Suara dentam music merasuk indra pendengaran. Hilir mudik orang-orang dengan tubuh sempoyongan tampak tidak mengganggu, mereka tampak menikmati apapun yang ada di hadapannya. Lampu berpedar kerlap-kerlip menikmati alunan music yang menghentak. Ditengah-tengah sana, puluhan orang melompat-lompat sekaligus menggerakan badan menikmati dentuman-dentuman suara, kecuali pria berpakaian hitam yang tidak pernah berhenti meneguk cairan berwarna kuning di gelas yang berada di tangannya.
Akal sehatnya mulai hilang. Ia bahkan tidak menyadari efek yang akan terjadi akibat ulahnya kali ini. Tangan itu kembali mengambil botol dan menuangkan isinya ke dalam gelas. Ia kembali meneguknya dengan rakus. “BANGSAT!” umpat seseorang langsung duduk di sebelah mejanya sembari memukul kepala pria itu dengan berkas. Ia bahkan melupakan fakta jika yang di pukul tadi adalah orang yang memberinya uang. “Jay Bangsat Orlando lo bener-bener. Ya Tuhan …” Ya, pria itu adalah Jay. Pria yang sudah kehilangan akal sehat. Entah sudah berapa botol yang ia habiskan, yang pasti bukan dalam jumlah yang sedikit. “Ella …,” ucapnya pelan dengan kepala yang bersandar pada meja bar. “Gue nggak nyangka efek perempuan gila itu masih sama besarnya kayak dulu.” “Ella … aku sayang kamu.” Jay pernah terpuruk dalam lubang gelap. Dalam kesepian tak berujung karena penopangnya hilang. Kini sang pujaan hatinya kembali hadir, entah hanya singgah untuk mengganggu atau untuk kembali dalam rengkuhannya. “Lo udah punya istri, Jay,” ucap Andre dengan tampang yang sudah tidak sedap di pandang mata. “Istri lo jauh lebih baik dari pada mantan bangsat lo itu. Lo dan Ella emang pasangan Kampret sepanjang masa. Pusing gue. Mudah-mudahan sikap bodoh lo tadi dan sekarang engga masuk infotaiment. Anjir banget, kerjaan gue double. PULANG LO.” Andre sudah benar-benar lupa. Ia bahkan menarik Jay berdiri tanpa perasaan sama sekali. Ia bahkan tidak memperdulikan kaki Jay yang belum ia check ke rumah sakit akibat kejadian tadi, dan sekarang ia memaksa Jay untuk berjalan. “Gue nggak peduli kaki lo tambah parah. Denger itu ya, Bos. Masa bodoh! Capek gue.” *** Dalam keheningan malam yang tampak mencekam, Letha duduk dengan tangan yang tidak henti memuji Sang Maha Kuasa. Mengadukan segala resah dan sakitnya pada pemilik hati. Menyerahkan semua yang akan terjadi besok dan seterusnya pada-Nya. Walaupun kemelut di kepalanya tidak pernah berhenti untuk berteriak. Dalam sujud panjangnya ia lantunkan do’a-do’a untuk orangtua dan juga suaminya. “Bismillahirohmanirrohim … Ya Allah, ampunilah selalu dosa hamba, kedua orangtua hamba, dan suami hamba. Berkahi dan rahmatilah keluarga hamba. Lembutkanlah hati suami hamba dan kuatkanlah hati hamba untuk menerima setiap ujian yang datang pada hamba.” Letha tahu, ada banyak diluaran sana yang mendapat ujian lebih berat daripada dirinya. Sudah sepantasnya ia bersabar dan menyerahkan urusannya pada Tuhan. Ia tidak ingin mengingat apa yang terjadi pada acara tadi, karena jika diingat hatinya akan rapuh kembali. Ia membaca lantunan ayat suci Al-Qur’an. Tidak lama kemudian, ketukan terdengar di pintu hotel. Dengan tergesa ia membuka pintu dan bahkan melupakan maskernya. Jika Jay melihat mungkin pria itu akan murka. “Nyusahin amat sih lo, Bos. Elah … capek gue.” Ternyata Andre yang membuka pintu dan ada suaminya yang sedang tidak sadar diri karena terus merancau. “Kenapa, Aa, Pak?” “Tunggu,” ucap Andre kemudian sedikit mundur dan melihat pada dinding yang terdapat nomor hotel. “Ini bener kamar nomor 424 kan? Kok penghuninya beda.” “Saya istrinya Aa Jay, Pak Andre.” “Hah? Masa? ANJIR …” Andre mengumpat dengan kencang sampai membuat Letha beristigfar. Ini bukan waktunya untuk mengobrol. Jay masih dalam keadaan buruk. “Lo Letha? Istri si kampret ini?” “Iya benar, Pak.” Letha baru ingat jika biasanya ia memakai masker kemanapun karena keinginan Jay. “Saya sedang shalat jadi maskernya saya lepas.” “Terus kenapa selama ini lo pake masker?” “Dulu saya sedang sakit. Setelah itu Aa nggak mengizinkan saya buat buka masker.” Letha masih ingat kata-kata yang di ucapkan oleh Jay kala itu. “Tapi dia pernah liat lo nggak pake masker kayak gini?” “Nggak, Pak” “Gila! Si bangsat ini bener-bener. Gue sumpahin lo nyesel seumur hidup.” “Pak, nggak baik mendoakan orang lain dengan buruk seperti itu.” “Sorry …sorry. Gedeg banget gue sama laki lo ini.” Letha mengangkat bawahan mukena nya yang masih ia pakai. Kemudian memindahkan tangan Jay kepundaknya untuk menopang berat badannya. “Biar saya saja yang bawa, Aa.” “Yakin lo bisa? Biar gue bantu sampai di kasur aja.” “Nggak apa-apa, Pak, saya bisa.” “Please … gatel banget telinga gue. Jangan panggil gue Bapak, gue masih muda. Panggil gue Andre aja kayak suami lo manggil gue.” “Baik kalau begitu.” Tangan satunya lagi Letha letakan pada pinggang Jay. Pria itu meracau tidak jelas. Entah apa yang di ucapkannya. “Makasih karena udah bawa Aa pulang.” “Sama-sama. Gue tinggal ya. Semoga dia nggak buat masalah. Biar gue aja yang tutup pintunya.” “Makasih.” Letha membawa tubuh pria itu dengan susah payah. Ia berharap kondisi kaki Jay tidak bertambah buruk. Ia membaringkan tubuhnya, kemudian mengangkat kedua kakinya dengan perlahan-lahan. Ia pun membuka kaos kaki beserta sepatu yang masih menempel. Letha duduk di sisi ranjang dan memandang wajah pria itu. Sungguh … sebenarnya Jay sangat tampan. Bulu matanya lentik indah, apalagi ketika membuka mata ia akan bertemu dengan langit biru yang sangat indah. Rahangnya yang tegas dan bersih. Ketika sedang tertidur seperti ini wajanya memang terlihat garang. Tetapi ketika melihat Jay tersenyum pada penggemarnya, wajah pria itu tampak berkali-kali lipat lebih tampan. Sayang Letha tidak pernah bisa mendapatkan senyuman itu. “Jangan pergi …,” ucapnya pelan. “Jangan tinggalin aku.” Dengan keberanian yang entah datang darimana, Letha memegang tangan besar dan hangat itu. Selain pada saat mereka sah menjadi suami-istri, ini adalah kedua kali nya mereka bersentuhan. Tetapi, apa yang dilakukan oleh Letha sepertinya keliru, karena kini laki-laki itu menariknya dengan kencang sampai berbaring di atas kasur. Kini tubuh Jay ada di atasnya, tatapan amarah dan penuh dendam itu seakan menenggelamkan Letha. “Kali ini aku nggak akan melepasmu. Aku akan mengikatmu dengan kencang.” Malam itu menjadi momen paling menyedihkan yang hadir pada diri Letha. Ia telah kehilangan sesuatu yang selama ini selalu di jaganya sepenuh hati. Sesuatu yang hanya akan ia berikan pada suaminya. Tetapi, bukankah orang yang sudah menggambil kehormatannya ini adalah suaminya? Suami yang tidak menganganggap dirinya sama sekali. Suami yang terus menorehkan luka pada batinnya. Suami yang kini menjadi ketakutannya. Apalagi ketika hanya nama perempuan lain yang keluar dari mulutnya. “Ella … Ella …” Air mata yang keluar semakin tak terbendung. Selain rasa sakit pada pusat dirinya, kini rasa sakit baru tumbuh di hati dan juga jiwanya. TO BE CONTINUEDLetha berdiam diri di bawah shower kamar mandi yang baru saja ia booking dengan bantuan Andre. Ia akan berterimakasih nanti pada pria itu. Dengan hati yang nyaris tak berbentuk, ia menggosok tubuh yang meninggalkan banyak tanda, tanpa memperdulikan jika nanti tubuhnya lecet atau bahkan mengeluarkan darah. Tidak ada yang lebih sakit selain hati nya yang rapuh. Air mata tidak pernah berhenti mengalir dari matanya. Jay telah merenggut semuanya. Kehidupan serta kehormatannya. Ketika malam mengerikan itu terjadi, Letha segera mengganti seprai yang terdapat darah miliknya dan memakaikan Jay pakaian. Karena sebenci dan setakut apapun dia pada Jay, pria itu tetap suaminya. Setelah selsai, Letha pergi membawa barang-barang pribadinya. “Umi … Abi … Apa yang harus aku lakukan?” lirihnya menangisi nasib malang yang menimpanya. “Dia tidak memperlakukan aku dengan baik. Aku ingin ikut Umi dan Abi.” Ia terduduk di dinginnya lantai kamar mandi dengan air yang tidak pernah berhenti menyembur dari sh
Letha memandang hiruk pikuk kota yang bergerak cepat mengikuti laju mobil yang di naikinya. Sama seperti apa yang dilihatnya sekilas, ia pun ingin melupakan sesuatu yang terjadi pada malam itu. Namun sayang, pikirnya menolak untuk lupa.Kini baik Jay maupun Letha dikelilingi kesunyian. Dulu, kesunyian yang datang tidak sesepi ini. Namun kini kesunyian itu tampak mencekam. Letha duduk sendiri di kursi paling belakang sedangkan Jay duduk bersama dengan Andre di sebelahnya. Mereka sedang menuju salahsatu butik dengan Jay yang merupakan brand ambassador sebelum mereka pulang ke tanah air malam nanti. Dan ini merupakan acara Jay terakhir sebelum hiatus. Walaupun dirinya harus membayar denda akibat kontrak yang tidak terpenuhi. Tetapi tidak mengurangi harta Orlando group.“Ini cuma perasaan gue atau lo berdua beneran lagi berantem?” tanya Andre tanpa menyadari suasana yang sedang panas-panasnya.“Perasaan lo aja.”Andre mengangguk-anggukan kepala dengan khidmat seakan mengerti. Kemudian meno
Letha duduk di sebelah panggung berbentuk persegi panjang. Andre tidak ada disana karena mungkin marah pada suaminya itu. Kepala Letha masih terasa sakit dengan hati remuk redam dengan segala hal yang terjadi pada dirinya.Jay berdiri di sana dengan gagah. Tatapan marah dan kata-kata kasarnya seakan hilang di telan bumi. Disana hanya ada Jay yang murah senyum dan humoris. Jay yang beberapa kali dapat membuat satu studio ini tertawa dengan senang. Bukan Jay yang tadi yang membuat Letha menangis dengan sedih.“Hey …”“Astagfirulloh ....”“Eh … sorry sorry. Gue ngagetin lo ya? Ini gue bawa minum,” ucap Andre sembari menyodorkan air mineral ke arahnya. Kemudian duduk di kursi yang ada di sebelah Letha. Letha pun segera mengambil minum itu. “Gue nggak nyangka Bos bisa sekasar itu sama lo. Lo sebenernya ada masalah apa sama bos?”Letha hanya menggeleng pelan dan memusatkan pandangannya pada Jay yang sudah memandangnya dengan tajam di atas sana. Kini apa yang sudah aku lakukan? Batin Letha b
“Lo ngapain sih, Bos? Kok bisa pingsan gini? Terus tangannya kok bisa kesiram air panas? KDRT ya lo?” Jay yang sudah menahan diri dari tadi segera menginjak kaki Andre. Pria itu tidak berhenti ceramah dari awal masuk dan melihat Letha yang terbaring tidak sadarkan diri di kamarnya. “ASEM … SAKIT, BOS.” “Mulut lo minta di tutup permanen,” ucap Jay tanpa peduli pelototan Andre dan menutup mulutnya dengan tangan. “Lo udah telfon dokter kan?” “Udeh, lagi di jalan mungkin. Lo nggak usah khawatir.” Jay segera memandang Andre dan berujar, “siapa yang khawatir?” “Lo lah!” “Biasa aja.” “Halah … sok-sok an biasa aja padahal khawatir.” “Jangan sampai gue beneran panggil dokter ya.” Andre tanpa sadar menepuk pelan pundak Jay yang masih di bebat oleh perban. Hingga tanpa sadar Jay mengaduh kesakitan. “Heh … kenapa lo?” tanya Andre langsung. Sej
Letha benar-benar tidak keluar kamar. Bahkan ketika ia mendengar ketukan dan suara Jay yang marah diikuti dengan suara Andre. Ia pikir dirinya tidak akan membuka mata lagi ketika waktu menujukan pukul tiga subuh. Ia segera mengambil wudhu dan seperti saran dokter ia tidak membasuh tangannya dengan air, ia hanya mengusapnya saja. Tuhan selalu memberikan kemudahan dalam beribadah jika sedang dalam kesulitan. Setelah menunaikan ibadah shalat wajibnya, Letha merasa haus. Dengan masih menggunakan mukena putihnya dan tak lupa memakai masker ia memutar kunci pintu dengan pelan. Dalam hati pun ia berdo’a, semoga dirinya tidak harus bertemu dengan Jay. Ia harap Jay sudah terlelap tidur di kamarnya. Dengan mengucap basmallah, Letha keluar dari kamar. Ruang tamu itu tampak remang. Hanya ada sedikit cahaya lampu dari lampu di nakas. Ia berjalan menuju dapur yang gelap. Tanpa menyalakan lampu, ia mengambil air dan menuangkannya dengan pelan ke dalam gelas, kemud
“Assalamu’alaikum, Teh Letha, aku mau ngambil pesenan Bunda,” ucap seorang anak kecil yang masih berseragam merah-putih. Perempuan yang di panggil Teteh itu segera tersenyum manis walaupun sebagian wajahnya tertutup oleh masker. Selain karena menjaga kehigenisan, ia sedang terserang cacar, jadi hanya lengkungan mata indahnya saja yang terlihat. Oleh karena itu, Umi tidak membiarkannya masuk ke dapur, dan hanya bertugas memberikan pesanan saja. “Wa’alaikumsalam. Sebentar ya, Dek,” ucap Letha yang kemudian berlalu mengambil pesanan yang sudah dipisahkan. Bahiyya Amaletha Elara, perempuan cantik asal kota kembang yang merantau ke Jakarta bersama kedua orangtuanya. Mereka mempunyai kedai cemilan yang berisi macam-macam kue basah, roti, dan makanan-makanan ringan lainnya. Walaupun bangunannya tidak besar, dan hanya memuat lima meja kecil dengan masing-masing dua kursi, tetapi cukup nyaman dengan design yang disesuaikan dengan selera anak muda zaman sekarang, yang ma
Dunia Letha runtuh seketika. Sosok yang selama ini menjadi panutannya. Sosok yang selalu menjaganya dari kecil hingga sekarang telah tiada. Kepada siapa dirinya sekarang harus berbakti? Kepada siapa sekarang jika ia memerlukan pelukan untuk menghadapi dunia yang sangat kejam ini? Ia belum sempat membanggakan Umi dan Abi. Ia belum sempat mengatakan bahwa ia sangat menyayangi mereka. Apa yang harus Letha lakukan sekarang? Beberapa saat setelah Letha sampai di rumahsakit dengan tampilan seadanya dan sangat berantakan, ia mendapat kabar bahwa Umi nya pun ikut menyusul Abi pergi. Informasi itu Letha dapatkan dari suster yang barusaja keluar dari kamar di mana Umi sedang berjuang. Ketika membuka pintu, ia langsung menghambur ke arah Umi yang sudah ditutup selimut putih sampai kepala. “Umi, kenapa Umi ninggalin Teteh sendiri? Kenapa Umi tega?” tanya nya dengan air mata yang terus mengalir. “Abi ninggalin aku, kenapa sekarang Umi juga ninggalin aku sendiri
Letha terdiam membisu bersama Jay yang sedari tadi memejamkan mata dan menyumpal telinganya dengan airpods. Entah apa yang pria itu dengarkan karena ia pun tidak ingin menganggu. Sudah cukup dirinya di benci dan sedari tadi di hadiahi tatapan tajam, ia tidak ingin semakin membuat hari-hari orang di dekatnya kacau.Mereka sekarang sedang menuju ke penthouse milik Jay berada di salahsatu property milik keluarganya atau sekarang bisakah Letha bilang milik ayah mertuanya? Dengan membayangkannya saja sudah membuat ia merinding. Apalagi dengan posisi menantu yang tidak diinginkan.“Ingat baik-baik ini. Gue nggak akan pernah sudi menganggap lo sebagai istri gue. Jadi jaga batasan-batasan lo.”Letha hanya bisa membuang nafas lelah. Ia sudah diingatkan dengan posisinya. Mereka tidak akan pernah bisa berkompromi bukan? Jadi ia akan mengikhaskan nya saja.“Pak, kita sudah sampai,” ucap supir yang sedari tadi membisu. Dengan situasi seperti ini, mustahil jika sang supir tidak mengetahui situasi m
Letha benar-benar tidak keluar kamar. Bahkan ketika ia mendengar ketukan dan suara Jay yang marah diikuti dengan suara Andre. Ia pikir dirinya tidak akan membuka mata lagi ketika waktu menujukan pukul tiga subuh. Ia segera mengambil wudhu dan seperti saran dokter ia tidak membasuh tangannya dengan air, ia hanya mengusapnya saja. Tuhan selalu memberikan kemudahan dalam beribadah jika sedang dalam kesulitan. Setelah menunaikan ibadah shalat wajibnya, Letha merasa haus. Dengan masih menggunakan mukena putihnya dan tak lupa memakai masker ia memutar kunci pintu dengan pelan. Dalam hati pun ia berdo’a, semoga dirinya tidak harus bertemu dengan Jay. Ia harap Jay sudah terlelap tidur di kamarnya. Dengan mengucap basmallah, Letha keluar dari kamar. Ruang tamu itu tampak remang. Hanya ada sedikit cahaya lampu dari lampu di nakas. Ia berjalan menuju dapur yang gelap. Tanpa menyalakan lampu, ia mengambil air dan menuangkannya dengan pelan ke dalam gelas, kemud
“Lo ngapain sih, Bos? Kok bisa pingsan gini? Terus tangannya kok bisa kesiram air panas? KDRT ya lo?” Jay yang sudah menahan diri dari tadi segera menginjak kaki Andre. Pria itu tidak berhenti ceramah dari awal masuk dan melihat Letha yang terbaring tidak sadarkan diri di kamarnya. “ASEM … SAKIT, BOS.” “Mulut lo minta di tutup permanen,” ucap Jay tanpa peduli pelototan Andre dan menutup mulutnya dengan tangan. “Lo udah telfon dokter kan?” “Udeh, lagi di jalan mungkin. Lo nggak usah khawatir.” Jay segera memandang Andre dan berujar, “siapa yang khawatir?” “Lo lah!” “Biasa aja.” “Halah … sok-sok an biasa aja padahal khawatir.” “Jangan sampai gue beneran panggil dokter ya.” Andre tanpa sadar menepuk pelan pundak Jay yang masih di bebat oleh perban. Hingga tanpa sadar Jay mengaduh kesakitan. “Heh … kenapa lo?” tanya Andre langsung. Sej
Letha duduk di sebelah panggung berbentuk persegi panjang. Andre tidak ada disana karena mungkin marah pada suaminya itu. Kepala Letha masih terasa sakit dengan hati remuk redam dengan segala hal yang terjadi pada dirinya.Jay berdiri di sana dengan gagah. Tatapan marah dan kata-kata kasarnya seakan hilang di telan bumi. Disana hanya ada Jay yang murah senyum dan humoris. Jay yang beberapa kali dapat membuat satu studio ini tertawa dengan senang. Bukan Jay yang tadi yang membuat Letha menangis dengan sedih.“Hey …”“Astagfirulloh ....”“Eh … sorry sorry. Gue ngagetin lo ya? Ini gue bawa minum,” ucap Andre sembari menyodorkan air mineral ke arahnya. Kemudian duduk di kursi yang ada di sebelah Letha. Letha pun segera mengambil minum itu. “Gue nggak nyangka Bos bisa sekasar itu sama lo. Lo sebenernya ada masalah apa sama bos?”Letha hanya menggeleng pelan dan memusatkan pandangannya pada Jay yang sudah memandangnya dengan tajam di atas sana. Kini apa yang sudah aku lakukan? Batin Letha b
Letha memandang hiruk pikuk kota yang bergerak cepat mengikuti laju mobil yang di naikinya. Sama seperti apa yang dilihatnya sekilas, ia pun ingin melupakan sesuatu yang terjadi pada malam itu. Namun sayang, pikirnya menolak untuk lupa.Kini baik Jay maupun Letha dikelilingi kesunyian. Dulu, kesunyian yang datang tidak sesepi ini. Namun kini kesunyian itu tampak mencekam. Letha duduk sendiri di kursi paling belakang sedangkan Jay duduk bersama dengan Andre di sebelahnya. Mereka sedang menuju salahsatu butik dengan Jay yang merupakan brand ambassador sebelum mereka pulang ke tanah air malam nanti. Dan ini merupakan acara Jay terakhir sebelum hiatus. Walaupun dirinya harus membayar denda akibat kontrak yang tidak terpenuhi. Tetapi tidak mengurangi harta Orlando group.“Ini cuma perasaan gue atau lo berdua beneran lagi berantem?” tanya Andre tanpa menyadari suasana yang sedang panas-panasnya.“Perasaan lo aja.”Andre mengangguk-anggukan kepala dengan khidmat seakan mengerti. Kemudian meno
Letha berdiam diri di bawah shower kamar mandi yang baru saja ia booking dengan bantuan Andre. Ia akan berterimakasih nanti pada pria itu. Dengan hati yang nyaris tak berbentuk, ia menggosok tubuh yang meninggalkan banyak tanda, tanpa memperdulikan jika nanti tubuhnya lecet atau bahkan mengeluarkan darah. Tidak ada yang lebih sakit selain hati nya yang rapuh. Air mata tidak pernah berhenti mengalir dari matanya. Jay telah merenggut semuanya. Kehidupan serta kehormatannya. Ketika malam mengerikan itu terjadi, Letha segera mengganti seprai yang terdapat darah miliknya dan memakaikan Jay pakaian. Karena sebenci dan setakut apapun dia pada Jay, pria itu tetap suaminya. Setelah selsai, Letha pergi membawa barang-barang pribadinya. “Umi … Abi … Apa yang harus aku lakukan?” lirihnya menangisi nasib malang yang menimpanya. “Dia tidak memperlakukan aku dengan baik. Aku ingin ikut Umi dan Abi.” Ia terduduk di dinginnya lantai kamar mandi dengan air yang tidak pernah berhenti menyembur dari sh
Suara dentam music merasuk indra pendengaran. Hilir mudik orang-orang dengan tubuh sempoyongan tampak tidak mengganggu, mereka tampak menikmati apapun yang ada di hadapannya. Lampu berpedar kerlap-kerlip menikmati alunan music yang menghentak. Ditengah-tengah sana, puluhan orang melompat-lompat sekaligus menggerakan badan menikmati dentuman-dentuman suara, kecuali pria berpakaian hitam yang tidak pernah berhenti meneguk cairan berwarna kuning di gelas yang berada di tangannya. Akal sehatnya mulai hilang. Ia bahkan tidak menyadari efek yang akan terjadi akibat ulahnya kali ini. Tangan itu kembali mengambil botol dan menuangkan isinya ke dalam gelas. Ia kembali meneguknya dengan rakus. “BANGSAT!” umpat seseorang langsung duduk di sebelah mejanya sembari memukul kepala pria itu dengan berkas. Ia bahkan melupakan fakta jika yang di pukul tadi adalah orang yang memberinya uang. “Jay Bangsat Orlando lo bener-bener. Ya Tuhan …” Ya, pria itu adalah Jay. Pria yang sudah kehilangan akal seha
“Kenapa Aa memperkenalkan saya sebagai manager?” tanya Letha ketika mereka sudah sampai di hotel. Andre sedang pergi untuk mengurus acara nanti. “Terus gue harus bilang kalau lo itu istri gue? Lo harus tahu dimana posisi lo, Amaletha. Gue nggak pernah setuju untuk nikah sama lo. Ingat itu.” Jay beranjak tertatih dengan kruk yang ia sisipkan di tangannya. Kemudian berbaring dan melempar kruk tadi dengan sembarangan. “Gue mau tidur. Terserah lo mau tidur dimana.” “Tapi, A, kamu belum minum obat. Ini udah sore.” “Jangan ganggu gue,” ucap Jay yang langsung menutup seluruh tubuhnya dengan selimut tebal yang tampak hangat. Amaletha hanya berdiri di ruang besar itu dengan pikiran penuh. Entah akan seperti apa pernikahannya ini. Suaminya sendiri tidak mengakui dirinya. Lalu sekarang apa yang harus Letha lakukan? Bolehkah ia menganggap bahwa tidak ada orang yang menyayanginya sekarang? Kepada siapa ia harus mengadu selain sang pemilik segala sesuatu yang ada di langit dan di bum
Letha tidak tahu ada masalah apa antara Jay dan juga Ayahnya. Tetapi jika di lihat sekilas, ternyata Ayah mertua Letha itu memiliki perangai yang sangat tegas dan keras. Itu semua terlihat ketika Ayah mertunya langsung menampar pipi dari anaknya sendiri tanpa melihat kondisi pria itu. Letha bahkan langsung berdiri dari duduknya.“Setelah berhasil membunuh, sekarang siapa lagi yang jadi korbannya, Jericho?” tanya Kevin –Ayah Jericho- sambil menatap Jay dengan tatapan tajam yang membuat Letha merinding. “Kenapa kamu jadi pria yang suka mabuk-mabukan? Sudah bosan hidup kamu?”“Lalu kenapa kalau aku bosan hidup? Bukannya Ayah bahagia? Aku nggak akan nyusahin Ayah.”“Siapa yang mengajarkan kamu untuk berkata kurang ajar seperti itu, Jericho?”Letha bingung harus bagaimana di situasi seperti ini. Keringat dingin sudah membasahi seluruh tubuhnya. Ia ingin memberitahu ayah mertuanya jika ini bukan saatnya untuk berdebat, bahkan Jay saja sudah kesulitan bergerak. Letha juga ingin memberitahu J
“GILA! APES BANGET GUE JADI MANAGER LO, ANJIR!”“Berisik.”“Tour lo bakal di mulai beberapa hari lagi bego!”“Suka-suka gue.”“Dan liat kondisi lo. Tangan dan kaki lo sekarang malah … APES. APES GUE.”“Bacot.”Andre memang menyebalkan. Ia banyak bicara tetapi disatu sisi Jay sangat membutuhkannya. Siapa lagi yang bisa tahan dengan sikap Jay yang lebih banyak memiliki sifat menyebalkan daripada sifat baiknya.Jay kembali berulah dengan mengendarai mobil ketika sedang mabuk. Jika bukan karena Ayah nya yang memiliki kuasa, mungkin sekarang berita-berita buruk sudah bertebaran baik di televisi maupun surat kabar. Pria itu terlalu sering membuat masalah.“Lo jangan doyan mabuk-mabukan dong, Jay,” ucap Andre dengan nada lelah dan duduk di kursi sebelah ranjang. “Atau minimal telfon gue. Gue waktu itu lagi ada acara, sekarang gue nganggur. Malah kayaknya waktu nganggur gue jadi lebih banyak sekarang. Lo bener-bener bikin gue nggak punya kerjaan.”“Gue lagi pusing.”“Lo pusing, terus mabuk, n