Beranda / CEO / Istri Pengganti Duda Arogan / Bab 1 - Aku Bukan Penipu

Share

Istri Pengganti Duda Arogan
Istri Pengganti Duda Arogan
Penulis: Almiftiafay

Bab 1 - Aku Bukan Penipu

"Kalau ayahmu berbohong lagi, aku tidak akan melepaskanmu dan akan membuatmu menderita."

Suara berat seorang lelaki terdengar di hadapannya. 

"Lihat aku, Arabela Mandala!"

Bela sedikit mengangkat kepalanya untuk melihat wajah lelaki yang bertubuh tinggi itu. Dia bernama Nial, Danial Abdisatya. Ia masih mengenakan setelan jas berwarna hitam karena memang mereka baru saja menikah. 

"Buka bajumu!"

Ia memerintahkan, tapi Bela hanya menyuguhkan sebuah keheningan. Tangan Nial mengarah ke depan untuk menyentuh Bela yang membuatnya beringsut mundur.

"Kamu menolakku?"

Bibir Bela mengatup rapat. Ketakutan merundungnya hingga ke ujung kaki. Ia menunduk, merasakan air mata yang sudah akan jatuh saat jeritannya tertahan di tenggorokan.

Tangan Nial menyentuh bahunya, membuka resleting gaun putih yang ia kenakan setelah akad dan menariknya agar ia berdiri.

"Apa kamu benar-benar masih gadis? Kalau kamu tidak gadis lagi, aku akan membuat ayahmu membusuk di penjara karena menipuku untuk kedua kalinya. Dia sudah membiarkan uang perusahaan dicuri oleh anak perempuannya, sekarang kalau kamu terbukti tidak gadis lagi seperti yang dia katakan, aku tidak akan menoleransi."

"Kamu bisa membuktikannya sendiri."

Bela menunduk menghindari tatapan Nial. Tapi lelaki itu meraih dagunya dan membawa pandangannya naik sehingga mata mereka bertemu. 

Sebuah seringai tersungging di salah satu sudut bibirnya.

Nial membuat Bela terhempas di atas ranjang. Ia juga mulai membuka pakaiannya sendiri sehingga Bela bisa memandang tubuh atletisnya dan bagaimana bagus bentuk perutnya. 

Bela memejamkan matanya saat Nial telah membuka habis seluruh pakaian yang tersisa sehingga ia merasakan tubuhnya yang menggigil kedinginan setelah tanpa sehelai benang.

Ia juga bisa merasakan kulit mereka yang kini bersentuhan. Memegang erat-erat seprai yang ada di tangan kanan dan kirinya saat Nial tidak mengatakan apapun selain senyumnya yang terlihat kejam. 

'Tidak! Jangan menangis, Bela!'

Ia menasehati dirinya sendiri saat ia dan Nial menjadikan ini sebagai malam pertama mereka setelah Bela menyetujui untuk menerima Nial sebagai suaminya.

Bukan dalam pernikahan baik-baik, tapi ia sebagai pengganti kakak perempuannya, Vida, yang menolak perjodohan dengan Nial setelah Nial membuka bobroknya yang membawa kabur uang perusahaan yang dibawa oleh ayahnya Bela.

Nial mengatakan bahwa ia akan menghentikan pengobatan ibunya yang saat ini sedang sekarat di rumah sakit, yang seluruh biayanya ditanggung Nial sesuai janjinya saat menikah dengan Vida. Tapi setelah Vida menolaknya, tentu saja Nial membatalkan kesepakatan.

Ayahnya Bela diancam oleh Nial karena telah menipunya. 

Nial dan Vida dijodohkan atas persahabatan orang tua mereka. 

Dia yang menjanjikan putrinya adalah perempuan baik-baik ternyata adalah seorang penipu, setidaknya itu yang dipikirkan oleh Nial.

"Bapak jangan khawatir! Biar aku saja yang menikah dengan Nial!"

Bela ingat betul ia mengatakan itu pada malam harinya saat ia dan ayahnya datang ke rumah sakit untuk menjenguk Sasti, ibunya Bela.

"Tapi dia kejam. Lihat bagaimana pribadinya, Bel!"

"Tapi Bapak mau bagaimana sekarang? Membiarkan ibu meninggal karena Nial nggak mau membayar pengobatannya? Pak ... Bela nggak mau kehilangan ibu."

"Biarkan Bapak saja yang dipenjara karena Nial menganggap Bapak menipunya."

"Lalu ibu bagaimana, Pak? Kak Vida juga nggak mau dijodohkan, kalau bapak dipenjara siapa yang mau rawat ibu? Pak, kita nggak punya uang sebanyak itu untuk pengobatan ibu."

Bela menangis, menggenggam erat-erat kedua tangan keriput ayahnya yang usianya memasuki senja.

"Tapi, Bel ... kamu 'kan masih kuliah. Nanti masa depanmu hancur di tangan Nial."

"Demi ibu, Pak! Nggak ada cara lain. Apa yang diminta sama Nial sebenarnya? Bilang sama Bela!"

Ayahnya sejenak menghela napas, sedikit menghindari mata Bela yang sudah beruraian air mata.

"Nial nggak minta apa-apa, dia cuma mau perempuan baik-baik. Tapi sepertinya dia sudah nggak akan percaya pada siapapun karena terlanjur berpikir Bapak mempermainkannya."

"Percaya sama Bela, Pak! Bela nggak akan menipunya. Bela juga nggak pernah berhubungan sama lelaki manapun, dia bisa menilai sendiri nanti kalau Bela perempuan baik-baik."

Ayahnya ikut menangis. Ia menunduk dengan penuh sesal. Pupil matanya bergetar dalam cemas saat ia melihat wajah putrinya yang masih belia. Ia dihadapkan pada kebimbangan antara menyerahkan Bela atau tidak. 

Jika iya, dia jelas akan menghancurkan masa depan Bela. Tapi jika tidak, maka Sasti akan mati.

"Maafkan Bapak, Bel! Kalau saja Bapak nggak berteman dengan keluarga kaya seperti Hendro Abdisatya mungkin kamu nggak akan mengorbankan hidupmu seperti ini."

"Jangan menangis, Pak! Nial bisa membuktikannya sendiri nanti, yang terpenting Bapak di sini jaga ibu!"

Ingatan itu mengabur dalam sesaat. Bela merasakan ngilu pada bagian di bawah sana saat Nial memenuhi dirinya.

'Kamu bisa membuktikannya sendiri' adalah satu-satunya kalimat yang dikatakan Bela setelah mereka masuk ke dalam kamar pengantin. Tadinya Nial menganggap Bela ini sama saja dengan kakak perempuannya yang seorang penipu. Namun ternyata ia salah.

'Dia benar-benar perawan!'

Ia yakin dalam hatinya karena jelas ia akan kalah. 

Nial tahu perbedaan dan rasanya. 

Bagaimana kesulitan ini telah menjawab sekaligus membuktikan apa yang dikatakan Bela sepenuhnya benar.

Nial bisa melihat air mata perempuan yang ada di bawahnya itu menggantung di kedua sudut matanya. Ia pasti kesakitan.

Meski Bela bersumpah untuk tidak menangis atau pun berteriak, tapi nyatanya ia tak bisa membendung air matanya yang kini benar-benar telah jatuh.

"Mulai hari ini, kamu milikku, Bela. Kamu milikku."

Bela bisa mendengar itu dalam kesakitan, dan memilih untuk tidak menjawab.

Nial tampak menemukan seprai putih yang kini ternoda oleh noktah merah yang tertinggal di atasnya. Ia memejamkan matanya sementara Bela meringkuk kesakitan.

Ia merasakan nyeri yang menjalari sekujur tubuhnya. Memandang sekilas pada Nial yang sudah tak bergerak dan jatuh dalam lelap.

Bela tidak bisa memejamkan matanya sampai pagi dan keluar dari pintu kamar milik Nial. Pergi ke ruangan lain yang tersebar di seluruh tempat ini.

CEO Ones Air, Nial adalah pemilik jabatan itu. Dia mewarisi kekayaan ayahnya. Dan lelaki bernama Hendro Abdisatya itu adalah sahabat Hendro sejak dari bangku SMA.

Lelaki itu juga tampak di rumah ini saat Bela turun tangga menuju lantai satu.

"Selamat pagi," sapanya lebih dulu saat melihat Bela.

"Selamat pagi." Bela menjawabnya dengan gugup. 

Ia bingung harus melakukan apa di hadapan ayah mertuanya.

"Sepertinya kamu berhasil meyakinkan Nial. Karena jika tidak anak itu pasti sudah menendangmu keluar dari rumah ini sejak semalam."

Bela menggigit bibirnya sekilas. Ia sedang merasa ditelanjangi karena jelas lelaki di hadapannya ini sedang mengatakan tentang bagaimana malam pertamanya dengan Nial.

"Minta apapun yang kamu butuhkan pada Bu Kim. Dia kepala pelayan di rumah ini."

Kalimat itu mengakhiri percakapan mereka dengan Hendro yang mengusap puncak kepalanya. Bela terlambat menghindar dan membiarkannya melakukan itu.

Punggungnya menghilang saat ia berbelok ke ruangan lain. Meninggalkan Bela yang masih berdiri kaku di tempatnya dengan tidak bergerak sedikit pun. 

Butuh waktu beberapa saat baginya untuk memahami bahwa saat ini ia tidak lagi memiliki hidupnya sendiri. Melainkan juga harus berbagi dengan Nial. 

Dengan rumah ini, dengan duka yang terjadi di depan sana yang tidak ia ketahui akan seperti apa.

"Kamu menggoda ayahku?"

Suara bariton itu datang dari belakangnya dan saat Bela memutar tubuhnya, ia dapat melihat Nial yang sedang berjalan di anak tangga sembari mengancingkan kemejanya.

"Tidak."

Bela menjawabnya secepat mungkin. Tapi Nial hanya melemparkan senyumnya yang penuh kecurigaan.

"Hendro itu brengsek, jangan dekat-dekat dengan dia!"

Bela berpikir, 'Jadi siapa sekarang yang lebih brengsek? Bagaimana bisa Nial memanggil ayahnya hanya dengan menyebut namanya saja?'

"Dia itu suka main perempuan sampai membuat ibuku stres dan mati bunuh diri. Tapi ya ... yang penting aku sudah memperingatkanmu! Lagi pula 'kan aku sudah bilang, kamu milikku, Bela! Aku tidak suka saat milikku disentuh orang lain. Baik itu Hendro atau siapapun."

Nial berlalu pergi dari hadapannya.

"Mas Nial!"

Lelaki itu berhenti dan kembali menatapnya.

"Mas Nial akan memenuhi janji untuk tidak menghentikan pengobatan ibuku, 'kan?"

Nial hanya mengangkat kedua pundaknya sekilas.

"Tergantung, kalau kamu bisa memberi yang terbaik sama seperti yang dilakukan mantan istriku dulu, aku akan mengabulkan permintaanmu. Tapi kalau tidak, jangan harap!"

"Mantan istri?"

Komen (3)
goodnovel comment avatar
Rika Rahim
cuuuuus lanjuuuuut
goodnovel comment avatar
Christy Lino
Baru slesai bab 1 & udh bkin greget emosi ...
goodnovel comment avatar
Almiftiafay
haloooo sudah bisa baca??
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status