Sebelumnya, Nial melihat sendiri lelaki yang mengantar Bela pulang sedang melambaikan tangan dengan seulas senyum yang paling menawan. Yang mana hal itu membuatnya gerah.
Ia berpikir anak-anak muda jaman sekarang seenaknya mengantar pulang istri orang tanpa rasa takut, tepat di depan pintu gerbang rumah suaminya.Nial melonggarkan dasinya yang terasa mencekik lehernya sendiri.Ia masuk ke dalam kamar saat suara petir yang sangat hebat terdengar pecah di luar."Apa dia akan baik-baik saja? Biarkan saja! Siapa suruh dia dekat dengan lelaki lain?"Nial menghempaskan tubuh lelahnya ke atas ranjang. Memiringkan badan dan memanggil ingatan di mana semalam ia dapat melihat Bela tergolek kesakitan saat ia mengambil miliknya yang paling berharga, gadisnya.Hal itu justru membuat gairahnya membuncah, hanya dengan memikirkan bagaimana bentuk tubuh Bela membuat hormon lelakinya bangkit dari tidur. Nial memijit keningnya, memejamkan mata."Maafkan aku, Catherine! Aku hanya akan menjadikannya boneka di sini. Bagiku ... hanya kamu yang berhak atas segalanya. Hatiku, perasaanku."Nial pikir tidur sejenak akan melonggarkan otot di kepalanya yang menegang. Ia tidak tahu bagaimana ketakutannya seseorang yang ia kurung di dalam gudang.....Bela, ia terus menatap foto istri dan anak Nial yang baru saja ia buka penutupnya. Kepalanya sedang dipenuhi seribu tanda tanya tentang apa yang sebenarnya terjadi pada kedua orang itu sehingga foto mereka terasingkan di sini dengan penuh debu dan bersanding dengan televisi usang.Ia melupakan satu hal, bahwa kegelapan membuatnya kesulitan bernapas. Ia takut ruang gelap. Kepalanya pusing, perih di sudut bibirnya yang sobek akibat tamparan Vida terasa seperti gigitan semut yang menyengatnya.Bela berjalan dengan melihat sekitar, mencari saklar lampu yang barangkali tersembunyi di sudut ruangan atau tertutup jam kuno yang tingginya sebesar lemari pakaian. Atau mungkin ada di balik patung pualam? Entahlah ....Tapi ia benar-benar tidak bisa menemukannya.Nyctophobia ini menyerangnya hingga ke ujung kaki.Ia tidak sadar baru saja menyenggol guci besar milik Nial hingga jatuh ke lantai dan pecah berserakan.Bela merasa kepalanya membentur lantai saat ia limbung ke depan. Serpihan guci itu melukai wajah, lengan dan kakinya.Ia merasa akan pingsan sebentar lagi jika pintu ruangan tidak segera terbuka dan kemunculan lelaki yang berseru memangggil namanya dalam kepanikan."BELA!"Ia tahu ini adalah suara Nial. Tapi ia tidak punya daya untuk membalas panggilannya barang hanya sepatah kata.Ia merasa tubuhnya terangkat dari lantai yang dingin. Tangan kekar dan berotot Nial merengkuhnya dan membawanya keluar dari gudang.Matanya temaram saat ia menjemput cahaya gemerlap lampu di luar. Yang tergantung di langit-langit atap berbentuk pentagon.Bersama pandangan seorang wanita paruh baya yang ia ketahui sebagai Kim, Kepala Pelayan di rumah Nial.Ia ketakutan bahkan berpikir ia sudah akan mati. Netranya menangkap wajah khawatir Nial yang tidak mengatakan apapun saat membawanya memasuki kamar dan membaringkannya di atas ranjang."Bela," panggilnya lagi.Bela merasakan tangan besar Nial menyentuh kepalanya."Kamu baik-baik saja?"Suara bariton Nial begitu dekat dengannya. Bela tahu dunia telah kembali seperti seharusnya.Ketakutannya memudar dan ia bisa sepenuhnya melihat langit-langit kamar dengan jelas."Ya," jawabnya lemah.Nial pergi dari hadapannya dan kembali dengan kotak obat."Kenapa pingsan?" tanyanya acuh seraya mengambil kapas dan memberi obat di atasnya dan ia gunakan untuk menyentuh wajah Bela yang tergores pecahan guci.Bela memalingkan wajahnya, ia takut tangan besar Nial akan memukulnya dengan kasar karena menganggapnya menipunya agar bisa dikeluarkan dari dalam gudang.Tapi ternyata tidak, tangan Nial menyentuhnya dengan lembut. Dengan hati-hati takut jika telapaknya akan meremukkan wajah mungil Bela."Kamu tidak mendengarku?"Nial mengalihkan pandangannya dari luka di wajah Bela dan mata mereka bertemu.Bela meremas jemarinya, ia takut dengan mata Nial yang terasa mengulitinya. Lelaki itu menunggu jawabannya yang tertahan di tenggorokan tanpa bisa ia keluarkan."Ak-aku ....""Apa kamu kambing yang kedinginan? Kenapa suaramu bergetar?"Meski dengan nada kesal, tapi tangan Nial beralih mengobati lengan Bela tetap dengan hati-hati."Aku fobia ruang gelap."Bela menjawabnya secepat mungkin. Persetan Nial akan percaya atau tidak ia tidak peduli, yang jelas ia mengatakan kejujuran.Nial sejenak berhenti dari aktivitasnya. Dadanya membuncah dengan rasa duri dalam daging.Tangannya yang menyentuh kaki Bela terasa kebas dan dingin. Ia mengerjapkan matanya beberapa kali, kenangan hidup Catherine kembali mengisi ruang dalam kepalanya.Ia menarik napas sebelum kembali meneruskan mengobati kaki Bela."Kenapa kamu tidak bilang? Harusnya kamu mengatakannya padaku," acuhnya. Bela tahu itu hanya sebagai basa-basi saja."Bagaimana aku bisa bilang kalau kamu mengurungku di sana?"Nial kembali menatap Bela."Kamu sudah berani menjawabku?""Tadi kamu bilang aku harus mengatakannya?"Wajah Nial merah padam, berpikir anak bungsu Handoko ini selalu bisa membalikkan apapun yang ia ucapkan."Dan ini!" tunjuk Nial pada dress yang dipakai Bela."Jangan memakai dress di atas lutut seperti ini! Kalau kamu jatuh kakimu akan terluka," katanya dengan memasukkan obat merah ke dalam kotak."Tapi 'kan kamu yang menyiapkannya di dalam lemari. Tidak ada pakaian lain selain dress."Nial kembali menoleh dengan cepat. Baru pertama kali ini ada perempuan yang terus saja membantahnya dengan tidak takut. Tapi ia berpikir apa yang dikatakan Bela ada benarnya."Kamu pikir aku membelikannya untuk kamu pakai di luar? Aku membelikannya untuk pajangan di lemari," sanggahnya membela diri.Bela ternganga dengan tidak percaya.Nial membuang wajahnya dan pergi dari sana tepat saat Bela bangun dan meraih pergelangan tangannya. Membuatnya berhenti dan memutar badan."Kenapa?" Matanya menyipit seperti mata kucing."Tanganmu terluka juga."Bela menunjuk punggung tangan Nial yang juga berdarah. Mungkin ia tidak sadar juga terkena pecahan guci yang tajam saat mengangkat Bela dari lantai."Biarkan saja!"Tapi Bela tidak membiarkannya, ia menarik tangan Nial hingga lelaki itu duduk di tepi tempat tidur, Bela melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan oleh Nial dan memberikan plester luka di sana.Nial menatap Bela yang menunduk dengan rambut panjangnya. Ia dapat melihat sudut bibirnya seperti bekas luka sobek dan itu lepas dari pengawasannya sebelumnya."Kenapa bibirmu?"Bela memandang Nial, "Hanya ... bertengkar sedikit dengan Vida.""Kalian bertemu?""Iya.""Penipu itu memukulmu?""S-sedikit.""Kalau dia melakukannya lagi bilang padaku. Aku tidak ingin dia menyentuh istriku."Nial bangkit dan berlalu dari hadapannya. Punggungnya menghilang di balik pintu kamar mandi. Meninggalkan Bela yang mematung di tempatnya. Berpikir, 'Dia bilang 'istriku?''Nial menutup pintu kamar mandi dan menyandarkan punggungnya. Dadanya dipenuhi dengan rasa sesak.Nyctophobia, Catherine dulu juga takut dengan kegelapan. Semua yang ada pada Bela semakin mengingatkannya akan Catherine. Ia memandang langit-langit, menata hati dan kewarasannya yang digerogoti dinginnya malam yang dibawa oleh hujan di luar sana.Nial berpikir jika tadi Kim tidak menggedor pintu kamarnya dan mengatakan ada suara barang pecah di gudang tempat ia mengurung Bela, mungkin anak itu sudah mati ketakutan.Ia menunduk, bayangan wajah Catherine tumpang tindih dengan wajah Bela. Saling membaur menjadi satu seperti mereka menjadi satu orang yang sama."Catherine ... apa kamu hidup dalam tubuh Bela? Kalau iya, apa aku boleh melupakanmu? Kamu membuatku terus merindukanmu."Petir menyambar sekali lagi dengan hebat hingga membuat jendela bergetar. Suara teriakan Bela membuat Nial berderap keluar."Mas Nial, kenapa Mas memelukku?"CTARR!!!Petir itu benar-benar terdengar dengan cukup keras. Kilatan putih itu seperti flash kamera raksasa yang menyilaukan hingga membuat Bela berteriak ketakutan."AAA!!"Ia yakin petir itu menyambar setidaknya pohon atau batu atau bumi, pasti salah satu dari mereka. Ia juga terkejut karena Nial keluar dari pintu kamar mandi dan berlari padanya lalu memeluknya yang masih duduk di atas tempat tidur."M-Mas Nial!"Bela memanggil Nial sekali lagi dan secepat mungkin Nial melepaskan tangannya yang merengkuh Bela. "Kenapa teriak?" tanyanya ketus. Bela mengangkat wajahnya untuk melihat Nial yang semakin tinggi saat berdiri di hadapannya. "A-ada petir." Bela menjawab dengan ragu-ragu. Ia melihat wajah kesal Nial yang lalu pergi tanpa mengatakan apapun lagi. Ia kembali masuk ke dalam kamar mandi dan Bela dapat mendengar suara air yang jatuh dari shower.Nial mengusap wajahnya dengan kasar saat mengingat bagaimana ia berlari secepat Usain Bolt dan memeluk Bela yang berteriak ketakutan ka
"Bapak!"Bela berlari menghambur dalam dekapan Handoko, ayahnya. Ia baru saja lepas dari Nial yang akhirnya mengijinkannya untuk datang ke rumah sakit setelah Bela menangis agar Nial menghentikan hasratnya yang membara di atas ranjang.'Tolong, Mas Nial! Kamu bisa melakukan apapun padaku. Tapi tolong, kali ini saja biarkan aku menerima panggilan bapak!'Bela ingat hal itu yang ia katakan pada Nial dengan air mata yang menggenang. Nial tidak tega karena mata Bela sudah seperti anak kucing yang kedinginan di tengah badai salju.'Baiklah.'Bela mengangkat telepon dari Handoko yang mengatakan ibunya kembali kritis. Air matanya semakin jatuh berlinang saat panggilan mereka mati.'Pakailah baju, Bela! Aku akan mengantarmu ke rumah sakit.'Tadinya Bela tidak percaya dengan apa yang didengarkannya dari bibir Nial. Tapi saat mata mereka bertemu, ia tahu Nial sungguh-sungguh.Membuat Bela menurutinya dan di sinilah dia sekarang.Memeluk Handoko dan memandang keadaan ibunya di dalam ruang ICU ya
Suara petir kembali terdengar dengan cukup hebat di atas sana padahal hujan baru saja reda. Petir juga terasa baru saja menyambar kepala Bela yang tertunduk ke samping melihat rambut hitam Nial yang sedang bersandar di pundaknya.'Catherine dia bilang?'Ia menghela napasnya.'Jadi nama mantan istrinya adalah Catherine?'Bela masih belum bergerak. Ia merasakan bahu Nial berguncang. Ia tahu lelaki ini menangis. Entah apa penyebabnya tiba-tiba ingat dengan Catherine, meski Bela tahu memang Nial tidak pernah bisa melupakan Catherine bahkan hanya dalam sedetik pun."Aku Bela!" Akhirnya ia membuka suaranya agar Nial berhenti mengingat Catherine.Nial berangsur menyadarkan dirinya dan menarik kepalanya dari Bela. Ia tidak mengatakan apapun saat bangkit dari duduknya dan membiarkan Bela sendirian di sana, sementara gerimis kembali mengguyur jagat raya.Bela menunduk. Ingat betul bagaimana ucapan Nial yang mengatakan bahwa dirinya hanyalah sebatas pengantin pengganti yang tidak diinginkan N
***"Ya, Jerry. Aku akan berangkat sebentar lagi."Suara bariton seorang lelaki terdengar sangat dekat di telinga Bela. Dan hal itu membuatnya segera membuka mata.Ia terkejut. Tentu saja! Karena ia bangun di dalam kamar Nial padahal sebelumnya ia tidur di sofa ruang tamu.Apalagi saat ini ia melihat Nial duduk di sampingnya dengan keadaan tanpa mengenakan atasan sehingga Bela disuguhi pemandangan tubuh atletisnya.Ia juga tampak baru saja bangun saat menerima panggilan lelaki bernama Jerry di ponselnya.'Apa yang terjadi semalam?' Bela menggigit bibirnya dan mengecek keadaannya di bawah selimut. Masih berpakaian lengkap.'Jadi Nial membawaku naik?' Ia sekilas melihat Nial yang ternyata mata elangnya sudah mengawasinya lebih dulu. Bela terbaring dengan kaku. Lidahnya membeku sampai dia tidak bisa mengatakan apapun bahkan hanya untuk menyapa Nial."Sudah bangun?"Suara bariton dingin Nial kembali tedengar. Membuat Bela
Nial melihat sendiri Bela menyentuh dompetnya dan mengintip foto Catherine di sana yang membuatnya berteriak marah.Bela berjingkat satu jarak menjauh dari meja dan menatap Nial dengan mata anak kucing yang ketakutan."Kamu tidak tahu kalau kamu lancang, Bela?"Nial meraih dompetnya secepat mungkin dan mengamankannya ke dalam genggamannya.Bela tidak menjawab Nial. Karena apapun bentuk jawaban yang ia katakan maka Nial akan tetap marah, Bela sudah terlajur salah di mata Nial."Jawab!"Bela menunduk dengan meremas jemari mungilnya. Menghindari mata Nial mungkin adalah pilihan terbaik saat ini dari pada membuatnya semakin ketakutan."Apa kamu penasaran dengan mantan istriku sampai kamu harus menyentuh dan membuka dompetku?"'Aku membuka dompetnya?' Bela bertanya dalam hati. Tapi sekarang bukan itu. Ada hal yang le
Nial khawatir. Sudah beberapa lama sejak Bela pergi menerjang guyuran hujan karena marah padanya. Bahkan saat ia selesai mandi dan menuruni tangga, anak itu juga belum tampak menunjukkan tanda-tanda kepulangannya. Harusnya ini lebih baik, karena artinya ia tidak perlu lagi melihatnya berkeliaran di dalam rumahnya. Tapi hatinya tidak mengijinkan. Ia membuka pintu rumah, sapuan dingin angin malam dan tempias hujan datang menerpa wajahnya. Petrichor membuatnya menghidu bau masa lalu. Bau Catherine, bau pomelo yang dipakainya. 'Nanti, datanglah dulu dengan Gavin di tempat kita reservasi untuk makan malam! Aku akan datang menyusul setelah pulang kerja, ya?' Itu adalah janji terakhir yang diucapkan Nial pada Catherine. 'Iya, Mas Nial ... aku dan Gavin akan menunggumu di sana.' 'Bagus. Kamu akan memakai gaun ini?' Nial melingkarkan tangannya pada pinggang Catherine, merasakan lembutnya gaun yang ia berikan padanya sebagai hadiah ulang tahun mereka yang memasuki satu dekade. 'Iya,
Dia menit sebelum kejadian ...."Bodoh!"Nial melihat Bela, ia lega karena ia menemukannya. Tapi lihat di mana dia sekarang! Di tengah kericuhan tawuran yang ada di jalan tak jauh dari rumah sakit. Ia berlari keluar dari mobilnya dan di sinilah sekarang. Memeluk Bela dengan sangat erat meski kepalanya dihantam botol kaca hingga berdarah.Panggilan Bela menyadarkannya bahwa mereka dalam situasi yang tidak aman. Nial melepas pelukannya dari Bela, memutar tubuhnya dan memberikan pukulan terkuatnya pada lelaki bertubuh kekar yang baru sana membuatnya mendapatkan luka-luka.BRUGH!Lelaki itu jatuh ke jalan hanya dengan sekali pukulan karena Nial menyerang titik fatal pada lehernya hingga pingsan.Bela tertegun di tempatnya berdiri. Sesaat kemudian keributan bubar karena sirine mobil polisi bergema di setiap sudut malam. Sementara Nial menarik tangannya dan membawanya masuk ke dalam mobil untuk pulang.Mereka tidak mengatakan apapun bahkan sampai masuk ke dalam rumah dan sampai di kamar m
'Tidurlah denganku dia bilang?'Bela menggigit bibirnya, tangannya yang sedang digenggam Nial terasa kebas. "Tapi ... Mas Nial jangan melakukan apapun padaku!""Kenapa?""Aku benar-benar harus bangun pagi besok.""Kamu mau ke mana?""Aku ada acara gathering dengan teman-teman satu fakultas.""Dengan Presiden Mahasiswa juga?"Bela penasaran bagaimana caranya Nial tahu identitas Niko. Tapi melihat dari bagaimana berkuasanya seorang Danial Abdisatya, bukankah hal-hal seperti mencari identitas orang lain sangatlah mudah baginya?"Iya, tapi dia mungkin hanya datang sebentar untuk formalitas," jawab Bela secepat mungkin agar terlihat tidak sedang mencari-cari alasan di mata Nial."Ya, jangan dekat-dekat dengan Niko! Aku nggak suka."Bela enggan menjawabnya dan memilih untuk menarik tangannya dari Nial.Tapi Nial tidak mengijinkannya pergi begitu saja. Bela melihat Nial meletakkan sebuah kartu debit warna hitam di tangannya."Kata sandinya adalah ulang tahunmu. Pakai itu untuk membeli yang