Nial tekekeh melihat wajah Bela dan garis dagunya yang mungil.
"Handoko tidak mengatakan ini padamu? Aku sudah pernah menikah!" Handoko adalah nama ayahnya Bela.
'Itu artinya, aku menikahi duda?' Bela bertanya dalam hatinya, harusnya ia tidak lagi terkejut karena memang usia Nial terpaut lima belas tahun dengannya.
Sekarang ini Bela masih dua puluh tahun.
Ia memang tahu nama anaknya Hendro itu adalah Nial, tapi Bela tidak tahu tentang apakah dia sudah pernah menikah ataukah belum.Dia tak sedekat itu dengan Hendro, Handoko lah yang dekat karena ayahnya adalah sopirnya Hendro.Lagi pula, Nial tertutup tentang kehidupan pribadinya selama ini.Lalu ....Bela terus bermonolog tentang di mana sekarang istri Nial atau kenapa mereka menjadi mantan?Meski ingin bertanya lebih banyak, ia menahannya.
"Aku akan kuliah nanti."
Hanya kalimat itu yang pada akhirnya keluar. Lebih baik menghindari pertanyaan sensitif pada Nial agar mood paginya tidak hancur.
"Ya, lakukan yang kamu mau! Aku tidak peduli."
Nial pergi dari hadapan Bela yang juga mengambil langkah berlawanan arah dengannya.
"Bagus kalau dia tidak peduli. Aku juga tidak ingin dipedulikan tuan arogan itu."
Ia masuk ke dalam kamar yang semalam ia gunakan bersama Nial menjadi kamar pengantin. Seprai putih yang tercemar noktah merah itu sudah diganti. Tampaknya Nial meminta pelayannya untuk menggantinya. Entahlah! Bela tidak tahu dan tidak ingin memikirkan hal itu.
Yang menjadi fokusnya adalah ucapan Nial. Tentang bagaimana baiknya mantan istrinya yang merawatnya dulu.
"Bagaimana caranya aku menjadi seperti mantan istrinya? Dan bagaimana caranya perempuan itu membuat Nial yang angkuh dan menyebalkan itu jatuh cinta padanya? Sial! Kalau bukan karena Vida menipu bapak dan menolak Nial aku tidak akan ada di sini."
Bela menuju ruang ganti yang ada di dekat kamar mandi di dalam kamar ini, walk in closet. Karena ia sama sekali tidak membawa baju saat masuk ke dalam rumah Nial, maka ia memutuskan untuk memakai baju yang ada di sana.
Ia juga mengambilkan kemeja untuk Nial dan juga setelan jas berwarna hitam dan ia letakkan di sofa yang ada di dalam sana. Lengkap dengan dasi dan juga jam tangannya. Dari merek ini Bela tahu pasti harganya mencapai ratusan juta.
Ia buru-buru mandi, mengabaikan rasa ngilu yang ada di bagian bawah tubuhnya dan keluar dengan mengenakan pakaian yang tadi ia ambil dari dalam lemari.
Saat ia keluar, ia menjumpai Nial yang sudah ada di dalam walk in closet dengan keadaan bertelanjang dada.
Ia tampak baru saja berenang karena rambutnya basah. Atau pergi mandi di ruangan lain, Bela tidak tahu.Nial memutar tubuhnya saat melihat kedatangan Bela. Mengecek dari bawah sampai ke atas lalu membuang pandangannya.
"Mas Nial, aku mengambil baju dari ...."
"Ya. Pakai saja! Itu memang milikmu, aku minya pelayan membelikannya untukmu kemarin karena aku tidak mau melihatmu memakai baju lusuh," potong Nial acuh.
Sekilas memandang Bela dari cermin yang ada di depannya.Bela masuk ke dalam walk in closet dan mengambil jas Nial lalu membukanya sehingga Nial bisa langsung memasukkan kedua tangannya tanpa membutuhkan banyak effort.
Membutuhkan waktu beberapa saat bagi Nial untuk menyadari Bela sedang membantunya, atau sedang menarik perhatiannya?
Ia hanya membiarkannya dan memilih untuk memakai jas yang sudah dibuka untuknya."Kamu mencoba menarik perhatianku?"
Suara Nial sampai ke telinganya, membuat Bela menengadahkan kepalanya dan mata mereka bertemu.
"Tidak," jawab Bela secepat mungkin.
"Aku hanya tidak ingin membuatmu marah."
Nial menyeringai dan meraih dagu Bela. Ia sedikit menunduk dan mendekatkan wajahnya pada perempuan yang tidak lebih tinggi dari pundaknya itu.
"Jangan harap kamu bisa menggantikan istriku, Bela! Kamu di sini hanya untuk menggantikan kakakmu yang sudah menolakku dan membawa uangku, Bela. Mengerti?"
Nial melepas dagu Bela dengan kasar hingga tubuh mungilnya terhuyung beberapa jarak ke belakang.
"Aku tidak melakukannya untuk menggantikan istrimu kok. Aku melakukannya untuk ibuku."
Setelah mengatakan demikian Bela menyesal.
Jelas kalimat itu telah menyulut amarah Nial pagi ini. Karena menyiratkan arti bahwa ibunya lebih penting dari segalanya dari pada memikirkan Nial."Kamu dan Handoko sama saja. Dia tidak puas dengan hanya bekerja pada ayahku dan menawarkan anaknya agar menikah denganku untuk mengobati istrinya yang sekarat. Lalu sekarang anak perempuannya yang menggantikan kakaknya yang penipu itu berani meninggikan suaranya padaku?"
Nial tidak mengalihkan pandangannya dari Bela yang sudah tertunduk ketakutan dan tidak berani menatapnya.
"Kamu adalah pengantin yang sama sekali tidak aku inginkan, Bela."
Muak. Ucapan Nial terlalu kasar di telinganya.
Bela mengangkat wajahnya dan membalas tatapan Nial."Kamu pikir aku ingin jadi pengantinmu?"
"Harus kamu tahu ini! Saat melihat Vida, kenapa aku langsung menyetujui untuk menikah dengannya? Karena dia mirip istriku! Tapi mereka berbeda! Istriku perempuan baik-baik dan kakakmu itu adalah perempuan tidak tahu diri!"
Nial meraih tangan kiri Bela dan menunjukkan cincin pernikahan mereka yang melingkar di sana.
"Ini hanya simbol tanpa makna. Jangan mimpi kamu bisa menggantikan istriku! Suruh ibumu cepat sembuh! Kalau dia hidup nanti, aku tidak akan menanggung biayanya lagi seperti yang aku katakan pada Handoko dan Hendro, lalu kita cerai agar aku tidak melihatmu di sini lagi!"
Nial membuang tangan Bela dengan kasar sebelum akhirnya pergi dari sana.
Meninggalkan Bela yang jatuh terduduk di lantai dengan beruraian air mata.Bela tahu ia akan dijadikan pengganti Vida sekaligus orang yang harus menanggung kebencian Nial atas apa yang kakak perempuannya itu lakukan.
Tapi ia tidak menyangka ia juga akan menjadi pelampiasan Nial.Pengantin yang tidak diinginkan. Ia akan selamanya menyandang gelar itu dari Nial.
Lelaki yang tak akan pernah bisa ia sentuh hatinya. Lelaki yang mengambil miliknya yang paling berharga, sekaligus membuatnya tinggal di dalam rumah yang terasa seperti penjara.....Di luar, Nial memasuki mobil yang sudah disiapkan di halaman untuknya oleh Jerry, sekretarisnya.Ia duduk di dalam dengan rahang yang mengeras. Mengepalkan tangannya erat-erat dengan isi perasaan yang simpang siur.
Ia pikir tidak akan pernah bisa menemukan seseorang yang begitu mirip dengan mantan istrinya setelah melihat wajah Vida.Tapi bukan itu, apa yang dilakukan oleh Bela tadi telah membuat kenangan berputar dengan begitu hebatnya.
Ada alasan kenapa ia sesaat dalam kebekuan saat Bela membuka jas untuknya agar ia lebih mudah memakainya.Semua itu karena apa yang dilakukan Bela adalah hal yang sama yang dulu selalu dilakukan oleh Catherine, mantan istrinya, sebelum Nial berangkat kerja.
Setelah sekian tahun berlalu dan ia telah hampir lupa, pagi ini Bela telah mengingatkannya lagi.
Netranya buram oleh air mata yang menggenang. Kerinduannya tidak dapat ia bendung.
Bayangan wajah dan senyum Catherine berlalu lalang di dalam kepalanya. Tertimpa wajah Bela yang semalam menangis saat ia ambil gadisnya. Lalu menjadi wajah Catherine lagi—wajah Catherine yang bersimbah darah di tepi jalan."Aku merindukanmu, Catherine. Kenapa kamu pergi meninggalkanku?"
...."Bela!"Panggilan yang datang dari seorang perempuan itu membuat Bela menoleh dengan cepat. Ia dapat melihat wajah ayu dari belakangnya. Rambutnya panjang dan itu adalah Vida, kakak perempuannya."Kak Vida? Kamu kenapa di sini?""Kenapa? Senang setelah bisa menggantikanku menjadi pengantin Nial?"Pertanyaannya yang frontal telah mengundang atensi orang di sekitarnya. Mereka yang mendengar apa yang dikatakan oleh Vida langsung saja menoleh karena memang saat ini mereka berada di depan gerbang Universitas.Bela mendengkus, ia tidak tahu alasan Vida melakukan ini, apa dia sengaja atau tidak, yang jelas ucapannya bernada marah dan benci."Lalu kenapa kalau aku menggantikanmu? Kamu juga nggak bisa melakukan apapun, Vida! Lihat apa yang kamu lakukan! Kamu nggak tahu ibu hampir meninggal karenamu?""Bela!"PLAKKK!!Tamparan itu melayang di wajah Bela yang menahan air matanya siang ini. Wajahnya terasa semakin panas, ia menyentuh pipinya yang memerah karena ulah kakaknya."Apa kamu berh
Sebelumnya, Nial melihat sendiri lelaki yang mengantar Bela pulang sedang melambaikan tangan dengan seulas senyum yang paling menawan. Yang mana hal itu membuatnya gerah. Ia berpikir anak-anak muda jaman sekarang seenaknya mengantar pulang istri orang tanpa rasa takut, tepat di depan pintu gerbang rumah suaminya. Nial melonggarkan dasinya yang terasa mencekik lehernya sendiri. Ia masuk ke dalam kamar saat suara petir yang sangat hebat terdengar pecah di luar. "Apa dia akan baik-baik saja? Biarkan saja! Siapa suruh dia dekat dengan lelaki lain?" Nial menghempaskan tubuh lelahnya ke atas ranjang. Memiringkan badan dan memanggil ingatan di mana semalam ia dapat melihat Bela tergolek kesakitan saat ia mengambil miliknya yang paling berharga, gadisnya. Hal itu justru membuat gairahnya membuncah, hanya dengan memikirkan bagaimana bentuk tubuh Bela membuat hormon lelakinya bangkit dari tidur. Nial memijit keningnya, memejamkan mata. "Maafkan aku, Catherine! Aku hanya akan menjadikannya
CTARR!!!Petir itu benar-benar terdengar dengan cukup keras. Kilatan putih itu seperti flash kamera raksasa yang menyilaukan hingga membuat Bela berteriak ketakutan."AAA!!"Ia yakin petir itu menyambar setidaknya pohon atau batu atau bumi, pasti salah satu dari mereka. Ia juga terkejut karena Nial keluar dari pintu kamar mandi dan berlari padanya lalu memeluknya yang masih duduk di atas tempat tidur."M-Mas Nial!"Bela memanggil Nial sekali lagi dan secepat mungkin Nial melepaskan tangannya yang merengkuh Bela. "Kenapa teriak?" tanyanya ketus. Bela mengangkat wajahnya untuk melihat Nial yang semakin tinggi saat berdiri di hadapannya. "A-ada petir." Bela menjawab dengan ragu-ragu. Ia melihat wajah kesal Nial yang lalu pergi tanpa mengatakan apapun lagi. Ia kembali masuk ke dalam kamar mandi dan Bela dapat mendengar suara air yang jatuh dari shower.Nial mengusap wajahnya dengan kasar saat mengingat bagaimana ia berlari secepat Usain Bolt dan memeluk Bela yang berteriak ketakutan ka
"Bapak!"Bela berlari menghambur dalam dekapan Handoko, ayahnya. Ia baru saja lepas dari Nial yang akhirnya mengijinkannya untuk datang ke rumah sakit setelah Bela menangis agar Nial menghentikan hasratnya yang membara di atas ranjang.'Tolong, Mas Nial! Kamu bisa melakukan apapun padaku. Tapi tolong, kali ini saja biarkan aku menerima panggilan bapak!'Bela ingat hal itu yang ia katakan pada Nial dengan air mata yang menggenang. Nial tidak tega karena mata Bela sudah seperti anak kucing yang kedinginan di tengah badai salju.'Baiklah.'Bela mengangkat telepon dari Handoko yang mengatakan ibunya kembali kritis. Air matanya semakin jatuh berlinang saat panggilan mereka mati.'Pakailah baju, Bela! Aku akan mengantarmu ke rumah sakit.'Tadinya Bela tidak percaya dengan apa yang didengarkannya dari bibir Nial. Tapi saat mata mereka bertemu, ia tahu Nial sungguh-sungguh.Membuat Bela menurutinya dan di sinilah dia sekarang.Memeluk Handoko dan memandang keadaan ibunya di dalam ruang ICU ya
Suara petir kembali terdengar dengan cukup hebat di atas sana padahal hujan baru saja reda. Petir juga terasa baru saja menyambar kepala Bela yang tertunduk ke samping melihat rambut hitam Nial yang sedang bersandar di pundaknya.'Catherine dia bilang?'Ia menghela napasnya.'Jadi nama mantan istrinya adalah Catherine?'Bela masih belum bergerak. Ia merasakan bahu Nial berguncang. Ia tahu lelaki ini menangis. Entah apa penyebabnya tiba-tiba ingat dengan Catherine, meski Bela tahu memang Nial tidak pernah bisa melupakan Catherine bahkan hanya dalam sedetik pun."Aku Bela!" Akhirnya ia membuka suaranya agar Nial berhenti mengingat Catherine.Nial berangsur menyadarkan dirinya dan menarik kepalanya dari Bela. Ia tidak mengatakan apapun saat bangkit dari duduknya dan membiarkan Bela sendirian di sana, sementara gerimis kembali mengguyur jagat raya.Bela menunduk. Ingat betul bagaimana ucapan Nial yang mengatakan bahwa dirinya hanyalah sebatas pengantin pengganti yang tidak diinginkan N
***"Ya, Jerry. Aku akan berangkat sebentar lagi."Suara bariton seorang lelaki terdengar sangat dekat di telinga Bela. Dan hal itu membuatnya segera membuka mata.Ia terkejut. Tentu saja! Karena ia bangun di dalam kamar Nial padahal sebelumnya ia tidur di sofa ruang tamu.Apalagi saat ini ia melihat Nial duduk di sampingnya dengan keadaan tanpa mengenakan atasan sehingga Bela disuguhi pemandangan tubuh atletisnya.Ia juga tampak baru saja bangun saat menerima panggilan lelaki bernama Jerry di ponselnya.'Apa yang terjadi semalam?' Bela menggigit bibirnya dan mengecek keadaannya di bawah selimut. Masih berpakaian lengkap.'Jadi Nial membawaku naik?' Ia sekilas melihat Nial yang ternyata mata elangnya sudah mengawasinya lebih dulu. Bela terbaring dengan kaku. Lidahnya membeku sampai dia tidak bisa mengatakan apapun bahkan hanya untuk menyapa Nial."Sudah bangun?"Suara bariton dingin Nial kembali tedengar. Membuat Bela
Nial melihat sendiri Bela menyentuh dompetnya dan mengintip foto Catherine di sana yang membuatnya berteriak marah.Bela berjingkat satu jarak menjauh dari meja dan menatap Nial dengan mata anak kucing yang ketakutan."Kamu tidak tahu kalau kamu lancang, Bela?"Nial meraih dompetnya secepat mungkin dan mengamankannya ke dalam genggamannya.Bela tidak menjawab Nial. Karena apapun bentuk jawaban yang ia katakan maka Nial akan tetap marah, Bela sudah terlajur salah di mata Nial."Jawab!"Bela menunduk dengan meremas jemari mungilnya. Menghindari mata Nial mungkin adalah pilihan terbaik saat ini dari pada membuatnya semakin ketakutan."Apa kamu penasaran dengan mantan istriku sampai kamu harus menyentuh dan membuka dompetku?"'Aku membuka dompetnya?' Bela bertanya dalam hati. Tapi sekarang bukan itu. Ada hal yang le
Nial khawatir. Sudah beberapa lama sejak Bela pergi menerjang guyuran hujan karena marah padanya. Bahkan saat ia selesai mandi dan menuruni tangga, anak itu juga belum tampak menunjukkan tanda-tanda kepulangannya. Harusnya ini lebih baik, karena artinya ia tidak perlu lagi melihatnya berkeliaran di dalam rumahnya. Tapi hatinya tidak mengijinkan. Ia membuka pintu rumah, sapuan dingin angin malam dan tempias hujan datang menerpa wajahnya. Petrichor membuatnya menghidu bau masa lalu. Bau Catherine, bau pomelo yang dipakainya. 'Nanti, datanglah dulu dengan Gavin di tempat kita reservasi untuk makan malam! Aku akan datang menyusul setelah pulang kerja, ya?' Itu adalah janji terakhir yang diucapkan Nial pada Catherine. 'Iya, Mas Nial ... aku dan Gavin akan menunggumu di sana.' 'Bagus. Kamu akan memakai gaun ini?' Nial melingkarkan tangannya pada pinggang Catherine, merasakan lembutnya gaun yang ia berikan padanya sebagai hadiah ulang tahun mereka yang memasuki satu dekade. 'Iya,