Membawa Andaru bertemu Prabu sebenarnya belum ada dalam agenda Adnan dalam waktu dekat. Awalnya, Adnan ingin lebih dulu mengantongi restu sebelum memperkenalkan Andaru--cicit pertama di keluarga Danuarta --kepada sang Kakek.Tetapi Suri malah mengacaukan semuanya. Tindakan Suri tempo hari membuat Adnan terlampau kecewa. Biasanya, tanpa kata maaf pun kekesalannya mudah mereda. Tetapi kali ini lain. Rasanya terlalu menyakitkan mendengar dengan telinganya sendiri ketika Suri bicara di depan Kakek, berniat mencampakkan dirinya demi menyelamatkan diri. Adnan mungkin sebenarnya sudah tahu kalau selama ini Suri belum benar-benar memberikan hatinya. Kapan saja Duri bisa berubah pikiran dan meninggalkan dirinya. Adnan hanya tidak mengira kalau waktu itu datang begitu cepat. Semakin ia merasa terkhianati karena Suri telah sempat berjanji tentang berjuang bersama menghadapi Prabu Danuarta."Andaru.. anak itu benar darah dagingmu?" tanya Prabu."Kakek juga butuh bukti tes DNA atau bagaimana?" A
Sudah lebih dari dua jam sejak Adnan membawa Andaru pergi. Tidak ada kabar apa pun setelahnya. Karena Suri tidak berusaha menanyakannya lewat telepon meskipun ia ingin sekali. Dan tampaknya Adnan juga tidak terpikir untuk mengabarkan apa-apa tentang pertemuan pertama Andaru dengan Prabu Danuarta tanpa dirinya itu.'Ya Tuhan, kenapa mereka lama sekali?' batin Suri yang ke sekian kali.Dengan hati yang gelisah, diremas-remasnya ujung baju yang ia kenakan hingga kusut. Suri menyesali pilihannya untuk tidak ikut serta dan sekarang hanya bisa menunggu kepulangan anak dan suaminya dalam harap-harap cemas.Ketika kesabaran tinggal seujung kuku dan yang ditunggu masih tak kunjung datang, Suri membulatkan tekad untuk menyusul mereka sebentar lagi.Suara samar dari pintu yang dibuka membuat Suri yang sejak tadi mondar-mandir di ruang tamu bergegas menyongsong ke arah pintu.Wanita itu mengernyitkan kening. Kebingungan melihat Adnan datang sendirian. Padahal, tadi berangkat bertiga dengan Andaru
"Waktunya makan malam." Suri mendongak sekilas dari laptop yang ada di hadapannya--ia sedang merapikan agenda untuk esok hari. Menatap sesosok pria beriris hitam legam yang muncul di pintu kamarnya, wanita itu menjawab, "Sebentar lagi aku turun." Adnan mengangguk kecil dan pergi tanpa mengatakan apa-apa lagi. Suri menghela napas. Hubungannya dengan sang suami belum membaik sejak pindah ke rumah Prabu seminggu yang lalu. Ia masih marah karena dipaksa pindah. Sementara Adnan menyimpan kecewa karena dirinya meminta pisah kamar. Menyusul Adnan tak lama kemudian, Suri menemukan tiga sosok laki-laki berbeda generasi yang telah duduk menempati meja makan besar. Di kepala meja, duduk sang tuan rumah. Diapit oleh Adnan di sisi kanan dan Andaru di sisi kiri. Suri masih bisa menangkap obrolan sang tuan rumah dengan Andaru tentang acara ulang tahun sekolahnya yang akan diadakan akhir minggu ini. Terdengar suara Adnan yang menimpali. "Mama!" Selalu, hanya Andaru yang akan menyapanya dengan ri
"Maaf, Sayang.” Suri menatap pria yang beberapa tahun terakhir ini menjadi suami sirinya. Pria yang biasanya begitu gagah nan memesona itu kini terlihat tak berkutik karena kemarahan Suri akibat permintaannya yang tidak masuk akal. “Maaf? Untuk apa?” Suri berdecih sengit. Matanya menyorotkan kobaran api kemarahan yang menggelegak. “Suri, tolong mengerti.” Pram gentar. Suaranya gemetar. “Mas juga terpaksa melakukan ini." Suri tertawa sinis mendengar alasan Pram yang tidak masuk akal baginya. “Kamu terpaksa menerima perjodohan itu, lalu dengan sadar ingin menelantarkanku, begitu?" Pram mendongak dengan cepat dan memandangnya dengan pandangan tak percaya. Wajah Suri yang memiliki kulit cerah itu terlihat memerah. Ia terlalu marah dengan kabar yang diterimanya barusan. Niatnya, setelah menyelesaikan sidang tesis dan dinyatakan lulus oleh para dosen siang tadi, Suri yang berdomisili di Yogyakarta itu langsung memesan tiket pesawat untuk pulang ke Jakarta. Setahun terakhir, mereka m
"Mama! Papa Adnan udah datang!" Teriakan nyaring dari seorang bocah berusia lima tahun itu terdengar begitu lantang. Suri yang mendengar panggilan menggelitik itu lagi-lagi dibuat merengut. Andaru, atau Aru yang ia lahirkan dengan penuh perjuangan lima tahun lalu terus saja menyebut Adnan dengan sebutan Papa, meski berulang kali Suri telah peringati. "Om Adnan, Aru. Bukan Papa!" Suri memperingati anak semata wayangnya lagi. Adnan, pria baik hati itu memang tidak pernah marah atau melarang Aru memanggilnya papa. Namun, Suri-lah yang tidak enak hati, sebab nyatanya mereka memang bukanlah sepasang suami istri. Sayang, bocah itu agaknya lebih patuh pada Adnan, sebab detik berikutnya ia masih saja menyerukan hal yang sama. "Papa Adnan!" Senyum tipis tercetak di bibir Suri. Tak ia pungkiri, melihat Andaru tetap mendapatkan sosok ayah dari Adnan memang sebuah hal yang patut ia syukuri. Namun, ada rasa bersalah dalam diri Suri ketika melihat senyum anaknya itu. Lima tahun lalu, jika bu
"Masih mikirin soal lamaranku kemarin?" Suri tersentak kaget saat mendengar Adnan tahu-tahu bersuara sambil menyentuh sebelah pundaknya. Dengan lemah, wanita itu menggeleng. Lamaran Adnan beberapa hari lalu tidak terlalu ia pikirkan. Toh, pria itu tidak memaksanya menerima dan malah memberinya waktu untuk berpikir dengan bijak. Meski tetap saja, beban memberikan jawaban itu tidak bisa dienyahkan begitu saja dari pikiran, karena Suri tahu ... Adnan pun diam-diam menunggu. "Dari tadi perasaanku nggak enak mikirin Aru." Suri berujar lemah sambil mengaduk-aduk makan siangnya yang sudah dingin itu. Adnan kemudian menarik bangku di hadapannya. "Bukannya dia sekolah?" Adnan berujar usai melihat jam di pergelangan tangannya. Suri mengangguk. Biasanya, Andaru memang sudah pulang sekolah di saat Suri sudah memasuki jam makan siang. Bocah itu kemudian akan ia jemput untuk kemudian ikut ke kantor dan lanjut dititipkan ke daycare. Namun kali ini, sekolah anaknya itu tengah melakukan kegiatan ke
"Kamu yakin nggak mau ke dokter, Ri? Kamu pucat banget, lho. Aku khawatir kamu tiba-tiba pingsan," ujar Adnan saat pintu lift sepenuhnya menutup dan bergerak turun, memerangkap dirinya bersama Suri di dalamnya. Pria berpenampilan rapi dan necis itu meneliti wajah Suri dengan ekspresi khawatir. "Aku nggak sakit," tukas Suri seraya menepis dengan halus tangan Adnan yang terangkat untuk menyentuh keningnya. Terkadang, Adnan bisa sangat berlebihan saat berurusan dengan kesehatan dirinya. "Tapi kita perlu bicara, Adnan. Ini penting," desak wanita itu seraya menahan luapan emosi yang mengentak-entak dada. Kesabaran yang ditahan-tahannya sejak pagi tadi sudah berada diambang batas. Suri tidak bisa menunggu lebih lama lagi hingga jam pulang kerja nanti untuk bicara dengan Adnan perihal temuannya pagi tadi. "Ada apa, Ri? Kamu baik-baik saja, kan?" Wanita berambut panjang yang dikuncir kuda itu membuang napas untuk menetralkan ekspresi di wajah yang sudah tak karuan sebelum mengatakan, "A
"Andaru anak gue." Tak hanya Pram yang terkejut mendengar pernyataan Adnan yang baru saja muncul dari lift, Suri juga menunjukkan reaksi yang sama. Namun, keterkejutan Suri tak berlangsung lama karena melihat senyum menenangkan yang disuguhkan Adnan untuknya. Hanya sekilas, hingga Suri nyaris mengira dirinya salah lihat. Detik selanjutnya, Suri segera sadar kalau Adnan sedang mencoba menyelamatkan dirinya dari Pram. "Anak lo... sama Suri?" Setelah bisa menguasai diri, Pram mengalihkan pandangannya kepada Andaru yang sedang melonjak-lonjak senang karena kedatangan Adnan—dengan mudah melupakan keberadaannya. Lalu tatapan tajamnya berpindah kepada Suri. "Ri... apa itu benar?" Tenggorokan Suri terasa perih karena ditodong pertanyaan itu. Ia mengalami dilema yang datang di saat yang tidak tepat. Dan sekali lagi, Adnan dengan tanggap menarik dirinya dari krisis. Pria itu mengambil alih dengan menjawab, "Ya. Andaru adalah buah cinta kami berdua." 'Buah cin...ta?' Astaga! Jantung Suri
"Waktunya makan malam." Suri mendongak sekilas dari laptop yang ada di hadapannya--ia sedang merapikan agenda untuk esok hari. Menatap sesosok pria beriris hitam legam yang muncul di pintu kamarnya, wanita itu menjawab, "Sebentar lagi aku turun." Adnan mengangguk kecil dan pergi tanpa mengatakan apa-apa lagi. Suri menghela napas. Hubungannya dengan sang suami belum membaik sejak pindah ke rumah Prabu seminggu yang lalu. Ia masih marah karena dipaksa pindah. Sementara Adnan menyimpan kecewa karena dirinya meminta pisah kamar. Menyusul Adnan tak lama kemudian, Suri menemukan tiga sosok laki-laki berbeda generasi yang telah duduk menempati meja makan besar. Di kepala meja, duduk sang tuan rumah. Diapit oleh Adnan di sisi kanan dan Andaru di sisi kiri. Suri masih bisa menangkap obrolan sang tuan rumah dengan Andaru tentang acara ulang tahun sekolahnya yang akan diadakan akhir minggu ini. Terdengar suara Adnan yang menimpali. "Mama!" Selalu, hanya Andaru yang akan menyapanya dengan ri
Sudah lebih dari dua jam sejak Adnan membawa Andaru pergi. Tidak ada kabar apa pun setelahnya. Karena Suri tidak berusaha menanyakannya lewat telepon meskipun ia ingin sekali. Dan tampaknya Adnan juga tidak terpikir untuk mengabarkan apa-apa tentang pertemuan pertama Andaru dengan Prabu Danuarta tanpa dirinya itu.'Ya Tuhan, kenapa mereka lama sekali?' batin Suri yang ke sekian kali.Dengan hati yang gelisah, diremas-remasnya ujung baju yang ia kenakan hingga kusut. Suri menyesali pilihannya untuk tidak ikut serta dan sekarang hanya bisa menunggu kepulangan anak dan suaminya dalam harap-harap cemas.Ketika kesabaran tinggal seujung kuku dan yang ditunggu masih tak kunjung datang, Suri membulatkan tekad untuk menyusul mereka sebentar lagi.Suara samar dari pintu yang dibuka membuat Suri yang sejak tadi mondar-mandir di ruang tamu bergegas menyongsong ke arah pintu.Wanita itu mengernyitkan kening. Kebingungan melihat Adnan datang sendirian. Padahal, tadi berangkat bertiga dengan Andaru
Membawa Andaru bertemu Prabu sebenarnya belum ada dalam agenda Adnan dalam waktu dekat. Awalnya, Adnan ingin lebih dulu mengantongi restu sebelum memperkenalkan Andaru--cicit pertama di keluarga Danuarta --kepada sang Kakek.Tetapi Suri malah mengacaukan semuanya. Tindakan Suri tempo hari membuat Adnan terlampau kecewa. Biasanya, tanpa kata maaf pun kekesalannya mudah mereda. Tetapi kali ini lain. Rasanya terlalu menyakitkan mendengar dengan telinganya sendiri ketika Suri bicara di depan Kakek, berniat mencampakkan dirinya demi menyelamatkan diri. Adnan mungkin sebenarnya sudah tahu kalau selama ini Suri belum benar-benar memberikan hatinya. Kapan saja Duri bisa berubah pikiran dan meninggalkan dirinya. Adnan hanya tidak mengira kalau waktu itu datang begitu cepat. Semakin ia merasa terkhianati karena Suri telah sempat berjanji tentang berjuang bersama menghadapi Prabu Danuarta."Andaru.. anak itu benar darah dagingmu?" tanya Prabu."Kakek juga butuh bukti tes DNA atau bagaimana?" A
Suri tidak begitu kaget mengetahui Adnan marah padanya sampai berhari-hari setelah apa yang terjadi di rumah Prabu Danuarta. Saat dalam keadaan terpojok kemarin, pikiran negatif mengambil alih akal sehatnya hingga berpikir bahwa meninggalkan Adnan adalah pilihan paling tepat. Itu sama saja dengan mengulangi siklus yang sama ketika ia dihadapkan pada situasi sulit dulu.Bedanya, ketika bersama Pram, ia benar-benar tidak yakin bisa menggantungkan harapannya. Sedangkan bersama Adnan, ada harapan-harapan yang menunggu diwujudkan. Sebab, mereka sudah berjanji untuk saling memperjuangkan."Suri, hari ini saya mau makan siang dengan Adnan. Tolong reservasi tempat di restoran biasa, ya," pinta Farah yang menghubungi lewat telepon di meja kerja."Maaf, Bu, apa saya juga perlu menghubungi Pak Adnan terlebih dahulu untuk--""Oh, nggak perlu. Saya udah ngabarin Adnan, kok."Suri hampir mendesah kecewa. Tadinya, ia mau memanfaatkan kesempatan untuk bicara dengan Adnan setelah beberapa hari terakhi
"Ri, kamu keluar dulu," ucap Adnan dengan suara bergetar menahan amarah. "Biar aku yang bicara--" "Enggak, kamu yang keluar, Nan." "Ri...." "Tolong, Nan. Sebentar saja. Biar aku yang bicara sama kakek kamu," tukas Suri tegas. "Janji sama aku, kamu nggak akan masuk dulu sampai aku keluar dari ruangan ini." Ia melepas genggaman tangan Adnan dan bergeser lebih maju. Mengabaikan kekagetan yang tergambar di wajah suaminya. "Berapa banyak yang Adnan tawarkan padamu? Saya bisa kasih yang jauh lebih banyak kalau kamu meninggalkan anak bodoh itu," ucap Prabu Danuarta dingin. Keangkuhannya membuat Suri bergidik. "Adnan tidak menawarkan apa pun selain kehidupan rumah tangga yang--" "Jangan membual tentang hal-hal seperti cinta dan kebahagiaan di depan muka saya," decih Prabu Danuarta. "Sebut saja nominal yang kamu mau, saya bisa langsung mengirimkannya detik ini juga." "Anda mungkin sulit untuk percaya, tapi saya menikah dengan Adnan bukan karena melihat harta yang keluarganya miliki," b
"Kalau sedang marah, Kakek memang kadang agak merepotkan," ujar Adnan ketika menyadari ada kekagetan yang tergambar di wajah istrinya. 'Agak, katanya?' Di mata Suri, ini sudah di luar nalar. Banyak pecahan beling yang berasal dari guci-guci yang dibanting, bertebaran di mana-mana ketika mereka memasuki rumah megah Prabu Danuarta. Suasana di rumah itu terasa mencekam. Rasanya seperti memasuki TKP setelah ada sebuah kejadian yang mengerikan. Keduanya sudah tiba di ruangan lain yang tidak jauh berbeda dengan keadaan di ruang tamu tadi. Masih tidak ada siapa-siapa di sana. "Siapa yang menghuni rumah ini selain Kakek, Nan?" "Asisten rumah tangga." Suri menoleh dengan cepat. "Maksudmu... selama ini Kakek sendirian?" Membayangkan seseorang yang sudah sepuh tinggal di sebuah rumah megah tanpa keluarganya membuat perasaan Suri campur aduk. Pria tua itu pasti sangat kesepian. Adnan tersenyum tipis. "Itu yang sebenarnya mau aku bahas sama kamu juga. Aku masih harus tinggal di sini sampa
"Mama, Mama! Mama pulang!" seru Andaru menyambut ibundanya yang baru pulang kerja."Halo, anak mama!" Suri berlutut untuk merengkuh anak lelakinya yang menghambur ke arahnya sambil berlarian kecil. "Gimana sekolah hari ini, Nak?""Aru seneeeeeng banget, Mama! Aru punya teman baru banyak!""Wah, pasti betul-betul menyenangkan, ya!" Suri membalas dengan antusias setelah anaknya meminta lepas dari pelukannya. "Ayo cerita sama Mama, siapa aja teman baru Aru?"Walau sudah beberapa lama pindah ke Jakarta, sebenarnya baru hari ini Andaru mulai masuk ke sekolah yang baru. Suri sempat merasa khawatir karena tidak punya waktu untuk ikut mengantarnya di hari pertama, tetapi untungnya Andaru bisa beradaptasi dengan cepat. Miss Dina juga tidak lupa memberikan report kepada Suri melalui foto-foto dan video Andaru di sekolah yang rutin dikirimkannya."Mama nggak pulang bareng Papa, ya?" tanya Andaru setelah berceloteh panjang tentang kesibukannya di sekolah baru. Ia baru menyadari kalau mamanya pula
"Kamu sekretaris barunya Farah?"Adnan tidak bisa menyembunyikan raut terkejutnya bahkan setelah berjam-jam berlalu sejak bertemu Suri di kantor baru wanita itu siang tadi."Begitulah.""Kenapa nggak bilang?"Suri batal melepas ikat rambut dan menatap suaminya dengan tenang. Seperti tak terganggu walau raut wajah suaminya seperti menahan kecewa. "Aku baru mau bilang, tapi kamu terlanjur tahu.""Kalau aku minta kamu membatalkan niat kamu bekerja di sana, kamu keberatan?" tanya Adnan hati-hati.Alis Suri tertaut. Kekesalannya menyeruak ke permukaan. "Nggak bisa gitu dong, Nan. Aku mendapatkan pekerjaan ini karena aku mampu dan aku dibutuhkan. Aku juga udah tanda tangan kontrak. Nggak semudah itu--""Aku yang akan urus kalau kamu bersedia. Kamu kerja di Danuarta aja, nggak harus jadi sekretarisku," ucap Adnan. Lebih terdengar seperti perintah ketimbang permohonan.Suri terlihat marah, tetapi bisa mengendalikan diri setelah beberapa kali mengatur napas. "Kita udah bahas soal itu tadi pagi
"Kamu mau ke mana udah rapi sepagi ini, Ri?" tanya Adnan yang baru saja membuka mata. Jarum jam pendek pada jam beker di nakas menunjuk ke angka enam."Kerja," jawab Suri yang memang sudah berpakaian rapi. Penampilannya persis seperti ketika masih menjadi sekretaris Adnan. Pagi ini, Suri memakai setelan kerja berwarna abu-abu."Di mana? Kok kamu nggak cerita sama aku?" Adnan membelalak. Tampak sedikit tidak terima karena ia tidak tahu apa-apa perihal pekerjaan baru istrinya."Maaf," cicit Suri dengan kepala sedikit menunduk. "Aku nggak tau kalau kamu keberatan aku kerja. Aku nggak bisa cuma diam di rumah dan hanya menikmati harta kamu. Apalagi sekarang hubungan kita terhalang restu—""Maksud aku bukan gitu," decak Adnan.Ini masih pagi dan Suri malah menyinggung masalah sensitif. Ia turun dari tempat tidur dan mendekati istrinya yang sudah berhenti menyisir rambutnya.Pria itu mengambil alih sisir dari tangan Suri dan membantu istrinya menyisir rambut. "Aku memang agak sibuk belakanga