Share

Bab 4

"Kamu yakin mau pindah ke apartemenku?" ulangku sembari meletakkan bokong di bibir tempat tidur, "di sana sempit, nggak kayak di sini," lanjutku sambil melenggang menyampirkan handuk di jemuran di dekat pintu kamar mandi, lalu kembali lagi duduk di pinggir ranjang.

"Ya. Kasihan juga sama kamu karena sering pulang malam kayak gini. Kalo aku sih, sekarang udah males ke kantor. Lagian 'kan, kamu yang wajib mencari nafkah. Kalau dari apartemenmu 'kan, nggak terlalu jauh dari kantor. Nggak kayak ke sini."

Udah malas ke kantor? Dari dulu juga kamu males, Sya .... Lagipula makin malas ke kantor itu pasti karena kamu malu, sebab asistenmu sendiri, si anak supir ini yang jadi suamimu. Huuufft, aku merutuk di dalam hati.

Tapi, tumben dia peduli denganku yang capek bolak-balik kejauhan dari rumah ini ke kantor setiap hari? Aku menatapnya penuh selidik. Tasya tampak menggigiti bibirnya. Aku tersenyum miring. Tentu saja yang namanya Tasya tidak akan murni memedulikan aku. Apa mau dia sebenarnya?

Pandanganku beralih ke bibir mungil kemerahan yang dimainkannya di sana. Entah mengapa ada denyar halus yang tiba-tiba saja menghampiri. Sudah sebulanan kami menikah, tetapi tidak seujung kuku pun aku menyentuhnya kecuali hanya bersalaman dan mengecup keningnya pada hari akad nikah waktu itu.

"Apaan sih, Ar? Ngeliatin aku segitunya. Nggak usah mikir yang nggak-nggaklah. Curiga banget! Aku nggak ada niat apa-apa!" ujarnya bersungut-sungut.

Aku mencebik dan menaikkan alis. "Ya, terserah kamu aja," ucapku akhirnya sambil mengalihkan pandangan. Terserahlah kalau memang maunya begitu.

Aku tak mau berlama-lama melihat wajah cantiknya itu. Bisa kalap nanti. Lagipula usulannya bagus, biar aku nggak kejauhan ke kantor. Yang aku khawatirkan cuma takut Tasya nggak betah karena di sana tidak seluas rumah ini. Dan tentunya di sana banyak kenanganku ....

"Siip!" Tasya tersenyum senang seraya mengacungkan kedua jempolnya. Lalu ia merebahkan diri ke ranjang.

Aku pun ikut merebahkan tubuh, meraih sebuah bantal, lantas memeluk benda itu meredam sebuah rasa yang datang seketika tanpa diundang akibat menatap Tasya terlalu lama tadi. Dia memang benar-benar cantik dan sangat menarik. Kalau aku mau, bisa saja aku memaksanya. Akan tetapi, bahaya. Bagaimana kalau dia berteriak dan membuat heboh seisi rumah? Malah buat malu saja.

Tasya masih belum pernah melepaskan kerudungnya di hadapanku. Akan tetapi, meskipun demikian, bergo berukuran sedang dengan piyama satin itu pun, tetap masih membuat wanita itu menarik. Apa lagi terkadang jika aku tiba-tiba terjaga dari tidur dan melihat lekukan tubuhnya di saat ia terlelap. Wajar saja hasrat itu terkadang muncul. Walau bagaimanapun, aku ini lelaki normal.

Aaah, kembali teringat dengan dia yang masih dan selalu ada di hati ini. Huuuft ... Mai, seandainya kamu masih bersamaku ....

Kutarik napas perlahan demi mengurai sesak yang tiba-tiba saja datang di dalam sini. Kemudian aku berbalik menghadap Tasya.

Tampaklah wajah Tasya yang kebetulan menghadap ke arahku. Wanita itu kontan menatapku dengan raut curiga dan waspada.

"Hmm ... bisa kamu matikan lampu itu?" Aku berisyarat menunjuk lampu di atas nakas di sebelahnya. Baru kali ini aku meminta mematikan benda itu. Selama ini aku hanya menutup mataku dengan bantal untuk menghindari cahaya lampu tersebut.

Alisnya bertaut. "Memang kenapa? Biasanya juga nggak masalah."

Aku menghela napas mendengar jawabannya. "Aku sebenarnya sulit tidur kalau ada cahaya sedekat ini," jelasku.

Tasya seperti menimbang-nimbang.

"Kamu nggak takut gelap, 'kan?" tanyaku. Ya, bisa saja ternyata Tasya takut dengan gelap. Soalnya selama sebulan menikah dengannya, dia sama sekali tidak mau mematikan lampu itu.

"Nggak! Siapa bilang aku takut gelap?" Ia pun langsung memadamkan benda itu.

Dengan matinya benda itu, sebenarnya tidak terlalu gelap gulita. Sebab tetap ada pendar cahaya lampu luar yang masuk ke ruangan melalui ventilasi udara dan juga jendela.

Aku menghela napas lega. Baguslah kalau Tasya memang nggak takut gelap. Aku bisa tidur nyenyak mulai sekarang. "Kenapa nggak dari kemarin-kemarin?" lirihku.

Klik!

Lampu menyala lagi.

Aku yang tadi baru saja memejamkan mata pun kembali menatapnya. "Kenapa?" tanyaku heran.

"Kamunya, 'kan, baru minta matiin sekarang. Kenapa mesti protes kalau aku matiin lampu ini baru sekarang?"

Ya Allah. Ternyata dia mendengar suaraku tadi.

"Aku kira kamu yang nggak bisa tidur kalau dalam keadaan gelap," sahutku sekenanya.

"Eh, aku nggak takut gelap ya!" cetusnya menaikkan suara.

Loh, kenapa anak ini? Kok, tiba-tiba emosi?

"Kamu jangan pikir aku ini anak manja yang takut gelap ya! Enak aja!" katanya tidak terima. Tasya kemudian bangkit dan duduk sambil menatapku tajam.

"Loh, aku nggak ada bilang kayak gitu, Sya." Aku pun ikut bangkit lalu duduk karena melihatnya tak jadi tidur.

"Halaaah! Mata kamu itu yang ngomong kayak gitu!" tudingnya sambil menunjuk mataku.

"Mata aku?"

.

.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status