"Aku mesti ke kantor siang ini." Ardian berkata seraya mengunyah suapan terakhir makan siang yang tadi ia pesan dari restoran yang melayani delivery order.
"Balik malem lagi?" tanya Tasya sambil menikmati paru balado dari restoran masakan Padang itu. Sebenarnya ia curiga dengan kebiasaan Ardian pulang malam. Ya, karena dia tahu kalau normalnya jam kantor hanya sampai setengah lima sore. Namun, semenjak mereka menikah, Ardian hampir selalu pulang larut malam. Namun, Tasya malas untuk menegur itu. Wanita itu justru senang, karena tidak harus sering bertemu dengan suaminya itu."Ya," jawab Ardian singkat, ia meletakkan piringnya yang sudah kosong dan meraih cup es teh dari atas meja, kemudian menyeruputnya. Setelah tandas, ia bangkit berdiri hendak masuk ke kamar mengganti pakaian."Sore ini aku juga mau turun," ujar Tasya menahan langkah sang suami.Ardian menoleh ke arahnya. "Mau ke mana?" tanya pria itu."Ya, sekali-kali aku juga mau jalan-jalan, dong!" sahut Tasya santai."Iya, ke mana?" tanya Ardian lagi."Jalan-jalan, dibilangin juga." Tasya meletakkan piring kotornya di atas meja, kemudian meraih minuman dan meneguknya.Ardian menghela napas berat mendengar jawaban yang tidak jelas itu. "Oke, dengan siapa?""Temanku.""Temanmu siapa?" Ardian menahan emosinya."Disebut namanya juga kamu nggak kenal," jawab Tasya cuek."Temanmu yang namanya Fika?" tebak Ardian sembari melangkah masuk ke dalam kamar, kemudian membuka almari meraih sehelai kemeja putihnya."Kok, kamu tahu Fika?" Tasya mengeraskan suaranya sembari melongok ke arah pintu kamar yang terbuka di sana. Ia heran, bagaimana Ardian bisa tahu dengan sahabatnya itu? Padahal selama enam tahun ini Fika berada di Surabaya, ia baru sampai sepekan yang lalu di Jakarta. Bahkan Fika tidak hadir ketika ia dan Ardian menikah."Ibu yang cerita." Ardian keluar kamar sambil mengancingkan kemeja, kemudian memperbaiki posisi pinggang celana hitamnya. Dasi yang tersampir di bahu pun diraih dan dipasang dengan terburu-buru.Alis Tasya bertaut. 'Dasar Ibu, pasti ngegosipin aku, nih!' omelnya dalam hati."Kamu jangan pulang kemalaman, Sya," pesan Ardian sembari mengenakan jas hitamnya.Tasya menatap ke arah dasi yang dikenakan Ardian asal. Ia merasa risih melihatnya. "Dasimu itu benerin dulu!" suruhnya.Ardian menggeser dasinya. Namun, semakin tidak keruan bentuknya. Hal itu membuat Tasya kembali merengut.Lelaki manis itu lalu mendudukkan bokong di kursi, mengenakan kaus kaki dan sepatunya bergiliran. Tadi pagi ia tidak bekerja dikarenakan pindahan."Sorry, Sya. Ni piring tolong bawa ke dapur ya! Aku buru-buru." Siang ini Ardian mesti segera kembali ke kantor, ada jadwal pertemuan dengan seorang relasi perusahaan."Emangnya aku pembantu di sini?" protes Tasya.Ardian menghela napas. "Bukan begitu maksudnya. Aku cuma minta tolong," sahutnya.Tasya hanya menjawab dengan mendengkus tak suka."Aku pergi dulu!" Ardian bangkit dari duduknya."Eh, tunggu!" cegah Natasya.Ardian pun terdiam ketika Tasya mendekat ke arahnya. Lelaki itu tertegun seketika."Kamu ini, coba pake pakaian itu jangan asal-asalan napa?" Tasya makin mendekat dan langsung membenarkan dasi Ardian. Matanya merasa sangat terganggu dengan penampilan yang belum rapi itu.Ardian terpaku di sana. Aliran darahnya seketika berdesir hangat. Baru kali ini ia kembali berdekatan dengan Tasya. Wajah mereka hanya berjarak tak lebih dari tiga jengkal saja. Di dalam hati lelaki itu merasa menghangat. Dulu Maira juga perhatian seperti ini terhadapnya. Tanpa Tasya sadari lelaki itu menikmati wajah indah di hadapannya."Nah, 'kan, kalau rapi begini jadi tambah ganteng ...," puji Tasya.Kedua ujung bibir Ardian terangkat ke atas mendengar ucapan pujian itu."Eh!" Tiba-tiba saja mata wanita itu melebar. Sepertinya ia baru sadar telah keceplosan bicara.Ardian sontak melebarkan senyuman dengan penuh arti. "Baru sadar kalau suamimu ini ganteng?" sindirnya pada sang istri."Diiih ...! Ge-er! Nggak! Yang ganteng itu baju dan dasimu!" Tasya kembali duduk di sofa dengan wajah merona kemerahan.Ardian semakin melebarkan senyumannya. "Assalamualaikuuum ...," ucapnya sambil mengerlingkan mata ke arah sang istri."Wa alaikumus sallam!" ketus Tasya sembari menekan remote menyalakan televisi. Wajahnya semakin merah padam.Ardian tertawa kecil seraya melenggang pergi.***"Gue nggak nyangka lo malah nikah dengan si Ardian yang dulu sering lo ceritain.""Hhhh ... ya gitu, deh." Tasya menghela napas panjang mendengar tanggapan Fika atas pernikahannya dengan lelaki yang selama ini ia benci."Mana sini lihat fotonya? Gue jadi penasaran dengan tampangnya sekarang. Dulu lo pernah nunjukin pas di parkiran pondok, tapi dari jauh dan itu udah lamaaa banget!" seru Fika antusias.Selama ini Tasya hanya sering menceritakan ketidaksukaannya terhadap pria itu kepada sang sahabat. Fika tidak pernah berkenalan sama sekali, sebab dia tidak pernah berkunjung ke rumah Natasya yang berada di Desa Binar. Ia hanya mengunjungi rumah Monalisa, tantenya Tasya. Ia pernah melihat pria itu dulu ketika Tasya dijemput supir yang Ardian dan Nay sama-sama ikut di pondok mereka ketika masih bersekolah di tingkat Tsanawiyah.Tasya lalu meraih ponsel, kemudian membuka galery dan menunjukkan foto sang suami kepada sahabatnya itu."Wuiih! Cakep ini, mah, Sya! Dari dulu memang cakep siih!" seru Fika sembari meraih hape Tasya, kemudian menggeser-geser layar benda segi empat tersebut melihat foto-foto pernikahan Natasya.Tasya hanya memencongkan bibirnya mendengar pujian Afika terhadap Ardian.....Ketika hari H, Fika tidak bisa datang karena bertepatan dengan hari di mana tantenya meninggal dunia di Surabaya."Cakepan juga Kak Hendi," lirih Tasya sembari mencebik.Hendi adalah adik dari Naysilla—ibu sambung Tasya."Hendi cakep, tapi ini juga nggak kalah ganteng. Body-nya sekarang juga keren kalo dilihat-lihat. Kalian kelihatan serasi loh, Sya." Fika cekikikan di sana."Huuuft ...." Tasya tidak memungkiri kalau Ardian tak kalah keren dibandingkan pria yang selama ini ada di hatinya. Ya, ia menyukai adik dari sang ibu tiri, Hendi. Perasaan itu ada semenjak ia masih remaja. Namun, pria itu sama sekali tidak menaruh hati padanya. Hendi sudah menikah tiga setengah tahun yang lalu, bahkan sudah mempunyai seorang putra. Itu yang membuat ia patah hati. Mungkin memang salah Tasya juga, karena mencintai dalam diam. Ia tidak pernah mau mengungkapkan perasaannya itu karena takut ditolak dan tentu saja, apa tanggapan semua orang kalau tahu ia mencintai orang yang berstatus sebagai om-nya
Sebelum kembali ke apartemen, aku memutuskan untuk berbelanja dahulu ke sebuah supermarket yang masih searah dengan tujuan pulang. Karena sudah lebih dari sebulan tidak ditinggali, kulkas pun sengaja kubiarkan kosong. Sekarang karena Tasya memutuskan untuk tinggal di sana, mau tidak mau beberapa sayur, lauk, atau bahan makanan lain mesti siap sedia.Dulu bersama Maira, aku terbiasa berbelanja berdua. Setelah kepergiannya, semua kegiatan ini aku lakukan sendiri. Saat ini walaupun sudah menikah kembali, sepertinya sulit jika mengharap bisa berjalan berduaan dengan yang namanya istri. Huuuft ... aku berharap situasi seperti ini tidak berlangsung lama. Mudah-mudahan ke depan Tasya mau membuka hatinya. Ya, aku sendiri pun mesti belajar untuk menerima dia sebagai istriku.Setelah aku memenuhi trolly dengan berbagai jenis sayuran, telur, daging-dagingan, sea food, dan beberapa macam makanan instan, lantas aku segera membayar ke kasir. Setelah itu, aku gegas menuju ke apartemen.Sesampainya
"Pulang ke mana? Ini rumahmu," ujar Ardian dengan nada suara yang datar. Lelaki itu kemudian mematikan kompor. Meletakkan sepiring roti yang sudah dipanggang ke atas meja makan.Natasya tidak menjawab, ia lalu melangkah anggun menuju ke arah pintu luar. "Childish!" cibir Ardian sembari mengoleskan selai kacang-coklat ke atas roti."Ngomong apa kamu, hah?!" Natasya menghentikan langkahnya, ia terlihat tidak terima dengan sindiran Ardian barusan."Kamu nggak tuli," sahut Ardian sembari menduduki kursi makan di sana dengan santai."Ya, aku nggak tuli! Tapi kamu itu yang tuli! Dasar anak supir udik!"Tiba-tiba saja Ardian kembali bangkit berdiri dengan wajah yang berang. Ia lalu berjalan perlahan ke arah Natasya. Wanita cantik itu bersiaga. "Aku ... memang anak supir. Dan apa kamu nggak sadar? Anak supir ini sekarang statusnya adalah sebagai suami kamu." Dengan suara datar tapi penuh penekanan Ardian menunjuk ke arah Natasya."Memang ini 'kan, yang lu incer dari dulu? Akhirnya lu dapet
Fika mengangguk. "Loh, apa salahnya lo bermain peran untuk sementara? Siapa tahu ke depan lo jadi terbiasa."Natasya meringis menatap ke arah sahabatnya."Sya, s*x itu enak tahu! Daripada lo umur segini belom pernah ngerasain surga dunia. Rugi lo! Lagian mumpung halal dan berpahala gini!" tambah Afika lagi."Hidiih ...! Lo resek ya, Fik! Gue udah serius nyimak. Malah kasih saran nggak bener. Enak di dia, nggak enak di gue!""Laaah, lo enak juga, Sya! Lagian laki lo duda. Eh, mantan duda. Pasti punya pengalaman buat bikin lo puas. Daripada lo bete dengan pernikahan lo ini, mendingan lo ambil manfaatnya. Lagian kalau lo cerai, keluarga lo gue yakin nggak bakalan setuju. Lo mau dicap sebagai anak durhaka??""Udah, ah! Gue mau cau! Males gue sama lo!" Tasya beranjak dari atas ranjang. Kemudian meraih tas selempangnya yang tergeletak di atas sofa."Eh, mau ke mana lo?" tanya Fika sedikit berteriak karena Tasya semakin menjauh."Balik! Salam ma nyokap!" teriak Natasya, "assalamualaikum!"Af
*Ardian PovDaddy beranjak dari duduknya sembari membelai pundak sang putri. Kemudian bangkit dan berisyarat menyapaku. Aku pun segera meraih tangannya dan mencium punggung telapak tangan itu dengan takzim. Daddy menepuk ringan bahuku. Lalu berjalan melenggang ke luar dari kamar ini."Kalian kapan datang, hmm?" tanya Grandma dengan suara yang sedikit bergetar. Tampak kaca-kaca memenuhi permukaan netra tuanya tersebut.Aku mendekati ranjang Grandma lalu duduk di kursi yang tadi diduduki oleh Daddy. "Baru aja, Grandma," jawabku sekenanya.Tasya bangkit dari lantai, lalu duduk di bibir ranjang sang nenek. "Grandma kenapa nggak mau nginap di klinik aja dulu?" tanya Tasya dengan mengerucutkan bibir kemerahannya.Sikap manja itu sebenarnya kadang kala membuat ia tampak lebih menarik. Hanya saja, jika di hadapanku, entah mengapa ia sering memasang wajah yang masam dan jutek."Grandma nggak apa-apa. Cuma sesak sedikit tadi. Sudah baikan. Kalian nggak usah khawatir." Grandma mengulas seuntai
"A ... aa ... tap–tapi, Ar." Tasya tergagap di sana.Ardian menautkan alisnya. 'Ada apa dengan Natasya? Mengapa ia seolah berubah pikiran?' tanyanya di dalam hati."Mmm, aku ... aku nggak jadi mau pisah sekarang, Ar," ucap wanita itu dengan gugup. Semenjak pulang dari rumah Afika, Natasya jadi berpikir ulang. Fika benar, jika ia memutuskan untuk berpisah tanpa alasan yang jelas, tentu saja seluruh keluarga tidak akan setuju.Selama ini Ardian telah mengambil hati semua orang. Yang ada nanti Natasya-lah yang akan disalahkan. Pasti semua akan marah besar kepadanya. Ia tentu tak mau itu terjadi. Apalagi sang nenek dalam keadaan sakit seperti ini."Sekarang?? Jadi nanti bisa jadi kamu bakal meneruskan rencana pisahnya kita, gitu?" tanya Ardian memastikan. Ia lalu tersenyum miring mendengar ungkapan Natasya, "nggak! Aku nggak mau kalau begitu. Lebih cepat lebih baik kalau niat kamu seperti itu. Besok aku yang akan membuka omongan. Kamu nggak perlu khawatir.""Eeh, bu–bukan begitu maksudny
"Bu Sarah terkena serangan jantung dan stroke. Ini kali kedua untuk serangan jantungnya dan kali ketiga untuk stroke-nya. Saya harap pihak keluarga bisa menjaga beliau dengan baik. Terus terang, di usia beliau yang sekian saya sangat khawatir. Ini beliau bisa melewati masa kritisnya adalah sebuah keajaiban," terang Dokter Nurhadi kepada keluarga Arnold setelah tiga hari Sarah Dramawan dirawat di rumah sakit.Steven Arnold mengangguk-anggukkan kepalanya paham."Terima kasih banyak, Dok," ucap Naysilla mewakili semua orang.Sementara Ardian dan Natasya hanya bisa menyimak apa yang sang dokter sampaikan."Ibu jangan banyak pikiran ya ... keluarga juga, harap menjaga hati dan perasaan Bu Sarah." Dokter senior itu tersenyum hangat ke arah Sarah yang kini wajahnya sedikit mencong karena terkena bell palsy, lalu mengedarkan pandangan menggilir anggota keluarga Arnold yang ada di ruangan itu."In syaa Allah, Dok," jawab Naysilla.Natasya menganggukkan kepalanya."Te–terima ka–sih, Dok," ucap
Natasya kontan berbalik menghadap sang suami ketika teringat perjanjian mereka waktu di rumah keluarga besar di desa. "Janji yang mana maksud kamu, Ar? Janji aku jadi istri yang nurut sama kamu? Tapi, 'kan kamu juga udah janji nggak bakal suruh aku layanin kamu di ranjang?" cecar wanita itu dengan perasaan yang memanas. Ya, baru saja pulang dari 'kesibukan' semua orang akibat sang nenek yang masuk rumah sakit. Eh, Ardian malah memancing emosinya.Ardian menarik napas dalam kemudian mengembuskan udara perlahan. "Alhamdulillah kalau kamu ingat janji kita," ujarnya sembari tersenyum. Tampaknya ini bukan waktu yang tepat untuk bercanda dengan Natasya."Iya, aku ingat! Memangnya aku udah pikun apa?" cetus Tasya kesal."Oke-oke. Pertama-tama, aku minta kamu kalau ngomong ke aku nadanya jangan ngegas gitu ya, istrikuuu ...."Natasya kontan meringis mendengar panggilan 'istriku' dari lisan Ardian. Terasa sangat menggelikan di telinganya. Akan tetapi, dia berusaha menahan emosinya. Ya, dia su