Letha tidak tahu ada masalah apa antara Jay dan juga Ayahnya. Tetapi jika di lihat sekilas, ternyata Ayah mertua Letha itu memiliki perangai yang sangat tegas dan keras. Itu semua terlihat ketika Ayah mertunya langsung menampar pipi dari anaknya sendiri tanpa melihat kondisi pria itu. Letha bahkan langsung berdiri dari duduknya.
“Setelah berhasil membunuh, sekarang siapa lagi yang jadi korbannya, Jericho?” tanya Kevin –Ayah Jericho- sambil menatap Jay dengan tatapan tajam yang membuat Letha merinding. “Kenapa kamu jadi pria yang suka mabuk-mabukan? Sudah bosan hidup kamu?”
“Lalu kenapa kalau aku bosan hidup? Bukannya Ayah bahagia? Aku nggak akan nyusahin Ayah.”
“Siapa yang mengajarkan kamu untuk berkata kurang ajar seperti itu, Jericho?”
Letha bingung harus bagaimana di situasi seperti ini. Keringat dingin sudah membasahi seluruh tubuhnya. Ia ingin memberitahu ayah mertuanya jika ini bukan saatnya untuk berdebat, bahkan Jay saja sudah kesulitan bergerak. Letha juga ingin memberitahu Jay bahwa tidak baik melawan pada orangtua. Walaupun yang di depannya ini adalah suami dan juga ayah mertuanya, letha masih merasakan kecanggungan yang luar biasa.
“Siapa yang sudah membesarkan aku, Yah?”
“Kurang--”
Letha tahu ia lancang. Ia juga tahu nanti akan mendapat amukan dari sang suami. Tapi sungguh, ia tidak bisa melihat pertengkaran yang terus memanas seperti ini. Ia refleks berbicara ketika tangan mertuanya terangkat.
“Pak, saya mohon. Maafkan Aa Jay. Saya tahu Aa melakukan hal yang kurang baik. Saya akan menjaganya, Pak. Saya akan merawat aa dengan sebaik mungkin. Jadi saya mohon maafkan aa, Pak.”
Kevin menarik nafas dengan pelan. Begitu pula dengan Jay yang membuang muka. Pria itu enggan terenyuh dengan apa yang sudah di lakukan oleh Letha. Letha pengganggu di hidupnya. Jadi ia enggan untuk luluh pada wanita itu.
“Beruntung ada istrimu disini, Jericho. Kalau tidak, Ayah tidak akan menahan diri,” ucap Kevin. Letha menahan nafas ketika pandangan tajam itu melihat ke arahnya. “Jaga suami mu seperti ucapanmu tadi, Letha. Dan segera obati cacar mu itu, supaya kamu tidak perlu memakai masker terus menerus.”
Letha membeku dengan hati yang terasa hangat. Ia tahu Ayah mertuanya orang baik. Hanya saja kebaikannya tertutupi dengan sikap keras nya juga. “Terimakasih, Pak. Saya akan merawat aa Jay dengan baik, sehingga akan lekas sembuh seperti sedia kala. Bapak mau duduk dulu? Nanti saya buatkan teh.”
“Tidak perlu. Saya akan pergi.” Mata tajam yang sama persis itu kembali membidik Jay. “Jangan terus membuat masalah, Jericho. Ayah tidak akan segan-segan menarikmu ke perusahaan entah kamu mau atau tidak.”
Kevin pergi dengan langkah tegap dan tanpa ragu. Aura gelap yang tadi menyelimuti hilang, seiring dengan Kevin yang pergi dari ruanngan itu.
“Munafik.”
Letha segera menoleh ketika mendengar kata itu terucap dari seseorang yang kini sedang merebahkan tubuhnya di ranjang. “Siapa yang kamu sebut munafik, A?”
“Memang lo pikir ada orang lain lagi di sini?”
“Kenapa saya munafik?”
“Jangan pura-pura baik di hadapan gue Amaletha. Lo bebas jadi diri lo sendiri. Sekalipun nanti lo semua uang gue buat beli barang-barang mahal. Lo nggak usah munafik.”
Letha terdiam. Seperti itu kah pandangan Jay kepada dirinya? Sekali lagi, ini bukan keinginannya. Ia tidak masalah jika harus hidup sendirian. Sungguh. Ia tidak perlu di titipkan pada Bu Jihan. Tetapi itu adalah permintaan Umi. Ia tidak mau melawan Umi.
“Dan juga lo lagi penyakitan. Ngapain ada deket gue? Lo mau nularin penyakit lo ke gue?”
“Astagfirulloh, A. Ini sakit saya udah mau sembuh. Saya tinggal menghilangkan bekas nya aja. Bukan kah Aa yang minta supaya saya terus seperti ini kan?”
“Tapi gue nggak tau kalau lo lagi penyakitan.”
Letha terus berusaha mendinginkan hatinya. Ia tidak boleh terbawa emosi. Ia pun terus mengucapkan istigfar dalam hati untuk menghadapi suaminya ini.
“Iya, A. Saya penyakitan dan saya pastikan penyakit saya ini udah sembuh sekarang. Aa harus istirahat. Ayo saya bantu, A.”
Letha menghela nafas ketika tidak ada penolakan sama sekali. Mungkin efek dari rasa sakit tangan dan juga kaki nya. Ini lebih bagus untuk menjaga hatinya tetap dalam kondisi baik. Tidak ada kata-kata menyakiti hati, pun tidak ada tatapan tajam yang menghujani.
***
“Lo yakin nggak apa-apa?”
“Hm.”
“Sumpah gue aja pusing kemarin ngadepin fans lo yang terus aja bertanya-tanya tentang kaki dan tangan lo yang di gips begitu. Nyari penyakit lo.”
“Itu tugas lo, Ndre. Lo mau gue gaji atau nggak?”
“Nasib, nasib,” ucap Andre dengan menyandarkan tubuh di pesawat dan menutup pembatas antara dirinya dan sang bos. Sedangkan Letha yang sedari tadi mendengar hanya bisa menghela nafas.
Perdebatan antara Jay dan Andre sudah berlangsung dari dua hari yang lalu, dengan pemberitaan media dan fans yang bertanya-tanya penyebab kaki dan tangan sang artis yang di gips. Ia enggan berkomentar. Itu urusan artis dan juga managernya.
***
Letha banyak menghabiskan waktunya untuk membantu Umi dan Abi nya di toko. Membuat macam-macam makanan untuk di jual. Lalu ketika ada waktu senggang, mereka hanya akan menonton dan berbicang di ruang keluarga, dan mereka sangat jarang menonton acara selebriti. Itulah sebabnya ketika ia melihat sosok-sosok bertubuh tegap dengan pakaian serba hitam, dan juga sebuah earpiece di telinga masing-masing, membuat Letha terkejut sekaligus takut. Dan sepertinya Andre menyadari itu.
“Tenang, Bu Bos. Mereka yang bakal jagain kita selama menuju hotel. Bu bos akan aman. Gue udah nyiapin bodyguard perempuan biar Bu Bos nyaman.”
“Bacot,” ucap Jay. Pria itu tetap dengan sikap cuek dan dinginnya. Tidak memperdulikan sang istri rahasianya itu.
“Lo tuh gimana sih, Pak Bos. Nggak peka. Heran.”
Jay dan Andre sudah siap melangkah dengan di kelilingi bodyguard itu. Sedangkan Letha, seperti apa yang di katakan Andre, dikelilingi oleh bodyguard perempuan yang tampangnya tidak jauh berbeda dengan pria. Setidaknya sekarang hatinya sedikit tenang.
Tetapi ketika melihat segerombolan orang-orang berdesak-desakan di bandara tersebut, ia kembali terserang rasa takut. Bahkan tangannya pun sudah berkeringat dingin, belum lagi tubuhnya yang terdorong kesana-kemari walaupun sudah ada yang melindungi.
Ia seketika teringat dengan Jay. Ia berusaha mengedarkan pandangannya dan syukurlah pria itu aman. Jay dan Andre digiring menuju salahsatu spot yang lumayan besar, kemudian kamera segera menyorot keduanya. Sedangkan Letha hanya diam dan sedikit jauh dari posisi mereka.
Pertanyaan-pertanyaan itu kemudian terlontar satu sama lain. Jay menjawabnya dengan sangat amat tenang. Tetapi jawaban dari pertanyaan berikutnya membuat Letha merasakan sengatan di hatinya.
“Perempuan itu manager baru saya.”
***
TO BE CONTINUE
“Kenapa Aa memperkenalkan saya sebagai manager?” tanya Letha ketika mereka sudah sampai di hotel. Andre sedang pergi untuk mengurus acara nanti. “Terus gue harus bilang kalau lo itu istri gue? Lo harus tahu dimana posisi lo, Amaletha. Gue nggak pernah setuju untuk nikah sama lo. Ingat itu.” Jay beranjak tertatih dengan kruk yang ia sisipkan di tangannya. Kemudian berbaring dan melempar kruk tadi dengan sembarangan. “Gue mau tidur. Terserah lo mau tidur dimana.” “Tapi, A, kamu belum minum obat. Ini udah sore.” “Jangan ganggu gue,” ucap Jay yang langsung menutup seluruh tubuhnya dengan selimut tebal yang tampak hangat. Amaletha hanya berdiri di ruang besar itu dengan pikiran penuh. Entah akan seperti apa pernikahannya ini. Suaminya sendiri tidak mengakui dirinya. Lalu sekarang apa yang harus Letha lakukan? Bolehkah ia menganggap bahwa tidak ada orang yang menyayanginya sekarang? Kepada siapa ia harus mengadu selain sang pemilik segala sesuatu yang ada di langit dan di bum
Suara dentam music merasuk indra pendengaran. Hilir mudik orang-orang dengan tubuh sempoyongan tampak tidak mengganggu, mereka tampak menikmati apapun yang ada di hadapannya. Lampu berpedar kerlap-kerlip menikmati alunan music yang menghentak. Ditengah-tengah sana, puluhan orang melompat-lompat sekaligus menggerakan badan menikmati dentuman-dentuman suara, kecuali pria berpakaian hitam yang tidak pernah berhenti meneguk cairan berwarna kuning di gelas yang berada di tangannya. Akal sehatnya mulai hilang. Ia bahkan tidak menyadari efek yang akan terjadi akibat ulahnya kali ini. Tangan itu kembali mengambil botol dan menuangkan isinya ke dalam gelas. Ia kembali meneguknya dengan rakus. “BANGSAT!” umpat seseorang langsung duduk di sebelah mejanya sembari memukul kepala pria itu dengan berkas. Ia bahkan melupakan fakta jika yang di pukul tadi adalah orang yang memberinya uang. “Jay Bangsat Orlando lo bener-bener. Ya Tuhan …” Ya, pria itu adalah Jay. Pria yang sudah kehilangan akal seha
Letha berdiam diri di bawah shower kamar mandi yang baru saja ia booking dengan bantuan Andre. Ia akan berterimakasih nanti pada pria itu. Dengan hati yang nyaris tak berbentuk, ia menggosok tubuh yang meninggalkan banyak tanda, tanpa memperdulikan jika nanti tubuhnya lecet atau bahkan mengeluarkan darah. Tidak ada yang lebih sakit selain hati nya yang rapuh. Air mata tidak pernah berhenti mengalir dari matanya. Jay telah merenggut semuanya. Kehidupan serta kehormatannya. Ketika malam mengerikan itu terjadi, Letha segera mengganti seprai yang terdapat darah miliknya dan memakaikan Jay pakaian. Karena sebenci dan setakut apapun dia pada Jay, pria itu tetap suaminya. Setelah selsai, Letha pergi membawa barang-barang pribadinya. “Umi … Abi … Apa yang harus aku lakukan?” lirihnya menangisi nasib malang yang menimpanya. “Dia tidak memperlakukan aku dengan baik. Aku ingin ikut Umi dan Abi.” Ia terduduk di dinginnya lantai kamar mandi dengan air yang tidak pernah berhenti menyembur dari sh
Letha memandang hiruk pikuk kota yang bergerak cepat mengikuti laju mobil yang di naikinya. Sama seperti apa yang dilihatnya sekilas, ia pun ingin melupakan sesuatu yang terjadi pada malam itu. Namun sayang, pikirnya menolak untuk lupa.Kini baik Jay maupun Letha dikelilingi kesunyian. Dulu, kesunyian yang datang tidak sesepi ini. Namun kini kesunyian itu tampak mencekam. Letha duduk sendiri di kursi paling belakang sedangkan Jay duduk bersama dengan Andre di sebelahnya. Mereka sedang menuju salahsatu butik dengan Jay yang merupakan brand ambassador sebelum mereka pulang ke tanah air malam nanti. Dan ini merupakan acara Jay terakhir sebelum hiatus. Walaupun dirinya harus membayar denda akibat kontrak yang tidak terpenuhi. Tetapi tidak mengurangi harta Orlando group.“Ini cuma perasaan gue atau lo berdua beneran lagi berantem?” tanya Andre tanpa menyadari suasana yang sedang panas-panasnya.“Perasaan lo aja.”Andre mengangguk-anggukan kepala dengan khidmat seakan mengerti. Kemudian meno
Letha duduk di sebelah panggung berbentuk persegi panjang. Andre tidak ada disana karena mungkin marah pada suaminya itu. Kepala Letha masih terasa sakit dengan hati remuk redam dengan segala hal yang terjadi pada dirinya.Jay berdiri di sana dengan gagah. Tatapan marah dan kata-kata kasarnya seakan hilang di telan bumi. Disana hanya ada Jay yang murah senyum dan humoris. Jay yang beberapa kali dapat membuat satu studio ini tertawa dengan senang. Bukan Jay yang tadi yang membuat Letha menangis dengan sedih.“Hey …”“Astagfirulloh ....”“Eh … sorry sorry. Gue ngagetin lo ya? Ini gue bawa minum,” ucap Andre sembari menyodorkan air mineral ke arahnya. Kemudian duduk di kursi yang ada di sebelah Letha. Letha pun segera mengambil minum itu. “Gue nggak nyangka Bos bisa sekasar itu sama lo. Lo sebenernya ada masalah apa sama bos?”Letha hanya menggeleng pelan dan memusatkan pandangannya pada Jay yang sudah memandangnya dengan tajam di atas sana. Kini apa yang sudah aku lakukan? Batin Letha b
“Lo ngapain sih, Bos? Kok bisa pingsan gini? Terus tangannya kok bisa kesiram air panas? KDRT ya lo?” Jay yang sudah menahan diri dari tadi segera menginjak kaki Andre. Pria itu tidak berhenti ceramah dari awal masuk dan melihat Letha yang terbaring tidak sadarkan diri di kamarnya. “ASEM … SAKIT, BOS.” “Mulut lo minta di tutup permanen,” ucap Jay tanpa peduli pelototan Andre dan menutup mulutnya dengan tangan. “Lo udah telfon dokter kan?” “Udeh, lagi di jalan mungkin. Lo nggak usah khawatir.” Jay segera memandang Andre dan berujar, “siapa yang khawatir?” “Lo lah!” “Biasa aja.” “Halah … sok-sok an biasa aja padahal khawatir.” “Jangan sampai gue beneran panggil dokter ya.” Andre tanpa sadar menepuk pelan pundak Jay yang masih di bebat oleh perban. Hingga tanpa sadar Jay mengaduh kesakitan. “Heh … kenapa lo?” tanya Andre langsung. Sej
Letha benar-benar tidak keluar kamar. Bahkan ketika ia mendengar ketukan dan suara Jay yang marah diikuti dengan suara Andre. Ia pikir dirinya tidak akan membuka mata lagi ketika waktu menujukan pukul tiga subuh. Ia segera mengambil wudhu dan seperti saran dokter ia tidak membasuh tangannya dengan air, ia hanya mengusapnya saja. Tuhan selalu memberikan kemudahan dalam beribadah jika sedang dalam kesulitan. Setelah menunaikan ibadah shalat wajibnya, Letha merasa haus. Dengan masih menggunakan mukena putihnya dan tak lupa memakai masker ia memutar kunci pintu dengan pelan. Dalam hati pun ia berdo’a, semoga dirinya tidak harus bertemu dengan Jay. Ia harap Jay sudah terlelap tidur di kamarnya. Dengan mengucap basmallah, Letha keluar dari kamar. Ruang tamu itu tampak remang. Hanya ada sedikit cahaya lampu dari lampu di nakas. Ia berjalan menuju dapur yang gelap. Tanpa menyalakan lampu, ia mengambil air dan menuangkannya dengan pelan ke dalam gelas, kemud
“Assalamu’alaikum, Teh Letha, aku mau ngambil pesenan Bunda,” ucap seorang anak kecil yang masih berseragam merah-putih. Perempuan yang di panggil Teteh itu segera tersenyum manis walaupun sebagian wajahnya tertutup oleh masker. Selain karena menjaga kehigenisan, ia sedang terserang cacar, jadi hanya lengkungan mata indahnya saja yang terlihat. Oleh karena itu, Umi tidak membiarkannya masuk ke dapur, dan hanya bertugas memberikan pesanan saja. “Wa’alaikumsalam. Sebentar ya, Dek,” ucap Letha yang kemudian berlalu mengambil pesanan yang sudah dipisahkan. Bahiyya Amaletha Elara, perempuan cantik asal kota kembang yang merantau ke Jakarta bersama kedua orangtuanya. Mereka mempunyai kedai cemilan yang berisi macam-macam kue basah, roti, dan makanan-makanan ringan lainnya. Walaupun bangunannya tidak besar, dan hanya memuat lima meja kecil dengan masing-masing dua kursi, tetapi cukup nyaman dengan design yang disesuaikan dengan selera anak muda zaman sekarang, yang ma
Letha benar-benar tidak keluar kamar. Bahkan ketika ia mendengar ketukan dan suara Jay yang marah diikuti dengan suara Andre. Ia pikir dirinya tidak akan membuka mata lagi ketika waktu menujukan pukul tiga subuh. Ia segera mengambil wudhu dan seperti saran dokter ia tidak membasuh tangannya dengan air, ia hanya mengusapnya saja. Tuhan selalu memberikan kemudahan dalam beribadah jika sedang dalam kesulitan. Setelah menunaikan ibadah shalat wajibnya, Letha merasa haus. Dengan masih menggunakan mukena putihnya dan tak lupa memakai masker ia memutar kunci pintu dengan pelan. Dalam hati pun ia berdo’a, semoga dirinya tidak harus bertemu dengan Jay. Ia harap Jay sudah terlelap tidur di kamarnya. Dengan mengucap basmallah, Letha keluar dari kamar. Ruang tamu itu tampak remang. Hanya ada sedikit cahaya lampu dari lampu di nakas. Ia berjalan menuju dapur yang gelap. Tanpa menyalakan lampu, ia mengambil air dan menuangkannya dengan pelan ke dalam gelas, kemud
“Lo ngapain sih, Bos? Kok bisa pingsan gini? Terus tangannya kok bisa kesiram air panas? KDRT ya lo?” Jay yang sudah menahan diri dari tadi segera menginjak kaki Andre. Pria itu tidak berhenti ceramah dari awal masuk dan melihat Letha yang terbaring tidak sadarkan diri di kamarnya. “ASEM … SAKIT, BOS.” “Mulut lo minta di tutup permanen,” ucap Jay tanpa peduli pelototan Andre dan menutup mulutnya dengan tangan. “Lo udah telfon dokter kan?” “Udeh, lagi di jalan mungkin. Lo nggak usah khawatir.” Jay segera memandang Andre dan berujar, “siapa yang khawatir?” “Lo lah!” “Biasa aja.” “Halah … sok-sok an biasa aja padahal khawatir.” “Jangan sampai gue beneran panggil dokter ya.” Andre tanpa sadar menepuk pelan pundak Jay yang masih di bebat oleh perban. Hingga tanpa sadar Jay mengaduh kesakitan. “Heh … kenapa lo?” tanya Andre langsung. Sej
Letha duduk di sebelah panggung berbentuk persegi panjang. Andre tidak ada disana karena mungkin marah pada suaminya itu. Kepala Letha masih terasa sakit dengan hati remuk redam dengan segala hal yang terjadi pada dirinya.Jay berdiri di sana dengan gagah. Tatapan marah dan kata-kata kasarnya seakan hilang di telan bumi. Disana hanya ada Jay yang murah senyum dan humoris. Jay yang beberapa kali dapat membuat satu studio ini tertawa dengan senang. Bukan Jay yang tadi yang membuat Letha menangis dengan sedih.“Hey …”“Astagfirulloh ....”“Eh … sorry sorry. Gue ngagetin lo ya? Ini gue bawa minum,” ucap Andre sembari menyodorkan air mineral ke arahnya. Kemudian duduk di kursi yang ada di sebelah Letha. Letha pun segera mengambil minum itu. “Gue nggak nyangka Bos bisa sekasar itu sama lo. Lo sebenernya ada masalah apa sama bos?”Letha hanya menggeleng pelan dan memusatkan pandangannya pada Jay yang sudah memandangnya dengan tajam di atas sana. Kini apa yang sudah aku lakukan? Batin Letha b
Letha memandang hiruk pikuk kota yang bergerak cepat mengikuti laju mobil yang di naikinya. Sama seperti apa yang dilihatnya sekilas, ia pun ingin melupakan sesuatu yang terjadi pada malam itu. Namun sayang, pikirnya menolak untuk lupa.Kini baik Jay maupun Letha dikelilingi kesunyian. Dulu, kesunyian yang datang tidak sesepi ini. Namun kini kesunyian itu tampak mencekam. Letha duduk sendiri di kursi paling belakang sedangkan Jay duduk bersama dengan Andre di sebelahnya. Mereka sedang menuju salahsatu butik dengan Jay yang merupakan brand ambassador sebelum mereka pulang ke tanah air malam nanti. Dan ini merupakan acara Jay terakhir sebelum hiatus. Walaupun dirinya harus membayar denda akibat kontrak yang tidak terpenuhi. Tetapi tidak mengurangi harta Orlando group.“Ini cuma perasaan gue atau lo berdua beneran lagi berantem?” tanya Andre tanpa menyadari suasana yang sedang panas-panasnya.“Perasaan lo aja.”Andre mengangguk-anggukan kepala dengan khidmat seakan mengerti. Kemudian meno
Letha berdiam diri di bawah shower kamar mandi yang baru saja ia booking dengan bantuan Andre. Ia akan berterimakasih nanti pada pria itu. Dengan hati yang nyaris tak berbentuk, ia menggosok tubuh yang meninggalkan banyak tanda, tanpa memperdulikan jika nanti tubuhnya lecet atau bahkan mengeluarkan darah. Tidak ada yang lebih sakit selain hati nya yang rapuh. Air mata tidak pernah berhenti mengalir dari matanya. Jay telah merenggut semuanya. Kehidupan serta kehormatannya. Ketika malam mengerikan itu terjadi, Letha segera mengganti seprai yang terdapat darah miliknya dan memakaikan Jay pakaian. Karena sebenci dan setakut apapun dia pada Jay, pria itu tetap suaminya. Setelah selsai, Letha pergi membawa barang-barang pribadinya. “Umi … Abi … Apa yang harus aku lakukan?” lirihnya menangisi nasib malang yang menimpanya. “Dia tidak memperlakukan aku dengan baik. Aku ingin ikut Umi dan Abi.” Ia terduduk di dinginnya lantai kamar mandi dengan air yang tidak pernah berhenti menyembur dari sh
Suara dentam music merasuk indra pendengaran. Hilir mudik orang-orang dengan tubuh sempoyongan tampak tidak mengganggu, mereka tampak menikmati apapun yang ada di hadapannya. Lampu berpedar kerlap-kerlip menikmati alunan music yang menghentak. Ditengah-tengah sana, puluhan orang melompat-lompat sekaligus menggerakan badan menikmati dentuman-dentuman suara, kecuali pria berpakaian hitam yang tidak pernah berhenti meneguk cairan berwarna kuning di gelas yang berada di tangannya. Akal sehatnya mulai hilang. Ia bahkan tidak menyadari efek yang akan terjadi akibat ulahnya kali ini. Tangan itu kembali mengambil botol dan menuangkan isinya ke dalam gelas. Ia kembali meneguknya dengan rakus. “BANGSAT!” umpat seseorang langsung duduk di sebelah mejanya sembari memukul kepala pria itu dengan berkas. Ia bahkan melupakan fakta jika yang di pukul tadi adalah orang yang memberinya uang. “Jay Bangsat Orlando lo bener-bener. Ya Tuhan …” Ya, pria itu adalah Jay. Pria yang sudah kehilangan akal seha
“Kenapa Aa memperkenalkan saya sebagai manager?” tanya Letha ketika mereka sudah sampai di hotel. Andre sedang pergi untuk mengurus acara nanti. “Terus gue harus bilang kalau lo itu istri gue? Lo harus tahu dimana posisi lo, Amaletha. Gue nggak pernah setuju untuk nikah sama lo. Ingat itu.” Jay beranjak tertatih dengan kruk yang ia sisipkan di tangannya. Kemudian berbaring dan melempar kruk tadi dengan sembarangan. “Gue mau tidur. Terserah lo mau tidur dimana.” “Tapi, A, kamu belum minum obat. Ini udah sore.” “Jangan ganggu gue,” ucap Jay yang langsung menutup seluruh tubuhnya dengan selimut tebal yang tampak hangat. Amaletha hanya berdiri di ruang besar itu dengan pikiran penuh. Entah akan seperti apa pernikahannya ini. Suaminya sendiri tidak mengakui dirinya. Lalu sekarang apa yang harus Letha lakukan? Bolehkah ia menganggap bahwa tidak ada orang yang menyayanginya sekarang? Kepada siapa ia harus mengadu selain sang pemilik segala sesuatu yang ada di langit dan di bum
Letha tidak tahu ada masalah apa antara Jay dan juga Ayahnya. Tetapi jika di lihat sekilas, ternyata Ayah mertua Letha itu memiliki perangai yang sangat tegas dan keras. Itu semua terlihat ketika Ayah mertunya langsung menampar pipi dari anaknya sendiri tanpa melihat kondisi pria itu. Letha bahkan langsung berdiri dari duduknya.“Setelah berhasil membunuh, sekarang siapa lagi yang jadi korbannya, Jericho?” tanya Kevin –Ayah Jericho- sambil menatap Jay dengan tatapan tajam yang membuat Letha merinding. “Kenapa kamu jadi pria yang suka mabuk-mabukan? Sudah bosan hidup kamu?”“Lalu kenapa kalau aku bosan hidup? Bukannya Ayah bahagia? Aku nggak akan nyusahin Ayah.”“Siapa yang mengajarkan kamu untuk berkata kurang ajar seperti itu, Jericho?”Letha bingung harus bagaimana di situasi seperti ini. Keringat dingin sudah membasahi seluruh tubuhnya. Ia ingin memberitahu ayah mertuanya jika ini bukan saatnya untuk berdebat, bahkan Jay saja sudah kesulitan bergerak. Letha juga ingin memberitahu J
“GILA! APES BANGET GUE JADI MANAGER LO, ANJIR!”“Berisik.”“Tour lo bakal di mulai beberapa hari lagi bego!”“Suka-suka gue.”“Dan liat kondisi lo. Tangan dan kaki lo sekarang malah … APES. APES GUE.”“Bacot.”Andre memang menyebalkan. Ia banyak bicara tetapi disatu sisi Jay sangat membutuhkannya. Siapa lagi yang bisa tahan dengan sikap Jay yang lebih banyak memiliki sifat menyebalkan daripada sifat baiknya.Jay kembali berulah dengan mengendarai mobil ketika sedang mabuk. Jika bukan karena Ayah nya yang memiliki kuasa, mungkin sekarang berita-berita buruk sudah bertebaran baik di televisi maupun surat kabar. Pria itu terlalu sering membuat masalah.“Lo jangan doyan mabuk-mabukan dong, Jay,” ucap Andre dengan nada lelah dan duduk di kursi sebelah ranjang. “Atau minimal telfon gue. Gue waktu itu lagi ada acara, sekarang gue nganggur. Malah kayaknya waktu nganggur gue jadi lebih banyak sekarang. Lo bener-bener bikin gue nggak punya kerjaan.”“Gue lagi pusing.”“Lo pusing, terus mabuk, n