"Pulang ke mana? Ini rumahmu," ujar Ardian dengan nada suara yang datar. Lelaki itu kemudian mematikan kompor. Meletakkan sepiring roti yang sudah dipanggang ke atas meja makan.
Natasya tidak menjawab, ia lalu melangkah anggun menuju ke arah pintu luar."Childish!" cibir Ardian sembari mengoleskan selai kacang-coklat ke atas roti."Ngomong apa kamu, hah?!" Natasya menghentikan langkahnya, ia terlihat tidak terima dengan sindiran Ardian barusan."Kamu nggak tuli," sahut Ardian sembari menduduki kursi makan di sana dengan santai."Ya, aku nggak tuli! Tapi kamu itu yang tuli! Dasar anak supir udik!"Tiba-tiba saja Ardian kembali bangkit berdiri dengan wajah yang berang. Ia lalu berjalan perlahan ke arah Natasya.Wanita cantik itu bersiaga."Aku ... memang anak supir. Dan apa kamu nggak sadar? Anak supir ini sekarang statusnya adalah sebagai suami kamu." Dengan suara datar tapi penuh penekanan Ardian menunjuk ke arah Natasya."Memang ini 'kan, yang lu incer dari dulu? Akhirnya lu dapetin semuanya! Bahkan diri gue! Gue udah tahu topenglu dari dulu, Penjilat!""Oh, yea?" Ardian mendengkus kemudian tertawa kecil, "jadi karena itu kamu menghina dan menolakku?""Lu nggak level buat gue! Sadar lu!""Ya ya yaaa! Aku sadar ... Sya. Aku sadar selama ini memang aku banyak utang budi dengan keluargamu. Akan tetapi, bisa sedikiiit aja kamu hargai aku? Aku ini suami kamu sekarang!" Ardian menatap lekat ke arah sang istri dengan sorot nyalang."Lu tahu gue terpaksa nikah sama lu, karena keluarga gue. Demi Grandma! Lu udah dapat semua dari bokap gue. Kalau nggak karena kebaikan Daddy, jadi gembel lu! Jadi, jangan berharap lu bakal dapetin juga gue secara utuh! Nooo ... way!" tegas Tasya dengan netra yang menyala-nyala."Kalau kamu nggak mau terima aku sebagai suamimu, oke! Nggak masalah! Silakan, silakan kamu pergi dari hidup aku, Sya!" seru Ardian menaikkan suara.Natasya menatapnya dengan sorot menantang."Kapan kamu mau aku serahkan semuanya? Jabatanku di kantor cabang perusahaan juga sekalian? All right! I'll do it! Tapi, aku cuma minta satu hal sama kamu sekarang. Jangan kayak anak kecil kamu. Begini aja sudah merengek minta pulang.""Owh, ya?! Lu mau nyerahin jabatanlu yang udah tinggi itu dari perusahaan bokap gue? Yakin lu??" Tasya menatap ke arah Ardian dengan tatapan merendahkan. Ia sangat tidak yakin pria itu mau melepas jabatan yang diincar banyak orang itu."Ya, akan aku serahkan semuanya. Termasuk kamu!" Tunjuk Ardian ke arah Natasya, "tapi aku akan serahkan kamu baik-baik, jadi tolong jangan seperti anak kecil. Aku akan antar kamu pulang lusa. Besok dan hari ini aku akan bereskan urusan di kantor, kemudian baru bikin surat pernyataan melepas jabatan."Natasya mengernyitkan dahi. Antara percaya dengan tidak dengan omongan sang suami. Namun, ia putuskan akan bersabar sebentar lagi. "Oke! Aku tunggu sampai besok lusa!" ucapnya sembari menyeret kopernya kembali masuk ke kamar.Tak berapa lama, Tasya kembali lagi ke ruang tengah. Lalu melangkah lebar menuju pintu keluar."Kamu mau ke mana, Sya?!" panggil Ardian.Natasya hanya menghempaskan tangannya ke udara dan terus melenggang pergi tanpa menghiraukan sang suami."Aaaargh!" Ardian menendang sofa di depannya hingga benda itu bergeser berantakan.***"Apa?? Lo mau cerai?!" Afika sangat terkejut mendengar ungkapan dari Natasya barusan."Yup!" Natasya meraih sebuah bantal kemudian merebahkan tubuhnya di ruang kamar di rumah sahabatnya itu.Untung saja ibu Fika sedang tidak ada di rumah. Kalau mendengar suara anaknya barusan, mungkin juga akan ikutan kaget. Natasya adalah sahabat karib Afika, sudah dianggap seperti anaknya sendiri."Lo gila, Sya? Lo baru aja sebulan nikah, udah mau cerai aja? Jangan macam-macam lo!!" kilah Fika tak habis pikir."Ya baguslah, kalau lebih lama lagi gue nggak bakal bisa jamin, gue bisa mempertahankan harga diri bahkan badan gue. Tadi malam hampir aja dia perk0sa gue. Emang suek! Dasar duda mesum!""Hah??" Fika tertegun mendengar istilah yang dikeluarkan oleh sahabatnya itu. Namun, sedetik kemudian– "Hahahahaaaaa!" Tiba-tiba saja Fika tertawa terbahak-bahak.Kedua alis Natasya bertaut kencang melihat ke arah Fika. "Sakit lo??""Huahahaaahaaa!" Fika semakin tertawa lebar sambil memegang perutnya yang terasa keram seketika."Kunyuk!!" Tasya melempar sebuah bantal ke arah Fika yang duduk di sofa berjarak satu setengah meter dari ranjang yang ia baringkan."Mana ada suami memperk0sa istri, Tasyaa ... Tasyaaa ...!" Tawa Fika masih tersisa. Ia sungguh merasa geli dengan sahabat kentalnya itu.Tasya hanya memberengut dengan tanggapan dari Fika. Sang sahabat pun menghentikan tawanya ketika melihat Tasya memasang wajah yang sedih."Hmm ... Lo pikirin lagi deh, Sya. Neneklo 'kan, sakit jantung. Kalau tahu lo mau pisah gini, apa nggak anfal lagi beliau? Bahkan bisa ajaa ...." Fika menghentikan omongannya. Ia tak mau mendahului takdir.Akan tetapi, apa yang diperkirakan Fika bisa jadi benar."Jadi, menurut lo gue mesti gimana, Fik?" tanya Tasya pada akhirnya.
Afika menoleh ke arah sahabatnya. "Lo nggak bisa lebih sabar lagi? Siapa tahu lo bakal bisa jatuh cinta sama Ardian. Toh, dia nggak jelek, malah ganteng gitu. Dia juga perhatian ke keluarga lo. Ingat, dari dulu siapa yang selalu sedia kalau ada apa-apa? Ardian dan ayahnya, 'kan?"Dulu Zack pernah jatuh dari motor, sampai engsel kakinya lepas. Kemudian ibu sambungnya yang tiba-tiba pingsan karena terserang anemia. Ardianlah yang membantu keluarga Tasya. Ia bolak-balik ke rumah sakit mengurusi. Karena Steven terkadang mesti keluar kota dan belum bisa dengan segera meninggalkan urusannya.Tasya kembali terdiam.Afika memang benar. Akan tetapi, kebencian yang dulu sempat berkurang, entah mengapa kini kembali lagi. Pikiran bahwa Ardian adalah seorang penjilat terus ia pupuk di dalam hati. Bagaimana bisa ia menerima pria itu sebagai suaminya? Bahkan bagaimana ia bisa menyerahkan tubuhnya sebagai hak orang yang sudah berstatus sebagai suaminya? Jika menolak pun ia akan mendulang banyak dosa secara terus-menerus. Semua menjadi dilema bagi Natasya."Lo pikir-pikir lagi, deh," ulang Afika."Gue bingung, Fik. Bener yang lo bilang. Apa kata semua orang kalau gue mau cerai secepat ini? Grandma juga, bahaya jantungnya. Aaahh ...." Tasya memegang kepalanya. "Tapi kalau lama-lama, ntar gue dinodain sama si anak supir itu! Gimana, dong?" Tasya mendudukkan diri di ranjang, lalu menatap pelas ke arah Fika."Sya ... Sya. Kalo gue masih single, gue yang embat tu Ardian. Cowok ganteng, badan oke gitu lo anggurin.""Ih, seriusan bisa?!" Tasya berdecak kesal."Lah, gue serius, Say! Emang lo sama sekali nggak ada nafsu sama dia?!" Afika mendekat dan ikut duduk di atas ranjang."Nggak!" sambar Tasya cepat."Beneran?? Sama sekali nggak ada nafsu??" Afika seakan tidak percaya. Sahabatnya ini cewek normal apa tidak?"Ya, kadang-kadang dikiit ...." Tasya berisyarat mengukur dengan jari jempol dan telunjuknya sekitar dua centimeter."Nah!!" seru Afika tiba-tiba.Tasya menautkan alisnya kencang hendak menyimak dengan saksama apa yang bakal disampaikan Afika."Anggap aja hubungan kalian ini sebagai simbiosis mutualisme."Tasya makin mengernyitkan dahi. "Maksud lo??" tanyanya bingung. Ia heran, mengapa tiba-tiba Afika jadi guru biologi begini?"Ya, beneran. Lo jalanin peran lo sebagai seorang istri selayaknya istri-istri pada umumnya. Dan nggak ada masalahnya lo berdua having s*x sesekali."Deg!"Having s*x?"Fika mengangguk. "Loh, apa salahnya lo bermain peran untuk sementara? Siapa tahu ke depan lo jadi terbiasa."Natasya meringis menatap ke arah sahabatnya."Sya, s*x itu enak tahu! Daripada lo umur segini belom pernah ngerasain surga dunia. Rugi lo! Lagian mumpung halal dan berpahala gini!" tambah Afika lagi."Hidiih ...! Lo resek ya, Fik! Gue udah serius nyimak. Malah kasih saran nggak bener. Enak di dia, nggak enak di gue!""Laaah, lo enak juga, Sya! Lagian laki lo duda. Eh, mantan duda. Pasti punya pengalaman buat bikin lo puas. Daripada lo bete dengan pernikahan lo ini, mendingan lo ambil manfaatnya. Lagian kalau lo cerai, keluarga lo gue yakin nggak bakalan setuju. Lo mau dicap sebagai anak durhaka??""Udah, ah! Gue mau cau! Males gue sama lo!" Tasya beranjak dari atas ranjang. Kemudian meraih tas selempangnya yang tergeletak di atas sofa."Eh, mau ke mana lo?" tanya Fika sedikit berteriak karena Tasya semakin menjauh."Balik! Salam ma nyokap!" teriak Natasya, "assalamualaikum!"Af
*Ardian PovDaddy beranjak dari duduknya sembari membelai pundak sang putri. Kemudian bangkit dan berisyarat menyapaku. Aku pun segera meraih tangannya dan mencium punggung telapak tangan itu dengan takzim. Daddy menepuk ringan bahuku. Lalu berjalan melenggang ke luar dari kamar ini."Kalian kapan datang, hmm?" tanya Grandma dengan suara yang sedikit bergetar. Tampak kaca-kaca memenuhi permukaan netra tuanya tersebut.Aku mendekati ranjang Grandma lalu duduk di kursi yang tadi diduduki oleh Daddy. "Baru aja, Grandma," jawabku sekenanya.Tasya bangkit dari lantai, lalu duduk di bibir ranjang sang nenek. "Grandma kenapa nggak mau nginap di klinik aja dulu?" tanya Tasya dengan mengerucutkan bibir kemerahannya.Sikap manja itu sebenarnya kadang kala membuat ia tampak lebih menarik. Hanya saja, jika di hadapanku, entah mengapa ia sering memasang wajah yang masam dan jutek."Grandma nggak apa-apa. Cuma sesak sedikit tadi. Sudah baikan. Kalian nggak usah khawatir." Grandma mengulas seuntai
"A ... aa ... tap–tapi, Ar." Tasya tergagap di sana.Ardian menautkan alisnya. 'Ada apa dengan Natasya? Mengapa ia seolah berubah pikiran?' tanyanya di dalam hati."Mmm, aku ... aku nggak jadi mau pisah sekarang, Ar," ucap wanita itu dengan gugup. Semenjak pulang dari rumah Afika, Natasya jadi berpikir ulang. Fika benar, jika ia memutuskan untuk berpisah tanpa alasan yang jelas, tentu saja seluruh keluarga tidak akan setuju.Selama ini Ardian telah mengambil hati semua orang. Yang ada nanti Natasya-lah yang akan disalahkan. Pasti semua akan marah besar kepadanya. Ia tentu tak mau itu terjadi. Apalagi sang nenek dalam keadaan sakit seperti ini."Sekarang?? Jadi nanti bisa jadi kamu bakal meneruskan rencana pisahnya kita, gitu?" tanya Ardian memastikan. Ia lalu tersenyum miring mendengar ungkapan Natasya, "nggak! Aku nggak mau kalau begitu. Lebih cepat lebih baik kalau niat kamu seperti itu. Besok aku yang akan membuka omongan. Kamu nggak perlu khawatir.""Eeh, bu–bukan begitu maksudny
"Bu Sarah terkena serangan jantung dan stroke. Ini kali kedua untuk serangan jantungnya dan kali ketiga untuk stroke-nya. Saya harap pihak keluarga bisa menjaga beliau dengan baik. Terus terang, di usia beliau yang sekian saya sangat khawatir. Ini beliau bisa melewati masa kritisnya adalah sebuah keajaiban," terang Dokter Nurhadi kepada keluarga Arnold setelah tiga hari Sarah Dramawan dirawat di rumah sakit.Steven Arnold mengangguk-anggukkan kepalanya paham."Terima kasih banyak, Dok," ucap Naysilla mewakili semua orang.Sementara Ardian dan Natasya hanya bisa menyimak apa yang sang dokter sampaikan."Ibu jangan banyak pikiran ya ... keluarga juga, harap menjaga hati dan perasaan Bu Sarah." Dokter senior itu tersenyum hangat ke arah Sarah yang kini wajahnya sedikit mencong karena terkena bell palsy, lalu mengedarkan pandangan menggilir anggota keluarga Arnold yang ada di ruangan itu."In syaa Allah, Dok," jawab Naysilla.Natasya menganggukkan kepalanya."Te–terima ka–sih, Dok," ucap
Natasya kontan berbalik menghadap sang suami ketika teringat perjanjian mereka waktu di rumah keluarga besar di desa. "Janji yang mana maksud kamu, Ar? Janji aku jadi istri yang nurut sama kamu? Tapi, 'kan kamu juga udah janji nggak bakal suruh aku layanin kamu di ranjang?" cecar wanita itu dengan perasaan yang memanas. Ya, baru saja pulang dari 'kesibukan' semua orang akibat sang nenek yang masuk rumah sakit. Eh, Ardian malah memancing emosinya.Ardian menarik napas dalam kemudian mengembuskan udara perlahan. "Alhamdulillah kalau kamu ingat janji kita," ujarnya sembari tersenyum. Tampaknya ini bukan waktu yang tepat untuk bercanda dengan Natasya."Iya, aku ingat! Memangnya aku udah pikun apa?" cetus Tasya kesal."Oke-oke. Pertama-tama, aku minta kamu kalau ngomong ke aku nadanya jangan ngegas gitu ya, istrikuuu ...."Natasya kontan meringis mendengar panggilan 'istriku' dari lisan Ardian. Terasa sangat menggelikan di telinganya. Akan tetapi, dia berusaha menahan emosinya. Ya, dia su
Tak mau semua orang berpikiran yang tidak-tidak, Natasya pun segera menarik kedua sudut bibirnya ke atas dengan terpaksa. "Hehe ... iya, Sayang ...," jawabnya berusaha menyesuaikan dengan gaya sok mesra yang diperankan oleh Ardian.Akan tetapi, di dalam hatinya Tasya merutuk, 'Ardian lebay banget! Ngapain sih, pake rangkul dan panggil sayang di depan semua orang begini?' "Grand–ma se–nang li–hat ka–lian mes–ra begi–ni." Sarah tersenyum bahagia meskipun dengan bibir yang miring sebelah itu.Binar kebahagiaan yang tercipta di kedua mata tuanya ternyata cukup menyentuh hati Natasya. Entah mengapa tanpa sadar senyuman terpaksanya kini berubah menjadi untaian senyum yang tulus. Ia ikut senang melihat sang nenek ceria. 'Aku sayang sama Grandma. Panjangkan umur Grandma ya, Rabb ... hamba masih ingin lebih lama bersamanya,' doa Natasya di dalam hati.***"Ibu senang kamu dengan Ardian akur kayak gini, Nak," ucap Naysilla kepada putri kesayangannya.Saat ini keduanya sedang berada di ruang t
"Iya. Grandma 'kan, sering bertanya soal kita yang mesti memberikan beliau ...." Ardian menggantung omongannya sembari beringsut semakin mendekatkan tubuhnya ke arah Natasya."Kok, kamu makin deket-deket gini?" protes Natasya sambil mendudukkan dirinya dengan cepat dan wajahnya terlihat mulai panik. Ia heran dengan gelagat Ardian. Ardian kontan ikut duduk kemudian mengarahkan telunjuknya ke depan bibir. "Sshhh ...."Kedua alis Natasya semakin bertaut kencang. "Grandma nyuruh kita berikan apa? Cicit itu maksud kamu?" cecarnya dengan suara yang tertahan. Ia juga malu kalau sampai berisik membahas hal intim seperti itu."Sudah hampir enam bulan loh, kita nikah, Sya." Ardian menatap ke arah sang istri dengan lekat.Denyut jantung Natasya berdebar kencang saat ini. Ia tahu ke mana arah pembicaraan Ardian sekarang. "Tapi kamu 'kan, bilang kalau nggak bakal maksa aku lakukan itu?" ujarnya memperingatkan sang suami atas perjanjian mereka."Iya, tapi rasanya sudah terlalu lama aku nunggu kamu
*Ardian POV"Kamu mau ke mana?" tanya Tasya ketika aku baru selesai mengenakan kaus tanpa lengan lengkap dengan celana training."Olahraga sebentar di ruang gym," jawabku to the point. Di rumah ini ada ruang gym milik Daddy, jadi terkadang aku ikut menggunakannya. Dulu juga Grandma melakukan fisioterapi di situ. Namun, semenjak beliau tidak lagi bisa duduk, maka terapi dilakukan di dalam kamarnya saja."Kamu nggak kerja? Katanya mau setengah hari kerjanya?" tanya Natasya lagi."Nggak. Aku udah bilang ke Santi kalau aku nggak ngantor hari ini. Nanggung!" Santi adalah sekretaris di kantor. Aku memutuskan untuk tidak bekerja saja hari ini. Tadinya memang aku hanya akan pergi sebentar kemudian kembali lagi karena ada acara keluarga nanti siang. Namun, kupikir-pikir waktunya terlalu mepet. Bikin aku capek saja bolak-balik kantor dan rumah. Pagi ini, untuk mengisi waktu luang, lebih baik aku olahraga di ruang gym milik Daddy. "Ar, aku nggak suka cara bercanda kamu kayak tadi malam ya," p