Aku jadi tertawa menyeringai. Lucu sekali anak ini.
"Kan ... kan ... kamu ngejek aku!""Astaghfirullahal adziim," ucapku sembari menurunkan kedua sudut bibir. Benar-benar nggak habis pikir dengan perempuan ini. Maunya apa coba? Kok, senengnya cari gara-gara sama suami?"Aku nggak suka kamu anggap aku kayak anak kecil, tahu!" cetusnya tampak sebal."Yang bilang kamu anak kecil siapa, Tasya?" Aku menekan pangkal hidungku sendiri. Sabar ... sabar, Ardian. Aku terus memantrai diri agar tidak terpancing emosi karena sikap wanita ini."Huh!" Tasya pun kembali membaringkan tubuhnya dan langsung saja memunggungiku. Aneh banget ni orang. Memang kayak anak kecil kalau kayak begini. Heran!Aku pun tak mau lagi memperpanjang masalah. Lantas ikut merebah dan kembali menutup mataku dengan bantal.Klik!Lampu dipadamkan olehnya.Kembali aku menghela napas lelah. Tasya ... Tasya ....***"Sebenarnya Grandma nggak masalah kalau kalian mau tinggal di sini ataupun di apartemen sana," tutur Grandma setelah mendengar alasan kami kenapa ingin pindah, "tapi yakin kamu bisa mengurus rumah sendirian, Tasya?" Orang tua itu menatap ragu.Ibu mengulum senyuman, sementara Daddy seperti biasa dengan wajah datarnya."Memang apa susahnya ngurus rumah yang kecil? Apartemen Ardian 'kan, pastinya nggak gede kayak rumah ini." Tasya merengut."Bukan gitu, Sayang. Kamu 'kan, nggak suka masak dan juga beberes .... Di apartemen 'kan, kalian hanya berdua, nggak ada pembantu," sambung Ibu mertuaku menambahkan."Nggak perlu masaklaaah ... beli makanan 'kan, bisa. Soal cuci pakaian bisa ke laundry."Aku hanya diam mendengarkan mereka berdebat. Sebenarnya aku sendiri tidak terlalu mempermasalahkan walaupun di sini jauh dari kantor. Yang lebih aku pikirkan cuma kenyamanan Tasya. Akan tetapi, justru dia yang sepertinya berkeras ingin pindah. Padahal ia tentu tahu, banyak kenanganku tertinggal di sana. Entah kenapa dia begini."Biar saja mereka tinggal berdua di apartemen. Biar Tasya juga belajar jadi istri yang baik. Mandiri, ngurus suami dan ngurus rumah sendiri," timpal Daddy tanpa banyak basa-basi."Nah! Bener tu, kata Daddy!" seru Natasya semangat. Ia langsung berdiri dan melenggang menghampiri sang ayah, lalu mencium pipi orang tua itu, kemudian duduk di sebelah Daddy sembari bersandar di bahunya manja.Aku hanya melirik ke arahnya sebentar."Ya, terserah kalian aja kalau gitu." Grandma masih terlihat tidak yakin."Ya, sudah. Ibu oke aja," timpal Bu Nay.Akhirnya semua orang mengizinkan kami untuk pindah. Tasya terlihat begitu semringah di sana. Sebenarnya apa alasan dirinya begitu antusias untuk kami bisa pindah. Entahlah ...."Halaaah ... Kakak alesan aja itu, Grandma. Pasti maunya biar bebas berdua-duaan dengan Bang Ardian. Mentang-mentang penganten baruuu!" Zack yang tadinya fokus ke televisi pun ikut nimbrung obrolan kami. Sementara adiknya terkikik di sana."Sok tahu aja lu, anak kecil!" Tasya melempar sebuah bantal sofa ke arah Zack dan mengenai kepalanya."Hahahaaa!" Mikael tertawa terbahak-bahak melihat kakak laki-lakinya tiba-tiba manyun karena terkena lemparan bantal.***Akhirnya kami sampai di muka pintu apartemenku. Sambil merogoh dompet dan mengambil kunci, aku berkata kepada Pak Parmin—supir Grandma, "Cukup di sini aja, Pak. Biar saya yang masukin koper-koper ke dalam." Terdapat enam buah koper yang kami bawa. Punyaku cuma satu, punya Tasya, lima. Heran, apa aja yang dibawa, banyak banget."Oh, baik, Den ...," sahut Pak Parmin sembari meletakkan koper yang dipegangnya ke lantai. Lantas pria berusia hampir 60 tahun itu pun pamit dan pergi."Lama banget, ih. Cepetan buka pintunya!" rutuk Tasya tidak sabar."Iya," jawabku sembari memutar anak kunci kemudian membuka pintu apartemen.Natasya pun langsung melangkahkan kaki melenggang masuk dan langsung mengedarkan pandangan ke dalam ruangan. Sementara itu, aku meraih koper-koper kami lalu membawanya ke dalam satu per satu."Loh, kamarnya cuma ada satu?" tanyanya heran."Memangnya kamu kira ada berapa kamar di sini?" tanyaku."Aaarrgh! Aku kira ada dua kamar di sini!" protesnya.Aku hanya terkekeh mendengarnya merajuk dan kesal. Aku sudah mengira, ada maksud terselubung dengan permintaannya untuk pindah kemari. Dia pasti ingin kami pisah kamar."Jadi, balik lagi nih, ke rumah di desa?" tanyaku lagi mencandainya."Iiish ...!" Ia lalu membuka kamar dan masuk ke dalam, lantas duduk di ranjang. Tak lama kemudian bangkit lagi melihat pemandangan di balik jendela di sana.Apartemen ini sebenarnya cukup luas, tetapi jelas tidak lebih luas dari rumah keluarga Arnold. Kamar ini berukuran empat kali lima meter. Ada dapur kecil juga. Cukuplah untuk kami memulai hidup berdua. Seperti aku dengan Maira-ku dulu. Hmm ... kembali lagi teringat akan istriku yang tiga tahun lalu meninggal dunia.Aah ... sebenarnya aku kangen banget sama kamu, Mai ......"Aku mesti ke kantor siang ini." Ardian berkata seraya mengunyah suapan terakhir makan siang yang tadi ia pesan dari restoran yang melayani delivery order."Balik malem lagi?" tanya Tasya sambil menikmati paru balado dari restoran masakan Padang itu. Sebenarnya ia curiga dengan kebiasaan Ardian pulang malam. Ya, karena dia tahu kalau normalnya jam kantor hanya sampai setengah lima sore. Namun, semenjak mereka menikah, Ardian hampir selalu pulang larut malam. Namun, Tasya malas untuk menegur itu. Wanita itu justru senang, karena tidak harus sering bertemu dengan suaminya itu."Ya," jawab Ardian singkat, ia meletakkan piringnya yang sudah kosong dan meraih cup es teh dari atas meja, kemudian menyeruputnya. Setelah tandas, ia bangkit berdiri hendak masuk ke kamar mengganti pakaian."Sore ini aku juga mau turun," ujar Tasya menahan langkah sang suami.Ardian menoleh ke arahnya. "Mau ke mana?" tanya pria itu."Ya, sekali-kali aku juga mau jalan-jalan, dong!" sahut Tasya santai."Iya, ke ma
Ketika hari H, Fika tidak bisa datang karena bertepatan dengan hari di mana tantenya meninggal dunia di Surabaya."Cakepan juga Kak Hendi," lirih Tasya sembari mencebik.Hendi adalah adik dari Naysilla—ibu sambung Tasya."Hendi cakep, tapi ini juga nggak kalah ganteng. Body-nya sekarang juga keren kalo dilihat-lihat. Kalian kelihatan serasi loh, Sya." Fika cekikikan di sana."Huuuft ...." Tasya tidak memungkiri kalau Ardian tak kalah keren dibandingkan pria yang selama ini ada di hatinya. Ya, ia menyukai adik dari sang ibu tiri, Hendi. Perasaan itu ada semenjak ia masih remaja. Namun, pria itu sama sekali tidak menaruh hati padanya. Hendi sudah menikah tiga setengah tahun yang lalu, bahkan sudah mempunyai seorang putra. Itu yang membuat ia patah hati. Mungkin memang salah Tasya juga, karena mencintai dalam diam. Ia tidak pernah mau mengungkapkan perasaannya itu karena takut ditolak dan tentu saja, apa tanggapan semua orang kalau tahu ia mencintai orang yang berstatus sebagai om-nya
Sebelum kembali ke apartemen, aku memutuskan untuk berbelanja dahulu ke sebuah supermarket yang masih searah dengan tujuan pulang. Karena sudah lebih dari sebulan tidak ditinggali, kulkas pun sengaja kubiarkan kosong. Sekarang karena Tasya memutuskan untuk tinggal di sana, mau tidak mau beberapa sayur, lauk, atau bahan makanan lain mesti siap sedia.Dulu bersama Maira, aku terbiasa berbelanja berdua. Setelah kepergiannya, semua kegiatan ini aku lakukan sendiri. Saat ini walaupun sudah menikah kembali, sepertinya sulit jika mengharap bisa berjalan berduaan dengan yang namanya istri. Huuuft ... aku berharap situasi seperti ini tidak berlangsung lama. Mudah-mudahan ke depan Tasya mau membuka hatinya. Ya, aku sendiri pun mesti belajar untuk menerima dia sebagai istriku.Setelah aku memenuhi trolly dengan berbagai jenis sayuran, telur, daging-dagingan, sea food, dan beberapa macam makanan instan, lantas aku segera membayar ke kasir. Setelah itu, aku gegas menuju ke apartemen.Sesampainya
"Pulang ke mana? Ini rumahmu," ujar Ardian dengan nada suara yang datar. Lelaki itu kemudian mematikan kompor. Meletakkan sepiring roti yang sudah dipanggang ke atas meja makan.Natasya tidak menjawab, ia lalu melangkah anggun menuju ke arah pintu luar. "Childish!" cibir Ardian sembari mengoleskan selai kacang-coklat ke atas roti."Ngomong apa kamu, hah?!" Natasya menghentikan langkahnya, ia terlihat tidak terima dengan sindiran Ardian barusan."Kamu nggak tuli," sahut Ardian sembari menduduki kursi makan di sana dengan santai."Ya, aku nggak tuli! Tapi kamu itu yang tuli! Dasar anak supir udik!"Tiba-tiba saja Ardian kembali bangkit berdiri dengan wajah yang berang. Ia lalu berjalan perlahan ke arah Natasya. Wanita cantik itu bersiaga. "Aku ... memang anak supir. Dan apa kamu nggak sadar? Anak supir ini sekarang statusnya adalah sebagai suami kamu." Dengan suara datar tapi penuh penekanan Ardian menunjuk ke arah Natasya."Memang ini 'kan, yang lu incer dari dulu? Akhirnya lu dapet
Fika mengangguk. "Loh, apa salahnya lo bermain peran untuk sementara? Siapa tahu ke depan lo jadi terbiasa."Natasya meringis menatap ke arah sahabatnya."Sya, s*x itu enak tahu! Daripada lo umur segini belom pernah ngerasain surga dunia. Rugi lo! Lagian mumpung halal dan berpahala gini!" tambah Afika lagi."Hidiih ...! Lo resek ya, Fik! Gue udah serius nyimak. Malah kasih saran nggak bener. Enak di dia, nggak enak di gue!""Laaah, lo enak juga, Sya! Lagian laki lo duda. Eh, mantan duda. Pasti punya pengalaman buat bikin lo puas. Daripada lo bete dengan pernikahan lo ini, mendingan lo ambil manfaatnya. Lagian kalau lo cerai, keluarga lo gue yakin nggak bakalan setuju. Lo mau dicap sebagai anak durhaka??""Udah, ah! Gue mau cau! Males gue sama lo!" Tasya beranjak dari atas ranjang. Kemudian meraih tas selempangnya yang tergeletak di atas sofa."Eh, mau ke mana lo?" tanya Fika sedikit berteriak karena Tasya semakin menjauh."Balik! Salam ma nyokap!" teriak Natasya, "assalamualaikum!"Af
*Ardian PovDaddy beranjak dari duduknya sembari membelai pundak sang putri. Kemudian bangkit dan berisyarat menyapaku. Aku pun segera meraih tangannya dan mencium punggung telapak tangan itu dengan takzim. Daddy menepuk ringan bahuku. Lalu berjalan melenggang ke luar dari kamar ini."Kalian kapan datang, hmm?" tanya Grandma dengan suara yang sedikit bergetar. Tampak kaca-kaca memenuhi permukaan netra tuanya tersebut.Aku mendekati ranjang Grandma lalu duduk di kursi yang tadi diduduki oleh Daddy. "Baru aja, Grandma," jawabku sekenanya.Tasya bangkit dari lantai, lalu duduk di bibir ranjang sang nenek. "Grandma kenapa nggak mau nginap di klinik aja dulu?" tanya Tasya dengan mengerucutkan bibir kemerahannya.Sikap manja itu sebenarnya kadang kala membuat ia tampak lebih menarik. Hanya saja, jika di hadapanku, entah mengapa ia sering memasang wajah yang masam dan jutek."Grandma nggak apa-apa. Cuma sesak sedikit tadi. Sudah baikan. Kalian nggak usah khawatir." Grandma mengulas seuntai
"A ... aa ... tap–tapi, Ar." Tasya tergagap di sana.Ardian menautkan alisnya. 'Ada apa dengan Natasya? Mengapa ia seolah berubah pikiran?' tanyanya di dalam hati."Mmm, aku ... aku nggak jadi mau pisah sekarang, Ar," ucap wanita itu dengan gugup. Semenjak pulang dari rumah Afika, Natasya jadi berpikir ulang. Fika benar, jika ia memutuskan untuk berpisah tanpa alasan yang jelas, tentu saja seluruh keluarga tidak akan setuju.Selama ini Ardian telah mengambil hati semua orang. Yang ada nanti Natasya-lah yang akan disalahkan. Pasti semua akan marah besar kepadanya. Ia tentu tak mau itu terjadi. Apalagi sang nenek dalam keadaan sakit seperti ini."Sekarang?? Jadi nanti bisa jadi kamu bakal meneruskan rencana pisahnya kita, gitu?" tanya Ardian memastikan. Ia lalu tersenyum miring mendengar ungkapan Natasya, "nggak! Aku nggak mau kalau begitu. Lebih cepat lebih baik kalau niat kamu seperti itu. Besok aku yang akan membuka omongan. Kamu nggak perlu khawatir.""Eeh, bu–bukan begitu maksudny
"Bu Sarah terkena serangan jantung dan stroke. Ini kali kedua untuk serangan jantungnya dan kali ketiga untuk stroke-nya. Saya harap pihak keluarga bisa menjaga beliau dengan baik. Terus terang, di usia beliau yang sekian saya sangat khawatir. Ini beliau bisa melewati masa kritisnya adalah sebuah keajaiban," terang Dokter Nurhadi kepada keluarga Arnold setelah tiga hari Sarah Dramawan dirawat di rumah sakit.Steven Arnold mengangguk-anggukkan kepalanya paham."Terima kasih banyak, Dok," ucap Naysilla mewakili semua orang.Sementara Ardian dan Natasya hanya bisa menyimak apa yang sang dokter sampaikan."Ibu jangan banyak pikiran ya ... keluarga juga, harap menjaga hati dan perasaan Bu Sarah." Dokter senior itu tersenyum hangat ke arah Sarah yang kini wajahnya sedikit mencong karena terkena bell palsy, lalu mengedarkan pandangan menggilir anggota keluarga Arnold yang ada di ruangan itu."In syaa Allah, Dok," jawab Naysilla.Natasya menganggukkan kepalanya."Te–terima ka–sih, Dok," ucap