Tubuh Cantika menggigil, tak sanggup menahan rasa sakit yang menyayat bagian bawahnya.
"Ugh, Tuan! Pe-pelan-pelan, sakit!" jerit gadis muda itu. Namun lelaki bertubuh besar itu, Andika, seakan tak peduli pada gadis kecil yang terus menderita. Mata Andika terpancar keganasan saat ia terus memacu kekuatannya, tak peduli bahwa Cantika merasa kesakitan. Ia menemui puncak kepuasan seorang diri, sementara Cantika hanya bisa menangis, air mata tak henti-hentinya mengalir. Tampak jelas perbedaan kekuatan di antara keduanya. Setelah selesai, Andika menatap noda merah yang membasahi seprai putih dengan tatapan puas, seringai muncul di sudut bibirnya. "Ternyata kau masih perawan. Baguslah, aku jadi tidak terlalu rugi mengeluarkan banyak uang!" Tubuh mungil Cantika tak sanggup bertahan atas perlakuan kasar dari Andika, kesakitan dan ketakutannya semakin nyata. Di dalam hati Cantika merasa hancur, memar kebiruan menghiasi tubuhnya akibat cengkraman tangan besar sang suami. Namun, kekuatan untuk melawan sudah tidak ada lagi di sisi Cantika. Lelaki itu acuh tak acuh terhadap keberadaan gadis kecil di dekatnya, terlebih malah memutuskan untuk berbaring dan segera tidur. Cantika menahan isak tangis, namun tampaknya Andika tidak peduli, tetap saja memejamkan mata dan tak lama kemudian terdengar dengkuran. Cantika kemudian berjalan tertatih-tatih menuju kamar mandi, merasa sangat kotor. Dalam hatinya merasa sangat hancur, tangisnya semakin keras. Ia menyalakan shower dengan air dingin dan terus menangis tersedu-sedu di sana. "Aku kotor, jijik!" keluh Cantika seraya memukul-mukul tubuhnya, tak peduli rasa sakit yang semakin menjadi. Di bawah derasnya guyuran air, gadis itu tak mampu menyembunyikan tangisannya, bahkan tak mempedulikan apakah ada seseorang yang akan terganggu. Hanya ingin mengungkapkan segala emosi yang dirasakan. Setelah menghembuskan nafas panjang, meluapkan emosi yang menggebu-gebu, gadis itu lantas memutuskan untuk mengenakan jubah mandi. Langkahnya yang lesu dan tatapan kosong membawanya menuju kasur besar yang terasa sepi. Meski ada seseorang terlelap di atasnya, Cantika merasa seolah-olah ia sendiri di sana. Kasur yang sejatinya empuk dan luas, kini terasa begitu keras dan sempit. Sungguh menjengkelkan, membayangkan dirinya menghabiskan hari-hari dalam rumah ini untuk waktu yang tak bisa diperkirakan. Mungkin beberapa hari, bulan, atau bahkan tahun. Cantika menghela nafas, menguatkan tekadnya. "Aku harus segera memiliki anak, supaya cepat bebas dari tempat ini," gumam Cantika seraya meremas selimut yang menutupi tubuhnya dengan penuh kegelisahan. ** "Heh, bangun!" Seorang perempuan tiba-tiba menyentak kasar selimut yang melindungi tubuh Cantika. Gadis itu sontak terkejut, sehingga terjatuh dari ranjang tinggi yang ia tiduri. "Ugh, kenapa harus kasar begini sih?" keluh Cantika kesakitan sambil memegangi bokong yang terasa nyeri akibat jatuh. Perempuan itu berdecak, menyeringai sinis sambil menatap Cantika dengan penuh keangkuhan. "Memang kau kira kau siapa di sini? Kau hanya boneka yang dibeli dengan uang banyak, jadi kau harus membuat dirimu berguna dengan tidak bermalas-malasan!" teriak perempuan itu, melampiaskan amarahnya tanpa memedulikan perasaan Cantika yang sedang terluka. Gadis itu mendongak, mencoba menatap wajah perempuan yang berdiri di hadapannya dengan penuh ketidakpercayaan. "Kartika?" ucap Cantika dengan seraut wajah bingung, merasa tidak mengenal sosok yang begitu kejam di depannya. "Jangan berani-berani menyebut namaku, karena aku adalah orang yang telah menyelamatkan ayahmu yang renta itu dari tekanan hidup!" bentak Kartika, kemarahan makin meluap. Ia menarik rambut Cantika dengan kuat, menyiksa gadis itu "Lepas, sakit!" erang Cantika, mencoba melepaskan rambutnya dari cengkraman tangan perempuan tersebut. Dengan kasar, Kartika melepaskan tangannya, menyebabkan beberapa helai rambut Cantika tertarik hingga rasa sakit di kulit kepalanya pun tak tertahankan. Gadis itu meringis sambil menggenggam kepalanya, sedangkan Kartika bangga berdiri di hadapannya, matanya menatap sinis ke arah Cantika. "Cepat pergi ke bawah! Kerjakan semua yang pelayan lain kerjakan, dan jangan berharap bisa menjadi nyonya di rumah ini. Akulah yang nyonya, sedangkan kau hanya seseorang yang dibeli!" ucap Kartika beringas, sebelum melongos pergi dan melemparkan seragam pelayan ke arah Cantika. Dengan rasa perih dan sakit yang menyelimuti tubuhnya, Cantika mengumpulkan kekuatan untuk mengambil seragam pelayan yang tergeletak di lantai. Setelah itu, ia melangkah gontai menuju kamar mandi, berharap membersihkan diri dapat membuatnya merasa sedikit lebih baik. Gadis itu meringis kesakitan saat tangannya menggosok bagian tubuh yang terluka. Ia mencoba menahan rasa sakit, namun detik itu juga gedoran di pintu terdengar semakin kuat. "Jangan terlalu lama mandi! Kalau kau lama, banyak air yang terbuang dari sana semakin banyak uang yang habis karenamu!" gerutu Kartika dari luar. Dengan terkejut, gadis itu mendengar suara pintu dibanting keras yang terdengar nyaring. Ia merasa terintimidasi, membuatnya memutuskan untuk segera menyudahi acara mandinya. Langkahnya tertatih-tatih, berjalan pelan mengambil pakaian pelayan yang teronggok di atas kasur. Wajah gadis tersebut menjadi sangat pucat sekali melihat pakaian pelayan yang diberikan Kartika. "Apa-apaan pakaian ini?" tanya Cantika dengan suara meninggi, seakan menantang keputusan Kartika. Tangannya gemetar saat menggenggam pakaian tersebut, mencoba menahan amarah yang menyala dalam hatinya. Brak! Kartika berjalan masuk kembali ke dalam kamar dengan wajah dingin, matanya mendelik penuh kesal. "Sangat lama sekali, sehingga membuatku menjadi sangat lelah menunggumu!" gerutu Kartika sambil melemparkan pandangan tajam ke arah Cantika. Gadis tersebut menunjukkan pakaian pelayan yang diberikan kepadanya, wajahnya murung dan pipinya memerah. Tangannya gemetar dan bibirnya bergetar saat berkata, "Pakaiannya terlalu seksi, saya tidak bisa mengenakannya," tolak Cantika lirih. Perempuan itu mengusap wajahnya kasar, terlihat sangat tidak suka sekali kepada gadis tersebut. "Terus kau mau mengenakan pakaian apa?" tanya Kartika ketus, menggertakkan giginya. Cantika meneguk ludahnya beberapa kali, sebelum akhirnya mengumpulkan keberanian untuk mengutarakan keinginannya. "Saya tidak ingin pakaian terlalu seksi seperti ini. Apakah tidak ada pakaian yang lain?" tanya Cantika dengan pelan, memalingkan wajahnya karena takut akan reaksi Kartika. Kartika tak bisa menahan rasa kesal saat mendengar pertanyaan Cantika. "Kau pikir kau bisa meminta apa pun dariku?" katanya, penuh sinisme. "padahal kau hanyalah seorang yang dibeli. Bersyukurlah dengan apa yang diberikan, jangan mengeluh!" Perempuan itu kemudian melepaskan jubah mandi yang dikenakan Cantika, meninggalkan tubuh gadis itu hanya tertutup oleh pakaian dalam. Cantika merasa panik, mundur beberapa langkah, wajahnya memucat dan kebingungan akan sikap perempuan di depannya. Tak mampu menahan perasaan malu, Cantika menggunakan kedua tangannya untuk menutupi bagian tubuh yang terlihat. Rasa malu menyeruak, membuatnya ingin segera menghilang dari situ, tapi sadar bahwa tidak mungkin ia bisa melakukannya. "Tolong, jangan lakukan ini!" rayu Cantika, dengan tangannya masih mencoba menutupi tubuhnya yang terbuka.Perempuan itu tidak mempedulikan permohonan dari gadis tersebut, Kartika terus berusaha menarik Cantika untuk mendekat kepadanya. Karena tubuh gadis itu kecil tentu saja dia kalah dengan tenaga perempuan tersebut, sehingga memilih pasrah apa pun yang akan dilakukan oleh Kartika kepadanya. Cantika memejamkan mata dengan jantung yang berdebar kencang, perasaannya menjadi tidak menentu membayangkan apa yang akan perempuan tersebut lakukan. Kening perempuan itu mengerut menatap gadis yang berada di depannya, sehingga membuat ia menyentak tangan Cantika dengan kasar. "Sudah selesai, cepat kau keluar sekarang kerjakan semua pekerjaanmu! Aku tidak ingin kalau ada sedikit pun debu yang menempel di rumahku ini, camkan itu!" gertak Kartika dengan wajah merah padam. Gadis itu berjalan keluar dengan tertatih-tatih, terlihat sulit sekali melangkahkan kakinya. Membuat Kartika menjadi mencebik, lantaran cemburu. "Bilangnya tidak suka, tapi setiap tubuhnya penuh dengan tanda merah!" gerut
“Apa kau tidak bisa melakukannya dengan perlahan saja?” Rahang Andika mengeras, matanya terbelalak dan pipinya memerah akibat rasa malu yang menyelimuti dirinya. Pakaian mahalnya kini bernoda kopi panas yang tumpah akibat ketidakhati-hatian pelayan baru, Cantika. “Maaf, Tuan. Saya tidak sengaja karena ada sesuatu yang membuat saya terjatuh,” ucap Cantika lirih, sambil melirik sekilas ke arah Kartika. “Kenapa kau menatapku seperti itu?" ujar Kartika, mendelik penuh amarah. Alisnya menyatu, dan bola matanya memancarkan api kemarahan. "seorang pelayan rendahan beraninya menatap nyonya rumah sepertiku! Apa kau ingin menuduhku melakukan hal hina seperti itu?” Wajahnya merah padam sekaligus merasa bersalah karena di sini, salahnya sendiri yang menyebabkan kesalahan. Cantika menundukkan kepala, menggigit bibir bawahnya untuk menahan emosi yang memuncak, merasa ditekan oleh tatapan tajam suaminya yang membuatnya ingin menangis. “Saya tidak bermaksud menuduh Anda, hanya saja kaki saya
Cantika berusaha menetralkan degup jantungnya yang terkejut dan berusaha berpikir positif, karena ingat dengan perkataan dari Kartika. Namun, tetap saja merasa susah lantaran hanya ada satu orang yang berada di ruangan ini. Bukankah Kartika berkata kalau ia harus menghibur para tamu, berarti bukan hanya satu orang saja? “Saya membawakan anggur untuk, Tuan.” Cantika membuka tutup botol itu untuk mempercepat pekerjaannya. Lelaki tampan bermata coklat tersebut tersenyum tipis, matanya terus menatap ke rok yang Cantika kenakan. “Kau harus layani aku dengan benar, Cantik! Karena aku tak suka kalau ada sedikit pun kesalahan.” Cantika berusaha tersenyum, walau pun terasa sangat sulit sekarang dilakukan. “Baik, saya akan melayani Anda tanpa melakukan kesalahan apa pun.” Tangan mungil tersebut berusaha menggapai gelas kosong yang disediakan di sana, tetapi baru saja menyentuhnya tangan lelaki asing itu sudah memegangi tangan Cantika. “Tuan, saya ingin mengambil gelas itu. Jadi saya
Jantung Cantika berdetak dengan kencang, bulir bening pun meluncur dengan deras dari kedua sudut matanya. Tangan mungil memukuli pintu dengan kuat dan mulut terus berteriak meminta pertolongan, berharap di luar sana ada seseorang yang lewat dan membukakan pintu untuknya. “Jangan takut seperti itu, Cantik. Aku hanya akan mengajakmu bersenang-senang saja.” Jack menuangkan anggur ke gelas hingga penuh , lalu diberikan kepada Cantika. Tubuh Cantika gemetar, kepalanya terus menggeleng dengan cepat. “Saya tidak mau!” Jack menatap tajam kepada gadis tersebut, tak terima dengan penolakan. “Aku hanya memberikanmu segelas anggur, bukan racun. Jadi minum!” Lelaki itu mencengkram rahang gadis tersebut dengan kuat, lalu memasukan paksa segelas anggur ke dalam mulut Cantika. “Minum!” teriak Jack dengan nada memaksa, tak suka penolakan yang dilakukan gadis itu sedari tadi. Cantika memilih memuntahkan anggur itu dari mulutnya, sehingga sekarang pakaian yang ia kenakan menjadi basah. “Kau masi
“N-nyonya Kartika yang memberikan anggur ini kepada saya, Tuan,” jawab Cantika dengan gugup. Andika mengarahkan tinjunya ke arah pintu, sehingga darah segar mulai mengalir dari tangannya. Cantika dengan sigap mendekat kepada sang suami, ia mengambil tangan Andika menatap nanar darah segar yang terus mengalir itu. “Kenapa Anda malah melakukan ini? Ayo kita obati dulu, takutnya malah jadi infeksi.” Cantika menarik tangan sang suami keluar. Sebenarnya tak tahu di mana kotak obat berada, sehingga gadis kecil tersebut hanya mengelilingi kediaman besar itu sedari tadi. “Lepaskan!” Andika menepis tangan Cantika. “Tapi luka di tangan Anda harus segera diobati, Tuan,” ucap Cantika dengan tatapan penuh kekhawatiran. “Tak perlu diobati, karena ada yang lebih penting dari itu. Tentang kau mengatakan kebohongan di ruangan tadi, mana mungkin Kartika adalah wanita seperti itu. Jadi katakan saja yang sejujurnya, siapa yang memberikan botol anggur berisi obat itu kepadaku!” paksa Andika dengan
“Tikus!” jerit Cantika dengan suara nyaring. Wajah gadis itu sangatlah pucat, ia sangat ketakutan dengan binatang pengerat tersebut. Sehingga membuatnya tak bisa berpikiran jernih dan terus berteriak sedari tadi. Andika kebetulan tak jauh dari sana pun bergegas berlari menghampiri asal suara seseorang yang berteriak, ia takut kalau Jack yang masih berada di rumah ini menghampiri sang pelayan. Pintu lelaki itu buka dengan kasar, tak peduli kalau pintunya lepas karena ulahnya. Yang terpenting adalah menyelamatkan gadis terlihat lemah tersebut dari seseorang seperti Jack. Nihil, ternyata gadis tersebut sekarang hanya sendiri. Berdiri di atas kasur sambil memegangi sapu dengan wajah pucat. “Apa yang terjadi sehingga kau berteriak dengan keras seperti itu?” tanya Andika, wajah lelaki itu merengut. “Itu ada tikus.” Tunjuk Cantika ke pojok ruangan, di sana ada satu ekor tikus kecil. Andika mendesah, tak habis pikir gadis itu malah ketakutan dengan binatang yang sangatlah kecil. Mungki
Kartika berdecak kesal mendengar perkataan Cantika yang membela diri, “Tapi apapun perkataanmu, kau tetaplah istri kedua yang tak akan pernah mendapatkan hati Andika sampai kapan pun!” Perempuan itu langsung bergegas pergi dari sana dengan ekspresi penuh amarah. Ia merasa kehabisan kata-kata untuk melawan Cantika, karena yang dikatakan gadis tersebut adalah benar. Sedangkan Cantika baru bisa bernafas lega, lantaran bisa terhindar dari Amar yang mengerikan dari Kartika. “Kenapa dia selalu saja menarik rambutku? Kalau dia terus melakukan itu, bisa-bisa rambutku yang panjang ini akan habis,” ringis Cantika menahan rasa sakit yang masih terasa. Di dalam hati kecilnya merasa sangat tersakiti oleh perkataan dari Kartika. Namun, ia tak menolak fakta itu karena memang benar sepertinya tidak akan pernah mengalahkan Kartika sebagai istri pertama. Lalu bukankah dirinya tidak ada niatan untuk memiliki perasaan kepada Andika, gadis itu menikah
Kartika memandang datar kepada gadis yang berada di depannya sekarang ini. “Apa yang kau lihat?”Cantika menggelengkan kepalanya pelan. “Tidak ada, Nyonya!”“Bagus, memang sepatutnya seperti itulah pelayan. Jangan pernah mencampuri apa yang dilakukan oleh majikan sendiri.” Kartika bersedekap dada, senyum sinis terukir di bibirnya. “ah, iya! Antarkan makan siang ke kamar.”Setelah mendengar perintah perempuan itu, Cantika segera melangkahkan kakinya ke ruang makan.“Eh, ada apa? Kenapa Nyonya Kartika tidak turun?” Gadis yang membantu memasak tadi memberondong pertanyaan kepada Cantika.“Nyonya ingin makan di dalam kamar saja, jadi memintaku untuk membawa semuanya ke kamar.” Cantika ingin mengangkat semuanya satu-persatu.“Kalau kau membawanya seperti itu, nanti Nyonya Kartika malah akan marah. Di sana ada troli untuk membawa beberapa hidangan sekaligus.” Gadis yang masih belum diketahui namanya itu menunjuk ke sudut dapur.