"Bapak!"
Bela berlari menghambur dalam dekapan Handoko, ayahnya. Ia baru saja lepas dari Nial yang akhirnya mengijinkannya untuk datang ke rumah sakit setelah Bela menangis agar Nial menghentikan hasratnya yang membara di atas ranjang.
'Tolong, Mas Nial! Kamu bisa melakukan apapun padaku. Tapi tolong, kali ini saja biarkan aku menerima panggilan bapak!'
Bela ingat hal itu yang ia katakan pada Nial dengan air mata yang menggenang. Nial tidak tega karena mata Bela sudah seperti anak kucing yang kedinginan di tengah badai salju.
'Baiklah.'
Bela mengangkat telepon dari Handoko yang mengatakan ibunya kembali kritis. Air matanya semakin jatuh berlinang saat panggilan mereka mati.
'Pakailah baju, Bela! Aku akan mengantarmu ke rumah sakit.'
Tadinya Bela tidak percaya dengan apa yang didengarkannya dari bibir Nial. Tapi saat mata mereka bertemu, ia tahu Nial sungguh-sungguh.
Membuat Bela menurutinya dan di sinilah dia sekarang.
Memeluk Handoko dan memandang keadaan ibunya di dalam ruang ICU yang masih memakai alat bantu pernapasan. Pulse-nya terlihat stabil tapi dia diawasi oleh beberapa perawat.
"Jangan menangis!"
Handoko mengusap puncak kepala anaknya dan mengusap air mata Bela. Ia tersenyum saat melihat wajah putrinya. Tapi kemudian alisnya berkerut saat melihat luka tergores di pipinya dan sudut bibirnya yang berdarah.
"Apa yang terjadi denganmu? Tuan Nial melakukan hal buruk?"
Bela menggeleng dengan cepat.
"Tidak. Aku bertemu dengan Vida tadi dan dia menamparku sampai bibirku berdarah."
Handoko terperanjat hingga kebisuan dingin sesaat menghampiri. Iris mata tuanya bergetar dengan guratan marah yang tak ia sampaikan.
"Tapi kenapa pipimu? Kenapa ada bekas tergores di sini?"
Handoko melihat lengan Bela juga terdapat luka yang sama.
"Tuan Nial yang melakukannya?" tanyanya sekali lagi.
"Tidak, Pak. Mas Nial justru malah menolongku."
Bela menjawab secepat mungkin agar Handoko tidak curiga. Ia melihat Nial yang datang setelah parkir dan saat ini ia berdiri di belakang ayahnya.
Mengikuti arah pandang Bela, Handoko memutar tubuhnya dan menjumpai Nial di sana. Ia menunduk memberi salam pada anak menantunya yang secara tidak langsung juga adalah anak dari bos sekaligus sahabatnya dari SMA, Hendro Abdisatya.
Sebelum hiatus bekerja karena harus merawat istrinya, Handoko adalah sopir Hendro. Bisa dibilang ia adalah orang kepercayaan Hendro.
"Jangan menundukkan kepala! Sekarang aku adalah anak Ayah, 'kan?" ucap Nial sekilas tersenyum pada Handoko.
Senyum paling hangat yang pernah dilihat Bela sejauh ini.
Seperti tahu Bela terus memandangnya, Nial membalasnya dan Bela buru-buru berpaling.
"Bagaimana keadaannya?"
Nial melangkah melewati Bela dan melihat Sasti melalui jendela di ruang ICU.
"Sekarang membaik, sebelumnya dia kritis," jawab Handoko.
"Saat dia keluar dari ICU, mintalah ruangan VIP. Jadi Ayah bisa istirahat juga."
Bela dapat mendengar ada kehangatan di dalam suara Nial meski itu dikatakan dengan wajah yang dingin dan acuh.
"Terima kasih untuk sudah memberinya pengobatan yang layak," ucap Handoko, tidak bisa menyembunyikan senyumnya.
"Bukan masalah besar, aku hanya menepati janji untuk orang-orang yang juga menepati janjinya."
Ia mengerling sekilas pada Bela sebelum melangkah pergi dari sana. Bela hanya terus melihatnya sampai punggung bidang itu menghilang di tikungan.
'Apa dia ingin jadi tsundere? Mengatakan hal-hal hangat tapi dengan wajah yang menyebalkan?'
Bela bertanya dalam hatinya. Tapi Handoko menghentikan monolognya saat ia mendekat dan menepuk pundak Bela yang tak kunjung merespon panggilannya yang sudah sebanyak dua kali.
"Ya, Pak?"
Handoko mendengus.
"Kamu pulanglah, Bel! Ajak Nial pulang!"
"Tapi 'kan Bela mau nungguin ibu di sini."
"Kamu besok 'kan kuliah, Nial juga harus bekerja."
"Jangan pikirkan Nial!"
"Bela ...."
Handoko mengusap punggung anak perempuannya.
"Sekarang, hidupmu bukan hanya tentang Bapak saja, tapi juga untuk Nial."
Bela berpikir andai ayahnya tahu bagaimana kasar dan dinginnya Nial, mungkin dia sudah menyuruh Bela pergi dari rumah Nial. Tapi Bela tidak ingin mengatakannya. Cukup dia sendiri yang merasakan pahitnya hidup bersama Nial, ayahnya tidak perlu tahu.
"Bapak bisa melihat dia suka denganmu. Hanya saja dia tidak bisa mengatakannya.
'Hah? Lelaki itu? Menyukaiku? Mana mungkin! Dia saja tidak bisa melupakan istrinya, jadi bagaimana bisa dia menyukaiku? Tapi 'kan bapak melihatnya dari sudut pandang orang lain. Jadi masa sih?'
Di sisi lain, Nial meninggalkan Bela agar ia bisa bertemu dan bicara dengan Handoko.
Ia mendengar sendiri bagaimana Bela menutupi kesalahannya yang jelas-jelas menjadi penyebab utama luka yang didapat Bela karena tangannyalah yang mendorong Bela masuk ke dalam gudang dan ia kunci dari luar.
"Kenapa dia tidak mengadu saja pada Handoko kalau aku menguncinya dalam gudang? Kenapa malah melindungiku? Dia ingin menarik perhatianku?"
Nial beringsut mundur saat suara datang dari arah depan dan lepas dari pengawasannya.
"Awas! Tolong minggir!"
Seorang perawat pria mendorong brankar bersama beberapa perawat yang lain. Di atas brankar itu tergolek perempuan bersimbah darah yang bisa ditebak dia baru saja mengalami kecelakaan. Mereka mendorongnya dengan cepat memasuki ruang bedah sentral.
Nial meneruskan langkahnya yang terasa mengambang. Kakinya seperti tidak lagi menginjak bumi atau paving yang ada di depan pintu gawat darurat.
Perempuan bersimbah darah barusan telah mengingatkannya akan Catherine, mantan istrinya yang telah tiada.
'Mas Nial! Aku akan memakai dress ini!'
Ia ingat betul hari itu Catherine berputar di depannya dengan mengenakan dress satin berwarna putih, hadiah untuk ulang tahun pernikahan mereka yang ke sepuluh.
'Apa aku cantik?' Catherine tersenyum dan ia masih berputar sekali lagi agar semua bentuk tubuhnya yang terbalut hadiah dari Nial bisa dilihat.
'Iya, kamu cantik, Sayang!'
'Mama cantik!' Suara anak laki-laki terdengar dari samping Nial, mereka duduk di tepi tempat tidur melihat Catherine yang tersenyum bahagia.
'Apa aku bilang? Kamu cocok dengan dress itu! Iya 'kan Gavin, Mama cantik 'kan memakai itu?
Anak lelaki berumur tiga tahun itu mengangguk. Dia adalah Zargavin Leo Abdisatya, anak Nial dan juga Catherine yang mereka nanti cukup lama. Setelah tujuh tahun pernikahan dan penantian, mereka baru bisa mendapatkan Gavin dalam pangkuan.
Dada Nial begitu sesak, ia duduk dengan lemas di bangku yang ada di bawah pohon di halaman rumah sakit. Dinginnya angin malam membuat gigilnya semakin parah.
Ia masih bisa mendengar percakapan mereka hari itu bahkan setelah tiga tahun berlalu. Ingatannya mengabur lalu redup seperti layar proyektor yang dimatikan saat angin dingin melewatinya.
Kenangan akan hidup bahagianya bersama Catherine hanya berakhir sampai di situ saja. Karena yang tersisa selanjutnya adalah sebuah rasa perih yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya.
"Mas Nial!"
Nial meremas kemeja di dadanya, ia hampir tidak bisa bernapas karena suara Catherine begitu dekat di sisinya. Seperti sosoknya masih hidup dan bersamanya sampai saat ini.
"Mas Nial!"
Tubuhnya berguncang dan saat ia menoleh ke samping. Panggilan itu nyata adanya.
....
Bela tidak tahu harus mencari Nial ke mana setelah berpamitan pulang pada Handoko. Tapi ternyata ia bisa menemukan Nial di sini. Di bawah pohon.
Duduk meringkuk seperti sedang kesakitan dan meremas kemeja di dadanya yang tertutup coat panjang warna hitam.
Saat Nial menoleh, Bela tidak menyangka bahwa cairan bening yang menggenang di kedua mata Nial itu adalah air mata.
"Mas Nial kenapa?"
Ia tahu ia lancang. Tapi ia tidak tahan saat seseorang dirundung kepedihan meski tidak ada orang lain yang peduli dengan sedih yang dia rasakan.
Nial tak menjawabnya, ia hanya terus memandang Bela hingga membuatnya duduk di sampingnya dan mengusap punggung tangannya.
Bela tidak siap!
Nial menjatuhkan kepalanya di pundaknya. Membuat Bela hanya duduk seperti patung pualam yang sedang dipahat.
"Mas Nial?"
"Akhirnya kamu datang. Aku merindukanmu, Catherine."
Suara petir kembali terdengar dengan cukup hebat di atas sana padahal hujan baru saja reda. Petir juga terasa baru saja menyambar kepala Bela yang tertunduk ke samping melihat rambut hitam Nial yang sedang bersandar di pundaknya.'Catherine dia bilang?'Ia menghela napasnya.'Jadi nama mantan istrinya adalah Catherine?'Bela masih belum bergerak. Ia merasakan bahu Nial berguncang. Ia tahu lelaki ini menangis. Entah apa penyebabnya tiba-tiba ingat dengan Catherine, meski Bela tahu memang Nial tidak pernah bisa melupakan Catherine bahkan hanya dalam sedetik pun."Aku Bela!" Akhirnya ia membuka suaranya agar Nial berhenti mengingat Catherine.Nial berangsur menyadarkan dirinya dan menarik kepalanya dari Bela. Ia tidak mengatakan apapun saat bangkit dari duduknya dan membiarkan Bela sendirian di sana, sementara gerimis kembali mengguyur jagat raya.Bela menunduk. Ingat betul bagaimana ucapan Nial yang mengatakan bahwa dirinya hanyalah sebatas pengantin pengganti yang tidak diinginkan N
***"Ya, Jerry. Aku akan berangkat sebentar lagi."Suara bariton seorang lelaki terdengar sangat dekat di telinga Bela. Dan hal itu membuatnya segera membuka mata.Ia terkejut. Tentu saja! Karena ia bangun di dalam kamar Nial padahal sebelumnya ia tidur di sofa ruang tamu.Apalagi saat ini ia melihat Nial duduk di sampingnya dengan keadaan tanpa mengenakan atasan sehingga Bela disuguhi pemandangan tubuh atletisnya.Ia juga tampak baru saja bangun saat menerima panggilan lelaki bernama Jerry di ponselnya.'Apa yang terjadi semalam?' Bela menggigit bibirnya dan mengecek keadaannya di bawah selimut. Masih berpakaian lengkap.'Jadi Nial membawaku naik?' Ia sekilas melihat Nial yang ternyata mata elangnya sudah mengawasinya lebih dulu. Bela terbaring dengan kaku. Lidahnya membeku sampai dia tidak bisa mengatakan apapun bahkan hanya untuk menyapa Nial."Sudah bangun?"Suara bariton dingin Nial kembali tedengar. Membuat Bela
Nial melihat sendiri Bela menyentuh dompetnya dan mengintip foto Catherine di sana yang membuatnya berteriak marah.Bela berjingkat satu jarak menjauh dari meja dan menatap Nial dengan mata anak kucing yang ketakutan."Kamu tidak tahu kalau kamu lancang, Bela?"Nial meraih dompetnya secepat mungkin dan mengamankannya ke dalam genggamannya.Bela tidak menjawab Nial. Karena apapun bentuk jawaban yang ia katakan maka Nial akan tetap marah, Bela sudah terlajur salah di mata Nial."Jawab!"Bela menunduk dengan meremas jemari mungilnya. Menghindari mata Nial mungkin adalah pilihan terbaik saat ini dari pada membuatnya semakin ketakutan."Apa kamu penasaran dengan mantan istriku sampai kamu harus menyentuh dan membuka dompetku?"'Aku membuka dompetnya?' Bela bertanya dalam hati. Tapi sekarang bukan itu. Ada hal yang le
Nial khawatir. Sudah beberapa lama sejak Bela pergi menerjang guyuran hujan karena marah padanya. Bahkan saat ia selesai mandi dan menuruni tangga, anak itu juga belum tampak menunjukkan tanda-tanda kepulangannya. Harusnya ini lebih baik, karena artinya ia tidak perlu lagi melihatnya berkeliaran di dalam rumahnya. Tapi hatinya tidak mengijinkan. Ia membuka pintu rumah, sapuan dingin angin malam dan tempias hujan datang menerpa wajahnya. Petrichor membuatnya menghidu bau masa lalu. Bau Catherine, bau pomelo yang dipakainya. 'Nanti, datanglah dulu dengan Gavin di tempat kita reservasi untuk makan malam! Aku akan datang menyusul setelah pulang kerja, ya?' Itu adalah janji terakhir yang diucapkan Nial pada Catherine. 'Iya, Mas Nial ... aku dan Gavin akan menunggumu di sana.' 'Bagus. Kamu akan memakai gaun ini?' Nial melingkarkan tangannya pada pinggang Catherine, merasakan lembutnya gaun yang ia berikan padanya sebagai hadiah ulang tahun mereka yang memasuki satu dekade. 'Iya,
Dia menit sebelum kejadian ...."Bodoh!"Nial melihat Bela, ia lega karena ia menemukannya. Tapi lihat di mana dia sekarang! Di tengah kericuhan tawuran yang ada di jalan tak jauh dari rumah sakit. Ia berlari keluar dari mobilnya dan di sinilah sekarang. Memeluk Bela dengan sangat erat meski kepalanya dihantam botol kaca hingga berdarah.Panggilan Bela menyadarkannya bahwa mereka dalam situasi yang tidak aman. Nial melepas pelukannya dari Bela, memutar tubuhnya dan memberikan pukulan terkuatnya pada lelaki bertubuh kekar yang baru sana membuatnya mendapatkan luka-luka.BRUGH!Lelaki itu jatuh ke jalan hanya dengan sekali pukulan karena Nial menyerang titik fatal pada lehernya hingga pingsan.Bela tertegun di tempatnya berdiri. Sesaat kemudian keributan bubar karena sirine mobil polisi bergema di setiap sudut malam. Sementara Nial menarik tangannya dan membawanya masuk ke dalam mobil untuk pulang.Mereka tidak mengatakan apapun bahkan sampai masuk ke dalam rumah dan sampai di kamar m
'Tidurlah denganku dia bilang?'Bela menggigit bibirnya, tangannya yang sedang digenggam Nial terasa kebas. "Tapi ... Mas Nial jangan melakukan apapun padaku!""Kenapa?""Aku benar-benar harus bangun pagi besok.""Kamu mau ke mana?""Aku ada acara gathering dengan teman-teman satu fakultas.""Dengan Presiden Mahasiswa juga?"Bela penasaran bagaimana caranya Nial tahu identitas Niko. Tapi melihat dari bagaimana berkuasanya seorang Danial Abdisatya, bukankah hal-hal seperti mencari identitas orang lain sangatlah mudah baginya?"Iya, tapi dia mungkin hanya datang sebentar untuk formalitas," jawab Bela secepat mungkin agar terlihat tidak sedang mencari-cari alasan di mata Nial."Ya, jangan dekat-dekat dengan Niko! Aku nggak suka."Bela enggan menjawabnya dan memilih untuk menarik tangannya dari Nial.Tapi Nial tidak mengijinkannya pergi begitu saja. Bela melihat Nial meletakkan sebuah kartu debit warna hitam di tangannya."Kata sandinya adalah ulang tahunmu. Pakai itu untuk membeli yang
Cup!Ini bukan mimpi atau pikiran kotor Bela saja.Niko memang mendaratkan bibirnya ke bibir Bela. Saat ini, di situasi seperti ini."Di mana Niko?" Suara itu datang dari sebelah kanan Bela yang membuatnya dengan cepat mendorong Niko agar ia tidak melakukannya lebih jauh.Niko tahu situasi genting ini karena yang terdengar itu adalah suara Andre, temannya yang dari tim biru, tim lawan. Niko menarik Bela pergi dari sana untuk menghindar."Itu Niko! Dia sama Bela."Bela merasakan tangan Niko menggenggamnya dengan erat dan membawanya menjauh dari samping kontainer lalu mereka berbelok ke tikungan. Menyembunyikan tubuh mereka di balik pohon besar yang berbatasan langsung dengan hutan. Pohon itu menelan habis punggung mereka saat mereka duduk di baliknya."Maaf."Niko membuka percakapan karena mereka hanya terus terdiam sedari tadi. Jelas saja! Bela tidak tahu bagaimana harus bersikap saat ini, dengan lelaki yang menjadi cinta pertamanya. Lelaki yang menciumnya di saat ia sudah memilik
"Auh!"Bela terbangun dengan tengkuk yang berat. Tidur di tenda semalaman telah membuat lehernya sakit.Dan sekarang ia keluar dengan membawa tasnya. Ia tidak tahu kenapa teman-temannya memandangnya dengan tersenyum. Ia hanya mengabaikannya dan meneruskan langkah untuk menuju bus meski ini masih jam dua pagi.Nanti ia ada kelas pagi dan ia harap tidak terlambat bangun.Tapi, meski ingin mengabaikan bagaimanapun caranya, ia masih terus kepikiran. Kenapa mereka melihat Bela seperti ini. Ia bertanya dalam hati tanpa henti."Terlalu cantik."Niko datang dari samping kirinya, membuatnya berhenti."Apa?" tanya Bela tak mengerti."Kamu sedang bertanya-tanya dalam hati kenapa mereka terus memandangimu, 'kan?"Bela merinding, 'Apa dia cenayang?' Meski demikian ia tetap menganggukkan kepala pada Niko. "Dengan dress ini, kamu sangat cantik, Bel."Bela memandang dirinya sendiri. Gaun merah inikah yang dimaksudkan Niko?Baginya ini hanya dress biasa. Namun, di mata Niko ini adalah sebuah dress y