"Kamu yakin mau pindah ke apartemenku?" ulangku sembari meletakkan bokong di bibir tempat tidur, "di sana sempit, nggak kayak di sini," lanjutku sambil melenggang menyampirkan handuk di jemuran di dekat pintu kamar mandi, lalu kembali lagi duduk di pinggir ranjang.
"Ya. Kasihan juga sama kamu karena sering pulang malam kayak gini. Kalo aku sih, sekarang udah males ke kantor. Lagian 'kan, kamu yang wajib mencari nafkah. Kalau dari apartemenmu 'kan, nggak terlalu jauh dari kantor. Nggak kayak ke sini."Udah malas ke kantor? Dari dulu juga kamu males, Sya .... Lagipula makin malas ke kantor itu pasti karena kamu malu, sebab asistenmu sendiri, si anak supir ini yang jadi suamimu. Huuufft, aku merutuk di dalam hati.Tapi, tumben dia peduli denganku yang capek bolak-balik kejauhan dari rumah ini ke kantor setiap hari? Aku menatapnya penuh selidik. Tasya tampak menggigiti bibirnya. Aku tersenyum miring. Tentu saja yang namanya Tasya tidak akan murni memedulikan aku. Apa mau dia sebenarnya?Pandanganku beralih ke bibir mungil kemerahan yang dimainkannya di sana. Entah mengapa ada denyar halus yang tiba-tiba saja menghampiri. Sudah sebulanan kami menikah, tetapi tidak seujung kuku pun aku menyentuhnya kecuali hanya bersalaman dan mengecup keningnya pada hari akad nikah waktu itu."Apaan sih, Ar? Ngeliatin aku segitunya. Nggak usah mikir yang nggak-nggaklah. Curiga banget! Aku nggak ada niat apa-apa!" ujarnya bersungut-sungut.Aku mencebik dan menaikkan alis. "Ya, terserah kamu aja," ucapku akhirnya sambil mengalihkan pandangan. Terserahlah kalau memang maunya begitu.Aku tak mau berlama-lama melihat wajah cantiknya itu. Bisa kalap nanti. Lagipula usulannya bagus, biar aku nggak kejauhan ke kantor. Yang aku khawatirkan cuma takut Tasya nggak betah karena di sana tidak seluas rumah ini. Dan tentunya di sana banyak kenanganku ...."Siip!" Tasya tersenyum senang seraya mengacungkan kedua jempolnya. Lalu ia merebahkan diri ke ranjang.Aku pun ikut merebahkan tubuh, meraih sebuah bantal, lantas memeluk benda itu meredam sebuah rasa yang datang seketika tanpa diundang akibat menatap Tasya terlalu lama tadi. Dia memang benar-benar cantik dan sangat menarik. Kalau aku mau, bisa saja aku memaksanya. Akan tetapi, bahaya. Bagaimana kalau dia berteriak dan membuat heboh seisi rumah? Malah buat malu saja.Tasya masih belum pernah melepaskan kerudungnya di hadapanku. Akan tetapi, meskipun demikian, bergo berukuran sedang dengan piyama satin itu pun, tetap masih membuat wanita itu menarik. Apa lagi terkadang jika aku tiba-tiba terjaga dari tidur dan melihat lekukan tubuhnya di saat ia terlelap. Wajar saja hasrat itu terkadang muncul. Walau bagaimanapun, aku ini lelaki normal.Aaah, kembali teringat dengan dia yang masih dan selalu ada di hati ini. Huuuft ... Mai, seandainya kamu masih bersamaku ....Kutarik napas perlahan demi mengurai sesak yang tiba-tiba saja datang di dalam sini. Kemudian aku berbalik menghadap Tasya.Tampaklah wajah Tasya yang kebetulan menghadap ke arahku. Wanita itu kontan menatapku dengan raut curiga dan waspada."Hmm ... bisa kamu matikan lampu itu?" Aku berisyarat menunjuk lampu di atas nakas di sebelahnya. Baru kali ini aku meminta mematikan benda itu. Selama ini aku hanya menutup mataku dengan bantal untuk menghindari cahaya lampu tersebut.Alisnya bertaut. "Memang kenapa? Biasanya juga nggak masalah."Aku menghela napas mendengar jawabannya. "Aku sebenarnya sulit tidur kalau ada cahaya sedekat ini," jelasku.Tasya seperti menimbang-nimbang."Kamu nggak takut gelap, 'kan?" tanyaku. Ya, bisa saja ternyata Tasya takut dengan gelap. Soalnya selama sebulan menikah dengannya, dia sama sekali tidak mau mematikan lampu itu."Nggak! Siapa bilang aku takut gelap?" Ia pun langsung memadamkan benda itu.Dengan matinya benda itu, sebenarnya tidak terlalu gelap gulita. Sebab tetap ada pendar cahaya lampu luar yang masuk ke ruangan melalui ventilasi udara dan juga jendela.Aku menghela napas lega. Baguslah kalau Tasya memang nggak takut gelap. Aku bisa tidur nyenyak mulai sekarang. "Kenapa nggak dari kemarin-kemarin?" lirihku.Klik!Lampu menyala lagi.Aku yang tadi baru saja memejamkan mata pun kembali menatapnya. "Kenapa?" tanyaku heran."Kamunya, 'kan, baru minta matiin sekarang. Kenapa mesti protes kalau aku matiin lampu ini baru sekarang?"Ya Allah. Ternyata dia mendengar suaraku tadi."Aku kira kamu yang nggak bisa tidur kalau dalam keadaan gelap," sahutku sekenanya."Eh, aku nggak takut gelap ya!" cetusnya menaikkan suara.Loh, kenapa anak ini? Kok, tiba-tiba emosi?"Kamu jangan pikir aku ini anak manja yang takut gelap ya! Enak aja!" katanya tidak terima. Tasya kemudian bangkit dan duduk sambil menatapku tajam."Loh, aku nggak ada bilang kayak gitu, Sya." Aku pun ikut bangkit lalu duduk karena melihatnya tak jadi tidur."Halaaah! Mata kamu itu yang ngomong kayak gitu!" tudingnya sambil menunjuk mataku."Mata aku?"..Aku jadi tertawa menyeringai. Lucu sekali anak ini."Kan ... kan ... kamu ngejek aku!" "Astaghfirullahal adziim," ucapku sembari menurunkan kedua sudut bibir. Benar-benar nggak habis pikir dengan perempuan ini. Maunya apa coba? Kok, senengnya cari gara-gara sama suami?"Aku nggak suka kamu anggap aku kayak anak kecil, tahu!" cetusnya tampak sebal."Yang bilang kamu anak kecil siapa, Tasya?" Aku menekan pangkal hidungku sendiri. Sabar ... sabar, Ardian. Aku terus memantrai diri agar tidak terpancing emosi karena sikap wanita ini."Huh!" Tasya pun kembali membaringkan tubuhnya dan langsung saja memunggungiku. Aneh banget ni orang. Memang kayak anak kecil kalau kayak begini. Heran!Aku pun tak mau lagi memperpanjang masalah. Lantas ikut merebah dan kembali menutup mataku dengan bantal. Klik!Lampu dipadamkan olehnya. Kembali aku menghela napas lelah. Tasya ... Tasya ....***"Sebenarnya Grandma nggak masalah kalau kalian mau tinggal di sini ataupun di apartemen sana," tutur Grandma se
"Aku mesti ke kantor siang ini." Ardian berkata seraya mengunyah suapan terakhir makan siang yang tadi ia pesan dari restoran yang melayani delivery order."Balik malem lagi?" tanya Tasya sambil menikmati paru balado dari restoran masakan Padang itu. Sebenarnya ia curiga dengan kebiasaan Ardian pulang malam. Ya, karena dia tahu kalau normalnya jam kantor hanya sampai setengah lima sore. Namun, semenjak mereka menikah, Ardian hampir selalu pulang larut malam. Namun, Tasya malas untuk menegur itu. Wanita itu justru senang, karena tidak harus sering bertemu dengan suaminya itu."Ya," jawab Ardian singkat, ia meletakkan piringnya yang sudah kosong dan meraih cup es teh dari atas meja, kemudian menyeruputnya. Setelah tandas, ia bangkit berdiri hendak masuk ke kamar mengganti pakaian."Sore ini aku juga mau turun," ujar Tasya menahan langkah sang suami.Ardian menoleh ke arahnya. "Mau ke mana?" tanya pria itu."Ya, sekali-kali aku juga mau jalan-jalan, dong!" sahut Tasya santai."Iya, ke ma
Ketika hari H, Fika tidak bisa datang karena bertepatan dengan hari di mana tantenya meninggal dunia di Surabaya."Cakepan juga Kak Hendi," lirih Tasya sembari mencebik.Hendi adalah adik dari Naysilla—ibu sambung Tasya."Hendi cakep, tapi ini juga nggak kalah ganteng. Body-nya sekarang juga keren kalo dilihat-lihat. Kalian kelihatan serasi loh, Sya." Fika cekikikan di sana."Huuuft ...." Tasya tidak memungkiri kalau Ardian tak kalah keren dibandingkan pria yang selama ini ada di hatinya. Ya, ia menyukai adik dari sang ibu tiri, Hendi. Perasaan itu ada semenjak ia masih remaja. Namun, pria itu sama sekali tidak menaruh hati padanya. Hendi sudah menikah tiga setengah tahun yang lalu, bahkan sudah mempunyai seorang putra. Itu yang membuat ia patah hati. Mungkin memang salah Tasya juga, karena mencintai dalam diam. Ia tidak pernah mau mengungkapkan perasaannya itu karena takut ditolak dan tentu saja, apa tanggapan semua orang kalau tahu ia mencintai orang yang berstatus sebagai om-nya
Sebelum kembali ke apartemen, aku memutuskan untuk berbelanja dahulu ke sebuah supermarket yang masih searah dengan tujuan pulang. Karena sudah lebih dari sebulan tidak ditinggali, kulkas pun sengaja kubiarkan kosong. Sekarang karena Tasya memutuskan untuk tinggal di sana, mau tidak mau beberapa sayur, lauk, atau bahan makanan lain mesti siap sedia.Dulu bersama Maira, aku terbiasa berbelanja berdua. Setelah kepergiannya, semua kegiatan ini aku lakukan sendiri. Saat ini walaupun sudah menikah kembali, sepertinya sulit jika mengharap bisa berjalan berduaan dengan yang namanya istri. Huuuft ... aku berharap situasi seperti ini tidak berlangsung lama. Mudah-mudahan ke depan Tasya mau membuka hatinya. Ya, aku sendiri pun mesti belajar untuk menerima dia sebagai istriku.Setelah aku memenuhi trolly dengan berbagai jenis sayuran, telur, daging-dagingan, sea food, dan beberapa macam makanan instan, lantas aku segera membayar ke kasir. Setelah itu, aku gegas menuju ke apartemen.Sesampainya
"Pulang ke mana? Ini rumahmu," ujar Ardian dengan nada suara yang datar. Lelaki itu kemudian mematikan kompor. Meletakkan sepiring roti yang sudah dipanggang ke atas meja makan.Natasya tidak menjawab, ia lalu melangkah anggun menuju ke arah pintu luar. "Childish!" cibir Ardian sembari mengoleskan selai kacang-coklat ke atas roti."Ngomong apa kamu, hah?!" Natasya menghentikan langkahnya, ia terlihat tidak terima dengan sindiran Ardian barusan."Kamu nggak tuli," sahut Ardian sembari menduduki kursi makan di sana dengan santai."Ya, aku nggak tuli! Tapi kamu itu yang tuli! Dasar anak supir udik!"Tiba-tiba saja Ardian kembali bangkit berdiri dengan wajah yang berang. Ia lalu berjalan perlahan ke arah Natasya. Wanita cantik itu bersiaga. "Aku ... memang anak supir. Dan apa kamu nggak sadar? Anak supir ini sekarang statusnya adalah sebagai suami kamu." Dengan suara datar tapi penuh penekanan Ardian menunjuk ke arah Natasya."Memang ini 'kan, yang lu incer dari dulu? Akhirnya lu dapet
Fika mengangguk. "Loh, apa salahnya lo bermain peran untuk sementara? Siapa tahu ke depan lo jadi terbiasa."Natasya meringis menatap ke arah sahabatnya."Sya, s*x itu enak tahu! Daripada lo umur segini belom pernah ngerasain surga dunia. Rugi lo! Lagian mumpung halal dan berpahala gini!" tambah Afika lagi."Hidiih ...! Lo resek ya, Fik! Gue udah serius nyimak. Malah kasih saran nggak bener. Enak di dia, nggak enak di gue!""Laaah, lo enak juga, Sya! Lagian laki lo duda. Eh, mantan duda. Pasti punya pengalaman buat bikin lo puas. Daripada lo bete dengan pernikahan lo ini, mendingan lo ambil manfaatnya. Lagian kalau lo cerai, keluarga lo gue yakin nggak bakalan setuju. Lo mau dicap sebagai anak durhaka??""Udah, ah! Gue mau cau! Males gue sama lo!" Tasya beranjak dari atas ranjang. Kemudian meraih tas selempangnya yang tergeletak di atas sofa."Eh, mau ke mana lo?" tanya Fika sedikit berteriak karena Tasya semakin menjauh."Balik! Salam ma nyokap!" teriak Natasya, "assalamualaikum!"Af
*Ardian PovDaddy beranjak dari duduknya sembari membelai pundak sang putri. Kemudian bangkit dan berisyarat menyapaku. Aku pun segera meraih tangannya dan mencium punggung telapak tangan itu dengan takzim. Daddy menepuk ringan bahuku. Lalu berjalan melenggang ke luar dari kamar ini."Kalian kapan datang, hmm?" tanya Grandma dengan suara yang sedikit bergetar. Tampak kaca-kaca memenuhi permukaan netra tuanya tersebut.Aku mendekati ranjang Grandma lalu duduk di kursi yang tadi diduduki oleh Daddy. "Baru aja, Grandma," jawabku sekenanya.Tasya bangkit dari lantai, lalu duduk di bibir ranjang sang nenek. "Grandma kenapa nggak mau nginap di klinik aja dulu?" tanya Tasya dengan mengerucutkan bibir kemerahannya.Sikap manja itu sebenarnya kadang kala membuat ia tampak lebih menarik. Hanya saja, jika di hadapanku, entah mengapa ia sering memasang wajah yang masam dan jutek."Grandma nggak apa-apa. Cuma sesak sedikit tadi. Sudah baikan. Kalian nggak usah khawatir." Grandma mengulas seuntai
"A ... aa ... tap–tapi, Ar." Tasya tergagap di sana.Ardian menautkan alisnya. 'Ada apa dengan Natasya? Mengapa ia seolah berubah pikiran?' tanyanya di dalam hati."Mmm, aku ... aku nggak jadi mau pisah sekarang, Ar," ucap wanita itu dengan gugup. Semenjak pulang dari rumah Afika, Natasya jadi berpikir ulang. Fika benar, jika ia memutuskan untuk berpisah tanpa alasan yang jelas, tentu saja seluruh keluarga tidak akan setuju.Selama ini Ardian telah mengambil hati semua orang. Yang ada nanti Natasya-lah yang akan disalahkan. Pasti semua akan marah besar kepadanya. Ia tentu tak mau itu terjadi. Apalagi sang nenek dalam keadaan sakit seperti ini."Sekarang?? Jadi nanti bisa jadi kamu bakal meneruskan rencana pisahnya kita, gitu?" tanya Ardian memastikan. Ia lalu tersenyum miring mendengar ungkapan Natasya, "nggak! Aku nggak mau kalau begitu. Lebih cepat lebih baik kalau niat kamu seperti itu. Besok aku yang akan membuka omongan. Kamu nggak perlu khawatir.""Eeh, bu–bukan begitu maksudny