Bela tersenyum membaca pesan dari Nial yang mengatakan agar ia bicara dengan Niko lebih dulu.Kini, bagi mereka ... semua telah sembuh dari luka. Tidak ada lagi pertengkaran atau baku hantam sama seperti yang dilakukan Nial dan Niko jika dulu mereka bertemu.Kebencian mereka telah berakhir. Bela ingat Nial sempat mengatakan bahwa Niko-lah yang dulu memberi tahu Nial saat Bela pergi ke Jawa Barat dan memutuskan akan mengakhiri hidupnya sendiri.Niko jugalah yang telah menanganinya saat Bela dilukai Jenni.Semuanya telah berlalu dengan sangat cepat. Waktu membuat kebencian bermetamorfosa menjadi obat penyembuh paling mujarab."Bagaimana kabarnya Pak Nial?"Pertanyaan Niko kembali merengkuh kesadaran Bela yang sedari tadi dibelenggu oleh pemikiran panjangnya."Kabar baik juga, Kak Nik. Dia sedang menikmati hari menjadi Papa yang super sibuk dengan anak lelakinya yang berlarian tanpa henti."Niko tersenyum mendengarnya. Sudah lama ia juga tidak bertemu Nial."Kak Niko mau bertenu dengan M
***"Ini kebebasan?"Terik. Matahari bersinar terik siang ini.Cerah dan juga berawan. Gugusan Cirro stratus membentang seperti karpet selamat datang yang menyaksikannya keluar dari tahanan. Pada akhirnya ....Tahun-tahun penebusannya telah berlalu. Dan ia tersenyum sekarang. Senyum yang kini tampak lega. Itu adalah Vida.Ia bebas dari tahanan setelah melewati masa yang suram. Yang tidak ingin lagi ia ulangi untuk ke dua kalinya.Dadanya lega sekaligus sebah. Ada perasaan bersalah pada Bela yang kini meluap hingga tumpah.Ia berjalan di sepanjang jalur pedestrian, menunduk dan memasuki sebuah kafe setelah keluar dari toko emas, menjual perhiasan yang dulu masih ia pakai sebelum dibawa polisi.Ponsel dan emas yang dikembalikan padanya itu ia jual dan ia gunakan setidaknya untuk bertahan hidup beberapa waktu ke depan. Sementara ponselnya masih bagus dan saat ini ada di atas meja.Ia duduk. Menghadap sebuah kertas kosong yang baru ia beli dari sebuah toko alat tulis.Netranya tergenan
***"Selamat pagi."Bariton dalam nan seksi milik Nial selalu menyambutnya setiap pagi.Dia juga tampak baru saja mandi saat melihat Bela yang bangun dari tidurnya dan memberi istrinya kecupan yang manis."Selamat pagi, Mas. Kamu sudah mandi?""Sudah, Sayang. Hm ... kenapa kamu bangun cepat-cepat? Istirahatlah lagi!""Tapi belum ada makanan untuk pagi ini."Nial tersenyum mendengarnya. Ia berlutut di depan Bela dengan sebelah kakinya dan mengusap perutnya yang bulat dan lucu."Oh? Oh!"Nial terkejut. Ia memandang Bela dengan tidak percaya."Kenapa Mas? Dia gerak ya?""Iya. Oh mungkin ingin ucapan selamat pagi juga? Hm ... kamu iri?"Nial mengecup perutnya dan memandang Bela."Bela?""Ya?""Kamu sempurna. Terima kasih untuk sudah mengandung dan mwlahirkan anak-anak kita."Bela mengangguk. Ia tidak bisa menyembunyikan senyumnya saat senyum Nial juga tampak sangat manis."Kamu mandilah! Nanti jadi pergi, 'kan?"Nial lebih dulu bangkit dari posisinya. Mengusap puncak kepala Bela dan memer
"Kalau ayahmu berbohong lagi, aku tidak akan melepaskanmu dan akan membuatmu menderita."Suara berat seorang lelaki terdengar di hadapannya. "Lihat aku, Arabela Mandala!"Bela sedikit mengangkat kepalanya untuk melihat wajah lelaki yang bertubuh tinggi itu. Dia bernama Nial, Danial Abdisatya. Ia masih mengenakan setelan jas berwarna hitam karena memang mereka baru saja menikah. "Buka bajumu!"Ia memerintahkan, tapi Bela hanya menyuguhkan sebuah keheningan. Tangan Nial mengarah ke depan untuk menyentuh Bela yang membuatnya beringsut mundur."Kamu menolakku?"Bibir Bela mengatup rapat. Ketakutan merundungnya hingga ke ujung kaki. Ia menunduk, merasakan air mata yang sudah akan jatuh saat jeritannya tertahan di tenggorokan.Tangan Nial menyentuh bahunya, membuka resleting gaun putih yang ia kenakan setelah akad dan menariknya agar ia berdiri."Apa kamu benar-benar masih gadis? Kalau kamu tidak gadis lagi, aku akan membuat ayahmu membusuk di penjara karena menipuku untuk kedua kalinya.
Nial tekekeh melihat wajah Bela dan garis dagunya yang mungil. "Handoko tidak mengatakan ini padamu? Aku sudah pernah menikah!" Handoko adalah nama ayahnya Bela.'Itu artinya, aku menikahi duda?' Bela bertanya dalam hatinya, harusnya ia tidak lagi terkejut karena memang usia Nial terpaut lima belas tahun dengannya. Sekarang ini Bela masih dua puluh tahun. Ia memang tahu nama anaknya Hendro itu adalah Nial, tapi Bela tidak tahu tentang apakah dia sudah pernah menikah ataukah belum.Dia tak sedekat itu dengan Hendro, Handoko lah yang dekat karena ayahnya adalah sopirnya Hendro.Lagi pula, Nial tertutup tentang kehidupan pribadinya selama ini.Lalu ....Bela terus bermonolog tentang di mana sekarang istri Nial atau kenapa mereka menjadi mantan?Meski ingin bertanya lebih banyak, ia menahannya."Aku akan kuliah nanti."Hanya kalimat itu yang pada akhirnya keluar. Lebih baik menghindari pertanyaan sensitif pada Nial agar mood paginya tidak hancur."Ya, lakukan yang kamu mau! Aku tidak p
...."Bela!"Panggilan yang datang dari seorang perempuan itu membuat Bela menoleh dengan cepat. Ia dapat melihat wajah ayu dari belakangnya. Rambutnya panjang dan itu adalah Vida, kakak perempuannya."Kak Vida? Kamu kenapa di sini?""Kenapa? Senang setelah bisa menggantikanku menjadi pengantin Nial?"Pertanyaannya yang frontal telah mengundang atensi orang di sekitarnya. Mereka yang mendengar apa yang dikatakan oleh Vida langsung saja menoleh karena memang saat ini mereka berada di depan gerbang Universitas.Bela mendengkus, ia tidak tahu alasan Vida melakukan ini, apa dia sengaja atau tidak, yang jelas ucapannya bernada marah dan benci."Lalu kenapa kalau aku menggantikanmu? Kamu juga nggak bisa melakukan apapun, Vida! Lihat apa yang kamu lakukan! Kamu nggak tahu ibu hampir meninggal karenamu?""Bela!"PLAKKK!!Tamparan itu melayang di wajah Bela yang menahan air matanya siang ini. Wajahnya terasa semakin panas, ia menyentuh pipinya yang memerah karena ulah kakaknya."Apa kamu berh
Sebelumnya, Nial melihat sendiri lelaki yang mengantar Bela pulang sedang melambaikan tangan dengan seulas senyum yang paling menawan. Yang mana hal itu membuatnya gerah. Ia berpikir anak-anak muda jaman sekarang seenaknya mengantar pulang istri orang tanpa rasa takut, tepat di depan pintu gerbang rumah suaminya. Nial melonggarkan dasinya yang terasa mencekik lehernya sendiri. Ia masuk ke dalam kamar saat suara petir yang sangat hebat terdengar pecah di luar. "Apa dia akan baik-baik saja? Biarkan saja! Siapa suruh dia dekat dengan lelaki lain?" Nial menghempaskan tubuh lelahnya ke atas ranjang. Memiringkan badan dan memanggil ingatan di mana semalam ia dapat melihat Bela tergolek kesakitan saat ia mengambil miliknya yang paling berharga, gadisnya. Hal itu justru membuat gairahnya membuncah, hanya dengan memikirkan bagaimana bentuk tubuh Bela membuat hormon lelakinya bangkit dari tidur. Nial memijit keningnya, memejamkan mata. "Maafkan aku, Catherine! Aku hanya akan menjadikannya
CTARR!!!Petir itu benar-benar terdengar dengan cukup keras. Kilatan putih itu seperti flash kamera raksasa yang menyilaukan hingga membuat Bela berteriak ketakutan."AAA!!"Ia yakin petir itu menyambar setidaknya pohon atau batu atau bumi, pasti salah satu dari mereka. Ia juga terkejut karena Nial keluar dari pintu kamar mandi dan berlari padanya lalu memeluknya yang masih duduk di atas tempat tidur."M-Mas Nial!"Bela memanggil Nial sekali lagi dan secepat mungkin Nial melepaskan tangannya yang merengkuh Bela. "Kenapa teriak?" tanyanya ketus. Bela mengangkat wajahnya untuk melihat Nial yang semakin tinggi saat berdiri di hadapannya. "A-ada petir." Bela menjawab dengan ragu-ragu. Ia melihat wajah kesal Nial yang lalu pergi tanpa mengatakan apapun lagi. Ia kembali masuk ke dalam kamar mandi dan Bela dapat mendengar suara air yang jatuh dari shower.Nial mengusap wajahnya dengan kasar saat mengingat bagaimana ia berlari secepat Usain Bolt dan memeluk Bela yang berteriak ketakutan ka