Nah kan benerrrr!!! Suri tuh kebanyakan denial. Padahal mah tinggal gas aja. Nggak setiap hari loh ketemu cowok green flag yang kayak Adnan yang mau inisiatif+berkorban banyak gitu:') Kalau Suri nolak, Adnan sama aku aja yuk! Tinggalin aja cewek plin-plan kayak Mbak Suri😝😝😝
"Ibu tidak perlu terburu-buru memutuskan," cetus Wirya saat mereka sedang dalam perjalanan menuju lokasi proyek. Suri menoleh dengan ekspresi bertanya di wajah. "Maksud saya soal ajakan Pak Adnan untuk pindah ke Jakarta," jelas Wirya. Suri sempat tertegun dan kemudian terkekeh. "Jadi itu maksud Bapak kemarin, ya? Waktu Bapak bilang ke saya kalau Adnan akan menjemput saya dan Andaru." Rasa penasarannya sudah terjawab sekarang. "Bapak sudah tahu rencana itu jauh-jauh hari rupanya." Setengah ucapan Wirya kemarin salah. Adnan datang bukan karena urusannya sudah terselesaikan. Justru karena tidak akan pernah selesai, maka pria itu datang disela-sela waktu kosongnya. Menawarkan rencana baru kepada dirinya agar mau pulang bersama-sama pria itu ke Jakarta. Adnan tidak punya banyak waktu untuk dibuang-buang. Pria itu langsung kembali ke Jakarta semalam, tak lama setelah ia meyakinkan Suri bahwa Andaru tidak akan menangis atau mencari-carinya dengan marah esok hari. Entah bagaimana pastin
"Hai, Adik Kecil! Lama kita tidak bertemu!" Tidak tergambarkan bagaimana ekspresi Suri saat melihat Arvin Hendrawan, yang sedang tersenyum miring itu, berjalan lambat-lambat mendekat ke arahnya. Kakak sepupunya benar-benar nyata ada di hadapan Suri yang mematung di depan pintu, bukan sosok lain yang sengaja meminjam identitasnya. Kedua tangan Arvin bebas. Tidak terjerat borgol seperti yang Suri saksikan di hari-hari terakhir mereka bertemu di pengadilan, bertahun-tahun lalu. 'Ya Tuhan. Kenapa dia sudah bebas?' Suri mencengkeram ujung kemejanya kuat-kuat. Kembali ia teringat pada pesan ancaman dari mantan suaminya. Hanya pria itu yang paling mungkin dengan sengaja membocorkan keberadaan dirinya kepada Arvin. Dari jarak dekat, Suri bisa dengan jelas melihat perbedaan yang teramat jauh pada penampilan kakak sepupunya itu. Kegagahannya entah telah hilang ke mana. Yang Suri lihat sekarang hanyalah seorang pria tinggi kurus, dengan rambut agak gondrong dan jambang tak terawat di wajahny
"Hai, Sayang. Gimana kejutan dariku hari ini? Lancar kan temu kangennya dengan kakak tercintamu? Dia juga sudah menyampaikan dengan baik pesan yang kutitipkan untukmu, bukan? Kembalilah, Sayang. Aku tunggu kepulanganmu di Jakarta." Adalah sederet pesan baru dari Pram yang Suri terima lima belas menit kemudian saat ia sudah meninggalkan kantor. Pram juga mengirimkan foto-foto Andaru bersama Dina saat mereka berada di sekolah, yang diam-diam diambil dari kejauhan. Seolah-olah menegaskan apa yang dikatakan Arvin tadi benar. Bahwa Pram tidak akan membiarkan Suri hidup tenang jika tidak menuruti ucapannya. 'Ke mana hilangnya kedamaian yang kudapatkan selama enam tahun terakhir di sini?' racaunya dalam hati entah kepada siapa. 'Seberapa banyak lagi aku harus hancur untuk bisa kembali meraih damai dan tentram bersama Andaru?' Dikuasai amarah dan frustrasi pekat, wanita itu nyaris melemparkan ponselnya ke luar taksi yang membawanya pulang. Namun, ia segera mengurungkan niatnya ketika terin
"Wirya, tolong sampaikan permintaan maaf saya kepada Adnan. Saya butuh waktu untuk menenangkan diri di tempat yang jauh dari orang-orang yang saya kenal. Satu minggu saja. Ah, tidak. Paling lama satu bulan. Tolong jangan cari saya. Saya akan pergi bersama Andaru. "Dan lewat surat ini, saya sekaligus ingin menyampaikan pengunduran diri saya dari Putra Kencana. Saya lampirkan beberapa kandidat yang cocok untuk menggantikan saya sebagai sekretaris." Surat yang amat sangat singkat itu Wirya temukan di meja kerjanya pada Senin malam, saat pria itu kembali ke kantor untuk mengambil berkas yang tertinggal. "Kami sempat membicarakan soal pekerjaan sampai pukul delapan tadi, Pak Adnan." "Kamu sudah mendatangi rumahnya?" desak Adnan. Saat Wirya mengabarkan tentang calon istrinya yang kabur, Adnan membombardir nomor ponsel wanita itu dengan deretan pesan tertulis dan pesan suara yang hanya centang satu. Alias tidak terkirim. Adnan juga menelepon berkali-kali, tetapi tidak tersambung. "Sudah
"Berhentilah menjadi bebal! Takdirmu sudah ditentukan sejak sebelum kamu lahir ke dunia, Adnan! Tempatmu ada di Danuarta Grup! Bukan di perusahaan kecil yang hanya punya segelintir karyawan itu. Dan rumahmu juga di sini, bukan di apartemen sempitmu itu!" "Cukup, Kakek." Mengingat kondisi Prabu yang masih ringkih, Adnan berusaha menekan kekesalan di dalam dadanya agar tidak mengeluarkan suara keras dan kata-kata tidak sopan. "Aku sudah menuruti kemauan Kakek untuk tinggal di rumah ini selama satu bulan terakhir. Mengawasi Pram dari dekat dan memastikan semuanya berjalan sesuai harapan Kakek. Sekarang sudah waktunya aku kembali ke Su—" "Kamu sudah janji akan pulang!" "Aku hanya bilang akan kembali ke rumah ini setelah menyelesaikan urusanku di luar Danuarta. Dan itu bukan janji untuk bekerja di Danuarta Group. Karena keputusanku masih sama. Aku tidak akan merebut tempat Pram kecuali dia mulai tidak becus melakukan pekerjaannya." "Kamu mau melihat kakekmu kena serangan jantung?!" Adn
"Perhatikan jalan, Andaru!" Sembari menggeret koper besar yang terasa sangat berat, ibu dari bocah kecil yang tengah berlarian itu susah payah mengejar dengan melangkahkan kaki lebih cepat, ke arah pintu keluar bandara yang sudah terlihat dari kejauhan. "Ya Tuhan, anak itu benar-benar kelebihan energi!" keluhnya karena Andaru tak mengindahkan peringatannya. Di antara hiruk pikuk orang-orang yang berlalu lalang di area penjemputan, Suri menemukan seseorang yang sangat ia kenali sudah menunggu. Pria itu bersandar santai di body mulus sebuah Toyota Land Cruiser berwarna hitam keluaran terbaru—di antara mobil-mobil lainnya yang berderet rapi di sepanjang sisi jalan. Senyum terulas tipis di wajah. Begitu pula sosok pria bertubuh tinggi tegap yang detik berikutnya menyadari kedatangan Suri. Pria itu mengenakan pakaian serba hitam, dilengkapi pula kacamata hitam yang menaungi matanya. Sosok itu melambaikan tangan. "Om Wirya!" Pekikan Andaru mencuri perhatian beberapa pasang mata di sana
"Jangan sekarang. Aku sedang bersama Wirya." Suri mengetikkan pesan itu dengan cepat lalu mengirimkannya kepada nomor Melisa setelah menolak panggilan dari istri mantan suaminya itu. Sebisa mungkin Suri mengatur ekspresinya agar tetap tenang karena tahu bahwa asisten pribadi Adnan itu sangat peka. Namun, ternyata usahanya gagal. "Ada masalah, Bu?" tegur pria itu. "Nggak ada," elak Suri. Wanita itu buru-buru memasukkan ponsel ke dalam tasnya setelah menyalakan mode diam. "Kamu fokus menyetir saja, Wir." Lalu membuang muka ke jalanan yang masih padat merayap. Menghindari pertanyaan lebih banyak dari pria yang menatapnya serius, tetapi tersirat raut ingin tahu di sana. Empat puluh lima menit kemudian, Toyota Land Cruiser hitam yang disetiri Wirya berhenti di depan pagar rumah Suri. Wirya dengan cekatan menurunkan koper dari bagasi. Sementara Suri menggendong Andaru yang masih lelap. Wirya mengikuti langkah Suri melewati pekarangan seraya menggeret koper dan membantu wanita itu memb
"Aku tahu kalau anakmu yang diakui sebagai anak kandung Adnan itu adalah anak Mas Pram!" Dari mana Melisa mendapatkan semua foto-foto itu bukanlah hal yang ingin Suri ketahui. Sebab, jawabannya mudah saja. Hanya Pram yang memiliki seluruh file foto itu. Sementara Suri sendiri hanya memiliki beberapa file yang sebagian sudah dicetak dan ia simpan di kotak kenangan—yang belum sempat wanita itu buang. Namun, semua itu tidak lebih penting ketimbang fakta yang selama ini Melisa ketahui. Tentang semuanya. Suri mendadak ingin pingsan karena segala hal yang ia usahakan dengan Adnan ternyata sia-sia. Mereka bahkan sudah berencana untuk menikah sungguhan demi memberikan perlindungan penuh untuk Andaru. "Bagaimana bisa?" cicit Suri. Mencoba sebisa mungkin untuk tidak gentar. "Kamu pikir aku ini siapa, Suri?" Sudut bibir Melisa terangkat naik. "Aku adalah Melisa Tanureja! Yang sejak remaja sudah bersahabat baik dengan keluarga Danuarta. Aku mengenal Adnan jauh lebih baik daripada kamu yang se