Letha terdiam membisu bersama Jay yang sedari tadi memejamkan mata dan menyumpal telinganya dengan airpods. Entah apa yang pria itu dengarkan karena ia pun tidak ingin menganggu. Sudah cukup dirinya di benci dan sedari tadi di hadiahi tatapan tajam, ia tidak ingin semakin membuat hari-hari orang di dekatnya kacau.
Mereka sekarang sedang menuju ke penthouse milik Jay berada di salahsatu property milik keluarganya atau sekarang bisakah Letha bilang milik ayah mertuanya? Dengan membayangkannya saja sudah membuat ia merinding. Apalagi dengan posisi menantu yang tidak diinginkan.
“Ingat baik-baik ini. Gue nggak akan pernah sudi menganggap lo sebagai istri gue. Jadi jaga batasan-batasan lo.”
Letha hanya bisa membuang nafas lelah. Ia sudah diingatkan dengan posisinya. Mereka tidak akan pernah bisa berkompromi bukan? Jadi ia akan mengikhaskan nya saja.
“Pak, kita sudah sampai,” ucap supir yang sedari tadi membisu. Dengan situasi seperti ini, mustahil jika sang supir tidak mengetahui situasi mereka.
Supir itu segera membuka pintu Jay dan kemudian pria itu melesat pergi tanpa harus menunggunya yang baru saja memegang pintu mobil untuk dibuka. Akan seperti apa pernikahan mereka nanti?
Letha baru akan turun ketika supir itu membuka pintu lebih lebar. “Tidak apa-apa, Pak. Saya bisa sendiri.”
“Sudah tugas saya, Bu. Silakan.”
Letha turun dengan perlahan dan kemudian mengucapkan terimaksih kepada supir tersebut. Ia tidak tahu namanya dan Letha yakin usianya jauh di bawah Letha, karena pria itu tampak lebih muda.
Letha menatap gadung besar dan megah di hadapannya. Entah ada berapa lantai total keseluruhannya. Rata-rata geduh itu memiliki kaca besar, mungkin saja untuk melihat pemandangan baik ketika siang maupun malam hari. Ia bisa membayangkan betapa mewah nya interior di dalam ruangan masing-masing. Karena tampak luarnya saja sudah luar biasa apalagi di dalamnya. Ditambah berapa banyak uang yang harus di keluarkan untuk membeli satu penthouse nya. Ah … sudahlah, jika seperti ini ia akan semaki merasa rendah diri.
“Heh! Perempuan norak. Cepetan!”
Letha tersentak dan segera mengalihkan tatapan pada pria yang kini berada di depan pintu masuk dengan wajah kesal. Bahkan pintu kaca yang berputar dengan perlahan secara otomatis itu pun tampak bersih dan indah.
“Amaletha ...,” suara tajam itu menarik perhatian Letha dari mengagumi pintu yang berputar dan membuat tubuhnya merinding.
“Lebih baik Ibu segera pergi daripada semakin membuat Bapak marah,” ucap supir itu pelan.
Amaletha kemudian sedikit menarik gamis putihnya ke atas supaya tidak terjatuh ketika ia mempercepat langkah. Tidak ingin membuat Jay semakin murka. Saking paniknya ia pun tidak ingat bahwa tadi pria itu sudah masuk, tetapi kembali lagi untuk menemuinya.
“Lelet lo!” ucap Jay ketika ia sudah sampai di dekatnya. “Norak juga. Heran kenapa Bunda minta gue nikah sama lo.”
Letha tidak membalas ucapan sarkas itu karena ia pun bingung dan sedih. Ia juga tidak tahu kenapa harus menikah dengan Jericho Orlando. Bahkan membayangkannya di dalam mimpi pun ia tidak pernah. Jangankan jauh-jauh ke dalam mimpi, bertemu saja tidak pernah. Ia masih bertanya-tanya kenapa Umi harus meminta Bu Jihan untuk menjaga Letha?
Jay menempelkan kartu pada sebuah alat kotak di depan lift dan kemudian ruangan kotak itu terbuka. Mereka masuk bersama-sama dengan Jay yang masih menampilkan wajah kesal. Tidak ada genggaman tangan yang menghangatkan. Tidak ada percakapan sehingga atmosfer panas itu menjadi dingin. Semuanya tampak asing baik itu Letha maupun Jay.
Ternyata penthouse milik Jay berada di lantai paling atas dan berada di puncak tower. Ia tadi tidak begitu memperhatikan karena jantungnya berdetak terus tanpa henti. Ketika pintu lift terbuka otomatis, Letha kembali tertegun dan matanya kontan melebar. Mungkin jika tidak memakai masker, ia akan mendapat teguran lagi dengan kata “norak”.
Sungguh penthouse milik Jay sangat amat bagus. Bukan hanya hanya bagus. Jika bisa mendeskripsikan dalam satu kata, Letha akan menggunakan kata luar biasa. Penthouse ini lebih di dominasi warna putih, coklat, dan abu-abu. Lantai marmer berwana putih dengan ukiran-ukiran indah membuat Letha tidak tega menginjaknya, ia takut merusaknya. Ada tangga melintang di ruang tamu yang sepertinya menghubungkan pada kamar milik pria itu. Karena penthouse ini tanpa sekat, jadi Letha bisa melihat jika meja bar nya saja menggunakan marmer.
Jay duduk di sofa putih yang terlihat empuk dan besar itu. Sepertinya bisa di gunakan untuk tidur juga. Ah … berapa banyak uang yang harus digunakan untuk membeli penthouse seperti ini. Bahkan ia bisa melihat pemandangan langit dan kota dari tempatnya berdiri sekarang.
“Ambilin gue minum!”
“Hah? Apa?” Sungguh Letha tidak mendengar apa yang dikatakan Jay. Ia sedang melamun dengan membayangkan Umi dan Abi nya bisa tinggal di sini. Tetapi Letha segera beristigfar. Lebih nyaman Surga milik Sang Maha Kuasa. Umi dan Abi nya sudah bahagia disana.
“Ck … Jadi selain norak lo juga budeg? Sia-sia lo gue jadiin istri. Ambilin gue minum.”
Jay kembali menorehkan luka di hatinya. Letha menahan hatinya supaya tidak rapuh. Ia harus kuat. Ini perintah pertama dari suaminya.
“Aa mau minum yang dingin apa yang hangat?”
“Dingin.”
Letha mengedarkan pandangan dan melihat kulkas yang ada di dekat meja bar. Ia bergerak menuju kesana dan membuka kulkas. Ada berbagai minuman disana, termasuk botol air putih. Seperti kebanyakan orang, ada minuman dan makanan cepat saji. Tetapi, untung saja masih ada stok buah-buahan.
Letha mengambil air putih dan membuka segelnya, kemudian menuangkannya ke dalam gelas, dan membawa air itu pada Jay yang sedang memejamkan mata.
“Ini, A, minumnya.”
Jay segera meneguk air minumnya dan memandang Letha dengan tajam. “Denger ini baik-baik. Gue nggak sudi sekamar sama lo, dan jangan membayangkan apapun tentang apa yang harus kita lakukan setelah menikah, karena gue sama sekali nggak suka sama lo. Kamar lo ada di lantai bawah. Dan jangan sekalipun lo nginjak lantai dua. Itu wilayah gue. Jangan pernah naik tanpa seizing gue. Paham lo?”
Apa yang harus Letha katakan selain menuruti perintah suaminya. Walaupun hatinya sakit. Tentu tidak aka nada yang peduli bukan? Karena ia benar-benar sendirian sekarang.
***
Letha baru saja memasak untuk makan malam mereka, walaupun dengan menu ala kadarnya, karena memang tidak ada bahan masakan selain ayam yang berada di kulkas, itu pun dirinya olah seadanya karena tidak ada bumbu dapur. Tidak apa-apakan jika ia secara lancang menerjamah dapur suaminya tanpa izin?
Jay sedang pergi. Tadi ia langsung mengganti baju dan pergi begitu saja tanpa mengatakan akan kemana hari ini. Sebenarnya Letha tidak ada baju ganti karena memang semua baju miliknya berada di rumah. Ia belum sempat pulang dan mungkin besok ia akan meminta izin suaminya.
Tidak banyak yang Letha lakukan, ia hanya duduk di sofa dan menunggu Jay pulang. Tetapi bahkan sampai pukul sebelas malam pun pria itu tidak ada. Kemana sebenarnya? Ia ingin menelfon asisten pria itu namun tidak memiliki nomor ponselnya. Ia khawatir terjadi sesuatu.
Menit demi menit, berganti menjadi jam. Letha bahkan sudah meremas ponselnya dengan tegang. Ia tidak memiliki nomor siapapun untuk bertanya, sampai kemudian ponselnya berdering. Letha berjengit dan kemudian mengucap istigfar. Ia melihat nomor asing disana karena tidak tersimpan di kontaknya. Setelah mengucap Bismillah ia menggeser icon hijau dan menempelkan ponsel itu di telinga.
“Assalamu’alaikum.”
“HAL-ANJIR,” ucap suara di sebrang sana. Letha membulatkan matanya. Dan bertanya-tanya, apa ini hanya orang iseng saja?
“Sorry sorry. Mulut gue emang kadang-kadang error. Wa’alaikumsalam,” jawabnya. Pria itu berdeham pelan. “Ini gue Andre, manager sekaligus sahabat sejatinya suami lo yang kampret itu. Ah … kenapa bacot terus gue. Suami lo kecelakaan. Nanti supir bakal jemput lo kesana.”
Letha tidak mendengarkan apapun lagi yang pria itu bicarakan. Jantungnya sudah berdetak dengan keras. Air mata itu kembali membasahi pipi di kulit pucatnya yang kali ini tanpa masker.
“Innalilahi …”
Letha sebenarnya takut. Takut akan merasakan kehilangan lagi. Tuhan … tolong selamatkan suami nya.
TO BE CONTINUE
“GILA! APES BANGET GUE JADI MANAGER LO, ANJIR!”“Berisik.”“Tour lo bakal di mulai beberapa hari lagi bego!”“Suka-suka gue.”“Dan liat kondisi lo. Tangan dan kaki lo sekarang malah … APES. APES GUE.”“Bacot.”Andre memang menyebalkan. Ia banyak bicara tetapi disatu sisi Jay sangat membutuhkannya. Siapa lagi yang bisa tahan dengan sikap Jay yang lebih banyak memiliki sifat menyebalkan daripada sifat baiknya.Jay kembali berulah dengan mengendarai mobil ketika sedang mabuk. Jika bukan karena Ayah nya yang memiliki kuasa, mungkin sekarang berita-berita buruk sudah bertebaran baik di televisi maupun surat kabar. Pria itu terlalu sering membuat masalah.“Lo jangan doyan mabuk-mabukan dong, Jay,” ucap Andre dengan nada lelah dan duduk di kursi sebelah ranjang. “Atau minimal telfon gue. Gue waktu itu lagi ada acara, sekarang gue nganggur. Malah kayaknya waktu nganggur gue jadi lebih banyak sekarang. Lo bener-bener bikin gue nggak punya kerjaan.”“Gue lagi pusing.”“Lo pusing, terus mabuk, n
Letha tidak tahu ada masalah apa antara Jay dan juga Ayahnya. Tetapi jika di lihat sekilas, ternyata Ayah mertua Letha itu memiliki perangai yang sangat tegas dan keras. Itu semua terlihat ketika Ayah mertunya langsung menampar pipi dari anaknya sendiri tanpa melihat kondisi pria itu. Letha bahkan langsung berdiri dari duduknya.“Setelah berhasil membunuh, sekarang siapa lagi yang jadi korbannya, Jericho?” tanya Kevin –Ayah Jericho- sambil menatap Jay dengan tatapan tajam yang membuat Letha merinding. “Kenapa kamu jadi pria yang suka mabuk-mabukan? Sudah bosan hidup kamu?”“Lalu kenapa kalau aku bosan hidup? Bukannya Ayah bahagia? Aku nggak akan nyusahin Ayah.”“Siapa yang mengajarkan kamu untuk berkata kurang ajar seperti itu, Jericho?”Letha bingung harus bagaimana di situasi seperti ini. Keringat dingin sudah membasahi seluruh tubuhnya. Ia ingin memberitahu ayah mertuanya jika ini bukan saatnya untuk berdebat, bahkan Jay saja sudah kesulitan bergerak. Letha juga ingin memberitahu J
“Kenapa Aa memperkenalkan saya sebagai manager?” tanya Letha ketika mereka sudah sampai di hotel. Andre sedang pergi untuk mengurus acara nanti. “Terus gue harus bilang kalau lo itu istri gue? Lo harus tahu dimana posisi lo, Amaletha. Gue nggak pernah setuju untuk nikah sama lo. Ingat itu.” Jay beranjak tertatih dengan kruk yang ia sisipkan di tangannya. Kemudian berbaring dan melempar kruk tadi dengan sembarangan. “Gue mau tidur. Terserah lo mau tidur dimana.” “Tapi, A, kamu belum minum obat. Ini udah sore.” “Jangan ganggu gue,” ucap Jay yang langsung menutup seluruh tubuhnya dengan selimut tebal yang tampak hangat. Amaletha hanya berdiri di ruang besar itu dengan pikiran penuh. Entah akan seperti apa pernikahannya ini. Suaminya sendiri tidak mengakui dirinya. Lalu sekarang apa yang harus Letha lakukan? Bolehkah ia menganggap bahwa tidak ada orang yang menyayanginya sekarang? Kepada siapa ia harus mengadu selain sang pemilik segala sesuatu yang ada di langit dan di bum
Suara dentam music merasuk indra pendengaran. Hilir mudik orang-orang dengan tubuh sempoyongan tampak tidak mengganggu, mereka tampak menikmati apapun yang ada di hadapannya. Lampu berpedar kerlap-kerlip menikmati alunan music yang menghentak. Ditengah-tengah sana, puluhan orang melompat-lompat sekaligus menggerakan badan menikmati dentuman-dentuman suara, kecuali pria berpakaian hitam yang tidak pernah berhenti meneguk cairan berwarna kuning di gelas yang berada di tangannya. Akal sehatnya mulai hilang. Ia bahkan tidak menyadari efek yang akan terjadi akibat ulahnya kali ini. Tangan itu kembali mengambil botol dan menuangkan isinya ke dalam gelas. Ia kembali meneguknya dengan rakus. “BANGSAT!” umpat seseorang langsung duduk di sebelah mejanya sembari memukul kepala pria itu dengan berkas. Ia bahkan melupakan fakta jika yang di pukul tadi adalah orang yang memberinya uang. “Jay Bangsat Orlando lo bener-bener. Ya Tuhan …” Ya, pria itu adalah Jay. Pria yang sudah kehilangan akal seha
Letha berdiam diri di bawah shower kamar mandi yang baru saja ia booking dengan bantuan Andre. Ia akan berterimakasih nanti pada pria itu. Dengan hati yang nyaris tak berbentuk, ia menggosok tubuh yang meninggalkan banyak tanda, tanpa memperdulikan jika nanti tubuhnya lecet atau bahkan mengeluarkan darah. Tidak ada yang lebih sakit selain hati nya yang rapuh. Air mata tidak pernah berhenti mengalir dari matanya. Jay telah merenggut semuanya. Kehidupan serta kehormatannya. Ketika malam mengerikan itu terjadi, Letha segera mengganti seprai yang terdapat darah miliknya dan memakaikan Jay pakaian. Karena sebenci dan setakut apapun dia pada Jay, pria itu tetap suaminya. Setelah selsai, Letha pergi membawa barang-barang pribadinya. “Umi … Abi … Apa yang harus aku lakukan?” lirihnya menangisi nasib malang yang menimpanya. “Dia tidak memperlakukan aku dengan baik. Aku ingin ikut Umi dan Abi.” Ia terduduk di dinginnya lantai kamar mandi dengan air yang tidak pernah berhenti menyembur dari sh
Letha memandang hiruk pikuk kota yang bergerak cepat mengikuti laju mobil yang di naikinya. Sama seperti apa yang dilihatnya sekilas, ia pun ingin melupakan sesuatu yang terjadi pada malam itu. Namun sayang, pikirnya menolak untuk lupa.Kini baik Jay maupun Letha dikelilingi kesunyian. Dulu, kesunyian yang datang tidak sesepi ini. Namun kini kesunyian itu tampak mencekam. Letha duduk sendiri di kursi paling belakang sedangkan Jay duduk bersama dengan Andre di sebelahnya. Mereka sedang menuju salahsatu butik dengan Jay yang merupakan brand ambassador sebelum mereka pulang ke tanah air malam nanti. Dan ini merupakan acara Jay terakhir sebelum hiatus. Walaupun dirinya harus membayar denda akibat kontrak yang tidak terpenuhi. Tetapi tidak mengurangi harta Orlando group.“Ini cuma perasaan gue atau lo berdua beneran lagi berantem?” tanya Andre tanpa menyadari suasana yang sedang panas-panasnya.“Perasaan lo aja.”Andre mengangguk-anggukan kepala dengan khidmat seakan mengerti. Kemudian meno
Letha duduk di sebelah panggung berbentuk persegi panjang. Andre tidak ada disana karena mungkin marah pada suaminya itu. Kepala Letha masih terasa sakit dengan hati remuk redam dengan segala hal yang terjadi pada dirinya.Jay berdiri di sana dengan gagah. Tatapan marah dan kata-kata kasarnya seakan hilang di telan bumi. Disana hanya ada Jay yang murah senyum dan humoris. Jay yang beberapa kali dapat membuat satu studio ini tertawa dengan senang. Bukan Jay yang tadi yang membuat Letha menangis dengan sedih.“Hey …”“Astagfirulloh ....”“Eh … sorry sorry. Gue ngagetin lo ya? Ini gue bawa minum,” ucap Andre sembari menyodorkan air mineral ke arahnya. Kemudian duduk di kursi yang ada di sebelah Letha. Letha pun segera mengambil minum itu. “Gue nggak nyangka Bos bisa sekasar itu sama lo. Lo sebenernya ada masalah apa sama bos?”Letha hanya menggeleng pelan dan memusatkan pandangannya pada Jay yang sudah memandangnya dengan tajam di atas sana. Kini apa yang sudah aku lakukan? Batin Letha b
“Lo ngapain sih, Bos? Kok bisa pingsan gini? Terus tangannya kok bisa kesiram air panas? KDRT ya lo?” Jay yang sudah menahan diri dari tadi segera menginjak kaki Andre. Pria itu tidak berhenti ceramah dari awal masuk dan melihat Letha yang terbaring tidak sadarkan diri di kamarnya. “ASEM … SAKIT, BOS.” “Mulut lo minta di tutup permanen,” ucap Jay tanpa peduli pelototan Andre dan menutup mulutnya dengan tangan. “Lo udah telfon dokter kan?” “Udeh, lagi di jalan mungkin. Lo nggak usah khawatir.” Jay segera memandang Andre dan berujar, “siapa yang khawatir?” “Lo lah!” “Biasa aja.” “Halah … sok-sok an biasa aja padahal khawatir.” “Jangan sampai gue beneran panggil dokter ya.” Andre tanpa sadar menepuk pelan pundak Jay yang masih di bebat oleh perban. Hingga tanpa sadar Jay mengaduh kesakitan. “Heh … kenapa lo?” tanya Andre langsung. Sej
Letha benar-benar tidak keluar kamar. Bahkan ketika ia mendengar ketukan dan suara Jay yang marah diikuti dengan suara Andre. Ia pikir dirinya tidak akan membuka mata lagi ketika waktu menujukan pukul tiga subuh. Ia segera mengambil wudhu dan seperti saran dokter ia tidak membasuh tangannya dengan air, ia hanya mengusapnya saja. Tuhan selalu memberikan kemudahan dalam beribadah jika sedang dalam kesulitan. Setelah menunaikan ibadah shalat wajibnya, Letha merasa haus. Dengan masih menggunakan mukena putihnya dan tak lupa memakai masker ia memutar kunci pintu dengan pelan. Dalam hati pun ia berdo’a, semoga dirinya tidak harus bertemu dengan Jay. Ia harap Jay sudah terlelap tidur di kamarnya. Dengan mengucap basmallah, Letha keluar dari kamar. Ruang tamu itu tampak remang. Hanya ada sedikit cahaya lampu dari lampu di nakas. Ia berjalan menuju dapur yang gelap. Tanpa menyalakan lampu, ia mengambil air dan menuangkannya dengan pelan ke dalam gelas, kemud
“Lo ngapain sih, Bos? Kok bisa pingsan gini? Terus tangannya kok bisa kesiram air panas? KDRT ya lo?” Jay yang sudah menahan diri dari tadi segera menginjak kaki Andre. Pria itu tidak berhenti ceramah dari awal masuk dan melihat Letha yang terbaring tidak sadarkan diri di kamarnya. “ASEM … SAKIT, BOS.” “Mulut lo minta di tutup permanen,” ucap Jay tanpa peduli pelototan Andre dan menutup mulutnya dengan tangan. “Lo udah telfon dokter kan?” “Udeh, lagi di jalan mungkin. Lo nggak usah khawatir.” Jay segera memandang Andre dan berujar, “siapa yang khawatir?” “Lo lah!” “Biasa aja.” “Halah … sok-sok an biasa aja padahal khawatir.” “Jangan sampai gue beneran panggil dokter ya.” Andre tanpa sadar menepuk pelan pundak Jay yang masih di bebat oleh perban. Hingga tanpa sadar Jay mengaduh kesakitan. “Heh … kenapa lo?” tanya Andre langsung. Sej
Letha duduk di sebelah panggung berbentuk persegi panjang. Andre tidak ada disana karena mungkin marah pada suaminya itu. Kepala Letha masih terasa sakit dengan hati remuk redam dengan segala hal yang terjadi pada dirinya.Jay berdiri di sana dengan gagah. Tatapan marah dan kata-kata kasarnya seakan hilang di telan bumi. Disana hanya ada Jay yang murah senyum dan humoris. Jay yang beberapa kali dapat membuat satu studio ini tertawa dengan senang. Bukan Jay yang tadi yang membuat Letha menangis dengan sedih.“Hey …”“Astagfirulloh ....”“Eh … sorry sorry. Gue ngagetin lo ya? Ini gue bawa minum,” ucap Andre sembari menyodorkan air mineral ke arahnya. Kemudian duduk di kursi yang ada di sebelah Letha. Letha pun segera mengambil minum itu. “Gue nggak nyangka Bos bisa sekasar itu sama lo. Lo sebenernya ada masalah apa sama bos?”Letha hanya menggeleng pelan dan memusatkan pandangannya pada Jay yang sudah memandangnya dengan tajam di atas sana. Kini apa yang sudah aku lakukan? Batin Letha b
Letha memandang hiruk pikuk kota yang bergerak cepat mengikuti laju mobil yang di naikinya. Sama seperti apa yang dilihatnya sekilas, ia pun ingin melupakan sesuatu yang terjadi pada malam itu. Namun sayang, pikirnya menolak untuk lupa.Kini baik Jay maupun Letha dikelilingi kesunyian. Dulu, kesunyian yang datang tidak sesepi ini. Namun kini kesunyian itu tampak mencekam. Letha duduk sendiri di kursi paling belakang sedangkan Jay duduk bersama dengan Andre di sebelahnya. Mereka sedang menuju salahsatu butik dengan Jay yang merupakan brand ambassador sebelum mereka pulang ke tanah air malam nanti. Dan ini merupakan acara Jay terakhir sebelum hiatus. Walaupun dirinya harus membayar denda akibat kontrak yang tidak terpenuhi. Tetapi tidak mengurangi harta Orlando group.“Ini cuma perasaan gue atau lo berdua beneran lagi berantem?” tanya Andre tanpa menyadari suasana yang sedang panas-panasnya.“Perasaan lo aja.”Andre mengangguk-anggukan kepala dengan khidmat seakan mengerti. Kemudian meno
Letha berdiam diri di bawah shower kamar mandi yang baru saja ia booking dengan bantuan Andre. Ia akan berterimakasih nanti pada pria itu. Dengan hati yang nyaris tak berbentuk, ia menggosok tubuh yang meninggalkan banyak tanda, tanpa memperdulikan jika nanti tubuhnya lecet atau bahkan mengeluarkan darah. Tidak ada yang lebih sakit selain hati nya yang rapuh. Air mata tidak pernah berhenti mengalir dari matanya. Jay telah merenggut semuanya. Kehidupan serta kehormatannya. Ketika malam mengerikan itu terjadi, Letha segera mengganti seprai yang terdapat darah miliknya dan memakaikan Jay pakaian. Karena sebenci dan setakut apapun dia pada Jay, pria itu tetap suaminya. Setelah selsai, Letha pergi membawa barang-barang pribadinya. “Umi … Abi … Apa yang harus aku lakukan?” lirihnya menangisi nasib malang yang menimpanya. “Dia tidak memperlakukan aku dengan baik. Aku ingin ikut Umi dan Abi.” Ia terduduk di dinginnya lantai kamar mandi dengan air yang tidak pernah berhenti menyembur dari sh
Suara dentam music merasuk indra pendengaran. Hilir mudik orang-orang dengan tubuh sempoyongan tampak tidak mengganggu, mereka tampak menikmati apapun yang ada di hadapannya. Lampu berpedar kerlap-kerlip menikmati alunan music yang menghentak. Ditengah-tengah sana, puluhan orang melompat-lompat sekaligus menggerakan badan menikmati dentuman-dentuman suara, kecuali pria berpakaian hitam yang tidak pernah berhenti meneguk cairan berwarna kuning di gelas yang berada di tangannya. Akal sehatnya mulai hilang. Ia bahkan tidak menyadari efek yang akan terjadi akibat ulahnya kali ini. Tangan itu kembali mengambil botol dan menuangkan isinya ke dalam gelas. Ia kembali meneguknya dengan rakus. “BANGSAT!” umpat seseorang langsung duduk di sebelah mejanya sembari memukul kepala pria itu dengan berkas. Ia bahkan melupakan fakta jika yang di pukul tadi adalah orang yang memberinya uang. “Jay Bangsat Orlando lo bener-bener. Ya Tuhan …” Ya, pria itu adalah Jay. Pria yang sudah kehilangan akal seha
“Kenapa Aa memperkenalkan saya sebagai manager?” tanya Letha ketika mereka sudah sampai di hotel. Andre sedang pergi untuk mengurus acara nanti. “Terus gue harus bilang kalau lo itu istri gue? Lo harus tahu dimana posisi lo, Amaletha. Gue nggak pernah setuju untuk nikah sama lo. Ingat itu.” Jay beranjak tertatih dengan kruk yang ia sisipkan di tangannya. Kemudian berbaring dan melempar kruk tadi dengan sembarangan. “Gue mau tidur. Terserah lo mau tidur dimana.” “Tapi, A, kamu belum minum obat. Ini udah sore.” “Jangan ganggu gue,” ucap Jay yang langsung menutup seluruh tubuhnya dengan selimut tebal yang tampak hangat. Amaletha hanya berdiri di ruang besar itu dengan pikiran penuh. Entah akan seperti apa pernikahannya ini. Suaminya sendiri tidak mengakui dirinya. Lalu sekarang apa yang harus Letha lakukan? Bolehkah ia menganggap bahwa tidak ada orang yang menyayanginya sekarang? Kepada siapa ia harus mengadu selain sang pemilik segala sesuatu yang ada di langit dan di bum
Letha tidak tahu ada masalah apa antara Jay dan juga Ayahnya. Tetapi jika di lihat sekilas, ternyata Ayah mertua Letha itu memiliki perangai yang sangat tegas dan keras. Itu semua terlihat ketika Ayah mertunya langsung menampar pipi dari anaknya sendiri tanpa melihat kondisi pria itu. Letha bahkan langsung berdiri dari duduknya.“Setelah berhasil membunuh, sekarang siapa lagi yang jadi korbannya, Jericho?” tanya Kevin –Ayah Jericho- sambil menatap Jay dengan tatapan tajam yang membuat Letha merinding. “Kenapa kamu jadi pria yang suka mabuk-mabukan? Sudah bosan hidup kamu?”“Lalu kenapa kalau aku bosan hidup? Bukannya Ayah bahagia? Aku nggak akan nyusahin Ayah.”“Siapa yang mengajarkan kamu untuk berkata kurang ajar seperti itu, Jericho?”Letha bingung harus bagaimana di situasi seperti ini. Keringat dingin sudah membasahi seluruh tubuhnya. Ia ingin memberitahu ayah mertuanya jika ini bukan saatnya untuk berdebat, bahkan Jay saja sudah kesulitan bergerak. Letha juga ingin memberitahu J
“GILA! APES BANGET GUE JADI MANAGER LO, ANJIR!”“Berisik.”“Tour lo bakal di mulai beberapa hari lagi bego!”“Suka-suka gue.”“Dan liat kondisi lo. Tangan dan kaki lo sekarang malah … APES. APES GUE.”“Bacot.”Andre memang menyebalkan. Ia banyak bicara tetapi disatu sisi Jay sangat membutuhkannya. Siapa lagi yang bisa tahan dengan sikap Jay yang lebih banyak memiliki sifat menyebalkan daripada sifat baiknya.Jay kembali berulah dengan mengendarai mobil ketika sedang mabuk. Jika bukan karena Ayah nya yang memiliki kuasa, mungkin sekarang berita-berita buruk sudah bertebaran baik di televisi maupun surat kabar. Pria itu terlalu sering membuat masalah.“Lo jangan doyan mabuk-mabukan dong, Jay,” ucap Andre dengan nada lelah dan duduk di kursi sebelah ranjang. “Atau minimal telfon gue. Gue waktu itu lagi ada acara, sekarang gue nganggur. Malah kayaknya waktu nganggur gue jadi lebih banyak sekarang. Lo bener-bener bikin gue nggak punya kerjaan.”“Gue lagi pusing.”“Lo pusing, terus mabuk, n