CTARR!!!
Petir itu benar-benar terdengar dengan cukup keras. Kilatan putih itu seperti flash kamera raksasa yang menyilaukan hingga membuat Bela berteriak ketakutan.
"AAA!!"
Ia yakin petir itu menyambar setidaknya pohon atau batu atau bumi, pasti salah satu dari mereka. Ia juga terkejut karena Nial keluar dari pintu kamar mandi dan berlari padanya lalu memeluknya yang masih duduk di atas tempat tidur.
"M-Mas Nial!"
Bela memanggil Nial sekali lagi dan secepat mungkin Nial melepaskan tangannya yang merengkuh Bela.
"Kenapa teriak?" tanyanya ketus. Bela mengangkat wajahnya untuk melihat Nial yang semakin tinggi saat berdiri di hadapannya.
"A-ada petir." Bela menjawab dengan ragu-ragu.
Ia melihat wajah kesal Nial yang lalu pergi tanpa mengatakan apapun lagi. Ia kembali masuk ke dalam kamar mandi dan Bela dapat mendengar suara air yang jatuh dari shower.
Nial mengusap wajahnya dengan kasar saat mengingat bagaimana ia berlari secepat Usain Bolt dan memeluk Bela yang berteriak ketakutan karena mendengar petir yang menggila di luar.
"Nial bodoh! Dia bukan Catherine!" umpatnya untuk diri sendiri. Tapi sungguh! Bela memberikan rasa manis pada saat malam pertama. Mengingat wajah tidak berdayanya membuat gairah Nial kembali bangun.
"Sial! Kenapa aku tidak bisa berhenti memikirkan anak itu?"
Nial memejamkan matanya dan kembali berdiri di bawah shower. Ia harus melunturkan semua hasrat itu di sini karena jika tidak ia pasti akan menerkam Bela saat keluar dari kanar mandi.
Sebenarnya Bela merasa untuk ukuran waktu mandi seorang lelaki, Nial cukup lama ada di dalam sana. Tapi baru saja ia berpikir demikian, Nial keluar pada akhirnya. Dan ia masuk ke dalam ruang ganti.
Bela turun dari tempat tidur dan juga akan mandi. Ia dengan ragu memasuki ruang ganti untuk mengambil pakaian. Saat ia mengintip ke dalam, ternyata Nial sudah selesai berpakaian dan berbaring di sofa besar di dalam sana dengan tangan yang sibuk dengan ponselnya.
"Mas Nial kenapa tidur di sini?"
Pertanyaan itu membuat Nial mengalihkan padangannya dari layar ponsel pada Bela yang berdiri tak jauh darinya.
Saat itu, Bela menyumpahi dirinya sendiri yang telah salah karena dengan bodohnya berani bertanya pada Nial. Karena dengan hanya dilihat dari sorot matanya saja lelaki itu tidak suka Bela merambah kepentingan pribadinya.
"Kenapa? Kamu mau aku tidur di ranjang?"
Bau ruangan ini sepenuhnya diisi dengan aroma sabun mandi yang begitu harum yang memanjakan indra penciumannya. Bela tahu ini datang dari tubuh dan rambut Nial yang sehabis mandi.
Tapi ini bukan saatnya untuk terpana dengan Nial karena mata lelaki itu memandangnya dengan memicing. Menunggu jawaban Bela.
"Tidak! Terserah kamu!"
Bela menjawab dengan cepat dan ia membuka lemari untuk mengambil baju apapapun dan membawanya masuk ke dalam kamar mandi sebelum Nial menginterogasinya dengan pertanyaan lain.
Ia buru-buru mandi untuk menghilangkan penat dan membasuh luka yang terasa perih baik di tangan dan kakinya.
"Kenapa perih seperti ini? Aku 'kan hanya jatuh biasa."
Ia lalu mengambil baju yang tadi dibawanya dan bersiap untuk memakainya. Namun ia terperangah karena baju yang diambilnya mengindikasikan sebuah situasi yang gawat.
Baju itu memang berbentuk seperti dress, tapi pada bagian pinggangnya didesain seperti kekurangan bahan. Dress tanpa lengan, dengan kerah leher yang rendah yang apabila dipakaianya pasti Nial mengatakan ia sedang menggodanya.
Ini lebih seperti pakaian yang digunakan istri untuk menggoda suaminya.
Dalam keadaan krisis ini, pintu digedor dari luar bersama suara Nial yang memanggilnya.
"Bela! Ada telepon dari ayahmu!"
Gawat! Bela memandang ke segala arah. Mencari bath robe tapi tidak ada. Dress yang sebelumnya ia pakai sudah basah terkena air dan ia lempar ke dalam keranjang pakaian kotor.
Matanya menggelepar dalam kecemasan. Ia harus segera keluar karena Nial terdengar tidak sabar saat ia tak kunjung memberikan jawaban.
"Bela!!"
Suara Nial mulai meninggi saat ia masih mengetuk pintu kamar mandi dengan semakin keras.
'Masa bodoh,' pikir Bela dalam hati dan dia memakai dress penuh dosa ini.
Ia membuka pintu dan hanya memunculkan kepalanya saja saat melihat wajah dingin Nial dan garis dagunya yang menegang karena kesal.
"Kamu tidak mendengarku?" tanyanya ketus sama seperti biasa.
"M-maaf!
"Cepat keluar dan jawab telepon ayahmu!"
Nial membuka pintu lebar-lebar dan hal itu membuat Bela dengan cepat menyilangkan kedua tangannya di depan tubuhnya.
Mata Nial menatap semuanya, pemandangan indah itu, lekuknya yang sempurna dan wajah ayu Bela yang memang harus diakuinya. Ia menelan salivanya dengan pelan tapi gairahnya yang baru saja padam kembali berkobar.
"Kamu menggodaku dengan pakaian itu?"
Bela sudah menduga akan seperti ini pikiran Nial. Siapapun pasti berpikir demikian jika melihat situasi tidak menguntungkan ini.
"T-tidak! Maaf! Aku buru-buru mengambil pakaian dan tidak melihatnya."
Degub jantung Nial membuncah, ia kalah.
Bela merasakan tangan Nial menariknya keluar dari kamar mandi. Ia membuat Bela melepas tangannya yang menyilang dan membuatnya tersudut di dinding. Nial meraih pinggangnya dan mendaratkan bibirnya pada bibir Bela.
Bela mencoba menahan agar Nial tidak melakukan ini, tapi tubuh mungilnya habis ditelan bahu lebar dan tangan besar Nial yang memeluknya.
Bela tidak bisa bergerak dan tidak bisa melakukan apapun karena ia sama sekali tidak tahu apa yang harus ia lakukan di saat seperti ini. Tapi ia melihat mata terpejam Nial dan ia melakukan hal yang sama.
Tapi masih ada sebagian akal sehatnya yang bekerja yang menolak semua perlakuan Nial padanya.
"Mas Nial, berhenti!"
Napas Bela memburu, tapi Nial tidak mengindahkannya.
"Siapa suruh kamu menggodaku? Kamu sengaja melakukannya, 'kan?"
"Tidak!"
"Bohong! Kamu ingin aku memberimu kenikmatan? Mengaku saja! Aku akan memberikannya untukmu!"
"Tidak, Nial!"
"Nial? Apa aku adikmu sampai kamu hanya memanggilku dengan nama saja ?"
Nial mengangkatnya hanya dengan sekali gerakan dan membuat mereka jatuh di atas ranjang.
Suara dering ponsel kembali terdengar dan saat Bela melihat ke samping itu adalah ponselnya dan ada panggilan dari ayahnya.
"Mas, bapakku telepon!"
"Aku tidak peduli!"
Bela meraba-raba ponselnya. Takut itu situasi yang darurat mengingat ibunya masih ada di rumah sakit dan belum sadar pasca operasi sampai saat ini. Tapi ponselnya berhenti berdering tepat saat Bela meraihnya.
"Mas Nial!"
Bela terkejut karena Nial justru semakin liar. Yang mana hal ini membuatnya ketakutan karena ia tidak ingin berakhir seperti semalam. Ia khawatir pada ibunya, pada panggilan telepon ayahnya yang tak kunjung ia angkat.
Ia mendorong Nial dengan marah, dengan air mata yang menetes di kedua sudut matanya.
"Jangan, Mas Nial, kumohon mengertilah!"
Bela terisak.
"Bapak!"Bela berlari menghambur dalam dekapan Handoko, ayahnya. Ia baru saja lepas dari Nial yang akhirnya mengijinkannya untuk datang ke rumah sakit setelah Bela menangis agar Nial menghentikan hasratnya yang membara di atas ranjang.'Tolong, Mas Nial! Kamu bisa melakukan apapun padaku. Tapi tolong, kali ini saja biarkan aku menerima panggilan bapak!'Bela ingat hal itu yang ia katakan pada Nial dengan air mata yang menggenang. Nial tidak tega karena mata Bela sudah seperti anak kucing yang kedinginan di tengah badai salju.'Baiklah.'Bela mengangkat telepon dari Handoko yang mengatakan ibunya kembali kritis. Air matanya semakin jatuh berlinang saat panggilan mereka mati.'Pakailah baju, Bela! Aku akan mengantarmu ke rumah sakit.'Tadinya Bela tidak percaya dengan apa yang didengarkannya dari bibir Nial. Tapi saat mata mereka bertemu, ia tahu Nial sungguh-sungguh.Membuat Bela menurutinya dan di sinilah dia sekarang.Memeluk Handoko dan memandang keadaan ibunya di dalam ruang ICU ya
Suara petir kembali terdengar dengan cukup hebat di atas sana padahal hujan baru saja reda. Petir juga terasa baru saja menyambar kepala Bela yang tertunduk ke samping melihat rambut hitam Nial yang sedang bersandar di pundaknya.'Catherine dia bilang?'Ia menghela napasnya.'Jadi nama mantan istrinya adalah Catherine?'Bela masih belum bergerak. Ia merasakan bahu Nial berguncang. Ia tahu lelaki ini menangis. Entah apa penyebabnya tiba-tiba ingat dengan Catherine, meski Bela tahu memang Nial tidak pernah bisa melupakan Catherine bahkan hanya dalam sedetik pun."Aku Bela!" Akhirnya ia membuka suaranya agar Nial berhenti mengingat Catherine.Nial berangsur menyadarkan dirinya dan menarik kepalanya dari Bela. Ia tidak mengatakan apapun saat bangkit dari duduknya dan membiarkan Bela sendirian di sana, sementara gerimis kembali mengguyur jagat raya.Bela menunduk. Ingat betul bagaimana ucapan Nial yang mengatakan bahwa dirinya hanyalah sebatas pengantin pengganti yang tidak diinginkan N
***"Ya, Jerry. Aku akan berangkat sebentar lagi."Suara bariton seorang lelaki terdengar sangat dekat di telinga Bela. Dan hal itu membuatnya segera membuka mata.Ia terkejut. Tentu saja! Karena ia bangun di dalam kamar Nial padahal sebelumnya ia tidur di sofa ruang tamu.Apalagi saat ini ia melihat Nial duduk di sampingnya dengan keadaan tanpa mengenakan atasan sehingga Bela disuguhi pemandangan tubuh atletisnya.Ia juga tampak baru saja bangun saat menerima panggilan lelaki bernama Jerry di ponselnya.'Apa yang terjadi semalam?' Bela menggigit bibirnya dan mengecek keadaannya di bawah selimut. Masih berpakaian lengkap.'Jadi Nial membawaku naik?' Ia sekilas melihat Nial yang ternyata mata elangnya sudah mengawasinya lebih dulu. Bela terbaring dengan kaku. Lidahnya membeku sampai dia tidak bisa mengatakan apapun bahkan hanya untuk menyapa Nial."Sudah bangun?"Suara bariton dingin Nial kembali tedengar. Membuat Bela
Nial melihat sendiri Bela menyentuh dompetnya dan mengintip foto Catherine di sana yang membuatnya berteriak marah.Bela berjingkat satu jarak menjauh dari meja dan menatap Nial dengan mata anak kucing yang ketakutan."Kamu tidak tahu kalau kamu lancang, Bela?"Nial meraih dompetnya secepat mungkin dan mengamankannya ke dalam genggamannya.Bela tidak menjawab Nial. Karena apapun bentuk jawaban yang ia katakan maka Nial akan tetap marah, Bela sudah terlajur salah di mata Nial."Jawab!"Bela menunduk dengan meremas jemari mungilnya. Menghindari mata Nial mungkin adalah pilihan terbaik saat ini dari pada membuatnya semakin ketakutan."Apa kamu penasaran dengan mantan istriku sampai kamu harus menyentuh dan membuka dompetku?"'Aku membuka dompetnya?' Bela bertanya dalam hati. Tapi sekarang bukan itu. Ada hal yang le
Nial khawatir. Sudah beberapa lama sejak Bela pergi menerjang guyuran hujan karena marah padanya. Bahkan saat ia selesai mandi dan menuruni tangga, anak itu juga belum tampak menunjukkan tanda-tanda kepulangannya. Harusnya ini lebih baik, karena artinya ia tidak perlu lagi melihatnya berkeliaran di dalam rumahnya. Tapi hatinya tidak mengijinkan. Ia membuka pintu rumah, sapuan dingin angin malam dan tempias hujan datang menerpa wajahnya. Petrichor membuatnya menghidu bau masa lalu. Bau Catherine, bau pomelo yang dipakainya. 'Nanti, datanglah dulu dengan Gavin di tempat kita reservasi untuk makan malam! Aku akan datang menyusul setelah pulang kerja, ya?' Itu adalah janji terakhir yang diucapkan Nial pada Catherine. 'Iya, Mas Nial ... aku dan Gavin akan menunggumu di sana.' 'Bagus. Kamu akan memakai gaun ini?' Nial melingkarkan tangannya pada pinggang Catherine, merasakan lembutnya gaun yang ia berikan padanya sebagai hadiah ulang tahun mereka yang memasuki satu dekade. 'Iya,
Dia menit sebelum kejadian ...."Bodoh!"Nial melihat Bela, ia lega karena ia menemukannya. Tapi lihat di mana dia sekarang! Di tengah kericuhan tawuran yang ada di jalan tak jauh dari rumah sakit. Ia berlari keluar dari mobilnya dan di sinilah sekarang. Memeluk Bela dengan sangat erat meski kepalanya dihantam botol kaca hingga berdarah.Panggilan Bela menyadarkannya bahwa mereka dalam situasi yang tidak aman. Nial melepas pelukannya dari Bela, memutar tubuhnya dan memberikan pukulan terkuatnya pada lelaki bertubuh kekar yang baru sana membuatnya mendapatkan luka-luka.BRUGH!Lelaki itu jatuh ke jalan hanya dengan sekali pukulan karena Nial menyerang titik fatal pada lehernya hingga pingsan.Bela tertegun di tempatnya berdiri. Sesaat kemudian keributan bubar karena sirine mobil polisi bergema di setiap sudut malam. Sementara Nial menarik tangannya dan membawanya masuk ke dalam mobil untuk pulang.Mereka tidak mengatakan apapun bahkan sampai masuk ke dalam rumah dan sampai di kamar m
'Tidurlah denganku dia bilang?'Bela menggigit bibirnya, tangannya yang sedang digenggam Nial terasa kebas. "Tapi ... Mas Nial jangan melakukan apapun padaku!""Kenapa?""Aku benar-benar harus bangun pagi besok.""Kamu mau ke mana?""Aku ada acara gathering dengan teman-teman satu fakultas.""Dengan Presiden Mahasiswa juga?"Bela penasaran bagaimana caranya Nial tahu identitas Niko. Tapi melihat dari bagaimana berkuasanya seorang Danial Abdisatya, bukankah hal-hal seperti mencari identitas orang lain sangatlah mudah baginya?"Iya, tapi dia mungkin hanya datang sebentar untuk formalitas," jawab Bela secepat mungkin agar terlihat tidak sedang mencari-cari alasan di mata Nial."Ya, jangan dekat-dekat dengan Niko! Aku nggak suka."Bela enggan menjawabnya dan memilih untuk menarik tangannya dari Nial.Tapi Nial tidak mengijinkannya pergi begitu saja. Bela melihat Nial meletakkan sebuah kartu debit warna hitam di tangannya."Kata sandinya adalah ulang tahunmu. Pakai itu untuk membeli yang
Cup!Ini bukan mimpi atau pikiran kotor Bela saja.Niko memang mendaratkan bibirnya ke bibir Bela. Saat ini, di situasi seperti ini."Di mana Niko?" Suara itu datang dari sebelah kanan Bela yang membuatnya dengan cepat mendorong Niko agar ia tidak melakukannya lebih jauh.Niko tahu situasi genting ini karena yang terdengar itu adalah suara Andre, temannya yang dari tim biru, tim lawan. Niko menarik Bela pergi dari sana untuk menghindar."Itu Niko! Dia sama Bela."Bela merasakan tangan Niko menggenggamnya dengan erat dan membawanya menjauh dari samping kontainer lalu mereka berbelok ke tikungan. Menyembunyikan tubuh mereka di balik pohon besar yang berbatasan langsung dengan hutan. Pohon itu menelan habis punggung mereka saat mereka duduk di baliknya."Maaf."Niko membuka percakapan karena mereka hanya terus terdiam sedari tadi. Jelas saja! Bela tidak tahu bagaimana harus bersikap saat ini, dengan lelaki yang menjadi cinta pertamanya. Lelaki yang menciumnya di saat ia sudah memilik
***"Selamat pagi."Bariton dalam nan seksi milik Nial selalu menyambutnya setiap pagi.Dia juga tampak baru saja mandi saat melihat Bela yang bangun dari tidurnya dan memberi istrinya kecupan yang manis."Selamat pagi, Mas. Kamu sudah mandi?""Sudah, Sayang. Hm ... kenapa kamu bangun cepat-cepat? Istirahatlah lagi!""Tapi belum ada makanan untuk pagi ini."Nial tersenyum mendengarnya. Ia berlutut di depan Bela dengan sebelah kakinya dan mengusap perutnya yang bulat dan lucu."Oh? Oh!"Nial terkejut. Ia memandang Bela dengan tidak percaya."Kenapa Mas? Dia gerak ya?""Iya. Oh mungkin ingin ucapan selamat pagi juga? Hm ... kamu iri?"Nial mengecup perutnya dan memandang Bela."Bela?""Ya?""Kamu sempurna. Terima kasih untuk sudah mengandung dan mwlahirkan anak-anak kita."Bela mengangguk. Ia tidak bisa menyembunyikan senyumnya saat senyum Nial juga tampak sangat manis."Kamu mandilah! Nanti jadi pergi, 'kan?"Nial lebih dulu bangkit dari posisinya. Mengusap puncak kepala Bela dan memer
***"Ini kebebasan?"Terik. Matahari bersinar terik siang ini.Cerah dan juga berawan. Gugusan Cirro stratus membentang seperti karpet selamat datang yang menyaksikannya keluar dari tahanan. Pada akhirnya ....Tahun-tahun penebusannya telah berlalu. Dan ia tersenyum sekarang. Senyum yang kini tampak lega. Itu adalah Vida.Ia bebas dari tahanan setelah melewati masa yang suram. Yang tidak ingin lagi ia ulangi untuk ke dua kalinya.Dadanya lega sekaligus sebah. Ada perasaan bersalah pada Bela yang kini meluap hingga tumpah.Ia berjalan di sepanjang jalur pedestrian, menunduk dan memasuki sebuah kafe setelah keluar dari toko emas, menjual perhiasan yang dulu masih ia pakai sebelum dibawa polisi.Ponsel dan emas yang dikembalikan padanya itu ia jual dan ia gunakan setidaknya untuk bertahan hidup beberapa waktu ke depan. Sementara ponselnya masih bagus dan saat ini ada di atas meja.Ia duduk. Menghadap sebuah kertas kosong yang baru ia beli dari sebuah toko alat tulis.Netranya tergenan
Bela tersenyum membaca pesan dari Nial yang mengatakan agar ia bicara dengan Niko lebih dulu.Kini, bagi mereka ... semua telah sembuh dari luka. Tidak ada lagi pertengkaran atau baku hantam sama seperti yang dilakukan Nial dan Niko jika dulu mereka bertemu.Kebencian mereka telah berakhir. Bela ingat Nial sempat mengatakan bahwa Niko-lah yang dulu memberi tahu Nial saat Bela pergi ke Jawa Barat dan memutuskan akan mengakhiri hidupnya sendiri.Niko jugalah yang telah menanganinya saat Bela dilukai Jenni.Semuanya telah berlalu dengan sangat cepat. Waktu membuat kebencian bermetamorfosa menjadi obat penyembuh paling mujarab."Bagaimana kabarnya Pak Nial?"Pertanyaan Niko kembali merengkuh kesadaran Bela yang sedari tadi dibelenggu oleh pemikiran panjangnya."Kabar baik juga, Kak Nik. Dia sedang menikmati hari menjadi Papa yang super sibuk dengan anak lelakinya yang berlarian tanpa henti."Niko tersenyum mendengarnya. Sudah lama ia juga tidak bertemu Nial."Kak Niko mau bertenu dengan M
"Baby, be careful!"Bela merendahkan tinggi tubuhnya, berlutut saat anak kecil laki-laki berumur tiga tahun itu berlari dan memeluknya."Mommy! Mrs. Kim gets some letters!"Jari kecilnya menunjuk pada pintu ruang makan. Tapi saat Bela melihatnya, Nial lah yang masuk dengan bahu merosot penuh kelegaan. Ia baru saja berlari mengikuti anak lelakinya yang berderap secepat kilat meninggalkannya di belakang."Gavin? Papa 'kan sudah bilang jangan--""Mas? Sudahlah!"Bela tersenyum, mengusap punggung tangan Nial saat mendekat."Gavin, lihat perut mama! Hm? Gavin sayang dengan mama?"Nial ikut berlutut dan mengusap puncak kepalanya."Pasti sayang. Gavin sayang mama.""Kalau begitu pelan-pelan ya kalau peluk mama? Nanti kalau adik sakit bagaimana?"Gavin mengusap perut Bela yang membesar."Dia namanya adik?"Bela tertawa mendengar pertanyaan polosnya."No, Baby! Dia belum punya nama. Masih di dalam perut Mama. Nanti kalau sudah keluar, baru bisa diberi nama."Bela meraih tangan kecilnya. Meleta
Bela hanya menahan senyumnya saat ini. Ia tidak bisa membayangkan apa yang akan Siska rasakan bersama Jerry untuk pertama kalinya.'Jadi, akan ada yang segelnya dirusak malam ini.'Bela tertawa sendiri. Ia berdiri di deoan cermin setinggi pintu yang ada di dalam kamar ganti dan mengulurkan tangannya ke belakang. Meraih resleting di punggungnya, untuk melepas gaun malam yang tadi ia gunakan untuk menghadiri pernikahan Siska dan juga Jerry."Astaga! Kenapa selalu saja seperti ini. Tadi dipakai mudah tapi kalau mau dilepas sulitnya minta ampun."Bela menggerutu. Ia masih mencoba menarik resletingnya tapi rasanya tidak bisa.Sampai sebuah tangan menariknya turun dan Bela dengan cepat menoleh ke belakang. Ia menunduk teelalu lama sampai tidak sadar Nial sudah masuk dan membantunya."Terima kasih, Mas Nial.""Iya, sama-sama, Sayang."Bela melepasnya. Melemparnya ke sandaran sofa ruang ganti dengan hanya menyisakan underwear. Saat Nial juga membuka kancing jasnya dan ikut melemparnya di temp
Nial tidak bisa membendung senyumnya saat tahu isi di dalam kotak kado itu. Itu berisi figura yang membingkai sebuah foto.Foto anak kecil perempuan dengan topi bundarnya. Itu adalah foto masa kecil Bela."Mas Nial 'kan selalu bilang kalau aku adalah hadiah yang kamu sukai?""Ya. Memang benar begitu, kok.""Jadi aku memberikan foto anak kecil itu padamu. Anak kecil yang hidupnya kamu selamatkan dan meski terpisah selama lebih dari satu dekade, takdir kembali mempertemukannu dengannya.""Ya, benar. Terima kasih. Mas akan letakkan ini di atas meja kantor kalau pulang nanti. Tapi ada yang harus kamu lakukan sekarang."Nial menutup kotak kado itu dan meletakkannya di atas nakas. Ia meraih tangan Bela dan membuatnya duduk di atas pangkuannya."Apa? Apa yang harus aku lakukan?""Berperan sebagai hadiah yang baik. Hm?"Nial telah membuka kancing dress yang dipakai Bela."Mas? Kamu nggak ingin makan kuenya dulu? Itu enak loh! Aku pesan di toko kue di ujung jalan yang ramai itu."Nial menggele
***Nial membuka matanya, hari sudah pagi. Dengan keadaan dirinya yang terbaring di atas ranjang bulan madunya. Dengan keadaan tanpa pakaian.Ia sama sekali tidak turun dari ranjang sejak dengan Bela kemarin sore. Akh.Mengingatnya saja membuatnya gerah setengah mati bahkan saat pendingin udara dinyalakan di atas sana. Ingatannya kembali terpanggil di saat-saat ia dan Bela memasuki kamar kemarin."Are you sure?" ragu Bela, bertanya memastikan pada Nial bahwa ia diperbolehkan mengambil alih kontrol mulai saat ini sejak Nial tidak bisa mendominasi hubungan ranjang karena ia masih tidak diperbolehkan bergerak terlalu banyak."Yeah, Baby! Take off my clothes!"Jantung Bela berdebar mendengar permintaan Nial agar melucuti pakaiannya. Bela tidak membantahnya dan membuka kancing kemeja Nial satu demi satu. Melihat perutnya yang masih terlilit perban dan belum sepenuhnya bisa dikatakan pulih.Nial hanya tersenyum saat Bela membuka kancing di celana panjang putih yang ia kenakan dan membuatny
Darah lebih kental dari Air. Jika di Swiss Leo menyerang Nial saat semua orang lengah, atau Jenni yang menyerang Bela saat itu, sekarang di sini, di Jakarta, Rafael menyerang Jerry.Tapi Jerry telah meningkatkan kewaspadaannya sepuluh kali lipat. Ia membaca pergerakan Rafael dan secepat mungkin menahan pergelangan tangannya yang membawa pisau cutter."Kamu yang brengsek!"Jerry memuntir tangannya hingga terbalik dan jatuhlah pisau itu. Rafael didorongnya hingga punggungnya terbentur dinding dengan kasar."Untuk semua yang telah kamu lakukan pada keluarga Nial, dan kali ini padaku. Bayarkan dan tebuslah semuanya, Rafael! Kamu punya kesempatan untuk menyesal."Jerry mengalihkan tangannya dari bahu Rafael ke kerah bajunya."Tapi saat kamu nggak berubah, aku pastikan kerah bajumu ini nggak lagi sama karena kamu akan mendekam di dalam penjara. Do you get it? Get lost you bastard!"Jerry memberikan penekanan pada setiap kalimatnya. Membuat Rafael bergidik ngeri karena dia dalam ancaman yan
"Selamat malam."Jerry datang dan menunduukan kepalanya pada Nial dan juga Bela yang ada di dalam kamar rawat."Selamat malam," balas mereka hampir bersamaan."Pak Nial sudah baikan?""Ya, Jerry. Dari mana kamu seharian? Kamu nggak datang menjengukku loh."Jerry menunjukkan senyumnya yang manis. Tapi Bela dapat melihat ada gurat kemarahan yang ia pendam saat ini."Bisa kita bicara? Hanya berdua saja."Jerry memandang Bela, memohon pengertian dan maaf."Sure, aku akan keluar. Aku akan ngobrol dengan Pak Watson."Bela hanya melemparkan senyumnya lalu memberi tempat untuk Jerry."Sebentar ya, Sayang?" Nial meraih tangannya sebelum ia benar-benar pergi."Iya, Mas. Kalian bicaralah!"Bela melambaikan tangannya sekilas pada Nial sebelum menghilang di balik pintu ruangan."Kenapa, Jerry? Hari ini kamu mengunjungi anak itu?"Nial bertanya sesegera mungkin. Tidak ingin membuang waktu lebih banyak karena ia ingin dengar apa yang ingin dikatakan oleh Jerry sampai membuat Bela harus pergi dari si