Share

Pernikahan yang (Tidak) Diinginkan

Dunia Letha runtuh seketika. Sosok yang selama ini menjadi panutannya. Sosok yang selalu menjaganya dari kecil hingga sekarang telah tiada. Kepada siapa dirinya sekarang harus berbakti? Kepada siapa sekarang jika ia memerlukan pelukan untuk menghadapi dunia yang sangat kejam ini? Ia belum sempat membanggakan Umi dan Abi. Ia belum sempat mengatakan bahwa ia sangat menyayangi mereka. Apa yang harus Letha lakukan sekarang?

            Beberapa saat setelah Letha sampai di rumahsakit dengan tampilan seadanya dan sangat berantakan, ia mendapat kabar bahwa Umi nya pun ikut menyusul Abi pergi. Informasi itu Letha dapatkan dari suster yang barusaja  keluar dari kamar di mana Umi sedang berjuang.

            Ketika membuka pintu, ia langsung menghambur ke arah Umi yang sudah ditutup selimut putih sampai kepala.

            “Umi, kenapa Umi ninggalin Teteh sendiri? Kenapa Umi tega?” tanya nya dengan air mata yang terus mengalir. “Abi ninggalin aku, kenapa sekarang Umi juga ninggalin aku sendirian? Umi udah nggak sayang sama aku? Teteh minta maaf kalau sering buat Umi marah. Maafin Teteh, Umi. Umi tolong bangun.”

            Letha tahu bahwa dirinya salah karena sudah mempertanyakan takdir yang datang dari Yang Maha Kuasa. Ia hanya tidak bisa mengontrol hatinya yang sakit. Dengan sangat perlahan ia membuka penutup wajah Umi nya. Wajah tenang dan bercahaya itu terluka. Bagian pipi serta dahinya tampak kemerahan. Bagian rambut Umi yang kini tanpa hijab terdapat banyak bekas darah. Ia sungguh tidak bisa membayangkan seberapa sakitnya Umi sekarang.

            Letha mengusap kepala Umi dengan pelan. Ia buka sedikit masker yang menutupi sebagian wajah Letha, lalu mendekatkan bibirnya pada telinga Umi nya itu. Walaupun sesedih apapun, ia tidak bisa melawan takdir Tuhan. Sesungguhnya semua yang ada di dunia ini merupakan ujian, kehidupan kekal abadi adalah kelak di akhirat. Ia harus mengikhlaskan Umi dan Abi pergi, agar beliau tidak kesulitan. Letha mengambil nafas sejenak. Berulangkali ia mengucapkan istigfar.

            “Umi … aku sayang banget sama, Umi. Aku akan hidup dengan baik walaupun tanpa Umi dan Abi. Umi dan Abi pergilah dengan tenang. Tunggu aku di sana. Semoga kita bisa berkumpul di Surga bersama orang-orang soleh. Aku akan selalu mendo’akan Umi dan Abi.”

            Setelah itu, tubuh letha melemah dan terkulai di sisi ranjang Umi nya. Ia tidak sadarkan diri akibat kelelahan serta menahan kesedihan yang hinggap dihati. Letha bahkan tidak menyadari jika sedari tadi ada sosok yang berdiri disebelah ranjang Umi nya, yang kemudian segera menekan tombol yang ada di atas ranjang untuk memanggil perawat.

            Sosok itu kemudian mengusap kepala Letha yang terkulai lemah di pahanya. Lalu dengan pelan dan bergumam, “maaf.”

***

            “Nak, kamu udah sadar?” tanya sosok tadi yang tidak sempat terlihat oleh Letha ketika di kamar Umi nya.

            Letha bangun dengan perlahan sambil memegang kepalanya yang pusing. “Bu Jihan …”

            Jihan segera mengambil air minum yang ada di atas nakas kemudian menyerahkan minum itu ke tangan Letha. “Minum dulu, Nak.”

            Tanpa bantahan Letha meminum air putih itu. Tidak lama kemudian air matanya kembali turun dipipi. Ia kembali mengingat Umi dan Abi nya. Jihan lalu mengambil gelas yang di pegang Letha kemudian menyimpannya di atas nakas.

            “Maafkan saya, Nak Letha,” ucap Jihan. Ia menarik wanita malang ini kepelukanannya. Isakan yang datang dari mulutnya tanpa sadar membuat Jihan berkaca-kaca. Tak lama, Jihan merasakan lengan kurus itu membalas pelukannya.

            “Saya sekarang sendirian,” ucap Letha. Pikirannya sudah kacau. Ia bahkan tidak merasa aneh dan tidak mempertanyakan kenapa Jihan berada di rumah sakit dan sekarang memeluknya dengan hangat.

            “Kamu tidak akan sendirian, Nak.” Letha segera mengurai pelukannya. Jihan mengusap wajah Letha dengan hati-hati. “Cacar kamu masih belum sembuh?”

            Letha mengangguk dengan pelan. “Bu Jihan kenapa bisa ada disini? Bu Jihan tindak salah apa-apa. Semua sudah takdir yang Maha Kuasa.”

            Jihan menarik nafas dengan pelan. Ia sedang bersiap menyiapkan diri? Apa yang akan ia ungkapkan bukan persoalan mudah untuk Letha. “Maafkan saya yang tidak bisa mendidik anak saya dengan baik.”

            Air mata mulai kembali turun di mata indah Letha. Lagi-lagi kenyataan menamparnya dengan keras. Benarkah pria itu yang sudah tega menabrak kedua orangtuanya? Apa pria itu sengaja menabrak orangtuanya karena ia tidak menyambutnya dengan baik? Pikiran-pikiran buruk itu langsung masuk ke dalam otaknya tanpa bisa dihentikan.

            Jihan memegang tangan Letha yang sekarang sangat dingin. “Jericho sedang mabuk berat saat berkendara. Ia pulang dari club subuh tadi tanpa supir dan manager nya. Jika saya tahu, saya akan menjemputnya dan memarahinya. Tapi, itu semua hanya angan-angan saya, karena kini anak saya juga sedang di rawat di sini dengan luka ringan. Maafkan saya, Nak Letha.”

            Letha hanya terdiam membisu. Otaknya seakan penuh. Ia tidak tahu harus seperti apa merespon segala kenyataan yang datang tumpang-tindih di kepala. Ia pun bertanya-tanya, apakah pertemuannya dengan orang itu adalah sebuah kutukan?

            Dengan suara lirih, Letha beertanya, “kenapa dari sekian banyak orang disana harus Umi dan Abi yang kena musibah ini?”

            Sungguh ini merupakan pertanyaan bodoh, tetapi Letha tidak bisa menahannya. Hatinya teramat sakit tak tertahankan. Membayangkan dirinya harus hidup sendiri setelah ini tanpa Umi dan Abi sungguh sangat menyakitkan.

            “Istigfar, Nak Letha. Ini semua sudah menjadi takdir Yang Maha Kuasa. Saya sungguh minta maaf.” Jihan kembali memeluk Letha dan mengusap punggungnya. Kini Jihan tidak bisa menahan laju air matanya. “Saya teramat sangat minta maaf atas perbuatan anak saya. Jericho akan bertanggung jawab atas perbuatan yang dilakukannya. Umi mu sudah menitipkan kamu pada saya, Letha. Hanya cara ini yang saya punya untuk menjaga kamu.”

***

            “Dasar anak kurang ajar. Apa yang kamu lakukan, Jericho? Pulang dalam keadaan mabuk berat dan menjadi pembunuh?!”

            Jericho baru sadar dari pingsan dengan sekujur tubuh sakit dan pegal-pegal. Selang infus masih terpasang ditangan kiri nya. Di bagian dahi terdapat luka dan sekarang sudah di tutup oleh perban. Ia tidak mengingat apapun kecuali ia yang menaiki mobil dengan keadaan mabuk. Ia pikir dirinya masih sanggup mengendarai mobil. Tetapi Ayah dan Mami nya mengatakan bahwa ia telah menabrak sepasang suami-istri yang sedang berkendara dan kini keduanya meninggal.

            “Aku tidak sadar, Yah.”

            Sebuah suara keras menggema diseluruh ruangan yang sepi itu. Kevin –Ayah Jay- menampar pipi anaknya dengan sangat keras sehingga wajah Jay menoleh ke sebelah kiri.

            “Tentu saja kamu tidak sadar, Jericho. Orang gila mana yang sudah banyak minum dan masih dalam keadaan sadar.” Jay memandang Ayahnya dengan sangat tajam. Sedari dulu Ayahnya memang sangat keras pada Jay. “Kamu tahu? Berapa banyak uang yang sudah Ayah keluarkan untuk membungkam media atas kejadian ini? Kamu ingin karir mu rusak?” tanya Kevin sambil  menunjuk wajah Jay. “Ayah tahu kamu tidak pernah mementingkan urusan karir mu, tetapi yang kamu lakukan hari ini akan merusak karir Ayah juga, Jericho. Jadi semua yang Ayah lakukan hari ini kamu bayar dengan cara bertanggung jawab pada putri pasangan itu.”

            Jericho memandang wajah Kevin dengan tatapan terluka. Sedari dulu ia memang selalu merasa jika Sang Ayah tidak mencintainya. Ia selalu berusaha melakukan yang terbaik, tetapi Ayah tidak pernah mengungkapkan kebanggaan terhadap Jericho. Pernah suatu ketika ia mengikuti lomba basket di sekolah, tetapi saat ia meminta Kevin untuk menontonnya, selalu sibuk yang dikatakan Kevin. Jericho bahkan sempat bertanya-tanya, apakah dirinya ini benar anak Kevin? Karena sekalipun tidak pernah Jericho memuji atas prestasi yang sudah didapatkan. Jika saja wajahnya bukan copy-an dari Kevin, mungkin ia akan mempercayainya dan langsung pergi dari rumah.

            “Apa yang harus aku lakukan?” tanya Jay dengan tatapan tajam dan nyalang kepada Kevin. Ia menahan diri agar tidak memukul wajah marah Sang Ayah. “Apa yang harus aku lakukan untuk membayar semua jasa yang Ayah lakukan untuk ku?”

            Jika ditanya apa yang ia rasakan, hatinya teramat sesak. Jika bisa, ia juga  ingin menangis dan memohon kepada Ayah nya untuk sekali saja memeluknya dan mengatakan jika ia bangga pada Kevin. Kenapa sangat sulit sekali membuat Ayahnya terkesan? Kenapa Ayah nya selalu jahat pada dirinya?

            “Nikahi wanita itu.” Jericho mematung. “Ibu nya sudah berpesan pada Mami mu untuk menjaga anak semata wayangnya. Satu-satunya cara adalah dengan menikahinya. Ia tinggal bersama kedua orangtuanya di Jakarta, dan sekarang ia sendirian disini. Kamu harus menikahinya dan bertanggung jawab.”

            “Kenapa harus dengan menikah, Yah?”

            “Karena kamu yang membuatnya menjadi yatim-piatu.”

            “Tapi--”

            “Seperti yang Ayah bilang, kamu harus membayar apa yang sudah Ayah lakukan karena ulahmu. Lakukan semuanya besok, Ayah akan mengatur semuanya.”

            Jericho tidak memiliki kuasa untuk menolak dan membantah apapun yang sudah di katakan oleh Kevin. Tapi, ia masih memiliki kesempatan untuk berkompromi. Ia tidak ingin menikah sekarang dengan orang yang bahkan tidak ia cintai dan kenal sama sekali.

“Baiklah … tapi aku ingin pernikahan ini di rahasiakan. Aku tidak ingin pernikahan ini diketahui oleh siapapun selain keluarga yang melihat ijab-qobul nanti.”

“Ayah tidak peduli tentang semua itu. Jadi bicarakan semuanya dengan Mami mu saja.” Kevin melihat jam yang ada di pergelangan tangannya. “Ayah harus pergi sekarang. Jangan membuat ulah lagi Jericho. Ingat itu.”

Jericho memandang pintu yang tertutup itu dengan amarah yang bercokol dalam hati. Lantas kemudian ia mengumpat dengan kencang. Setelahnya ia membaringkan tubuhnya di atas ranjang rumah sakit. Sebelah tangan yang tidak tertutup infus ia gunakan untuk menutup matanya yang tampak sudah berair. Ia tidak sudi menangis di depan Kevin. Ia akan menelan kesakitannya sendiri.

***

“Saya terima nikah dan kawinnya Bahiyya Amaletha Jasmine bin Yusuf Rahmadi dengan mas kawin seperangkat alat shalat dan emas seberat dua puluh gram di bayar tunai.”

Setelah para saksi mengucapkan hamdalah dan berdo’a bersama akhirnya Letha telah resmi menjadi istri dari Jericho Orlando. Entah apa yang terjadi pada hidupnya sekarang. Ia tidak tahu. Semuanya terasa mimpi. Kehilangan orangtua dan kini menikah dengan sosok yang bahkan tidak di kenalnya sama sekali.

Setelah pertemuan Letha dengan Jihan di rumah sakit dan menemaninya sampai ke tempat peristirahatan terakhir Umi dan Abi, ia baru diberitahu tentang tanggung jawab yang akan dilakukan oleh Jay selaku anak dari Jihan, yaitu dengan cara menikah. Ia sudah berkali-kali menolak, tetapi setelah Jihan membahas tentang Umi yang menitipkannya pada Jihan, dan berbagai pertimbangan akhirnya Letha berada di sini. Memakai baju serta hijab putih dan juga masker karena cacarnya masih belum sembuh.

Bukan seperti ini pernikahan impiannya. Ia ingin menikah dengan seseorang yang dicintainya, bukan dengan sosok yang matanya menyorot Letha dengan penuh kebencian juga amarah. Bahkan sebelum melangsungkan pernikahan pria itu sudah melontarkan kata-kata kasar padanya.

“Jangan pernah lo nunjukin wajah lo itu di hadapan gue. Ingat itu. Lebih baik lo tutup terus wajah lo supaya gue nggak tambah muak. Gue nggak pernah sudi menikah sama lo. Semua yang terjadi sekarang hanya akan terjadi sementara. Jadi, lo jangan berharap lebih.”

Letha juga ingin sosok yang menjadi suaminya itu menyentuh kepalanya dan merapalkan do’a dan kemudian shalat Sunnah bersama.

Umi, kenapa harus menitipkan aku pada Bu Jihan? Batinnya berbisik.

Dengan tangan dingin dan gemetar, ia mengasongkan tangannya pada Jay untuk memasangkan cincin kawin di jari manisnya. Letha selalu menjaga supaya tidak bersentuhan dengan yang bukan muhrim nya. Tapi, kini Jay adalah suami sekaligus imamnya, dan artinya Jay sekarang termasuk dalam muhrimnya.

Cincin itu sangat indah. Bentuknya sederhana dengan design mirip dengan mahkota. Kemudian dihiasi dengan permata kecil yang berkilauan. Sayangnya hari ini, baik Letha maupun Jay bukan seorang pasangan Putri dan Pangeran. Mereka menikah karena keadaan. 

Letha pun menyambut tangan Jay dan kemudian mencium tangan pria itu dengan khidmat. Ia merapalakan do’a dalam hati. “Ya Allah … pemilik semua yang ada di langit maupun bumi. Semoga yang hamba pilih sekarang untuk menjadi imam, bisa membimbing hamba menuju Surga-Mu. Jadikanlah kami keluarga sakinnah, mawaddah, dan warohmah.” Karena sesulit apapun kelak ujian yang ada, Surga nya kini ada di suaminya. Untuk itu, ia akan berusaha sebaik mungkin berbakti pada Jericho Orlando, suaminya.

TO BE CONTINUE

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status