....
"Bela!"
Panggilan yang datang dari seorang perempuan itu membuat Bela menoleh dengan cepat.
Ia dapat melihat wajah ayu dari belakangnya. Rambutnya panjang dan itu adalah Vida, kakak perempuannya."Kak Vida? Kamu kenapa di sini?"
"Kenapa? Senang setelah bisa menggantikanku menjadi pengantin Nial?"
Pertanyaannya yang frontal telah mengundang atensi orang di sekitarnya. Mereka yang mendengar apa yang dikatakan oleh Vida langsung saja menoleh karena memang saat ini mereka berada di depan gerbang Universitas.
Bela mendengkus, ia tidak tahu alasan Vida melakukan ini, apa dia sengaja atau tidak, yang jelas ucapannya bernada marah dan benci.
"Lalu kenapa kalau aku menggantikanmu? Kamu juga nggak bisa melakukan apapun, Vida! Lihat apa yang kamu lakukan! Kamu nggak tahu ibu hampir meninggal karenamu?"
"Bela!"
PLAKKK!!
Tamparan itu melayang di wajah Bela yang menahan air matanya siang ini. Wajahnya terasa semakin panas, ia menyentuh pipinya yang memerah karena ulah kakaknya.
"Apa kamu berhak menamparku? Kenapa datang lagi? Pergi sana! Pergi seperti saat kamu menolak Nial dan membawa uang miliknya!"
PLAKKK!!
Vida sekali lagi melayangkan tangannya pada Bela dengan begitu hebat. Kali ini lebih keras dari pada tamparannya yang pertama karena membuat sudut bibir Bela berdarah.
Bela hanya tertawa melihat Vida. Sekarang setiap orang yang lewat akan melihat pada mereka atau sejenak berhenti untuk mendengarkan apa yang membuat mereka bertengkar.
"Jangan kurang ajar, Bel!"
"Kamu sudah membuat bapak hampir dipenjara, kamu membuat ibu hampir meninggal dan kamu membuatku membayar atas apa yang kamu lakukan! Jadi kamu yang jangan kurang ajar, Vida! Masih baik Nial menerimaku, kalau tidak aku yang akan membuatmu membayar semuanya."
"Oh, jadi kamu bangga telah menjadi istri Nial?"
Bisik-bisik terdengar di antara mereka. Tentang bagaimana ucapan Vida yang mengatakan bahwa Bela sudah menikah.
"Lanjutkan saja jadi istrinya! Aku akan melihat seberapa jauh kamu menderita."
Vida lalu memelankan suaranya dan mendekatkan bibirnya ke samping telinga Bela.
"Kamu nggak sadar kamu itu dijual sama bapak?"
Naik pitam. Bela sudah tidak tahan dengan kekasaran Vida dan ganti melayangkan tangannya ke wajah kakaknya.
"Tutup mulutmu!"
Vida meringis kesakitan dengan memegang pipi kirinya yang pasti ada bekas telapak tangan Bela yang mendarat di sana.
"Kamu sebenarnya kenapa sih, Vida? Dengar ... jangan mendekat pada bapak, pada ibu dan jangan mendekat padaku! Lebih baik kamu pergi! Kalau kamu nggak mempermainkan Nial kita semua nggak akan menderita seperti ini!"
Vida menjambak rambut Bela dan seseorang datang melerai mereka. Lelaki itu berdiri di antara mereka berdua dan melepas tangan Vida yang ada di kepala Bela.
"Hentikan!" bentaknya kesal, ia menyeret Bela agar sedikit menjauh dari kegilaan kakaknya.
"Kamu pikir aku menolak Nial lalu akan melepasnya begitu saja?"
"Lalu apa maumu, sial!"Vida tak menjawab selain pergi dengan mengeluarkan sumpah serapahnya.Bela melepas tangannya dari Niko, lelaki yang baru saja menghentikan pertengkaran konyolnya dengan Vida.
"Kamu nggak apa-apa?"
Bela menghindar dari tatapan mata Niko yang teduh dan menyejukkannya.
Lelaki ini adalah kakak tingkatnya, Presiden Mahasiswa yang digandrungi banyak perempuan karena wajahnya lebih mirip aktor Korea dari pada mahasiswa biasa"Iya." Bela menjawab singkat dan menyeka air matanya.
Niko hanya tersenyum dan menyodorkan sehelai sapu tangan berwarna biru muda padanya. Tangan Bela menerimanya dengan wajah yang berpaling, tidak ingin menunjukkan bahwa ia sedang menangis.
"Setiap orang punya masalah, dan kamu berhak menangis kok."
Bela tak menjawabnya.
"Mau aku antar pulang? Sudah mau hujan."
"Tapi aku nggak pulang ke rumahku."
"Ke rumah suamimu, 'kan?"
Suara tenang Niko membuatnya mengangguk. Lelaki itu sama sekali tidak terganggu dengan kabar Bela yang sudah menikah, yang tersebar lebih cepat dari pada hembusan angin.
"Ayo!"
Niko meraih tangannya dan membuatnya masuk ke dalam mobil miliknya. Mereka hanya diam sepanjang perjalanan karena Bela tahu lelaki di sampingnya ini adalah lelaki misterius yang tidak banyak bicara.
Mobil Niko berhenti di depan sebuah gerbang rumah berwarna hitam yang tinggi dan kokoh. Rumah Nial.
"Terima kasih."
Niko mengangguk dan melemparkan sekilas senyumnya pada Bela, melambaikan tangannya sebelum pergi dari sana dan Bela segera masuk sebelum Nial mengetahuinya pulang dengan diantar laki-laki lain.
Meski Nial mengatakan ia tidak peduli apapun yang akan dilakukan Bela, tapi bisa saja ia berubah pikiran sesuka hatinya dan mencaci makinya tanpa ampun.
Ia membuka pintu rumah dan terkejut saat melihat Nial yang sudah berdiri di balik pintu. Ia masih mengenakan setelan jas yang tadi pagi ia siapkan, di mana hal ini menandakan ia juga baru saja pulang dari kantor.
Tapi bukan itu, Bela melihat mata Nial yang mengatakan segalanya tentang rasa marah.
"Baru pulang?"
Dingin, menakutkan. Tidak ada hal lain yang bisa ia rasakan dari dua kata yang terlontar dari kedua bibir merah Nial.
"I-iya."
Bela menjawab dengan gugup, kedua tangannya terkepal di bawah sementara ia tahu bahwa ia akan habis kalau Nial tahu ia pulang dengan diantar oleh Niko.
Benar saja!
"Siapa yang mengantarmu pulang?"
"Teman."
"Laki-laki?"
Bela mengangguk.
"Kamu lupa siapa aku?"
"Tidak."
"Siapa aku?"
Bela berpikir, 'Apa dia amnesia? Kenapa menanyakan hal konyol seperti itu?'
"Danial Abdisatya."
"Kamu?"
"Arabela Mandala."
"Apa yang aku lakukan di depan saksi kemarin?"
"Mengucap akad nikah?"
"Dan?"
Bela bingung harus menjawab apa. Ia tidak bisa berpikir jernih di bawah selidik mata Nial yang mengintimidasinya dengan sempurna. Ia sedang menunjukkan betapa dominan dirinya saat ini.
"Kita menikah?"
"Lalu kenapa kamu pulang diantar laki-laki lain? Kamu tidak menganggapku sebagai suamimu?"
"Tapi ... kamu bilang kamu tidak peduli apapun yang aku lakukan. Kenapa kamu plin-plan dengan sebentar mengatakan A dan sebentar mengatakan B?"
Bela merasa dia telah menjadi orang paling bodoh di dunia ini dengan menjawab Nial seperti itu. Yang jelas saja membuat Nial murka, wajahnya memerah, ia pasti marah karena Bela membalikkan kalimat yang tadi pagi ia lemparkan.
Nial tidak mengatakan apapun saat ia meraih tangan Bela dan menyeretnya menjauh dari pintu.
"Mas Nial, sakit, Mas!"
Bela memberontak lepas dari cengkeraman tangan Nial. Tapi lelaki itu sama sekali tidak mengindahkannya. Ia membawa Bela memasuki sebuah ruangan dan menutup pintunya.
Meski tidak menjelaskan apapun, Bela tahu ini akan menjadi ruang siksaannya. Gelap, berdebu. Ini adalah gudang yang ada di bagian belakang rumah.
"Mungkin menyendiri dan merenungi apa yang kamu ucapkan akan membuatmu sadar."
Nial mendorong Bela dengan tangan besar dan berototnya, membuat Bela jatuh ke lantai yang dingin. Nial melangkah pergi dari hadapannya dan keluar dari sana.
Pintu tertutup, membutuhkan waktu beberapa saat bagi Bela untuk memahami keadaan bahwa saat ini Nial sedang mengurungnya di dalam gudang.
"Mas Nial!"
Ia menggedor pintu, membuka kenop namun hasilnya nihil karena Nial telah menguncinya dari luar.
"Aaaa!!"
Ia berteriak saat petir pecah di luar dengan begitu hebatnya. Membuat Bela menggigil ketakutan karena jika sampai hujan, maka ia akan menginap di sini, dalam kegelapan bersama dengan debu yang menyesakkan indra penciumannya.
Ia merapatkan punggungnya ke dinding saat sekali lagi kilatan di luar yang menyilaukan menyelinap masuk dan membias melalui kaca jendela. Matanya menangkap sebuh foto yang bersandar di dinding dengan tertutup kain putih yang tersingkap sebagian.
Ia mendekat, mengulurkan tangannya ke depan dan membuka kain besar yang menutupi foto dalam pigura kaca itu. Setelahnya ia tahu foto siapa ini.
Seorang perempuan yang sangat cantik, dengan anak lelaki yang mungkin umurnya masih sekitar tiga tahun. Mereka berdiri di samping Nial.
Bela mundur selangkah ke belakang, menutup mulut dengan kedua tangannya. Ini pasti anak dan istri Nial. Perempuan yang telah membawa pergi hati Nial sekaligus menutupnya dengan luka yang perih.
Lalu ... anak lelaki ini?
"Nial tidak hanya kehilangan istrinya tapi anaknya juga? Ap-apa yang sebenarnya terjadi?"
Sebelumnya, Nial melihat sendiri lelaki yang mengantar Bela pulang sedang melambaikan tangan dengan seulas senyum yang paling menawan. Yang mana hal itu membuatnya gerah. Ia berpikir anak-anak muda jaman sekarang seenaknya mengantar pulang istri orang tanpa rasa takut, tepat di depan pintu gerbang rumah suaminya. Nial melonggarkan dasinya yang terasa mencekik lehernya sendiri. Ia masuk ke dalam kamar saat suara petir yang sangat hebat terdengar pecah di luar. "Apa dia akan baik-baik saja? Biarkan saja! Siapa suruh dia dekat dengan lelaki lain?" Nial menghempaskan tubuh lelahnya ke atas ranjang. Memiringkan badan dan memanggil ingatan di mana semalam ia dapat melihat Bela tergolek kesakitan saat ia mengambil miliknya yang paling berharga, gadisnya. Hal itu justru membuat gairahnya membuncah, hanya dengan memikirkan bagaimana bentuk tubuh Bela membuat hormon lelakinya bangkit dari tidur. Nial memijit keningnya, memejamkan mata. "Maafkan aku, Catherine! Aku hanya akan menjadikannya
CTARR!!!Petir itu benar-benar terdengar dengan cukup keras. Kilatan putih itu seperti flash kamera raksasa yang menyilaukan hingga membuat Bela berteriak ketakutan."AAA!!"Ia yakin petir itu menyambar setidaknya pohon atau batu atau bumi, pasti salah satu dari mereka. Ia juga terkejut karena Nial keluar dari pintu kamar mandi dan berlari padanya lalu memeluknya yang masih duduk di atas tempat tidur."M-Mas Nial!"Bela memanggil Nial sekali lagi dan secepat mungkin Nial melepaskan tangannya yang merengkuh Bela. "Kenapa teriak?" tanyanya ketus. Bela mengangkat wajahnya untuk melihat Nial yang semakin tinggi saat berdiri di hadapannya. "A-ada petir." Bela menjawab dengan ragu-ragu. Ia melihat wajah kesal Nial yang lalu pergi tanpa mengatakan apapun lagi. Ia kembali masuk ke dalam kamar mandi dan Bela dapat mendengar suara air yang jatuh dari shower.Nial mengusap wajahnya dengan kasar saat mengingat bagaimana ia berlari secepat Usain Bolt dan memeluk Bela yang berteriak ketakutan ka
"Bapak!"Bela berlari menghambur dalam dekapan Handoko, ayahnya. Ia baru saja lepas dari Nial yang akhirnya mengijinkannya untuk datang ke rumah sakit setelah Bela menangis agar Nial menghentikan hasratnya yang membara di atas ranjang.'Tolong, Mas Nial! Kamu bisa melakukan apapun padaku. Tapi tolong, kali ini saja biarkan aku menerima panggilan bapak!'Bela ingat hal itu yang ia katakan pada Nial dengan air mata yang menggenang. Nial tidak tega karena mata Bela sudah seperti anak kucing yang kedinginan di tengah badai salju.'Baiklah.'Bela mengangkat telepon dari Handoko yang mengatakan ibunya kembali kritis. Air matanya semakin jatuh berlinang saat panggilan mereka mati.'Pakailah baju, Bela! Aku akan mengantarmu ke rumah sakit.'Tadinya Bela tidak percaya dengan apa yang didengarkannya dari bibir Nial. Tapi saat mata mereka bertemu, ia tahu Nial sungguh-sungguh.Membuat Bela menurutinya dan di sinilah dia sekarang.Memeluk Handoko dan memandang keadaan ibunya di dalam ruang ICU ya
Suara petir kembali terdengar dengan cukup hebat di atas sana padahal hujan baru saja reda. Petir juga terasa baru saja menyambar kepala Bela yang tertunduk ke samping melihat rambut hitam Nial yang sedang bersandar di pundaknya.'Catherine dia bilang?'Ia menghela napasnya.'Jadi nama mantan istrinya adalah Catherine?'Bela masih belum bergerak. Ia merasakan bahu Nial berguncang. Ia tahu lelaki ini menangis. Entah apa penyebabnya tiba-tiba ingat dengan Catherine, meski Bela tahu memang Nial tidak pernah bisa melupakan Catherine bahkan hanya dalam sedetik pun."Aku Bela!" Akhirnya ia membuka suaranya agar Nial berhenti mengingat Catherine.Nial berangsur menyadarkan dirinya dan menarik kepalanya dari Bela. Ia tidak mengatakan apapun saat bangkit dari duduknya dan membiarkan Bela sendirian di sana, sementara gerimis kembali mengguyur jagat raya.Bela menunduk. Ingat betul bagaimana ucapan Nial yang mengatakan bahwa dirinya hanyalah sebatas pengantin pengganti yang tidak diinginkan N
***"Ya, Jerry. Aku akan berangkat sebentar lagi."Suara bariton seorang lelaki terdengar sangat dekat di telinga Bela. Dan hal itu membuatnya segera membuka mata.Ia terkejut. Tentu saja! Karena ia bangun di dalam kamar Nial padahal sebelumnya ia tidur di sofa ruang tamu.Apalagi saat ini ia melihat Nial duduk di sampingnya dengan keadaan tanpa mengenakan atasan sehingga Bela disuguhi pemandangan tubuh atletisnya.Ia juga tampak baru saja bangun saat menerima panggilan lelaki bernama Jerry di ponselnya.'Apa yang terjadi semalam?' Bela menggigit bibirnya dan mengecek keadaannya di bawah selimut. Masih berpakaian lengkap.'Jadi Nial membawaku naik?' Ia sekilas melihat Nial yang ternyata mata elangnya sudah mengawasinya lebih dulu. Bela terbaring dengan kaku. Lidahnya membeku sampai dia tidak bisa mengatakan apapun bahkan hanya untuk menyapa Nial."Sudah bangun?"Suara bariton dingin Nial kembali tedengar. Membuat Bela
Nial melihat sendiri Bela menyentuh dompetnya dan mengintip foto Catherine di sana yang membuatnya berteriak marah.Bela berjingkat satu jarak menjauh dari meja dan menatap Nial dengan mata anak kucing yang ketakutan."Kamu tidak tahu kalau kamu lancang, Bela?"Nial meraih dompetnya secepat mungkin dan mengamankannya ke dalam genggamannya.Bela tidak menjawab Nial. Karena apapun bentuk jawaban yang ia katakan maka Nial akan tetap marah, Bela sudah terlajur salah di mata Nial."Jawab!"Bela menunduk dengan meremas jemari mungilnya. Menghindari mata Nial mungkin adalah pilihan terbaik saat ini dari pada membuatnya semakin ketakutan."Apa kamu penasaran dengan mantan istriku sampai kamu harus menyentuh dan membuka dompetku?"'Aku membuka dompetnya?' Bela bertanya dalam hati. Tapi sekarang bukan itu. Ada hal yang le
Nial khawatir. Sudah beberapa lama sejak Bela pergi menerjang guyuran hujan karena marah padanya. Bahkan saat ia selesai mandi dan menuruni tangga, anak itu juga belum tampak menunjukkan tanda-tanda kepulangannya. Harusnya ini lebih baik, karena artinya ia tidak perlu lagi melihatnya berkeliaran di dalam rumahnya. Tapi hatinya tidak mengijinkan. Ia membuka pintu rumah, sapuan dingin angin malam dan tempias hujan datang menerpa wajahnya. Petrichor membuatnya menghidu bau masa lalu. Bau Catherine, bau pomelo yang dipakainya. 'Nanti, datanglah dulu dengan Gavin di tempat kita reservasi untuk makan malam! Aku akan datang menyusul setelah pulang kerja, ya?' Itu adalah janji terakhir yang diucapkan Nial pada Catherine. 'Iya, Mas Nial ... aku dan Gavin akan menunggumu di sana.' 'Bagus. Kamu akan memakai gaun ini?' Nial melingkarkan tangannya pada pinggang Catherine, merasakan lembutnya gaun yang ia berikan padanya sebagai hadiah ulang tahun mereka yang memasuki satu dekade. 'Iya,
Dia menit sebelum kejadian ...."Bodoh!"Nial melihat Bela, ia lega karena ia menemukannya. Tapi lihat di mana dia sekarang! Di tengah kericuhan tawuran yang ada di jalan tak jauh dari rumah sakit. Ia berlari keluar dari mobilnya dan di sinilah sekarang. Memeluk Bela dengan sangat erat meski kepalanya dihantam botol kaca hingga berdarah.Panggilan Bela menyadarkannya bahwa mereka dalam situasi yang tidak aman. Nial melepas pelukannya dari Bela, memutar tubuhnya dan memberikan pukulan terkuatnya pada lelaki bertubuh kekar yang baru sana membuatnya mendapatkan luka-luka.BRUGH!Lelaki itu jatuh ke jalan hanya dengan sekali pukulan karena Nial menyerang titik fatal pada lehernya hingga pingsan.Bela tertegun di tempatnya berdiri. Sesaat kemudian keributan bubar karena sirine mobil polisi bergema di setiap sudut malam. Sementara Nial menarik tangannya dan membawanya masuk ke dalam mobil untuk pulang.Mereka tidak mengatakan apapun bahkan sampai masuk ke dalam rumah dan sampai di kamar m