Share

Istri Rahasia Sang Idol
Istri Rahasia Sang Idol
Penulis: Beientang

Si Tampan dan Si Buruk Rupa

Assalamu’alaikum, Teh Letha, aku mau ngambil pesenan Bunda,” ucap seorang anak kecil yang masih berseragam merah-putih. Perempuan yang di panggil Teteh itu segera tersenyum manis walaupun sebagian wajahnya tertutup oleh masker. Selain karena menjaga kehigenisan, ia sedang terserang cacar, jadi hanya lengkungan mata indahnya saja yang terlihat. Oleh karena itu, Umi tidak membiarkannya masuk ke dapur, dan hanya bertugas memberikan pesanan saja.

            “Wa’alaikumsalam. Sebentar ya, Dek,” ucap Letha yang kemudian berlalu mengambil pesanan yang sudah dipisahkan.

            Bahiyya Amaletha Elara, perempuan cantik asal kota kembang yang merantau ke Jakarta bersama kedua orangtuanya. Mereka mempunyai kedai cemilan yang berisi macam-macam kue basah, roti, dan makanan-makanan ringan lainnya. Walaupun bangunannya tidak besar, dan hanya memuat lima meja kecil dengan masing-masing dua kursi, tetapi cukup nyaman dengan design yang disesuaikan dengan selera anak muda zaman sekarang, yang mana cukup aestetic untuk dijadikan hiasan dalam feed social media.

            Berbagai macam makanan berjajar dalam etalase kaca. Makanan dan cemilan yang tampak mengunggah selera dengan tampilan indah, dari berbagai donat, roti, dan cemilan-cemilan lain. Kursi berjajar dengan rapi dengan hiasan bunga dan juga berbagai sendok, garpu, sampai pisau kecil dan tissue dalam sebuah kotak.

            Mereka pun menerima pesanan dan juga cathering untuk acara-acara kecil, seperti bungkusan yang sedang Letha berikan sekarang.

            “Kamu kesini sendirian, Dek?” tanya Letha sembari memasukan kotak yang lumayan besar itu ke plastic putih.

            “Sama Bunda, Teh. Tapi Bunda tunggu di depan.”

            “Yaudah, Teteh anter ke depan aja ya.” Letha segera keluar dari barisan etalase dengan melewati pintu kayu sebatas pinggang. “Ayo.”

            “Nggak apa-apa, Teh. Aku sendiri aja. Aku bisa kok. Aku kan kuat,” ucapnya sambil mengepalkan kedua tangannya. “Lagian tadi kata Bunda, aku nggak boleh ngerepotin Teteh.”

            “Teteh nggak merasa direpotkan kok.”

            “Makasih, Teh, udah mau bantuin aku. Tapi aku takut Bunda marah.”

            Baiklah, Letha tidak akan memaksa, akhirnya ia memberikan pesanannya. Setelah mengucapkan terimakasih, anak itu langsung pergi dan mengatakan jika kue buatannya sangat enak. Letha hanya tersenyum sambil melambaikan tangan. Setelah lonceng tanda pintu tertutup berbunyi, ia segera berbalik dan ingin kembali ke balik etalase.

            Tetapi, belum sempat ia melewati pintu kayu itu, lonceng tanda pintu di buka pun berbunyi. Ia refleks berbalik dan melihat siapa yang datang. Sosok laki-laki dengan kemeja putih dan dua kancing terbuka. Lengan kemejanya digulung sampai siku sehingga jam tangan mahal yang tersemat tampak berkilau.

            “Kenapa nggak Mommy aja sih yang kesini?” tanya nya dengan nada malas. Tak perlu punya kekuatan khusus untuk mengetahui bahwa pria itu tidak ikhlas dimintai tolong.

            “Aku juga ada urusan sekarang, Mom. Aku nggak akan pulang ke rumah. Kalau Mommy minta aku beliin sesuatu, ya aku harus pulang kalau gitu. Aku titipin pake ojek online aja ya? Atau sama manager aku?”

            Ketika masih kecil, ia ingat jika guru ngaji nya pernah mengatakan bahwa kita tidak boleh menolak jika dimintai tolong oleh orangtua, terutama ibu. Bahkan jika hanya mengucapkan ‘Ah’ saja. Sekarang entah berapa kali penolakan yang sudah pria itu katakan pada ibunya.

            Pria itu tampak menjauhkan ponsel dari telinga dan kemudian mengatakan, “iya, iya, yaudah. Aku anterin kesana, langsung aku kasih ke Mommy. Aku nggak akan pergi kemana-mana setelah itu.”

            Kemudian pria itu tampak akan melemparkan ponselnya ke lantai. Tetapi kata-kata yang keluar selanjutnya membuat Letha membelalakan matanya. 

“SIALAN!”

            “Astagfirulloh,” ucap Letha dengan mata membulat. Ia sungguh terkejut mendengar kata umpatan itu diucapkan dengan berteriak. Untung saja sambungan teleponnya sudah di matikan. Bisa di pastikan jika orang disebrangnya mendengar, pria itu akan mendapat amukan. Mata tajam itu melihat kearah Letha yang masih membeku.

            “Heh! Lo yang jualan disini?” tanya pria yang baru saja ia sadari jika matanya berwarna biru langit, sangat indah. Seakan tersedar, Letha segera beristigfar dan menjaga pandangannya. Dan kembali kembali ke balik etalase.

            “Iya, ada yang bisa saya bantu?”

            “Gue mau pesen makanan yang biasa di pesan Mommy. Mommy bilang sering kesini.”

            “Mohon maaf, Pak, jika boleh tahu nama Mommy nya siapa?” tanya Letha. Ia tampak familiar dengan orang di depannya ini, tetapi otaknya sedang tidak bisa berpikir karena kata-kata kasar yang sebelumnya terdengar.

            “Bapak? Lo kira gue setua itu?”

            “Ma--”

            Pintu lonceng kembali terbuka, kini sosok pria dengan sebuah tab di tangan yang datang. “ANJIR YA, JAY! APES HIDUP GUE!”

            Letha mematung di tempat. Tunggu … sepertinya ia tampak familiar dengan nama Jay itu. Ia seperti pernah mendengarnya beberapa kali. Perempuan itu kemudian mengangkat pandangannya dan memandang sosok yang masih berada di depan itu.

            “Sekarang lo tahu siapa gue?”

***

            “Umi,” panggil Letha pelan. Sekarang mereka sedang berkumpul di ruang tamu kecil di kontrakan miliknya. Letha membaringkan kepalanya di paha sang Ibu yang ia panggil Umi. Usapan tangan umi itu membelai rambut halus Letha yang tergerai indah, yang biasanya tersembunyi dalam hijabnya. Kini ia melepaskan masker yang sedari tadi menutup sebagian wajahnya.  “Aku baru tau kalau Umi itu ternyata punya langganan artis besar.”

            “Maksudnya?”

            Letha segera bangun dan melihat uminya dengan kening berkerut. “Waktu di kedai tadi ada Jay Orlando loh, Umi.”

            “Siapa itu?”

            Ia baru ingat jika umi jarang menonton televisi apalagi menonton gossip atau acara music yang di gandrungi oleh anak muda. Letha membuka ponsel dan mulai mengetikan nama Jay Orlando di kotak pencarian. Setelah menemukan foto yang dicarinya  ia segera menunjukan ponselnya pada Umi.

            “Loh … ini mah bukannya Bu Jihan?”

            “Iya, itu Bu Jihan,” ucap Letha. Kemudian menujuk seseorang disebelah Jihan. Foto yang ditunjukan pada Umi seperti sebuah screenshoot dari intagram story dengan sebuah piala pada sosok pria berjas. “Nah … ini yang namanya Jay Orlando.”

            “Oalah … kasep, ya, Teh. Artis apa dia, Teh?

            “Penyanyi, Umi.”

            “Bu Jihan punya anak artis ternyata ya. Kasep si aa na,” ucap Umi dengan tersenyum. “Mudah-mudahan Teteh juga bisa dapat jodoh kayak si aa kasep ini ya. Tapi tetep harus yang sayang sama Teteh, yang bisa buat Teteh bahagia. Terus bisa bimbing Teteh ke surga. Kita kumpul sama-sama di Surga nya Allah nanti.”

            “Aamiin Ya Allah. Tapi, Umi, kalau wajahnya kasep kayak si aa mah boleh. Tapi kalau kelakukan nya, engga mau.” Letha masih ingat bagaimana pria itu tidak ingin dimintai tolong oleh ibu nya. Lalu kata umpatan yang keluar. Ia beristigfar dalam hati.

            “Hus … jangan suudzon sama orang, Teh. Kita kan nggak tahu apa yang terjadi sebenarnya. Siapa tahu dia lebih baik daripada kita kan,” ucap Umi. “Cacar kamu kayaknya makin nambah gini deh, Teh. Salepnya jangan lupa di pake ya. Badan kamu juga masih anget gini. Besok biar Abi sama Umi aja yang ke kedai. Kamu istirahat aja di rumah ya.”

            Percakapan mereka berakhir ketika Abi nya datang setelah ada urusan di luar. Letha mencium punggung tangan Abi nya kemudian pamit ke kamar, karena waktu sudah menunjukan pukul sembilan. Ia harus ke pasar subuh nanti.

***

            Letha tersentak dalam tidurnya dengan keringat membanjiri tubuh. Sungguh … mimpi tadi sangat menakutkan. Ia mengusap wajahnya dan kemudian beristigfar berkali-kali. Rambut hitam legamnya bahkan sampai keluar dari mukena yang masih dikenakan.

            Wanita itu ketiduran selepas menunaikan shalat malam, membaca Al-Qur’an, kemudian dilanjutkan shalat subuh. Ia bahkan masih di atas sejadah yang membentang. Umi selalu mengingatkan untuk tidak kembali tidur selepas subuh. Ini pertamakali ia ketiduran selepas shalat. Bahkan sampai mimpi buruk.

            Dimimpinya ia bertemu Umi dan Abi. Mereka sedang piknik di sebuah taman. Umi dan Abi bercengkrama dengan melempar lelucon. Letha yang kala itu mengenakan gamis dan kerudung berwarna hitam hanya tersenyum melihat keromantiasan yang ditampilkan.

            “Teh, Abi kok jadi lebay gini ya. Masa mau disuapin, kayak anak kecil.”

            “Nggak apa-apa atuh, Umi. Kan udah sah. Udah punya anak satu juga,” ucap Abi dengan senyum menenangkan di wajahnya.

            “Ya jangan dihadapan si Teteh atuh, Abi. Sini Teteh, umi suapin juga.”

            Letha kemudian menerima suapan dari umi. Abi dan Umi kompak memakai baju putih. Wajah keduanya bersinar dengan sangat tampan dan cantik.

            “Teteh nanti kalau cari pasangan yang kayak Abi ya. Yang sayang sama Teteh kayak Abi sayang sama Umi dan juga Teteh.”

            “Iya, Umi. Do’akan terus Teteh ya.”

            “Umi sama Abi pasti selalu mendo’akan yang terbaik untuk Teteh. Nanti kalau kami berdua nggak ada, Teteh jangan lupa sama kewajiban Teteh untuk shalat lima waktu ya. Selalu berbuat baik sama orang. Terus juga kalau Teteh nanti menikah, suami Teteh yang bakal gantiin Umi sama Abi, jadi teteh harus hormat sama suami teteh nanti,” ucap Abi sambil mengusap lembut kepala Letha.

            “Aku pasti bakal nikah kok, Abi. Tapi sekarang aku masih mau sama Abi sama Umi dulu. Jadi Umi sama Abi jangan kemana-mana, disamping Teteh terus ya.”

            Tiba-tiba kumpulan asap putih datang ke tempat mereka duduk. Mata Letha tidak bisa melihat dengan jelas akibat kepulan asap. Hingga perlahan asap itu hilang beserta Abi dan Umi yang ikut lenyap.

            “ABI … UMI … KALIAN DIMANA?”

            “Berbahagialah, anak ku.” Ucapan itu muncul seperti kebatan angin yang muncul di sekitarnya. 

            “ABI … UMI …”

            Bukan kedua orangtuanya yang ia temui walaupun suaranya sudah lelah berteriak. Bukan pula pelukan hangat dari keduanya yang ia peroleh untuk menemukan ketenangan. Melainkan kepulan asap yang lebih dahsyat membalut tubuhnya dan menarik menuju pusara yang menakutkan. Sehingga membuatnya bangun dari tidur.

            Ketika hatinya sudah tenang, ia mulai melangkahkan kaki. Membuka pintu dan melihat rumah nya sepi. Tetapi, ketika melihat jam di dinding, ia kemudian menghela nafas. Abi dan Umi nya pasti yang menggantikan Letha ke pasar. Akhirnya ia kembali ke kamar karena mendengar dering telfon dari ponselnya.

            Ada nomor asing disana. Dengan sedikit ragu, ia segera menggeser icon hijau itu dangan mengucapkan salam. Sebuah suara dari wanita terdengar dengan menanyakan identitasnya.

            “Iya, benar. Saya Amaletha. Ada yang bisa saya bantu?”

            Suara seseorang disebrang sana seperti seruan mematikan yang membuat tubuh Letha bergetar. Jantungnya seakan dipaksa untuk keluar dari rongga. Hatinya sakit, bahkan kini ponselnya pun sudah meluncur dari tangannya yang basah dan juga dingin. Informasi yang di terimanya sungguh membuat peredaran darahnya berhenti.

            “Ayah dan Ibu anda mengalami kecelakaan. Ayah anda telah meninggal sedangkan ibu anda dalam keadaan kritis.”

TO BE CONTINUED

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status