Wah, wah wah. Jangankan Suri, aku pun terkejoed lhoooo. Kok Adnan tiba-tiba udah di Surabaya aja, sih? Siapa yang nyuruh dikau balik ke sana, wahai cucu kesayangan Bapak Prabu Danuarta??? Atau jangan-jangan dia nge-prank doang kali ya???😲😲😲😲
"Kejutaaaan!" Seruan Adnan saat pintu rumah Suri terbuka lebar bersambut oleh Andaru yang menghambur ke pelukan pria itu dan memekik girang. "PAPA ADNAN! PAPA PULANG!" "Iya, Sayang. Papa pulang!" Adnan mengangkat tubuh Andaru tanpa kewalahan lalu mengecupi puncak kepalanya berkali-kali dengan gemas. Di ciuman terakhirnya, Adnan memejamkan mata dan menenggelamkan wajahnya di rambut tebal Andaru. Kedua tangannya merengkuh semkain erat. Mngonfirmasi kerinduannya yang sudah membengkak. Detik berikut, Adnan pura-pura melempar Andaru ke atas lalu menangkapnya kembali. Adnan melakukannya beberapa kali karena Andaru memekik-mekik kesenangan. Mencipta tawa gemas dari bibir pria itu. Selama beberapa waktu, kedua sosok berbeda usia itu larut dalam dunia mereka sendiri. Seolah hanya ada mereka berdua di sana. Saat pandangan Adnan tak sengaja tertumbuk padanya, pria itu semakin melebarkan senyuman. Suri sontak membuang muka. Cepat-cepat mengusap ujung mata yang berair karena keharuan menyelim
Beberapa detik berlalu dalam keheningan. Suri tak cukup percaya setelah mendengar pengakuan Adnan, meski tidak ada nada bercanda dalam suaranya. Pria itu justru terlihat gugup. Seolah-olah untuk mengucapkan pertanyaan itu harus mengumpulkan sejuta keberanian. Pun begitu, matanya juga memancarkan harapan penuh agar perasaannya berbalas. "Jangan diam saja, Ri," bisik Adnan yang tatapnya berangsur-angsur gelisah. Suri masih membisu. Tidak mengatakan tidak atau mengiyakan secara gamblang. Wanita itu menatap Adnan dengan dilema memenuhi wajah. Seolah takut jika mengucapkan satu kata saja—yang benar-benar jujur dari sudut hatinya yang terdalam, segala hal yang sudah ia bangun selama bertahun-tahun terakhir akan runtuh. Lagi-lagi, karena Suri teringat janji kepada dirinya sendiri untuk segera menepis rasa apa pun yang hadir karena sosok Danuarta. Sebuah janji yang ia buat bukan tanpa alasan. Sebab, ia masih meyakini bahwa menjatuhkan hati pada Danuarta, untuk yang kedua kalinya—meski kepa
"Aku punya solusi untuk situasi kita sekarang," ucap Adnan seolah bisa membaca isi hati Suri. "Solusi?" Tersenyum, Adnan menyentil kening Suri dengan gemas. "Apa yang kamu pikirkan tergambar jelas di wajah kamu, Ri. Kamu khawatir soal hubungan jarak jauh kita. Kamu khawatir soal Andaru. Kamu mengkhawatirkan banyak hal, lebih tepatnya, tapi kamu takut dan ragu untuk membicarakannya denganku." Melihat Suri yang hanya diam, Adnan tahu bahwa tebakannya benar. Sesungguhnya, tidak hanya wanita itu yang khawatir. Terpisah selama dua minggu membuat Adnan nyaris gila karena tak bisa berhenti memikirkan Suri dan Andaru. Walau ada Wirya yang tanpa diminta selalu mengabarkan tentang keseharian Suri dan juga Andaru kepadanya secara detail, Adnan tetap tidak bisa tenang. Dan tidurnya tak pernah lelap karena rasa rindu yang tumbuh subur di hatinya. "Kita sudah mau menikah, Ri," sambungnya. "Jangan apa-apa dipendam sendirian. Sudah kubilang, aku mau dilibatkan dalam setiap masalah yang sedang ka
"Ibu tidak perlu terburu-buru memutuskan," cetus Wirya saat mereka sedang dalam perjalanan menuju lokasi proyek. Suri menoleh dengan ekspresi bertanya di wajah. "Maksud saya soal ajakan Pak Adnan untuk pindah ke Jakarta," jelas Wirya. Suri sempat tertegun dan kemudian terkekeh. "Jadi itu maksud Bapak kemarin, ya? Waktu Bapak bilang ke saya kalau Adnan akan menjemput saya dan Andaru." Rasa penasarannya sudah terjawab sekarang. "Bapak sudah tahu rencana itu jauh-jauh hari rupanya." Setengah ucapan Wirya kemarin salah. Adnan datang bukan karena urusannya sudah terselesaikan. Justru karena tidak akan pernah selesai, maka pria itu datang disela-sela waktu kosongnya. Menawarkan rencana baru kepada dirinya agar mau pulang bersama-sama pria itu ke Jakarta. Adnan tidak punya banyak waktu untuk dibuang-buang. Pria itu langsung kembali ke Jakarta semalam, tak lama setelah ia meyakinkan Suri bahwa Andaru tidak akan menangis atau mencari-carinya dengan marah esok hari. Entah bagaimana pastin
"Hai, Adik Kecil! Lama kita tidak bertemu!" Tidak tergambarkan bagaimana ekspresi Suri saat melihat Arvin Hendrawan, yang sedang tersenyum miring itu, berjalan lambat-lambat mendekat ke arahnya. Kakak sepupunya benar-benar nyata ada di hadapan Suri yang mematung di depan pintu, bukan sosok lain yang sengaja meminjam identitasnya. Kedua tangan Arvin bebas. Tidak terjerat borgol seperti yang Suri saksikan di hari-hari terakhir mereka bertemu di pengadilan, bertahun-tahun lalu. 'Ya Tuhan. Kenapa dia sudah bebas?' Suri mencengkeram ujung kemejanya kuat-kuat. Kembali ia teringat pada pesan ancaman dari mantan suaminya. Hanya pria itu yang paling mungkin dengan sengaja membocorkan keberadaan dirinya kepada Arvin. Dari jarak dekat, Suri bisa dengan jelas melihat perbedaan yang teramat jauh pada penampilan kakak sepupunya itu. Kegagahannya entah telah hilang ke mana. Yang Suri lihat sekarang hanyalah seorang pria tinggi kurus, dengan rambut agak gondrong dan jambang tak terawat di wajahny
"Hai, Sayang. Gimana kejutan dariku hari ini? Lancar kan temu kangennya dengan kakak tercintamu? Dia juga sudah menyampaikan dengan baik pesan yang kutitipkan untukmu, bukan? Kembalilah, Sayang. Aku tunggu kepulanganmu di Jakarta." Adalah sederet pesan baru dari Pram yang Suri terima lima belas menit kemudian saat ia sudah meninggalkan kantor. Pram juga mengirimkan foto-foto Andaru bersama Dina saat mereka berada di sekolah, yang diam-diam diambil dari kejauhan. Seolah-olah menegaskan apa yang dikatakan Arvin tadi benar. Bahwa Pram tidak akan membiarkan Suri hidup tenang jika tidak menuruti ucapannya. 'Ke mana hilangnya kedamaian yang kudapatkan selama enam tahun terakhir di sini?' racaunya dalam hati entah kepada siapa. 'Seberapa banyak lagi aku harus hancur untuk bisa kembali meraih damai dan tentram bersama Andaru?' Dikuasai amarah dan frustrasi pekat, wanita itu nyaris melemparkan ponselnya ke luar taksi yang membawanya pulang. Namun, ia segera mengurungkan niatnya ketika terin
"Wirya, tolong sampaikan permintaan maaf saya kepada Adnan. Saya butuh waktu untuk menenangkan diri di tempat yang jauh dari orang-orang yang saya kenal. Satu minggu saja. Ah, tidak. Paling lama satu bulan. Tolong jangan cari saya. Saya akan pergi bersama Andaru. "Dan lewat surat ini, saya sekaligus ingin menyampaikan pengunduran diri saya dari Putra Kencana. Saya lampirkan beberapa kandidat yang cocok untuk menggantikan saya sebagai sekretaris." Surat yang amat sangat singkat itu Wirya temukan di meja kerjanya pada Senin malam, saat pria itu kembali ke kantor untuk mengambil berkas yang tertinggal. "Kami sempat membicarakan soal pekerjaan sampai pukul delapan tadi, Pak Adnan." "Kamu sudah mendatangi rumahnya?" desak Adnan. Saat Wirya mengabarkan tentang calon istrinya yang kabur, Adnan membombardir nomor ponsel wanita itu dengan deretan pesan tertulis dan pesan suara yang hanya centang satu. Alias tidak terkirim. Adnan juga menelepon berkali-kali, tetapi tidak tersambung. "Sudah
"Berhentilah menjadi bebal! Takdirmu sudah ditentukan sejak sebelum kamu lahir ke dunia, Adnan! Tempatmu ada di Danuarta Grup! Bukan di perusahaan kecil yang hanya punya segelintir karyawan itu. Dan rumahmu juga di sini, bukan di apartemen sempitmu itu!" "Cukup, Kakek." Mengingat kondisi Prabu yang masih ringkih, Adnan berusaha menekan kekesalan di dalam dadanya agar tidak mengeluarkan suara keras dan kata-kata tidak sopan. "Aku sudah menuruti kemauan Kakek untuk tinggal di rumah ini selama satu bulan terakhir. Mengawasi Pram dari dekat dan memastikan semuanya berjalan sesuai harapan Kakek. Sekarang sudah waktunya aku kembali ke Su—" "Kamu sudah janji akan pulang!" "Aku hanya bilang akan kembali ke rumah ini setelah menyelesaikan urusanku di luar Danuarta. Dan itu bukan janji untuk bekerja di Danuarta Group. Karena keputusanku masih sama. Aku tidak akan merebut tempat Pram kecuali dia mulai tidak becus melakukan pekerjaannya." "Kamu mau melihat kakekmu kena serangan jantung?!" Adn