"Apa?! Nggak ... Nggak! Aku. Nggak. Mau nikah sama si anak supir ini!" tegas Adila Sabrina Natasya.
Perempuan cantik berdarah Kanada–Jakarta itu tampak tak terima dengan keputusan sang ibu.
Di sisi lain, Ardian tampak mengembuskan napas lelah. Ia sudah menduga akan begini jadinya.
Tak hanya pria itu, Nay—sang ibu— menatap lelah ke arah putrinya. "Tasya ... kamu mesti paham kondisi kita. Grandma nggak akan tenang jika belum melihat kamu menikah."
"Dia bawahanku di kantor, Bu! Cuma asisten aku! Mau ditaroh mana mukaku kalau kawin dengan dia!" cetus Tasya berang.Steven Arnold hanya menggeleng-gelengkan kepala sambil menatap tajam ke arah putrinya yang keras kepala itu."Biarpun laki-laki di dunia ini tinggal diaaaaa ...! Aku nggak bakalan mau dinikahi sama dia." Tasya melihat jijik ke arah wajah pria yang duduk di hadapannya. "Aku tahu ... dari dulu ini 'kan, yang lu incer! Dasar muka penjilat lu!" geram Tasya sekali lagi, telunjuknya kini mengarah kepada Ardian.Lelaki berwajah manis itu hanya diam dengan hati yang terasa ditikam. Wanita ini memang cantik, tapi lidahnya sangat tajam, lebih tajam daripada sembilu, baginya. Kalau tidak ingat ada Steven dan Nay di sana, dia pasti sudah pergi meninggalkan ruangan tersebut."Tasya! Duduk kamu!" Steven Arnold bangkit dengan terus menatap tajam ke arah putri kesayangannya itu.Ardian memijat tengkuknya yang terasa pegal. Beberapa hari ini memang dia sedang sibuk di perusahaan. Ditambah dengan hal ini, bukan cuma badan yang terasa letih. Bahkan hati juga lelah. Tadinya dialah yang dahulu diajak bicara oleh kedua orang pasangan suami-istri tersebut—Steven dan Nay.Pria manis berkulit sawo matang itu sudah menduga reaksi dari gadis yang dia kenal manja ini akan seperti demikian. Ardian sama sekali tidak yakin perempuan di depannya ini mau menerimanya sebagai suami.Ya, walaupun tadinya Tasya sudah mulai membuka hatinya untuk bersikap lebih baik, karena Ardian tahu kedua orang tua wanita cantik tersebut yang tak henti selalu memberi nasehat. Terutama sang ibu sambung, Naysilla. Namun, tatapan menghina serta merendahkan dari sorot mata Tasya masih sering ditangkap oleh Ardian.Mendengar perintah sang ayah, dengan berat hati perempuan berusia hampir dua puluh sembilan tahun itu pun kembali mendaratkan bokongnya di sofa. Wajahnya masih terlihat memerah karena terbakar amarah dengan keputusan kedua orang tua, bahkan sang nenek yang menjodohkannya dengan pria yang dia tidak suka."Kamu mesti nurut kali ini!" tegas Steven, "umur kamu sudah berapa, hah? Mestinya kamu berpikir, dari dulu disuruh cari pasangan sendiri nggak mau. Malah sok sibuk urusan bisnis dan bisnis. Selama ini juga sering Ardian yang handle kerjaan kamu! Ingat, Tasya, kamu itu perempuan!" lanjut sang ayah mulai tersulut emosi dengan reaksi putrinya yang berlebihan."Tapi, Dad! Memang apa salahnya perempuan ikut berbisnis?" balas Tasya sengit. Tentu saja ia tidak terima begitu saja jika disalahkan."Noo ... no problem about that. Tapi kamu harus sadar kalau kamu itu perempuan. Perempuan itu ada batas waktu dalam masa reproduksi. Memangnya kamu nggak mau punya keturunan?" sentak Steven."Benar, Nak ... apa yang Daddy sampaikan itu harusnya kamu pikirkan. Kasihan juga dengan Grandma yang sakit, memikirkan kamu sudah usia segini masih tidak mau menikah juga." Nay menambahkan."Jadi, ini soal anak? Soal keturunan?" geram Tasya kesal.Steven menekan pangkal hidungnya. Kepalanya terasa berdenyut kencang karena berdebat dengan sang putri. Dia bukanlah orang yang sabar menghadapi bantahan. Akan tetapi, dari dulu dirinya sering menekan egonya demi anak perempuan satu-satunya ini."Bukan hanya itu, Tasya," ujar Nay lembut.Steven menahan diri walau emosi rasanya sudah menanjak naik ke ubun-ubun. Rahang pria itu mengeras."Terus apa lagi, Bu? Kalau soal keturunan, Zack dan Mikael 'kan, ada. Nggak mesti dari aku dulu!" Tasya menyebut kedua adik lelakinya. Ia mendengkus keras."Grandma, Daddy, dan Ibu ... maunya kamu dapat suami yang jelas. Yang bakal menjaga kamu dengan baik. Kamu pahami hal ini, Nak. Apa lagi usiamu sekarang sudah lebih dari pantas untuk menjalani pernikahan," jelas Nay masih dengan suara yang lembut. Ia tidak mau ikut tersulut emosi seperti sang suami.Wajah Tasya masih ditekuk dan menunjukkan ketidaksetujuannya. Akan tetapi, ia juga berpikir, sang nenek saat ini sedang dirawat di rumah sakit. Penyakitnya sudah kian parah. Apakah ia tega menolak permintaan yang boleh jadi ini adalah permintaan terakhir untuknya?"Tapi ... kenapa mesti dengan dia, sih ...?" lirih Tasya enggan melihat ke arah Ardian.Ardian sebenarnya juga keberatan dengan usulan ini. Ia sama sekali tidak ada perasaan apa-apa terhadap Tasya. Bahkan sampai ada niat untuk menikahi gadis yang sejak kecil membencinya itu? Sama sekali tidak pernah terbesit di pikirannya.Akan tetapi, ia sangat berutang budi dengan keluarga Arnold. Sejak ia kecil, sang ayah sudah bekerja untuk mereka. Pada saat sang ibu terkena penyakit parah—leukimia—pun, keluarga Arnold-lah yang memberi bantuan. Walau akhirnya takdir menentukan kalau sang ibu harus meninggal dunia.Steven Arnold juga selalu memberikan dukungan ketika Ardian juga Arya—adik beda ibunya—kuliah. Bahkan ia dipercaya untuk menjadi asisten CEO—Tasya— di salah satu kantor cabang perusahaan tuan tanah itu. Bagaimana ia bisa menolak keinginan dan mengecewakan harapan mereka semua?***"Saya terima nikah dan kawinnya, Adila Sabrina Natasya binti Steven Arnold, anak kandung Anda, dengan maskawin tersebut, tunai!" Dengan lancar Ardian mengucapkan ikrar qabul.Kemudian disambut dengan ucapan "Sah" oleh kedua orang saksi. Penghulu pun mengangkat tangan dan memimpin doa keberkahan bagi kedua mempelai.Sarah Dramawan, nenek dari Tasya dan sekaligus ibunda dari Steven Arnold tersenyum haru. Setetes bening jatuh dari sudut mata tuanya. Ia begitu bahagia. Akhirnya apa yang ia harapkan, hari ini terwujud juga.Sudah lama Sarah mengharapkan kedua sejoli itu bisa bersatu. Namun, berbagai hal menjadikannya tidak berjalan dengan mudah sebagaimana yang ia harapkan.Sarah sangat menyayangi Tasya. Begitu juga kepada Ardian yang sudah dikenalnya sejak anak itu masih sangat belia. Ia tidak peduli kalau Ardian berasal dari kalangan bawah. Hardi—Ayah Ardian—memang merupakan supir keluarganya dulu. Namun, hal itu tidak pernah membuatnya memandang sebelah mata.Ia tahu akan kualitas dari Ardian. Anak itu baik dan cerdas. Terbukti ia selalu mendapat beasiswa hingga kuliah. Keluarganya hanya membantu sedikit saja demi mendukung prestasi yang memang sudah dimiliki oleh lelaki itu."Sekarang Grandma sudah tenang kalau harus menghadap Yang Kuasa," ucap Sarah di pembaringannya."Grandma jangan ngomong kayak gitu ...." Tasya mengerucutkan bibirnya. Meskipun sudah hampir menginjak usia kepala tiga, wanita itu masih sering bersikap manja kepada keluarganya.Sarah menggenggam jemari sang cucu sembari mengulas senyum. "Kamu harus jadi istri yang baik, Sayang. Harus jadi ibu yang baik untuk anak-anakmu nanti."Tasya hanya diam, meski sebenarnya ingin membantah. Namun, ia tidak tega. Jangankan berpikir untuk mau punya anak dengan Ardian. Bahkan untuk menikah dengan pria itu seperti sekarang pun ia sama sekali tidak ada niat. Ini semua ia lakukan karena terpaksa.'Ini demi Grandma, demi Ibu, dan Daddy yang sudah ditipu oleh wajah palsu si Ardian!' rutuknya di dalam hati, 'dia pikir dia hebat bisa berhasil membuatku menikah dengannya? Jangan mimpi!'..Ardian melirik ke arah Tasya ketika wanita itu bersalaman dengan Hardi, ayahnya. Hatinya bersyukur perempuan itu tidak menunjukkan sikap yang buruk. Tadinya Ardian sedikit khawatir, ia tentu tidak mau jika sang ayah tidak dihormati oleh menantunya sendiri.Selarik senyum keharuan terukir di bibir Hardi menyambut uluran tangan menantu barunya. Selama ini Ardian memang sama sekali belum pernah melihat dengan mata dan mendengar dengan telinganya sendiri Tasya melontarkan kata-kata hinaan langsung kepada sang ayah. Namun, ketika ia remaja dulu, Tasya sangat sering menghina Ardian, menunjukkan ketidaksukaannya kepada lelaki itu. Hingga suatu hari Ardian melihat kalau ia mulai berubah lebih baik, karena wanita itu berulangkali dinasehati oleh ibu sambung yang sangat disayanginya.Wajar saja Ardian merasa khawatir. Karena Tasya tiba-tiba kembali menghinanya oleh sebab profesi sang ayah ketika ia tahu bakal dijodohkan dengan pria tersebut. Sejak dulu Ardian memang tidak pernah menceritakan hi
"Ooh, heheheee. Mungkin kalian kecapekan ...." Sarah terkekeh pelan.Nay juga hanya tertawa kecil mendengar ucapan mertuanya. Zack dan Mikael menertawakan kakaknya kembali."Ekheem!" deham Tasya sengaja dikeraskan, "aku ke kamar dulu, mau mandi. Di sini gerah!" sindir wanita itu sambil mendengkus. Lalu ia pun beranjak pergi dengan langkah lebar. Digoda seperti itu, hati wanita itu merasa begitu panas. Apalagi setelah muncul Ardian di hadapannya, perut yang tadi terasa cukup lapar, automatis kenyang hanya dengan sepotong roti isi. Padahal biasanya wanita itu melahap minimal dua potong untuknya sendiri.Ardian hanya bisa diam menatap punggung sang istri yang berlalu dengan wajah masam. Ia tahu hal itu karena ketidaksukaan akan keberadaan dirinya di rumah mereka. "Kamu yang sabar aja ya dengan sikap Tasya, Ar ...," ucap Nay dengan raut yang prihatin. Dia sangat paham bagaimana sikap Tasya sejak kecil terhadap Ardian."In syaa Allah, Bu," jawab Ardian sembari mengangguk."Makan ... maka
"Kamu yakin mau pindah ke apartemenku?" ulangku sembari meletakkan bokong di bibir tempat tidur, "di sana sempit, nggak kayak di sini," lanjutku sambil melenggang menyampirkan handuk di jemuran di dekat pintu kamar mandi, lalu kembali lagi duduk di pinggir ranjang."Ya. Kasihan juga sama kamu karena sering pulang malam kayak gini. Kalo aku sih, sekarang udah males ke kantor. Lagian 'kan, kamu yang wajib mencari nafkah. Kalau dari apartemenmu 'kan, nggak terlalu jauh dari kantor. Nggak kayak ke sini." Udah malas ke kantor? Dari dulu juga kamu males, Sya .... Lagipula makin malas ke kantor itu pasti karena kamu malu, sebab asistenmu sendiri, si anak supir ini yang jadi suamimu. Huuufft, aku merutuk di dalam hati. Tapi, tumben dia peduli denganku yang capek bolak-balik kejauhan dari rumah ini ke kantor setiap hari? Aku menatapnya penuh selidik. Tasya tampak menggigiti bibirnya. Aku tersenyum miring. Tentu saja yang namanya Tasya tidak akan murni memedulikan aku. Apa mau dia sebenarnya?
Aku jadi tertawa menyeringai. Lucu sekali anak ini."Kan ... kan ... kamu ngejek aku!" "Astaghfirullahal adziim," ucapku sembari menurunkan kedua sudut bibir. Benar-benar nggak habis pikir dengan perempuan ini. Maunya apa coba? Kok, senengnya cari gara-gara sama suami?"Aku nggak suka kamu anggap aku kayak anak kecil, tahu!" cetusnya tampak sebal."Yang bilang kamu anak kecil siapa, Tasya?" Aku menekan pangkal hidungku sendiri. Sabar ... sabar, Ardian. Aku terus memantrai diri agar tidak terpancing emosi karena sikap wanita ini."Huh!" Tasya pun kembali membaringkan tubuhnya dan langsung saja memunggungiku. Aneh banget ni orang. Memang kayak anak kecil kalau kayak begini. Heran!Aku pun tak mau lagi memperpanjang masalah. Lantas ikut merebah dan kembali menutup mataku dengan bantal. Klik!Lampu dipadamkan olehnya. Kembali aku menghela napas lelah. Tasya ... Tasya ....***"Sebenarnya Grandma nggak masalah kalau kalian mau tinggal di sini ataupun di apartemen sana," tutur Grandma se
"Aku mesti ke kantor siang ini." Ardian berkata seraya mengunyah suapan terakhir makan siang yang tadi ia pesan dari restoran yang melayani delivery order."Balik malem lagi?" tanya Tasya sambil menikmati paru balado dari restoran masakan Padang itu. Sebenarnya ia curiga dengan kebiasaan Ardian pulang malam. Ya, karena dia tahu kalau normalnya jam kantor hanya sampai setengah lima sore. Namun, semenjak mereka menikah, Ardian hampir selalu pulang larut malam. Namun, Tasya malas untuk menegur itu. Wanita itu justru senang, karena tidak harus sering bertemu dengan suaminya itu."Ya," jawab Ardian singkat, ia meletakkan piringnya yang sudah kosong dan meraih cup es teh dari atas meja, kemudian menyeruputnya. Setelah tandas, ia bangkit berdiri hendak masuk ke kamar mengganti pakaian."Sore ini aku juga mau turun," ujar Tasya menahan langkah sang suami.Ardian menoleh ke arahnya. "Mau ke mana?" tanya pria itu."Ya, sekali-kali aku juga mau jalan-jalan, dong!" sahut Tasya santai."Iya, ke ma
Ketika hari H, Fika tidak bisa datang karena bertepatan dengan hari di mana tantenya meninggal dunia di Surabaya."Cakepan juga Kak Hendi," lirih Tasya sembari mencebik.Hendi adalah adik dari Naysilla—ibu sambung Tasya."Hendi cakep, tapi ini juga nggak kalah ganteng. Body-nya sekarang juga keren kalo dilihat-lihat. Kalian kelihatan serasi loh, Sya." Fika cekikikan di sana."Huuuft ...." Tasya tidak memungkiri kalau Ardian tak kalah keren dibandingkan pria yang selama ini ada di hatinya. Ya, ia menyukai adik dari sang ibu tiri, Hendi. Perasaan itu ada semenjak ia masih remaja. Namun, pria itu sama sekali tidak menaruh hati padanya. Hendi sudah menikah tiga setengah tahun yang lalu, bahkan sudah mempunyai seorang putra. Itu yang membuat ia patah hati. Mungkin memang salah Tasya juga, karena mencintai dalam diam. Ia tidak pernah mau mengungkapkan perasaannya itu karena takut ditolak dan tentu saja, apa tanggapan semua orang kalau tahu ia mencintai orang yang berstatus sebagai om-nya
Sebelum kembali ke apartemen, aku memutuskan untuk berbelanja dahulu ke sebuah supermarket yang masih searah dengan tujuan pulang. Karena sudah lebih dari sebulan tidak ditinggali, kulkas pun sengaja kubiarkan kosong. Sekarang karena Tasya memutuskan untuk tinggal di sana, mau tidak mau beberapa sayur, lauk, atau bahan makanan lain mesti siap sedia.Dulu bersama Maira, aku terbiasa berbelanja berdua. Setelah kepergiannya, semua kegiatan ini aku lakukan sendiri. Saat ini walaupun sudah menikah kembali, sepertinya sulit jika mengharap bisa berjalan berduaan dengan yang namanya istri. Huuuft ... aku berharap situasi seperti ini tidak berlangsung lama. Mudah-mudahan ke depan Tasya mau membuka hatinya. Ya, aku sendiri pun mesti belajar untuk menerima dia sebagai istriku.Setelah aku memenuhi trolly dengan berbagai jenis sayuran, telur, daging-dagingan, sea food, dan beberapa macam makanan instan, lantas aku segera membayar ke kasir. Setelah itu, aku gegas menuju ke apartemen.Sesampainya
"Pulang ke mana? Ini rumahmu," ujar Ardian dengan nada suara yang datar. Lelaki itu kemudian mematikan kompor. Meletakkan sepiring roti yang sudah dipanggang ke atas meja makan.Natasya tidak menjawab, ia lalu melangkah anggun menuju ke arah pintu luar. "Childish!" cibir Ardian sembari mengoleskan selai kacang-coklat ke atas roti."Ngomong apa kamu, hah?!" Natasya menghentikan langkahnya, ia terlihat tidak terima dengan sindiran Ardian barusan."Kamu nggak tuli," sahut Ardian sembari menduduki kursi makan di sana dengan santai."Ya, aku nggak tuli! Tapi kamu itu yang tuli! Dasar anak supir udik!"Tiba-tiba saja Ardian kembali bangkit berdiri dengan wajah yang berang. Ia lalu berjalan perlahan ke arah Natasya. Wanita cantik itu bersiaga. "Aku ... memang anak supir. Dan apa kamu nggak sadar? Anak supir ini sekarang statusnya adalah sebagai suami kamu." Dengan suara datar tapi penuh penekanan Ardian menunjuk ke arah Natasya."Memang ini 'kan, yang lu incer dari dulu? Akhirnya lu dapet