CTARR!!!
Petir itu benar-benar terdengar dengan cukup keras. Kilatan putih itu seperti flash kamera raksasa yang menyilaukan hingga membuat Bela berteriak ketakutan.
"AAA!!"
Ia yakin petir itu menyambar setidaknya pohon atau batu atau bumi, pasti salah satu dari mereka. Ia juga terkejut karena Nial keluar dari pintu kamar mandi dan berlari padanya lalu memeluknya yang masih duduk di atas tempat tidur.
"M-Mas Nial!"
Bela memanggil Nial sekali lagi dan secepat mungkin Nial melepaskan tangannya yang merengkuh Bela.
"Kenapa teriak?" tanyanya ketus. Bela mengangkat wajahnya untuk melihat Nial yang semakin tinggi saat berdiri di hadapannya.
"A-ada petir." Bela menjawab dengan ragu-ragu.
Ia melihat wajah kesal Nial yang lalu pergi tanpa mengatakan apapun lagi. Ia kembali masuk ke dalam kamar mandi dan Bela dapat mendengar suara air yang jatuh dari shower.
Nial mengusap wajahnya dengan kasar saat mengingat bagaimana ia berlari secepat Usain Bolt dan memeluk Bela yang berteriak ketakutan karena mendengar petir yang menggila di luar.
"Nial bodoh! Dia bukan Catherine!" umpatnya untuk diri sendiri. Tapi sungguh! Bela memberikan rasa manis pada saat malam pertama. Mengingat wajah tidak berdayanya membuat gairah Nial kembali bangun.
"Sial! Kenapa aku tidak bisa berhenti memikirkan anak itu?"
Nial memejamkan matanya dan kembali berdiri di bawah shower. Ia harus melunturkan semua hasrat itu di sini karena jika tidak ia pasti akan menerkam Bela saat keluar dari kanar mandi.
Sebenarnya Bela merasa untuk ukuran waktu mandi seorang lelaki, Nial cukup lama ada di dalam sana. Tapi baru saja ia berpikir demikian, Nial keluar pada akhirnya. Dan ia masuk ke dalam ruang ganti.
Bela turun dari tempat tidur dan juga akan mandi. Ia dengan ragu memasuki ruang ganti untuk mengambil pakaian. Saat ia mengintip ke dalam, ternyata Nial sudah selesai berpakaian dan berbaring di sofa besar di dalam sana dengan tangan yang sibuk dengan ponselnya.
"Mas Nial kenapa tidur di sini?"
Pertanyaan itu membuat Nial mengalihkan padangannya dari layar ponsel pada Bela yang berdiri tak jauh darinya.
Saat itu, Bela menyumpahi dirinya sendiri yang telah salah karena dengan bodohnya berani bertanya pada Nial. Karena dengan hanya dilihat dari sorot matanya saja lelaki itu tidak suka Bela merambah kepentingan pribadinya.
"Kenapa? Kamu mau aku tidur di ranjang?"
Bau ruangan ini sepenuhnya diisi dengan aroma sabun mandi yang begitu harum yang memanjakan indra penciumannya. Bela tahu ini datang dari tubuh dan rambut Nial yang sehabis mandi.
Tapi ini bukan saatnya untuk terpana dengan Nial karena mata lelaki itu memandangnya dengan memicing. Menunggu jawaban Bela.
"Tidak! Terserah kamu!"
Bela menjawab dengan cepat dan ia membuka lemari untuk mengambil baju apapapun dan membawanya masuk ke dalam kamar mandi sebelum Nial menginterogasinya dengan pertanyaan lain.
Ia buru-buru mandi untuk menghilangkan penat dan membasuh luka yang terasa perih baik di tangan dan kakinya.
"Kenapa perih seperti ini? Aku 'kan hanya jatuh biasa."
Ia lalu mengambil baju yang tadi dibawanya dan bersiap untuk memakainya. Namun ia terperangah karena baju yang diambilnya mengindikasikan sebuah situasi yang gawat.
Baju itu memang berbentuk seperti dress, tapi pada bagian pinggangnya didesain seperti kekurangan bahan. Dress tanpa lengan, dengan kerah leher yang rendah yang apabila dipakaianya pasti Nial mengatakan ia sedang menggodanya.
Ini lebih seperti pakaian yang digunakan istri untuk menggoda suaminya.
Dalam keadaan krisis ini, pintu digedor dari luar bersama suara Nial yang memanggilnya.
"Bela! Ada telepon dari ayahmu!"
Gawat! Bela memandang ke segala arah. Mencari bath robe tapi tidak ada. Dress yang sebelumnya ia pakai sudah basah terkena air dan ia lempar ke dalam keranjang pakaian kotor.
Matanya menggelepar dalam kecemasan. Ia harus segera keluar karena Nial terdengar tidak sabar saat ia tak kunjung memberikan jawaban.
"Bela!!"
Suara Nial mulai meninggi saat ia masih mengetuk pintu kamar mandi dengan semakin keras.
'Masa bodoh,' pikir Bela dalam hati dan dia memakai dress penuh dosa ini.
Ia membuka pintu dan hanya memunculkan kepalanya saja saat melihat wajah dingin Nial dan garis dagunya yang menegang karena kesal.
"Kamu tidak mendengarku?" tanyanya ketus sama seperti biasa.
"M-maaf!
"Cepat keluar dan jawab telepon ayahmu!"
Nial membuka pintu lebar-lebar dan hal itu membuat Bela dengan cepat menyilangkan kedua tangannya di depan tubuhnya.
Mata Nial menatap semuanya, pemandangan indah itu, lekuknya yang sempurna dan wajah ayu Bela yang memang harus diakuinya. Ia menelan salivanya dengan pelan tapi gairahnya yang baru saja padam kembali berkobar.
"Kamu menggodaku dengan pakaian itu?"
Bela sudah menduga akan seperti ini pikiran Nial. Siapapun pasti berpikir demikian jika melihat situasi tidak menguntungkan ini.
"T-tidak! Maaf! Aku buru-buru mengambil pakaian dan tidak melihatnya."
Degub jantung Nial membuncah, ia kalah.
Bela merasakan tangan Nial menariknya keluar dari kamar mandi. Ia membuat Bela melepas tangannya yang menyilang dan membuatnya tersudut di dinding. Nial meraih pinggangnya dan mendaratkan bibirnya pada bibir Bela.
Bela mencoba menahan agar Nial tidak melakukan ini, tapi tubuh mungilnya habis ditelan bahu lebar dan tangan besar Nial yang memeluknya.
Bela tidak bisa bergerak dan tidak bisa melakukan apapun karena ia sama sekali tidak tahu apa yang harus ia lakukan di saat seperti ini. Tapi ia melihat mata terpejam Nial dan ia melakukan hal yang sama.
Tapi masih ada sebagian akal sehatnya yang bekerja yang menolak semua perlakuan Nial padanya.
"Mas Nial, berhenti!"
Napas Bela memburu, tapi Nial tidak mengindahkannya.
"Siapa suruh kamu menggodaku? Kamu sengaja melakukannya, 'kan?"
"Tidak!"
"Bohong! Kamu ingin aku memberimu kenikmatan? Mengaku saja! Aku akan memberikannya untukmu!"
"Tidak, Nial!"
"Nial? Apa aku adikmu sampai kamu hanya memanggilku dengan nama saja ?"
Nial mengangkatnya hanya dengan sekali gerakan dan membuat mereka jatuh di atas ranjang.
Suara dering ponsel kembali terdengar dan saat Bela melihat ke samping itu adalah ponselnya dan ada panggilan dari ayahnya.
"Mas, bapakku telepon!"
"Aku tidak peduli!"
Bela meraba-raba ponselnya. Takut itu situasi yang darurat mengingat ibunya masih ada di rumah sakit dan belum sadar pasca operasi sampai saat ini. Tapi ponselnya berhenti berdering tepat saat Bela meraihnya.
"Mas Nial!"
Bela terkejut karena Nial justru semakin liar. Yang mana hal ini membuatnya ketakutan karena ia tidak ingin berakhir seperti semalam. Ia khawatir pada ibunya, pada panggilan telepon ayahnya yang tak kunjung ia angkat.
Ia mendorong Nial dengan marah, dengan air mata yang menetes di kedua sudut matanya.
"Jangan, Mas Nial, kumohon mengertilah!"
Bela terisak.
"Bapak!"Bela berlari menghambur dalam dekapan Handoko, ayahnya. Ia baru saja lepas dari Nial yang akhirnya mengijinkannya untuk datang ke rumah sakit setelah Bela menangis agar Nial menghentikan hasratnya yang membara di atas ranjang.'Tolong, Mas Nial! Kamu bisa melakukan apapun padaku. Tapi tolong, kali ini saja biarkan aku menerima panggilan bapak!'Bela ingat hal itu yang ia katakan pada Nial dengan air mata yang menggenang. Nial tidak tega karena mata Bela sudah seperti anak kucing yang kedinginan di tengah badai salju.'Baiklah.'Bela mengangkat telepon dari Handoko yang mengatakan ibunya kembali kritis. Air matanya semakin jatuh berlinang saat panggilan mereka mati.'Pakailah baju, Bela! Aku akan mengantarmu ke rumah sakit.'Tadinya Bela tidak percaya dengan apa yang didengarkannya dari bibir Nial. Tapi saat mata mereka bertemu, ia tahu Nial sungguh-sungguh.Membuat Bela menurutinya dan di sinilah dia sekarang.Memeluk Handoko dan memandang keadaan ibunya di dalam ruang ICU ya
Suara petir kembali terdengar dengan cukup hebat di atas sana padahal hujan baru saja reda. Petir juga terasa baru saja menyambar kepala Bela yang tertunduk ke samping melihat rambut hitam Nial yang sedang bersandar di pundaknya.'Catherine dia bilang?'Ia menghela napasnya.'Jadi nama mantan istrinya adalah Catherine?'Bela masih belum bergerak. Ia merasakan bahu Nial berguncang. Ia tahu lelaki ini menangis. Entah apa penyebabnya tiba-tiba ingat dengan Catherine, meski Bela tahu memang Nial tidak pernah bisa melupakan Catherine bahkan hanya dalam sedetik pun."Aku Bela!" Akhirnya ia membuka suaranya agar Nial berhenti mengingat Catherine.Nial berangsur menyadarkan dirinya dan menarik kepalanya dari Bela. Ia tidak mengatakan apapun saat bangkit dari duduknya dan membiarkan Bela sendirian di sana, sementara gerimis kembali mengguyur jagat raya.Bela menunduk. Ingat betul bagaimana ucapan Nial yang mengatakan bahwa dirinya hanyalah sebatas pengantin pengganti yang tidak diinginkan N
***"Ya, Jerry. Aku akan berangkat sebentar lagi."Suara bariton seorang lelaki terdengar sangat dekat di telinga Bela. Dan hal itu membuatnya segera membuka mata.Ia terkejut. Tentu saja! Karena ia bangun di dalam kamar Nial padahal sebelumnya ia tidur di sofa ruang tamu.Apalagi saat ini ia melihat Nial duduk di sampingnya dengan keadaan tanpa mengenakan atasan sehingga Bela disuguhi pemandangan tubuh atletisnya.Ia juga tampak baru saja bangun saat menerima panggilan lelaki bernama Jerry di ponselnya.'Apa yang terjadi semalam?' Bela menggigit bibirnya dan mengecek keadaannya di bawah selimut. Masih berpakaian lengkap.'Jadi Nial membawaku naik?' Ia sekilas melihat Nial yang ternyata mata elangnya sudah mengawasinya lebih dulu. Bela terbaring dengan kaku. Lidahnya membeku sampai dia tidak bisa mengatakan apapun bahkan hanya untuk menyapa Nial."Sudah bangun?"Suara bariton dingin Nial kembali tedengar. Membuat Bela
Nial melihat sendiri Bela menyentuh dompetnya dan mengintip foto Catherine di sana yang membuatnya berteriak marah.Bela berjingkat satu jarak menjauh dari meja dan menatap Nial dengan mata anak kucing yang ketakutan."Kamu tidak tahu kalau kamu lancang, Bela?"Nial meraih dompetnya secepat mungkin dan mengamankannya ke dalam genggamannya.Bela tidak menjawab Nial. Karena apapun bentuk jawaban yang ia katakan maka Nial akan tetap marah, Bela sudah terlajur salah di mata Nial."Jawab!"Bela menunduk dengan meremas jemari mungilnya. Menghindari mata Nial mungkin adalah pilihan terbaik saat ini dari pada membuatnya semakin ketakutan."Apa kamu penasaran dengan mantan istriku sampai kamu harus menyentuh dan membuka dompetku?"'Aku membuka dompetnya?' Bela bertanya dalam hati. Tapi sekarang bukan itu. Ada hal yang le
Nial khawatir. Sudah beberapa lama sejak Bela pergi menerjang guyuran hujan karena marah padanya. Bahkan saat ia selesai mandi dan menuruni tangga, anak itu juga belum tampak menunjukkan tanda-tanda kepulangannya. Harusnya ini lebih baik, karena artinya ia tidak perlu lagi melihatnya berkeliaran di dalam rumahnya. Tapi hatinya tidak mengijinkan. Ia membuka pintu rumah, sapuan dingin angin malam dan tempias hujan datang menerpa wajahnya. Petrichor membuatnya menghidu bau masa lalu. Bau Catherine, bau pomelo yang dipakainya. 'Nanti, datanglah dulu dengan Gavin di tempat kita reservasi untuk makan malam! Aku akan datang menyusul setelah pulang kerja, ya?' Itu adalah janji terakhir yang diucapkan Nial pada Catherine. 'Iya, Mas Nial ... aku dan Gavin akan menunggumu di sana.' 'Bagus. Kamu akan memakai gaun ini?' Nial melingkarkan tangannya pada pinggang Catherine, merasakan lembutnya gaun yang ia berikan padanya sebagai hadiah ulang tahun mereka yang memasuki satu dekade. 'Iya,
Dia menit sebelum kejadian ...."Bodoh!"Nial melihat Bela, ia lega karena ia menemukannya. Tapi lihat di mana dia sekarang! Di tengah kericuhan tawuran yang ada di jalan tak jauh dari rumah sakit. Ia berlari keluar dari mobilnya dan di sinilah sekarang. Memeluk Bela dengan sangat erat meski kepalanya dihantam botol kaca hingga berdarah.Panggilan Bela menyadarkannya bahwa mereka dalam situasi yang tidak aman. Nial melepas pelukannya dari Bela, memutar tubuhnya dan memberikan pukulan terkuatnya pada lelaki bertubuh kekar yang baru sana membuatnya mendapatkan luka-luka.BRUGH!Lelaki itu jatuh ke jalan hanya dengan sekali pukulan karena Nial menyerang titik fatal pada lehernya hingga pingsan.Bela tertegun di tempatnya berdiri. Sesaat kemudian keributan bubar karena sirine mobil polisi bergema di setiap sudut malam. Sementara Nial menarik tangannya dan membawanya masuk ke dalam mobil untuk pulang.Mereka tidak mengatakan apapun bahkan sampai masuk ke dalam rumah dan sampai di kamar m
'Tidurlah denganku dia bilang?'Bela menggigit bibirnya, tangannya yang sedang digenggam Nial terasa kebas. "Tapi ... Mas Nial jangan melakukan apapun padaku!""Kenapa?""Aku benar-benar harus bangun pagi besok.""Kamu mau ke mana?""Aku ada acara gathering dengan teman-teman satu fakultas.""Dengan Presiden Mahasiswa juga?"Bela penasaran bagaimana caranya Nial tahu identitas Niko. Tapi melihat dari bagaimana berkuasanya seorang Danial Abdisatya, bukankah hal-hal seperti mencari identitas orang lain sangatlah mudah baginya?"Iya, tapi dia mungkin hanya datang sebentar untuk formalitas," jawab Bela secepat mungkin agar terlihat tidak sedang mencari-cari alasan di mata Nial."Ya, jangan dekat-dekat dengan Niko! Aku nggak suka."Bela enggan menjawabnya dan memilih untuk menarik tangannya dari Nial.Tapi Nial tidak mengijinkannya pergi begitu saja. Bela melihat Nial meletakkan sebuah kartu debit warna hitam di tangannya."Kata sandinya adalah ulang tahunmu. Pakai itu untuk membeli yang
Cup!Ini bukan mimpi atau pikiran kotor Bela saja.Niko memang mendaratkan bibirnya ke bibir Bela. Saat ini, di situasi seperti ini."Di mana Niko?" Suara itu datang dari sebelah kanan Bela yang membuatnya dengan cepat mendorong Niko agar ia tidak melakukannya lebih jauh.Niko tahu situasi genting ini karena yang terdengar itu adalah suara Andre, temannya yang dari tim biru, tim lawan. Niko menarik Bela pergi dari sana untuk menghindar."Itu Niko! Dia sama Bela."Bela merasakan tangan Niko menggenggamnya dengan erat dan membawanya menjauh dari samping kontainer lalu mereka berbelok ke tikungan. Menyembunyikan tubuh mereka di balik pohon besar yang berbatasan langsung dengan hutan. Pohon itu menelan habis punggung mereka saat mereka duduk di baliknya."Maaf."Niko membuka percakapan karena mereka hanya terus terdiam sedari tadi. Jelas saja! Bela tidak tahu bagaimana harus bersikap saat ini, dengan lelaki yang menjadi cinta pertamanya. Lelaki yang menciumnya di saat ia sudah memilik