Share

Kehilangan Kehormatan

Suara dentam music merasuk indra pendengaran. Hilir mudik orang-orang dengan tubuh sempoyongan tampak tidak mengganggu, mereka tampak menikmati apapun yang ada di hadapannya. Lampu berpedar kerlap-kerlip menikmati alunan music yang menghentak. Ditengah-tengah sana, puluhan orang melompat-lompat sekaligus menggerakan badan menikmati dentuman-dentuman suara, kecuali pria berpakaian hitam yang tidak pernah berhenti meneguk cairan berwarna kuning di gelas yang berada di tangannya.

Akal sehatnya mulai hilang. Ia bahkan tidak menyadari efek yang akan terjadi akibat ulahnya kali ini. Tangan itu kembali mengambil botol dan menuangkan isinya ke dalam gelas. Ia kembali meneguknya dengan rakus.

“BANGSAT!” umpat seseorang langsung duduk di sebelah mejanya sembari memukul kepala pria itu dengan berkas. Ia bahkan melupakan fakta jika yang di pukul tadi adalah orang yang memberinya uang.

“Jay Bangsat Orlando lo bener-bener. Ya Tuhan …”

Ya, pria itu adalah Jay. Pria yang sudah kehilangan akal sehat. Entah sudah berapa botol yang ia habiskan, yang pasti bukan dalam jumlah yang sedikit.

“Ella …,” ucapnya pelan dengan kepala yang bersandar pada meja bar.

“Gue nggak nyangka efek perempuan gila itu masih sama besarnya kayak dulu.”

“Ella … aku sayang kamu.” Jay pernah terpuruk dalam lubang gelap. Dalam kesepian tak berujung karena penopangnya hilang. Kini sang pujaan hatinya kembali hadir, entah hanya singgah untuk mengganggu atau untuk kembali dalam rengkuhannya.

“Lo udah punya istri, Jay,” ucap Andre dengan tampang yang sudah tidak sedap di pandang mata. “Istri lo jauh lebih baik dari pada mantan bangsat lo itu. Lo dan Ella emang pasangan Kampret sepanjang masa. Pusing gue. Mudah-mudahan sikap bodoh lo tadi dan sekarang engga masuk infotaiment. Anjir banget, kerjaan gue double. PULANG LO.”

Andre sudah benar-benar lupa. Ia bahkan menarik Jay berdiri tanpa perasaan sama sekali. Ia bahkan tidak memperdulikan kaki Jay yang belum ia check ke rumah sakit akibat kejadian tadi, dan sekarang ia memaksa Jay untuk berjalan.

“Gue nggak peduli kaki lo tambah parah. Denger itu ya, Bos. Masa bodoh! Capek gue.”

***

Dalam keheningan malam yang tampak mencekam, Letha duduk dengan tangan yang tidak henti memuji Sang Maha Kuasa. Mengadukan segala resah dan sakitnya pada pemilik hati. Menyerahkan semua yang akan terjadi besok dan seterusnya pada-Nya. Walaupun kemelut di kepalanya tidak pernah berhenti untuk berteriak. Dalam sujud panjangnya ia lantunkan do’a-do’a untuk orangtua dan juga suaminya.

“Bismillahirohmanirrohim … Ya Allah, ampunilah selalu dosa hamba, kedua orangtua hamba, dan suami hamba. Berkahi dan rahmatilah keluarga hamba. Lembutkanlah hati suami hamba dan kuatkanlah hati hamba untuk menerima setiap ujian yang datang pada hamba.”

Letha tahu, ada banyak diluaran sana yang mendapat ujian lebih berat daripada dirinya. Sudah sepantasnya ia bersabar dan menyerahkan urusannya pada Tuhan. Ia tidak ingin mengingat apa yang terjadi pada acara tadi, karena jika diingat hatinya akan rapuh kembali. Ia membaca lantunan ayat suci Al-Qur’an.

Tidak lama kemudian, ketukan terdengar di pintu hotel. Dengan tergesa ia membuka pintu dan bahkan melupakan maskernya. Jika Jay melihat mungkin pria itu akan murka.

“Nyusahin amat sih lo, Bos. Elah … capek gue.”

Ternyata Andre yang membuka pintu dan ada suaminya yang sedang tidak sadar diri karena terus merancau.

“Kenapa, Aa, Pak?”

“Tunggu,” ucap Andre kemudian sedikit mundur dan melihat pada dinding yang terdapat nomor hotel. “Ini bener kamar nomor 424 kan? Kok penghuninya beda.”

“Saya istrinya Aa Jay, Pak Andre.”

“Hah? Masa? ANJIR …” Andre mengumpat dengan kencang sampai membuat Letha beristigfar. Ini bukan waktunya untuk mengobrol. Jay masih dalam keadaan buruk. “Lo Letha? Istri si kampret ini?”

“Iya benar, Pak.” Letha baru ingat jika biasanya ia memakai masker kemanapun karena keinginan Jay. “Saya sedang shalat jadi maskernya saya lepas.”

“Terus kenapa selama ini lo pake masker?”

“Dulu saya sedang sakit. Setelah itu Aa nggak mengizinkan saya buat buka masker.” Letha masih ingat kata-kata yang di ucapkan oleh Jay kala itu.

“Tapi dia pernah liat lo nggak pake masker kayak gini?”

“Nggak, Pak”

“Gila! Si bangsat ini bener-bener. Gue sumpahin lo nyesel seumur hidup.”

“Pak, nggak baik mendoakan orang lain dengan buruk seperti itu.”

“Sorry …sorry. Gedeg banget gue sama laki lo ini.”

Letha mengangkat bawahan mukena nya yang masih ia pakai. Kemudian memindahkan tangan Jay kepundaknya untuk menopang berat badannya. “Biar saya saja yang bawa, Aa.”

“Yakin lo bisa? Biar gue bantu sampai di kasur aja.”

“Nggak apa-apa, Pak, saya bisa.”

“Please … gatel banget telinga gue. Jangan panggil gue Bapak, gue masih muda. Panggil gue Andre aja kayak suami lo manggil gue.”

“Baik kalau begitu.”

Tangan satunya lagi Letha letakan pada pinggang Jay. Pria itu meracau tidak jelas. Entah apa yang di ucapkannya. “Makasih karena udah bawa Aa pulang.”

“Sama-sama. Gue tinggal ya. Semoga dia nggak buat masalah. Biar gue aja yang tutup pintunya.”

“Makasih.”

Letha membawa tubuh pria itu dengan susah payah. Ia berharap kondisi kaki Jay tidak bertambah buruk. Ia membaringkan tubuhnya, kemudian mengangkat kedua kakinya dengan perlahan-lahan. Ia pun membuka kaos kaki beserta sepatu yang masih menempel.

Letha duduk di sisi ranjang dan memandang wajah pria itu. Sungguh … sebenarnya Jay sangat tampan. Bulu matanya lentik indah, apalagi ketika membuka mata ia akan bertemu dengan langit biru yang sangat indah. Rahangnya yang tegas dan bersih. Ketika sedang tertidur seperti ini wajanya memang terlihat garang. Tetapi ketika melihat Jay tersenyum pada penggemarnya, wajah pria itu tampak berkali-kali lipat lebih tampan. Sayang Letha tidak pernah bisa mendapatkan senyuman itu.

“Jangan pergi …,” ucapnya pelan. “Jangan tinggalin aku.”

Dengan keberanian yang entah datang darimana, Letha memegang tangan besar dan hangat itu. Selain pada saat mereka sah menjadi suami-istri, ini adalah kedua kali nya mereka bersentuhan.

Tetapi, apa yang dilakukan oleh Letha sepertinya keliru, karena kini laki-laki itu menariknya dengan kencang sampai berbaring di atas kasur. Kini tubuh Jay ada di atasnya, tatapan amarah dan penuh dendam itu seakan menenggelamkan Letha.

“Kali ini aku nggak akan melepasmu. Aku akan mengikatmu dengan kencang.”

Malam itu menjadi momen paling menyedihkan yang hadir pada diri Letha. Ia telah kehilangan sesuatu yang selama ini selalu di jaganya sepenuh hati. Sesuatu yang hanya akan ia berikan pada suaminya. Tetapi, bukankah orang yang sudah menggambil kehormatannya ini adalah suaminya? Suami yang tidak menganganggap dirinya sama sekali. Suami yang terus menorehkan luka pada batinnya. Suami yang kini menjadi ketakutannya. Apalagi ketika hanya nama perempuan lain yang keluar dari mulutnya.

“Ella … Ella …”

Air mata yang keluar semakin tak terbendung. Selain rasa sakit pada pusat dirinya, kini rasa sakit baru tumbuh di hati dan juga jiwanya.

TO BE CONTINUED

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status