Share

Istri Tajir sang Anak Sopir
Istri Tajir sang Anak Sopir
Penulis: Adny Ummi

Bab 1

"Apa?! Nggak ... Nggak! Aku. Nggak. Mau nikah sama si anak supir ini!" tegas Adila Sabrina Natasya.

Perempuan cantik berdarah Kanada–Jakarta itu tampak tak terima dengan keputusan sang ibu.

Di sisi lain, Ardian tampak mengembuskan napas lelah. Ia sudah menduga akan begini jadinya.

Tak hanya pria itu, Nay—sang ibu— menatap lelah ke arah putrinya. "Tasya ... kamu mesti paham kondisi kita. Grandma nggak akan tenang jika belum melihat kamu menikah." 

"Dia bawahanku di kantor, Bu! Cuma asisten aku! Mau ditaroh mana mukaku kalau kawin dengan dia!" cetus Tasya berang.

Steven Arnold hanya menggeleng-gelengkan kepala sambil menatap tajam ke arah putrinya yang keras kepala itu.

"Biarpun laki-laki di dunia ini tinggal diaaaaa ...! Aku nggak bakalan mau dinikahi sama dia." Tasya melihat jijik ke arah wajah pria yang duduk di hadapannya. "Aku tahu ... dari dulu ini 'kan, yang lu incer! Dasar muka penjilat lu!" geram Tasya sekali lagi, telunjuknya kini mengarah kepada Ardian.

Lelaki berwajah manis itu hanya diam dengan hati yang terasa ditikam. Wanita ini memang cantik, tapi lidahnya sangat tajam, lebih tajam daripada sembilu, baginya. Kalau tidak ingat ada Steven dan Nay di sana, dia pasti sudah pergi meninggalkan ruangan tersebut.

"Tasya! Duduk kamu!" Steven Arnold bangkit dengan terus menatap tajam ke arah putri kesayangannya itu.

Ardian memijat tengkuknya yang terasa pegal. Beberapa hari ini memang dia sedang sibuk di perusahaan. Ditambah dengan hal ini, bukan cuma badan yang terasa letih. Bahkan hati juga lelah. Tadinya dialah yang dahulu diajak bicara oleh kedua orang pasangan suami-istri tersebut—Steven dan Nay.

Pria manis berkulit sawo matang itu sudah menduga reaksi dari gadis yang dia kenal manja ini akan seperti demikian. Ardian sama sekali tidak yakin perempuan di depannya ini mau menerimanya sebagai suami.

Ya, walaupun tadinya Tasya sudah mulai membuka hatinya untuk bersikap lebih baik, karena Ardian tahu kedua orang tua wanita cantik tersebut yang tak henti selalu memberi nasehat. Terutama sang ibu sambung, Naysilla. Namun, tatapan menghina serta merendahkan dari sorot mata Tasya masih sering ditangkap oleh Ardian.

Mendengar perintah sang ayah, dengan berat hati perempuan berusia hampir dua puluh sembilan tahun itu pun kembali mendaratkan bokongnya di sofa. Wajahnya masih terlihat memerah karena terbakar amarah dengan keputusan kedua orang tua, bahkan sang nenek yang menjodohkannya dengan pria yang dia tidak suka.

"Kamu mesti nurut kali ini!" tegas Steven, "umur kamu sudah berapa, hah? Mestinya kamu berpikir, dari dulu disuruh cari pasangan sendiri nggak mau. Malah sok sibuk urusan bisnis dan bisnis. Selama ini juga sering Ardian yang handle kerjaan kamu! Ingat, Tasya, kamu itu perempuan!" lanjut sang ayah mulai tersulut emosi dengan reaksi putrinya yang berlebihan.

"Tapi, Dad! Memang apa salahnya perempuan ikut berbisnis?" balas Tasya sengit. Tentu saja ia tidak terima begitu saja jika disalahkan.

"Noo ... no problem about that. Tapi kamu harus sadar kalau kamu itu perempuan. Perempuan itu ada batas waktu dalam masa reproduksi. Memangnya kamu nggak mau punya keturunan?" sentak Steven.

"Benar, Nak ... apa yang Daddy sampaikan itu harusnya kamu pikirkan. Kasihan juga dengan Grandma yang sakit, memikirkan kamu sudah usia segini masih tidak mau menikah juga." Nay menambahkan.

"Jadi, ini soal anak? Soal keturunan?" geram Tasya kesal.

Steven menekan pangkal hidungnya. Kepalanya terasa berdenyut kencang karena berdebat dengan sang putri. Dia bukanlah orang yang sabar menghadapi bantahan. Akan tetapi, dari dulu dirinya sering menekan egonya demi anak perempuan satu-satunya ini.

"Bukan hanya itu, Tasya," ujar Nay lembut.

Steven menahan diri walau emosi rasanya sudah menanjak naik ke ubun-ubun. Rahang pria itu mengeras.

"Terus apa lagi, Bu? Kalau soal keturunan, Zack dan Mikael 'kan, ada. Nggak mesti dari aku dulu!" Tasya menyebut kedua adik lelakinya. Ia mendengkus keras.

"Grandma, Daddy, dan Ibu ... maunya kamu dapat suami yang jelas. Yang bakal menjaga kamu dengan baik. Kamu pahami hal ini, Nak. Apa lagi usiamu sekarang sudah lebih dari pantas untuk menjalani pernikahan," jelas Nay masih dengan suara yang lembut. Ia tidak mau ikut tersulut emosi seperti sang suami.

Wajah Tasya masih ditekuk dan menunjukkan ketidaksetujuannya. Akan tetapi, ia juga berpikir, sang nenek saat ini sedang dirawat di rumah sakit. Penyakitnya sudah kian parah. Apakah ia tega menolak permintaan yang boleh jadi ini adalah permintaan terakhir untuknya?

"Tapi ... kenapa mesti dengan dia, sih ...?" lirih Tasya enggan melihat ke arah Ardian.

Ardian sebenarnya juga keberatan dengan usulan ini. Ia sama sekali tidak ada perasaan apa-apa terhadap Tasya. Bahkan sampai ada niat untuk menikahi gadis yang sejak kecil membencinya itu? Sama sekali tidak pernah terbesit di pikirannya.

Akan tetapi, ia sangat berutang budi dengan keluarga Arnold. Sejak ia kecil, sang ayah sudah bekerja untuk mereka. Pada saat sang ibu terkena penyakit parah—leukimia—pun, keluarga Arnold-lah yang memberi bantuan. Walau akhirnya takdir menentukan kalau sang ibu harus meninggal dunia.

Steven Arnold juga selalu memberikan dukungan ketika Ardian juga Arya—adik beda ibunya—kuliah. Bahkan ia dipercaya untuk menjadi asisten CEO—Tasya— di salah satu kantor cabang perusahaan tuan tanah itu. Bagaimana ia bisa menolak keinginan dan mengecewakan harapan mereka semua?

***

"Saya terima nikah dan kawinnya, Adila Sabrina Natasya binti Steven Arnold, anak kandung Anda, dengan maskawin tersebut, tunai!" Dengan lancar Ardian mengucapkan ikrar qabul.

Kemudian disambut dengan ucapan "Sah" oleh kedua orang saksi. Penghulu pun mengangkat tangan dan memimpin doa keberkahan bagi kedua mempelai.

Sarah Dramawan, nenek dari Tasya dan sekaligus ibunda dari Steven Arnold tersenyum haru. Setetes bening jatuh dari sudut mata tuanya. Ia begitu bahagia. Akhirnya apa yang ia harapkan, hari ini terwujud juga.

Sudah lama Sarah mengharapkan kedua sejoli itu bisa bersatu. Namun, berbagai hal menjadikannya tidak berjalan dengan mudah sebagaimana yang ia harapkan.

Sarah sangat menyayangi Tasya. Begitu juga kepada Ardian yang sudah dikenalnya sejak anak itu masih sangat belia. Ia tidak peduli kalau Ardian berasal dari kalangan bawah. Hardi—Ayah Ardian—memang merupakan supir keluarganya dulu. Namun, hal itu tidak pernah membuatnya memandang sebelah mata.

Ia tahu akan kualitas dari Ardian. Anak itu baik dan cerdas. Terbukti ia selalu mendapat beasiswa hingga kuliah. Keluarganya hanya membantu sedikit saja demi mendukung prestasi yang memang sudah dimiliki oleh lelaki itu.

"Sekarang Grandma sudah tenang kalau harus menghadap Yang Kuasa," ucap Sarah di pembaringannya.

"Grandma jangan ngomong kayak gitu ...." Tasya mengerucutkan bibirnya. Meskipun sudah hampir menginjak usia kepala tiga, wanita itu masih sering bersikap manja kepada keluarganya.

Sarah menggenggam jemari sang cucu sembari mengulas senyum. "Kamu harus jadi istri yang baik, Sayang. Harus jadi ibu yang baik untuk anak-anakmu nanti."

Tasya hanya diam, meski sebenarnya ingin membantah. Namun, ia tidak tega. Jangankan berpikir untuk mau punya anak dengan Ardian. Bahkan untuk menikah dengan pria itu seperti sekarang pun ia sama sekali tidak ada niat. Ini semua ia lakukan karena terpaksa.

'Ini demi Grandma, demi Ibu, dan Daddy yang sudah ditipu oleh wajah palsu si Ardian!' rutuknya di dalam hati, 'dia pikir dia hebat bisa berhasil membuatku menikah dengannya? Jangan mimpi!'

.

.

Komen (3)
goodnovel comment avatar
Pena Ilusi
Keren, kak. saling follow, yuk...
goodnovel comment avatar
Dhesu Nurill
kereeen, lama-lama juga suka.
goodnovel comment avatar
Embusan Angin
ceritanya mantap
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status