“Assalamu’alaikum, Teh Letha, aku mau ngambil pesenan Bunda,” ucap seorang anak kecil yang masih berseragam merah-putih. Perempuan yang di panggil Teteh itu segera tersenyum manis walaupun sebagian wajahnya tertutup oleh masker. Selain karena menjaga kehigenisan, ia sedang terserang cacar, jadi hanya lengkungan mata indahnya saja yang terlihat. Oleh karena itu, Umi tidak membiarkannya masuk ke dapur, dan hanya bertugas memberikan pesanan saja.
“Wa’alaikumsalam. Sebentar ya, Dek,” ucap Letha yang kemudian berlalu mengambil pesanan yang sudah dipisahkan.
Bahiyya Amaletha Elara, perempuan cantik asal kota kembang yang merantau ke Jakarta bersama kedua orangtuanya. Mereka mempunyai kedai cemilan yang berisi macam-macam kue basah, roti, dan makanan-makanan ringan lainnya. Walaupun bangunannya tidak besar, dan hanya memuat lima meja kecil dengan masing-masing dua kursi, tetapi cukup nyaman dengan design yang disesuaikan dengan selera anak muda zaman sekarang, yang mana cukup aestetic untuk dijadikan hiasan dalam feed social media.
Berbagai macam makanan berjajar dalam etalase kaca. Makanan dan cemilan yang tampak mengunggah selera dengan tampilan indah, dari berbagai donat, roti, dan cemilan-cemilan lain. Kursi berjajar dengan rapi dengan hiasan bunga dan juga berbagai sendok, garpu, sampai pisau kecil dan tissue dalam sebuah kotak.
Mereka pun menerima pesanan dan juga cathering untuk acara-acara kecil, seperti bungkusan yang sedang Letha berikan sekarang.
“Kamu kesini sendirian, Dek?” tanya Letha sembari memasukan kotak yang lumayan besar itu ke plastic putih.
“Sama Bunda, Teh. Tapi Bunda tunggu di depan.”
“Yaudah, Teteh anter ke depan aja ya.” Letha segera keluar dari barisan etalase dengan melewati pintu kayu sebatas pinggang. “Ayo.”
“Nggak apa-apa, Teh. Aku sendiri aja. Aku bisa kok. Aku kan kuat,” ucapnya sambil mengepalkan kedua tangannya. “Lagian tadi kata Bunda, aku nggak boleh ngerepotin Teteh.”
“Teteh nggak merasa direpotkan kok.”
“Makasih, Teh, udah mau bantuin aku. Tapi aku takut Bunda marah.”
Baiklah, Letha tidak akan memaksa, akhirnya ia memberikan pesanannya. Setelah mengucapkan terimakasih, anak itu langsung pergi dan mengatakan jika kue buatannya sangat enak. Letha hanya tersenyum sambil melambaikan tangan. Setelah lonceng tanda pintu tertutup berbunyi, ia segera berbalik dan ingin kembali ke balik etalase.
Tetapi, belum sempat ia melewati pintu kayu itu, lonceng tanda pintu di buka pun berbunyi. Ia refleks berbalik dan melihat siapa yang datang. Sosok laki-laki dengan kemeja putih dan dua kancing terbuka. Lengan kemejanya digulung sampai siku sehingga jam tangan mahal yang tersemat tampak berkilau.
“Kenapa nggak Mommy aja sih yang kesini?” tanya nya dengan nada malas. Tak perlu punya kekuatan khusus untuk mengetahui bahwa pria itu tidak ikhlas dimintai tolong.
“Aku juga ada urusan sekarang, Mom. Aku nggak akan pulang ke rumah. Kalau Mommy minta aku beliin sesuatu, ya aku harus pulang kalau gitu. Aku titipin pake ojek online aja ya? Atau sama manager aku?”
Ketika masih kecil, ia ingat jika guru ngaji nya pernah mengatakan bahwa kita tidak boleh menolak jika dimintai tolong oleh orangtua, terutama ibu. Bahkan jika hanya mengucapkan ‘Ah’ saja. Sekarang entah berapa kali penolakan yang sudah pria itu katakan pada ibunya.
Pria itu tampak menjauhkan ponsel dari telinga dan kemudian mengatakan, “iya, iya, yaudah. Aku anterin kesana, langsung aku kasih ke Mommy. Aku nggak akan pergi kemana-mana setelah itu.”
Kemudian pria itu tampak akan melemparkan ponselnya ke lantai. Tetapi kata-kata yang keluar selanjutnya membuat Letha membelalakan matanya.
“SIALAN!”
“Astagfirulloh,” ucap Letha dengan mata membulat. Ia sungguh terkejut mendengar kata umpatan itu diucapkan dengan berteriak. Untung saja sambungan teleponnya sudah di matikan. Bisa di pastikan jika orang disebrangnya mendengar, pria itu akan mendapat amukan. Mata tajam itu melihat kearah Letha yang masih membeku.
“Heh! Lo yang jualan disini?” tanya pria yang baru saja ia sadari jika matanya berwarna biru langit, sangat indah. Seakan tersedar, Letha segera beristigfar dan menjaga pandangannya. Dan kembali kembali ke balik etalase.
“Iya, ada yang bisa saya bantu?”
“Gue mau pesen makanan yang biasa di pesan Mommy. Mommy bilang sering kesini.”
“Mohon maaf, Pak, jika boleh tahu nama Mommy nya siapa?” tanya Letha. Ia tampak familiar dengan orang di depannya ini, tetapi otaknya sedang tidak bisa berpikir karena kata-kata kasar yang sebelumnya terdengar.
“Bapak? Lo kira gue setua itu?”
“Ma--”
Pintu lonceng kembali terbuka, kini sosok pria dengan sebuah tab di tangan yang datang. “ANJIR YA, JAY! APES HIDUP GUE!”
Letha mematung di tempat. Tunggu … sepertinya ia tampak familiar dengan nama Jay itu. Ia seperti pernah mendengarnya beberapa kali. Perempuan itu kemudian mengangkat pandangannya dan memandang sosok yang masih berada di depan itu.
“Sekarang lo tahu siapa gue?”
***
“Umi,” panggil Letha pelan. Sekarang mereka sedang berkumpul di ruang tamu kecil di kontrakan miliknya. Letha membaringkan kepalanya di paha sang Ibu yang ia panggil Umi. Usapan tangan umi itu membelai rambut halus Letha yang tergerai indah, yang biasanya tersembunyi dalam hijabnya. Kini ia melepaskan masker yang sedari tadi menutup sebagian wajahnya. “Aku baru tau kalau Umi itu ternyata punya langganan artis besar.”
“Maksudnya?”
Letha segera bangun dan melihat uminya dengan kening berkerut. “Waktu di kedai tadi ada Jay Orlando loh, Umi.”
“Siapa itu?”
Ia baru ingat jika umi jarang menonton televisi apalagi menonton gossip atau acara music yang di gandrungi oleh anak muda. Letha membuka ponsel dan mulai mengetikan nama Jay Orlando di kotak pencarian. Setelah menemukan foto yang dicarinya ia segera menunjukan ponselnya pada Umi.
“Loh … ini mah bukannya Bu Jihan?”
“Iya, itu Bu Jihan,” ucap Letha. Kemudian menujuk seseorang disebelah Jihan. Foto yang ditunjukan pada Umi seperti sebuah screenshoot dari intagram story dengan sebuah piala pada sosok pria berjas. “Nah … ini yang namanya Jay Orlando.”
“Oalah … kasep, ya, Teh. Artis apa dia, Teh?”
“Penyanyi, Umi.”
“Bu Jihan punya anak artis ternyata ya. Kasep si aa na,” ucap Umi dengan tersenyum. “Mudah-mudahan Teteh juga bisa dapat jodoh kayak si aa kasep ini ya. Tapi tetep harus yang sayang sama Teteh, yang bisa buat Teteh bahagia. Terus bisa bimbing Teteh ke surga. Kita kumpul sama-sama di Surga nya Allah nanti.”
“Aamiin Ya Allah. Tapi, Umi, kalau wajahnya kasep kayak si aa mah boleh. Tapi kalau kelakukan nya, engga mau.” Letha masih ingat bagaimana pria itu tidak ingin dimintai tolong oleh ibu nya. Lalu kata umpatan yang keluar. Ia beristigfar dalam hati.
“Hus … jangan suudzon sama orang, Teh. Kita kan nggak tahu apa yang terjadi sebenarnya. Siapa tahu dia lebih baik daripada kita kan,” ucap Umi. “Cacar kamu kayaknya makin nambah gini deh, Teh. Salepnya jangan lupa di pake ya. Badan kamu juga masih anget gini. Besok biar Abi sama Umi aja yang ke kedai. Kamu istirahat aja di rumah ya.”
Percakapan mereka berakhir ketika Abi nya datang setelah ada urusan di luar. Letha mencium punggung tangan Abi nya kemudian pamit ke kamar, karena waktu sudah menunjukan pukul sembilan. Ia harus ke pasar subuh nanti.
***
Letha tersentak dalam tidurnya dengan keringat membanjiri tubuh. Sungguh … mimpi tadi sangat menakutkan. Ia mengusap wajahnya dan kemudian beristigfar berkali-kali. Rambut hitam legamnya bahkan sampai keluar dari mukena yang masih dikenakan.
Wanita itu ketiduran selepas menunaikan shalat malam, membaca Al-Qur’an, kemudian dilanjutkan shalat subuh. Ia bahkan masih di atas sejadah yang membentang. Umi selalu mengingatkan untuk tidak kembali tidur selepas subuh. Ini pertamakali ia ketiduran selepas shalat. Bahkan sampai mimpi buruk.
Dimimpinya ia bertemu Umi dan Abi. Mereka sedang piknik di sebuah taman. Umi dan Abi bercengkrama dengan melempar lelucon. Letha yang kala itu mengenakan gamis dan kerudung berwarna hitam hanya tersenyum melihat keromantiasan yang ditampilkan.
“Teh, Abi kok jadi lebay gini ya. Masa mau disuapin, kayak anak kecil.”
“Nggak apa-apa atuh, Umi. Kan udah sah. Udah punya anak satu juga,” ucap Abi dengan senyum menenangkan di wajahnya.
“Ya jangan dihadapan si Teteh atuh, Abi. Sini Teteh, umi suapin juga.”
Letha kemudian menerima suapan dari umi. Abi dan Umi kompak memakai baju putih. Wajah keduanya bersinar dengan sangat tampan dan cantik.
“Teteh nanti kalau cari pasangan yang kayak Abi ya. Yang sayang sama Teteh kayak Abi sayang sama Umi dan juga Teteh.”
“Iya, Umi. Do’akan terus Teteh ya.”
“Umi sama Abi pasti selalu mendo’akan yang terbaik untuk Teteh. Nanti kalau kami berdua nggak ada, Teteh jangan lupa sama kewajiban Teteh untuk shalat lima waktu ya. Selalu berbuat baik sama orang. Terus juga kalau Teteh nanti menikah, suami Teteh yang bakal gantiin Umi sama Abi, jadi teteh harus hormat sama suami teteh nanti,” ucap Abi sambil mengusap lembut kepala Letha.
“Aku pasti bakal nikah kok, Abi. Tapi sekarang aku masih mau sama Abi sama Umi dulu. Jadi Umi sama Abi jangan kemana-mana, disamping Teteh terus ya.”
Tiba-tiba kumpulan asap putih datang ke tempat mereka duduk. Mata Letha tidak bisa melihat dengan jelas akibat kepulan asap. Hingga perlahan asap itu hilang beserta Abi dan Umi yang ikut lenyap.
“ABI … UMI … KALIAN DIMANA?”
“Berbahagialah, anak ku.” Ucapan itu muncul seperti kebatan angin yang muncul di sekitarnya.
“ABI … UMI …”
Bukan kedua orangtuanya yang ia temui walaupun suaranya sudah lelah berteriak. Bukan pula pelukan hangat dari keduanya yang ia peroleh untuk menemukan ketenangan. Melainkan kepulan asap yang lebih dahsyat membalut tubuhnya dan menarik menuju pusara yang menakutkan. Sehingga membuatnya bangun dari tidur.
Ketika hatinya sudah tenang, ia mulai melangkahkan kaki. Membuka pintu dan melihat rumah nya sepi. Tetapi, ketika melihat jam di dinding, ia kemudian menghela nafas. Abi dan Umi nya pasti yang menggantikan Letha ke pasar. Akhirnya ia kembali ke kamar karena mendengar dering telfon dari ponselnya.
Ada nomor asing disana. Dengan sedikit ragu, ia segera menggeser icon hijau itu dangan mengucapkan salam. Sebuah suara dari wanita terdengar dengan menanyakan identitasnya.
“Iya, benar. Saya Amaletha. Ada yang bisa saya bantu?”
Suara seseorang disebrang sana seperti seruan mematikan yang membuat tubuh Letha bergetar. Jantungnya seakan dipaksa untuk keluar dari rongga. Hatinya sakit, bahkan kini ponselnya pun sudah meluncur dari tangannya yang basah dan juga dingin. Informasi yang di terimanya sungguh membuat peredaran darahnya berhenti.
“Ayah dan Ibu anda mengalami kecelakaan. Ayah anda telah meninggal sedangkan ibu anda dalam keadaan kritis.”
TO BE CONTINUED
Dunia Letha runtuh seketika. Sosok yang selama ini menjadi panutannya. Sosok yang selalu menjaganya dari kecil hingga sekarang telah tiada. Kepada siapa dirinya sekarang harus berbakti? Kepada siapa sekarang jika ia memerlukan pelukan untuk menghadapi dunia yang sangat kejam ini? Ia belum sempat membanggakan Umi dan Abi. Ia belum sempat mengatakan bahwa ia sangat menyayangi mereka. Apa yang harus Letha lakukan sekarang? Beberapa saat setelah Letha sampai di rumahsakit dengan tampilan seadanya dan sangat berantakan, ia mendapat kabar bahwa Umi nya pun ikut menyusul Abi pergi. Informasi itu Letha dapatkan dari suster yang barusaja keluar dari kamar di mana Umi sedang berjuang. Ketika membuka pintu, ia langsung menghambur ke arah Umi yang sudah ditutup selimut putih sampai kepala. “Umi, kenapa Umi ninggalin Teteh sendiri? Kenapa Umi tega?” tanya nya dengan air mata yang terus mengalir. “Abi ninggalin aku, kenapa sekarang Umi juga ninggalin aku sendiri
Letha terdiam membisu bersama Jay yang sedari tadi memejamkan mata dan menyumpal telinganya dengan airpods. Entah apa yang pria itu dengarkan karena ia pun tidak ingin menganggu. Sudah cukup dirinya di benci dan sedari tadi di hadiahi tatapan tajam, ia tidak ingin semakin membuat hari-hari orang di dekatnya kacau.Mereka sekarang sedang menuju ke penthouse milik Jay berada di salahsatu property milik keluarganya atau sekarang bisakah Letha bilang milik ayah mertuanya? Dengan membayangkannya saja sudah membuat ia merinding. Apalagi dengan posisi menantu yang tidak diinginkan.“Ingat baik-baik ini. Gue nggak akan pernah sudi menganggap lo sebagai istri gue. Jadi jaga batasan-batasan lo.”Letha hanya bisa membuang nafas lelah. Ia sudah diingatkan dengan posisinya. Mereka tidak akan pernah bisa berkompromi bukan? Jadi ia akan mengikhaskan nya saja.“Pak, kita sudah sampai,” ucap supir yang sedari tadi membisu. Dengan situasi seperti ini, mustahil jika sang supir tidak mengetahui situasi m
“GILA! APES BANGET GUE JADI MANAGER LO, ANJIR!”“Berisik.”“Tour lo bakal di mulai beberapa hari lagi bego!”“Suka-suka gue.”“Dan liat kondisi lo. Tangan dan kaki lo sekarang malah … APES. APES GUE.”“Bacot.”Andre memang menyebalkan. Ia banyak bicara tetapi disatu sisi Jay sangat membutuhkannya. Siapa lagi yang bisa tahan dengan sikap Jay yang lebih banyak memiliki sifat menyebalkan daripada sifat baiknya.Jay kembali berulah dengan mengendarai mobil ketika sedang mabuk. Jika bukan karena Ayah nya yang memiliki kuasa, mungkin sekarang berita-berita buruk sudah bertebaran baik di televisi maupun surat kabar. Pria itu terlalu sering membuat masalah.“Lo jangan doyan mabuk-mabukan dong, Jay,” ucap Andre dengan nada lelah dan duduk di kursi sebelah ranjang. “Atau minimal telfon gue. Gue waktu itu lagi ada acara, sekarang gue nganggur. Malah kayaknya waktu nganggur gue jadi lebih banyak sekarang. Lo bener-bener bikin gue nggak punya kerjaan.”“Gue lagi pusing.”“Lo pusing, terus mabuk, n
Letha tidak tahu ada masalah apa antara Jay dan juga Ayahnya. Tetapi jika di lihat sekilas, ternyata Ayah mertua Letha itu memiliki perangai yang sangat tegas dan keras. Itu semua terlihat ketika Ayah mertunya langsung menampar pipi dari anaknya sendiri tanpa melihat kondisi pria itu. Letha bahkan langsung berdiri dari duduknya.“Setelah berhasil membunuh, sekarang siapa lagi yang jadi korbannya, Jericho?” tanya Kevin –Ayah Jericho- sambil menatap Jay dengan tatapan tajam yang membuat Letha merinding. “Kenapa kamu jadi pria yang suka mabuk-mabukan? Sudah bosan hidup kamu?”“Lalu kenapa kalau aku bosan hidup? Bukannya Ayah bahagia? Aku nggak akan nyusahin Ayah.”“Siapa yang mengajarkan kamu untuk berkata kurang ajar seperti itu, Jericho?”Letha bingung harus bagaimana di situasi seperti ini. Keringat dingin sudah membasahi seluruh tubuhnya. Ia ingin memberitahu ayah mertuanya jika ini bukan saatnya untuk berdebat, bahkan Jay saja sudah kesulitan bergerak. Letha juga ingin memberitahu J
“Kenapa Aa memperkenalkan saya sebagai manager?” tanya Letha ketika mereka sudah sampai di hotel. Andre sedang pergi untuk mengurus acara nanti. “Terus gue harus bilang kalau lo itu istri gue? Lo harus tahu dimana posisi lo, Amaletha. Gue nggak pernah setuju untuk nikah sama lo. Ingat itu.” Jay beranjak tertatih dengan kruk yang ia sisipkan di tangannya. Kemudian berbaring dan melempar kruk tadi dengan sembarangan. “Gue mau tidur. Terserah lo mau tidur dimana.” “Tapi, A, kamu belum minum obat. Ini udah sore.” “Jangan ganggu gue,” ucap Jay yang langsung menutup seluruh tubuhnya dengan selimut tebal yang tampak hangat. Amaletha hanya berdiri di ruang besar itu dengan pikiran penuh. Entah akan seperti apa pernikahannya ini. Suaminya sendiri tidak mengakui dirinya. Lalu sekarang apa yang harus Letha lakukan? Bolehkah ia menganggap bahwa tidak ada orang yang menyayanginya sekarang? Kepada siapa ia harus mengadu selain sang pemilik segala sesuatu yang ada di langit dan di bum
Suara dentam music merasuk indra pendengaran. Hilir mudik orang-orang dengan tubuh sempoyongan tampak tidak mengganggu, mereka tampak menikmati apapun yang ada di hadapannya. Lampu berpedar kerlap-kerlip menikmati alunan music yang menghentak. Ditengah-tengah sana, puluhan orang melompat-lompat sekaligus menggerakan badan menikmati dentuman-dentuman suara, kecuali pria berpakaian hitam yang tidak pernah berhenti meneguk cairan berwarna kuning di gelas yang berada di tangannya. Akal sehatnya mulai hilang. Ia bahkan tidak menyadari efek yang akan terjadi akibat ulahnya kali ini. Tangan itu kembali mengambil botol dan menuangkan isinya ke dalam gelas. Ia kembali meneguknya dengan rakus. “BANGSAT!” umpat seseorang langsung duduk di sebelah mejanya sembari memukul kepala pria itu dengan berkas. Ia bahkan melupakan fakta jika yang di pukul tadi adalah orang yang memberinya uang. “Jay Bangsat Orlando lo bener-bener. Ya Tuhan …” Ya, pria itu adalah Jay. Pria yang sudah kehilangan akal seha
Letha berdiam diri di bawah shower kamar mandi yang baru saja ia booking dengan bantuan Andre. Ia akan berterimakasih nanti pada pria itu. Dengan hati yang nyaris tak berbentuk, ia menggosok tubuh yang meninggalkan banyak tanda, tanpa memperdulikan jika nanti tubuhnya lecet atau bahkan mengeluarkan darah. Tidak ada yang lebih sakit selain hati nya yang rapuh. Air mata tidak pernah berhenti mengalir dari matanya. Jay telah merenggut semuanya. Kehidupan serta kehormatannya. Ketika malam mengerikan itu terjadi, Letha segera mengganti seprai yang terdapat darah miliknya dan memakaikan Jay pakaian. Karena sebenci dan setakut apapun dia pada Jay, pria itu tetap suaminya. Setelah selsai, Letha pergi membawa barang-barang pribadinya. “Umi … Abi … Apa yang harus aku lakukan?” lirihnya menangisi nasib malang yang menimpanya. “Dia tidak memperlakukan aku dengan baik. Aku ingin ikut Umi dan Abi.” Ia terduduk di dinginnya lantai kamar mandi dengan air yang tidak pernah berhenti menyembur dari sh
Letha memandang hiruk pikuk kota yang bergerak cepat mengikuti laju mobil yang di naikinya. Sama seperti apa yang dilihatnya sekilas, ia pun ingin melupakan sesuatu yang terjadi pada malam itu. Namun sayang, pikirnya menolak untuk lupa.Kini baik Jay maupun Letha dikelilingi kesunyian. Dulu, kesunyian yang datang tidak sesepi ini. Namun kini kesunyian itu tampak mencekam. Letha duduk sendiri di kursi paling belakang sedangkan Jay duduk bersama dengan Andre di sebelahnya. Mereka sedang menuju salahsatu butik dengan Jay yang merupakan brand ambassador sebelum mereka pulang ke tanah air malam nanti. Dan ini merupakan acara Jay terakhir sebelum hiatus. Walaupun dirinya harus membayar denda akibat kontrak yang tidak terpenuhi. Tetapi tidak mengurangi harta Orlando group.“Ini cuma perasaan gue atau lo berdua beneran lagi berantem?” tanya Andre tanpa menyadari suasana yang sedang panas-panasnya.“Perasaan lo aja.”Andre mengangguk-anggukan kepala dengan khidmat seakan mengerti. Kemudian meno
Letha benar-benar tidak keluar kamar. Bahkan ketika ia mendengar ketukan dan suara Jay yang marah diikuti dengan suara Andre. Ia pikir dirinya tidak akan membuka mata lagi ketika waktu menujukan pukul tiga subuh. Ia segera mengambil wudhu dan seperti saran dokter ia tidak membasuh tangannya dengan air, ia hanya mengusapnya saja. Tuhan selalu memberikan kemudahan dalam beribadah jika sedang dalam kesulitan. Setelah menunaikan ibadah shalat wajibnya, Letha merasa haus. Dengan masih menggunakan mukena putihnya dan tak lupa memakai masker ia memutar kunci pintu dengan pelan. Dalam hati pun ia berdo’a, semoga dirinya tidak harus bertemu dengan Jay. Ia harap Jay sudah terlelap tidur di kamarnya. Dengan mengucap basmallah, Letha keluar dari kamar. Ruang tamu itu tampak remang. Hanya ada sedikit cahaya lampu dari lampu di nakas. Ia berjalan menuju dapur yang gelap. Tanpa menyalakan lampu, ia mengambil air dan menuangkannya dengan pelan ke dalam gelas, kemud
“Lo ngapain sih, Bos? Kok bisa pingsan gini? Terus tangannya kok bisa kesiram air panas? KDRT ya lo?” Jay yang sudah menahan diri dari tadi segera menginjak kaki Andre. Pria itu tidak berhenti ceramah dari awal masuk dan melihat Letha yang terbaring tidak sadarkan diri di kamarnya. “ASEM … SAKIT, BOS.” “Mulut lo minta di tutup permanen,” ucap Jay tanpa peduli pelototan Andre dan menutup mulutnya dengan tangan. “Lo udah telfon dokter kan?” “Udeh, lagi di jalan mungkin. Lo nggak usah khawatir.” Jay segera memandang Andre dan berujar, “siapa yang khawatir?” “Lo lah!” “Biasa aja.” “Halah … sok-sok an biasa aja padahal khawatir.” “Jangan sampai gue beneran panggil dokter ya.” Andre tanpa sadar menepuk pelan pundak Jay yang masih di bebat oleh perban. Hingga tanpa sadar Jay mengaduh kesakitan. “Heh … kenapa lo?” tanya Andre langsung. Sej
Letha duduk di sebelah panggung berbentuk persegi panjang. Andre tidak ada disana karena mungkin marah pada suaminya itu. Kepala Letha masih terasa sakit dengan hati remuk redam dengan segala hal yang terjadi pada dirinya.Jay berdiri di sana dengan gagah. Tatapan marah dan kata-kata kasarnya seakan hilang di telan bumi. Disana hanya ada Jay yang murah senyum dan humoris. Jay yang beberapa kali dapat membuat satu studio ini tertawa dengan senang. Bukan Jay yang tadi yang membuat Letha menangis dengan sedih.“Hey …”“Astagfirulloh ....”“Eh … sorry sorry. Gue ngagetin lo ya? Ini gue bawa minum,” ucap Andre sembari menyodorkan air mineral ke arahnya. Kemudian duduk di kursi yang ada di sebelah Letha. Letha pun segera mengambil minum itu. “Gue nggak nyangka Bos bisa sekasar itu sama lo. Lo sebenernya ada masalah apa sama bos?”Letha hanya menggeleng pelan dan memusatkan pandangannya pada Jay yang sudah memandangnya dengan tajam di atas sana. Kini apa yang sudah aku lakukan? Batin Letha b
Letha memandang hiruk pikuk kota yang bergerak cepat mengikuti laju mobil yang di naikinya. Sama seperti apa yang dilihatnya sekilas, ia pun ingin melupakan sesuatu yang terjadi pada malam itu. Namun sayang, pikirnya menolak untuk lupa.Kini baik Jay maupun Letha dikelilingi kesunyian. Dulu, kesunyian yang datang tidak sesepi ini. Namun kini kesunyian itu tampak mencekam. Letha duduk sendiri di kursi paling belakang sedangkan Jay duduk bersama dengan Andre di sebelahnya. Mereka sedang menuju salahsatu butik dengan Jay yang merupakan brand ambassador sebelum mereka pulang ke tanah air malam nanti. Dan ini merupakan acara Jay terakhir sebelum hiatus. Walaupun dirinya harus membayar denda akibat kontrak yang tidak terpenuhi. Tetapi tidak mengurangi harta Orlando group.“Ini cuma perasaan gue atau lo berdua beneran lagi berantem?” tanya Andre tanpa menyadari suasana yang sedang panas-panasnya.“Perasaan lo aja.”Andre mengangguk-anggukan kepala dengan khidmat seakan mengerti. Kemudian meno
Letha berdiam diri di bawah shower kamar mandi yang baru saja ia booking dengan bantuan Andre. Ia akan berterimakasih nanti pada pria itu. Dengan hati yang nyaris tak berbentuk, ia menggosok tubuh yang meninggalkan banyak tanda, tanpa memperdulikan jika nanti tubuhnya lecet atau bahkan mengeluarkan darah. Tidak ada yang lebih sakit selain hati nya yang rapuh. Air mata tidak pernah berhenti mengalir dari matanya. Jay telah merenggut semuanya. Kehidupan serta kehormatannya. Ketika malam mengerikan itu terjadi, Letha segera mengganti seprai yang terdapat darah miliknya dan memakaikan Jay pakaian. Karena sebenci dan setakut apapun dia pada Jay, pria itu tetap suaminya. Setelah selsai, Letha pergi membawa barang-barang pribadinya. “Umi … Abi … Apa yang harus aku lakukan?” lirihnya menangisi nasib malang yang menimpanya. “Dia tidak memperlakukan aku dengan baik. Aku ingin ikut Umi dan Abi.” Ia terduduk di dinginnya lantai kamar mandi dengan air yang tidak pernah berhenti menyembur dari sh
Suara dentam music merasuk indra pendengaran. Hilir mudik orang-orang dengan tubuh sempoyongan tampak tidak mengganggu, mereka tampak menikmati apapun yang ada di hadapannya. Lampu berpedar kerlap-kerlip menikmati alunan music yang menghentak. Ditengah-tengah sana, puluhan orang melompat-lompat sekaligus menggerakan badan menikmati dentuman-dentuman suara, kecuali pria berpakaian hitam yang tidak pernah berhenti meneguk cairan berwarna kuning di gelas yang berada di tangannya. Akal sehatnya mulai hilang. Ia bahkan tidak menyadari efek yang akan terjadi akibat ulahnya kali ini. Tangan itu kembali mengambil botol dan menuangkan isinya ke dalam gelas. Ia kembali meneguknya dengan rakus. “BANGSAT!” umpat seseorang langsung duduk di sebelah mejanya sembari memukul kepala pria itu dengan berkas. Ia bahkan melupakan fakta jika yang di pukul tadi adalah orang yang memberinya uang. “Jay Bangsat Orlando lo bener-bener. Ya Tuhan …” Ya, pria itu adalah Jay. Pria yang sudah kehilangan akal seha
“Kenapa Aa memperkenalkan saya sebagai manager?” tanya Letha ketika mereka sudah sampai di hotel. Andre sedang pergi untuk mengurus acara nanti. “Terus gue harus bilang kalau lo itu istri gue? Lo harus tahu dimana posisi lo, Amaletha. Gue nggak pernah setuju untuk nikah sama lo. Ingat itu.” Jay beranjak tertatih dengan kruk yang ia sisipkan di tangannya. Kemudian berbaring dan melempar kruk tadi dengan sembarangan. “Gue mau tidur. Terserah lo mau tidur dimana.” “Tapi, A, kamu belum minum obat. Ini udah sore.” “Jangan ganggu gue,” ucap Jay yang langsung menutup seluruh tubuhnya dengan selimut tebal yang tampak hangat. Amaletha hanya berdiri di ruang besar itu dengan pikiran penuh. Entah akan seperti apa pernikahannya ini. Suaminya sendiri tidak mengakui dirinya. Lalu sekarang apa yang harus Letha lakukan? Bolehkah ia menganggap bahwa tidak ada orang yang menyayanginya sekarang? Kepada siapa ia harus mengadu selain sang pemilik segala sesuatu yang ada di langit dan di bum
Letha tidak tahu ada masalah apa antara Jay dan juga Ayahnya. Tetapi jika di lihat sekilas, ternyata Ayah mertua Letha itu memiliki perangai yang sangat tegas dan keras. Itu semua terlihat ketika Ayah mertunya langsung menampar pipi dari anaknya sendiri tanpa melihat kondisi pria itu. Letha bahkan langsung berdiri dari duduknya.“Setelah berhasil membunuh, sekarang siapa lagi yang jadi korbannya, Jericho?” tanya Kevin –Ayah Jericho- sambil menatap Jay dengan tatapan tajam yang membuat Letha merinding. “Kenapa kamu jadi pria yang suka mabuk-mabukan? Sudah bosan hidup kamu?”“Lalu kenapa kalau aku bosan hidup? Bukannya Ayah bahagia? Aku nggak akan nyusahin Ayah.”“Siapa yang mengajarkan kamu untuk berkata kurang ajar seperti itu, Jericho?”Letha bingung harus bagaimana di situasi seperti ini. Keringat dingin sudah membasahi seluruh tubuhnya. Ia ingin memberitahu ayah mertuanya jika ini bukan saatnya untuk berdebat, bahkan Jay saja sudah kesulitan bergerak. Letha juga ingin memberitahu J
“GILA! APES BANGET GUE JADI MANAGER LO, ANJIR!”“Berisik.”“Tour lo bakal di mulai beberapa hari lagi bego!”“Suka-suka gue.”“Dan liat kondisi lo. Tangan dan kaki lo sekarang malah … APES. APES GUE.”“Bacot.”Andre memang menyebalkan. Ia banyak bicara tetapi disatu sisi Jay sangat membutuhkannya. Siapa lagi yang bisa tahan dengan sikap Jay yang lebih banyak memiliki sifat menyebalkan daripada sifat baiknya.Jay kembali berulah dengan mengendarai mobil ketika sedang mabuk. Jika bukan karena Ayah nya yang memiliki kuasa, mungkin sekarang berita-berita buruk sudah bertebaran baik di televisi maupun surat kabar. Pria itu terlalu sering membuat masalah.“Lo jangan doyan mabuk-mabukan dong, Jay,” ucap Andre dengan nada lelah dan duduk di kursi sebelah ranjang. “Atau minimal telfon gue. Gue waktu itu lagi ada acara, sekarang gue nganggur. Malah kayaknya waktu nganggur gue jadi lebih banyak sekarang. Lo bener-bener bikin gue nggak punya kerjaan.”“Gue lagi pusing.”“Lo pusing, terus mabuk, n