"Ooh, heheheee. Mungkin kalian kecapekan ...." Sarah terkekeh pelan.
Nay juga hanya tertawa kecil mendengar ucapan mertuanya. Zack dan Mikael menertawakan kakaknya kembali."Ekheem!" deham Tasya sengaja dikeraskan, "aku ke kamar dulu, mau mandi. Di sini gerah!" sindir wanita itu sambil mendengkus. Lalu ia pun beranjak pergi dengan langkah lebar.Digoda seperti itu, hati wanita itu merasa begitu panas. Apalagi setelah muncul Ardian di hadapannya, perut yang tadi terasa cukup lapar, automatis kenyang hanya dengan sepotong roti isi. Padahal biasanya wanita itu melahap minimal dua potong untuknya sendiri.Ardian hanya bisa diam menatap punggung sang istri yang berlalu dengan wajah masam. Ia tahu hal itu karena ketidaksukaan akan keberadaan dirinya di rumah mereka."Kamu yang sabar aja ya dengan sikap Tasya, Ar ...," ucap Nay dengan raut yang prihatin. Dia sangat paham bagaimana sikap Tasya sejak kecil terhadap Ardian."In syaa Allah, Bu," jawab Ardian sembari mengangguk."Makan ... makan!" ajak Sarah mengalihkan bahasan.Pria manis itu pun tersenyum tipis, lantas meraih potongan sandwich di hadapannya dan memulai ritual sarapan.***Hanya tiga hari Ardian libur. Selanjutnya ia mesti kembali bekerja. Ia tidak bisa berlama-lama meninggalkan pekerjaan yang tengah menumpuk. Pria itu memang hanya seorang asisten dari CEO yang dijabat oleh Natasya sendiri. Akan tetapi, pada kenyataannya, justru tugas dan tanggungjawab CEO itu lebih sering dijalankan oleh dirinya sendiri daripada Tasya.Sebulan pun berlalu dan selama satu bulanan ini, ia menjalani rutinitas seperti biasa. Tidak ada perubahan apa pun kecuali hanya pindah tempat tinggal saja. Bukan, bukan tempat tinggal tepatnya. Akan tetapi, pindah tempat menginap.Ya, bagaimana tidak? Ia mesti pagi-pagi sekali berangkat kerja agar tidak terjebak macet. Bahkan apabila ada kegiatan rapat di pagi hari, maka ia tidak sempat sarapan di rumah. Pulang kerja dan sampai di rumah ketika hari sudah cukup malam sekitar pukul sembilan atau sepuluh. Setiap hari begitu.Apa hendak dikata, kehidupan rumah tangga yang selayaknya diidam-idamkan banyak orang, ternyata tidak sesuai dengan yang ia harapkan. Sama sekali jauh berbeda dengan kondisi kehidupan pernikahan pada umumnya.Tidak ada kehangatan seorang istri yang mampu membuat ia merasa rindu untuk segera pulang. Tidak ada sambutan hangat dan mesra dari kekasih hati ketika langkahnya sampai di rumah. Bahkan sekarang, Ardian malah dengan sengaja memperlambat jalan menuju ke rumah, walaupun pekerjaan di kantor sudah selesai. Biar tidak cepat sampai."Huuuuft ...!" Ardian mengembuskan napas bosan di dalam perjalanannya menuju pulang. Kalau saja boleh memilih, lebih baik menjadi single seperti beberapa tahun belakangan ini dibandingkan punya istri, tetapi merasa single.Sesampainya di halaman rumah, sang pria segera turun dari mobil masuk ke dalam rumah dan menuju ke arah kamarnya.Ceklek!Pintu pintu kamar pun terbuka. Tasya tampak masih terjaga dengan sebuah novel berada di telapak tangannya. Seperti biasa, tidak ada sambutan atas kedatangan sang suami dari kantor. Hanya lirikan singkat karena mendengar derit engsel pintu yang terbuka dan tertutup.Setelah meletakkan tasnya di atas sebuah meja, Ardian membuka baju di hadapan wanita itu. Ia tidak peduli dengan reaksi Tasya yang seolah cuek, tetapi terkadang masih mencuri-curi pandang itu.Tidak ada lagi omelan dari mulut wanita cantik tersebut. Mungkin dia sudah bosan, sebab Ardian tidak pernah mempedulikan ungkapan protesnya.Ardian lalu masuk ke dalam kamar mandi tanpa menyapa ataupun melempar selarik senyum pun kepada sang istri. Tak lama kemudian, setelah selesai membersihkan diri, pria itu keluar dengan mengenakan sehelai handuk yang melingkar di bawah pusarnya.Tasya hanya bisa menelan ludah dengan pemandangan di hadapannya itu. Meski tidak suka dengan sang suami, wanita itu tidak bisa memungkiri kalau Ardian memiliki tubuh yang bagus. Otot-otot dada dan perutnya tercetak dengan begitu indah. Menarik mata wanita mana saja untuk melihatnya."Mmm ... aku mau kita pindah aja ke apartemen kamu di kota," ujar Natasya ketika Ardian membuka almari dan mengambil celana boxer yang terlipat di sana.Tubuh yang masih sedikit basah itu sebenarnya sungguh menggoda mata Tasya. Akan tetapi, ia pura-pura tak ambil peduli.Alis tebal milik Ardian bertaut kencang, lantas ia menoleh ke arah wanita yang kini sudah sah berstatus sebagai istrinya itu. "Hmm? Pindah ke apartemenku?""Iya, pindah ke apartemen kamu." Tasya mengulang omongannya."Kenapa kok, tiba-tiba aja kamu mau pindah ke kota?" tanya Ardian heran sambil mengenakan celana boxernya.Natasya menghela napas. "Sebenarnya aku udah lama mau pindah ke kota. Hanya saja Daddy dan Ibu nggak ngebolehin. Kata mereka rumah ini gede, kamarnya cukup. Daddy juga bilang, nggak bakal ngebiarin anak gadisnya tinggal sendirian. Ck! Padahal kan, aku bukan anak kecil lagi," jelasnya panjang lebar."Yakin kamu mau tinggal di apartemen aku? Itu kan, bekaas ....""Iya aku tahu. Aku nggak masalah kok," potong Tasya cepat.Ardian mencebikkan bibirnya. Ia berpikir apa iya, Tasya bisa tinggal di apartemen kecil miliknya? Secara wanita itu sudah terbiasa apa-apa dilayani di rumah besar itu."Gimana? Nggak masalah, 'kan?" desak Natasya tidak sabar dengan keputusan Ardian..."Kamu yakin mau pindah ke apartemenku?" ulangku sembari meletakkan bokong di bibir tempat tidur, "di sana sempit, nggak kayak di sini," lanjutku sambil melenggang menyampirkan handuk di jemuran di dekat pintu kamar mandi, lalu kembali lagi duduk di pinggir ranjang."Ya. Kasihan juga sama kamu karena sering pulang malam kayak gini. Kalo aku sih, sekarang udah males ke kantor. Lagian 'kan, kamu yang wajib mencari nafkah. Kalau dari apartemenmu 'kan, nggak terlalu jauh dari kantor. Nggak kayak ke sini." Udah malas ke kantor? Dari dulu juga kamu males, Sya .... Lagipula makin malas ke kantor itu pasti karena kamu malu, sebab asistenmu sendiri, si anak supir ini yang jadi suamimu. Huuufft, aku merutuk di dalam hati. Tapi, tumben dia peduli denganku yang capek bolak-balik kejauhan dari rumah ini ke kantor setiap hari? Aku menatapnya penuh selidik. Tasya tampak menggigiti bibirnya. Aku tersenyum miring. Tentu saja yang namanya Tasya tidak akan murni memedulikan aku. Apa mau dia sebenarnya?
Aku jadi tertawa menyeringai. Lucu sekali anak ini."Kan ... kan ... kamu ngejek aku!" "Astaghfirullahal adziim," ucapku sembari menurunkan kedua sudut bibir. Benar-benar nggak habis pikir dengan perempuan ini. Maunya apa coba? Kok, senengnya cari gara-gara sama suami?"Aku nggak suka kamu anggap aku kayak anak kecil, tahu!" cetusnya tampak sebal."Yang bilang kamu anak kecil siapa, Tasya?" Aku menekan pangkal hidungku sendiri. Sabar ... sabar, Ardian. Aku terus memantrai diri agar tidak terpancing emosi karena sikap wanita ini."Huh!" Tasya pun kembali membaringkan tubuhnya dan langsung saja memunggungiku. Aneh banget ni orang. Memang kayak anak kecil kalau kayak begini. Heran!Aku pun tak mau lagi memperpanjang masalah. Lantas ikut merebah dan kembali menutup mataku dengan bantal. Klik!Lampu dipadamkan olehnya. Kembali aku menghela napas lelah. Tasya ... Tasya ....***"Sebenarnya Grandma nggak masalah kalau kalian mau tinggal di sini ataupun di apartemen sana," tutur Grandma se
"Aku mesti ke kantor siang ini." Ardian berkata seraya mengunyah suapan terakhir makan siang yang tadi ia pesan dari restoran yang melayani delivery order."Balik malem lagi?" tanya Tasya sambil menikmati paru balado dari restoran masakan Padang itu. Sebenarnya ia curiga dengan kebiasaan Ardian pulang malam. Ya, karena dia tahu kalau normalnya jam kantor hanya sampai setengah lima sore. Namun, semenjak mereka menikah, Ardian hampir selalu pulang larut malam. Namun, Tasya malas untuk menegur itu. Wanita itu justru senang, karena tidak harus sering bertemu dengan suaminya itu."Ya," jawab Ardian singkat, ia meletakkan piringnya yang sudah kosong dan meraih cup es teh dari atas meja, kemudian menyeruputnya. Setelah tandas, ia bangkit berdiri hendak masuk ke kamar mengganti pakaian."Sore ini aku juga mau turun," ujar Tasya menahan langkah sang suami.Ardian menoleh ke arahnya. "Mau ke mana?" tanya pria itu."Ya, sekali-kali aku juga mau jalan-jalan, dong!" sahut Tasya santai."Iya, ke ma
Ketika hari H, Fika tidak bisa datang karena bertepatan dengan hari di mana tantenya meninggal dunia di Surabaya."Cakepan juga Kak Hendi," lirih Tasya sembari mencebik.Hendi adalah adik dari Naysilla—ibu sambung Tasya."Hendi cakep, tapi ini juga nggak kalah ganteng. Body-nya sekarang juga keren kalo dilihat-lihat. Kalian kelihatan serasi loh, Sya." Fika cekikikan di sana."Huuuft ...." Tasya tidak memungkiri kalau Ardian tak kalah keren dibandingkan pria yang selama ini ada di hatinya. Ya, ia menyukai adik dari sang ibu tiri, Hendi. Perasaan itu ada semenjak ia masih remaja. Namun, pria itu sama sekali tidak menaruh hati padanya. Hendi sudah menikah tiga setengah tahun yang lalu, bahkan sudah mempunyai seorang putra. Itu yang membuat ia patah hati. Mungkin memang salah Tasya juga, karena mencintai dalam diam. Ia tidak pernah mau mengungkapkan perasaannya itu karena takut ditolak dan tentu saja, apa tanggapan semua orang kalau tahu ia mencintai orang yang berstatus sebagai om-nya
Sebelum kembali ke apartemen, aku memutuskan untuk berbelanja dahulu ke sebuah supermarket yang masih searah dengan tujuan pulang. Karena sudah lebih dari sebulan tidak ditinggali, kulkas pun sengaja kubiarkan kosong. Sekarang karena Tasya memutuskan untuk tinggal di sana, mau tidak mau beberapa sayur, lauk, atau bahan makanan lain mesti siap sedia.Dulu bersama Maira, aku terbiasa berbelanja berdua. Setelah kepergiannya, semua kegiatan ini aku lakukan sendiri. Saat ini walaupun sudah menikah kembali, sepertinya sulit jika mengharap bisa berjalan berduaan dengan yang namanya istri. Huuuft ... aku berharap situasi seperti ini tidak berlangsung lama. Mudah-mudahan ke depan Tasya mau membuka hatinya. Ya, aku sendiri pun mesti belajar untuk menerima dia sebagai istriku.Setelah aku memenuhi trolly dengan berbagai jenis sayuran, telur, daging-dagingan, sea food, dan beberapa macam makanan instan, lantas aku segera membayar ke kasir. Setelah itu, aku gegas menuju ke apartemen.Sesampainya
"Pulang ke mana? Ini rumahmu," ujar Ardian dengan nada suara yang datar. Lelaki itu kemudian mematikan kompor. Meletakkan sepiring roti yang sudah dipanggang ke atas meja makan.Natasya tidak menjawab, ia lalu melangkah anggun menuju ke arah pintu luar. "Childish!" cibir Ardian sembari mengoleskan selai kacang-coklat ke atas roti."Ngomong apa kamu, hah?!" Natasya menghentikan langkahnya, ia terlihat tidak terima dengan sindiran Ardian barusan."Kamu nggak tuli," sahut Ardian sembari menduduki kursi makan di sana dengan santai."Ya, aku nggak tuli! Tapi kamu itu yang tuli! Dasar anak supir udik!"Tiba-tiba saja Ardian kembali bangkit berdiri dengan wajah yang berang. Ia lalu berjalan perlahan ke arah Natasya. Wanita cantik itu bersiaga. "Aku ... memang anak supir. Dan apa kamu nggak sadar? Anak supir ini sekarang statusnya adalah sebagai suami kamu." Dengan suara datar tapi penuh penekanan Ardian menunjuk ke arah Natasya."Memang ini 'kan, yang lu incer dari dulu? Akhirnya lu dapet
Fika mengangguk. "Loh, apa salahnya lo bermain peran untuk sementara? Siapa tahu ke depan lo jadi terbiasa."Natasya meringis menatap ke arah sahabatnya."Sya, s*x itu enak tahu! Daripada lo umur segini belom pernah ngerasain surga dunia. Rugi lo! Lagian mumpung halal dan berpahala gini!" tambah Afika lagi."Hidiih ...! Lo resek ya, Fik! Gue udah serius nyimak. Malah kasih saran nggak bener. Enak di dia, nggak enak di gue!""Laaah, lo enak juga, Sya! Lagian laki lo duda. Eh, mantan duda. Pasti punya pengalaman buat bikin lo puas. Daripada lo bete dengan pernikahan lo ini, mendingan lo ambil manfaatnya. Lagian kalau lo cerai, keluarga lo gue yakin nggak bakalan setuju. Lo mau dicap sebagai anak durhaka??""Udah, ah! Gue mau cau! Males gue sama lo!" Tasya beranjak dari atas ranjang. Kemudian meraih tas selempangnya yang tergeletak di atas sofa."Eh, mau ke mana lo?" tanya Fika sedikit berteriak karena Tasya semakin menjauh."Balik! Salam ma nyokap!" teriak Natasya, "assalamualaikum!"Af
*Ardian PovDaddy beranjak dari duduknya sembari membelai pundak sang putri. Kemudian bangkit dan berisyarat menyapaku. Aku pun segera meraih tangannya dan mencium punggung telapak tangan itu dengan takzim. Daddy menepuk ringan bahuku. Lalu berjalan melenggang ke luar dari kamar ini."Kalian kapan datang, hmm?" tanya Grandma dengan suara yang sedikit bergetar. Tampak kaca-kaca memenuhi permukaan netra tuanya tersebut.Aku mendekati ranjang Grandma lalu duduk di kursi yang tadi diduduki oleh Daddy. "Baru aja, Grandma," jawabku sekenanya.Tasya bangkit dari lantai, lalu duduk di bibir ranjang sang nenek. "Grandma kenapa nggak mau nginap di klinik aja dulu?" tanya Tasya dengan mengerucutkan bibir kemerahannya.Sikap manja itu sebenarnya kadang kala membuat ia tampak lebih menarik. Hanya saja, jika di hadapanku, entah mengapa ia sering memasang wajah yang masam dan jutek."Grandma nggak apa-apa. Cuma sesak sedikit tadi. Sudah baikan. Kalian nggak usah khawatir." Grandma mengulas seuntai