidak akan boleh membantah, kecuali sang nenek. Ya, Steven tidak akan mau mendengar penolakan dari siapa pun juga. Pria paruh baya itu hanya mau menurut kepada ibunya saja."Masih dalam proses juga pabriknya, Sya ...," sahut sang suami berusaha menenangkan istrinya."Iya, emang. Tapi 'kan, tetep aja aku disuruh pindah nanti kalo pabrikn