"Kalau ayahmu berbohong lagi, aku tidak akan melepaskanmu dan akan membuatmu menderita."
Suara berat seorang lelaki terdengar di hadapannya.
"Lihat aku, Arabela Mandala!"
Bela sedikit mengangkat kepalanya untuk melihat wajah lelaki yang bertubuh tinggi itu. Dia bernama Nial, Danial Abdisatya. Ia masih mengenakan setelan jas berwarna hitam karena memang mereka baru saja menikah.
"Buka bajumu!"
Ia memerintahkan, tapi Bela hanya menyuguhkan sebuah keheningan. Tangan Nial mengarah ke depan untuk menyentuh Bela yang membuatnya beringsut mundur.
"Kamu menolakku?"
Bibir Bela mengatup rapat. Ketakutan merundungnya hingga ke ujung kaki. Ia menunduk, merasakan air mata yang sudah akan jatuh saat jeritannya tertahan di tenggorokan.
Tangan Nial menyentuh bahunya, membuka resleting gaun putih yang ia kenakan setelah akad dan menariknya agar ia berdiri.
"Apa kamu benar-benar masih gadis? Kalau kamu tidak gadis lagi, aku akan membuat ayahmu membusuk di penjara karena menipuku untuk kedua kalinya. Dia sudah membiarkan uang perusahaan dicuri oleh anak perempuannya, sekarang kalau kamu terbukti tidak gadis lagi seperti yang dia katakan, aku tidak akan menoleransi."
"Kamu bisa membuktikannya sendiri."
Bela menunduk menghindari tatapan Nial. Tapi lelaki itu meraih dagunya dan membawa pandangannya naik sehingga mata mereka bertemu.
Sebuah seringai tersungging di salah satu sudut bibirnya.Nial membuat Bela terhempas di atas ranjang. Ia juga mulai membuka pakaiannya sendiri sehingga Bela bisa memandang tubuh atletisnya dan bagaimana bagus bentuk perutnya.
Bela memejamkan matanya saat Nial telah membuka habis seluruh pakaian yang tersisa sehingga ia merasakan tubuhnya yang menggigil kedinginan setelah tanpa sehelai benang.
Ia juga bisa merasakan kulit mereka yang kini bersentuhan. Memegang erat-erat seprai yang ada di tangan kanan dan kirinya saat Nial tidak mengatakan apapun selain senyumnya yang terlihat kejam.
'Tidak! Jangan menangis, Bela!'
Ia menasehati dirinya sendiri saat ia dan Nial menjadikan ini sebagai malam pertama mereka setelah Bela menyetujui untuk menerima Nial sebagai suaminya.
Bukan dalam pernikahan baik-baik, tapi ia sebagai pengganti kakak perempuannya, Vida, yang menolak perjodohan dengan Nial setelah Nial membuka bobroknya yang membawa kabur uang perusahaan yang dibawa oleh ayahnya Bela.
Nial mengatakan bahwa ia akan menghentikan pengobatan ibunya yang saat ini sedang sekarat di rumah sakit, yang seluruh biayanya ditanggung Nial sesuai janjinya saat menikah dengan Vida. Tapi setelah Vida menolaknya, tentu saja Nial membatalkan kesepakatan.
Ayahnya Bela diancam oleh Nial karena telah menipunya. Nial dan Vida dijodohkan atas persahabatan orang tua mereka. Dia yang menjanjikan putrinya adalah perempuan baik-baik ternyata adalah seorang penipu, setidaknya itu yang dipikirkan oleh Nial."Bapak jangan khawatir! Biar aku saja yang menikah dengan Nial!"
Bela ingat betul ia mengatakan itu pada malam harinya saat ia dan ayahnya datang ke rumah sakit untuk menjenguk Sasti, ibunya Bela.
"Tapi dia kejam. Lihat bagaimana pribadinya, Bel!"
"Tapi Bapak mau bagaimana sekarang? Membiarkan ibu meninggal karena Nial nggak mau membayar pengobatannya? Pak ... Bela nggak mau kehilangan ibu."
"Biarkan Bapak saja yang dipenjara karena Nial menganggap Bapak menipunya."
"Lalu ibu bagaimana, Pak? Kak Vida juga nggak mau dijodohkan, kalau bapak dipenjara siapa yang mau rawat ibu? Pak, kita nggak punya uang sebanyak itu untuk pengobatan ibu."
Bela menangis, menggenggam erat-erat kedua tangan keriput ayahnya yang usianya memasuki senja.
"Tapi, Bel ... kamu 'kan masih kuliah. Nanti masa depanmu hancur di tangan Nial."
"Demi ibu, Pak! Nggak ada cara lain. Apa yang diminta sama Nial sebenarnya? Bilang sama Bela!"
Ayahnya sejenak menghela napas, sedikit menghindari mata Bela yang sudah beruraian air mata.
"Nial nggak minta apa-apa, dia cuma mau perempuan baik-baik. Tapi sepertinya dia sudah nggak akan percaya pada siapapun karena terlanjur berpikir Bapak mempermainkannya."
"Percaya sama Bela, Pak! Bela nggak akan menipunya. Bela juga nggak pernah berhubungan sama lelaki manapun, dia bisa menilai sendiri nanti kalau Bela perempuan baik-baik."
Ayahnya ikut menangis. Ia menunduk dengan penuh sesal. Pupil matanya bergetar dalam cemas saat ia melihat wajah putrinya yang masih belia. Ia dihadapkan pada kebimbangan antara menyerahkan Bela atau tidak.
Jika iya, dia jelas akan menghancurkan masa depan Bela. Tapi jika tidak, maka Sasti akan mati.
"Maafkan Bapak, Bel! Kalau saja Bapak nggak berteman dengan keluarga kaya seperti Hendro Abdisatya mungkin kamu nggak akan mengorbankan hidupmu seperti ini."
"Jangan menangis, Pak! Nial bisa membuktikannya sendiri nanti, yang terpenting Bapak di sini jaga ibu!"
Ingatan itu mengabur dalam sesaat. Bela merasakan ngilu pada bagian di bawah sana saat Nial memenuhi dirinya.
'Kamu bisa membuktikannya sendiri' adalah satu-satunya kalimat yang dikatakan Bela setelah mereka masuk ke dalam kamar pengantin. Tadinya Nial menganggap Bela ini sama saja dengan kakak perempuannya yang seorang penipu. Namun ternyata ia salah.
'Dia benar-benar perawan!'
Ia yakin dalam hatinya karena jelas ia akan kalah.
Nial tahu perbedaan dan rasanya. Bagaimana kesulitan ini telah menjawab sekaligus membuktikan apa yang dikatakan Bela sepenuhnya benar.Nial bisa melihat air mata perempuan yang ada di bawahnya itu menggantung di kedua sudut matanya. Ia pasti kesakitan.
Meski Bela bersumpah untuk tidak menangis atau pun berteriak, tapi nyatanya ia tak bisa membendung air matanya yang kini benar-benar telah jatuh.
"Mulai hari ini, kamu milikku, Bela. Kamu milikku."
Bela bisa mendengar itu dalam kesakitan, dan memilih untuk tidak menjawab.
Nial tampak menemukan seprai putih yang kini ternoda oleh noktah merah yang tertinggal di atasnya. Ia memejamkan matanya sementara Bela meringkuk kesakitan.
Ia merasakan nyeri yang menjalari sekujur tubuhnya. Memandang sekilas pada Nial yang sudah tak bergerak dan jatuh dalam lelap.
Bela tidak bisa memejamkan matanya sampai pagi dan keluar dari pintu kamar milik Nial. Pergi ke ruangan lain yang tersebar di seluruh tempat ini.
CEO Ones Air, Nial adalah pemilik jabatan itu. Dia mewarisi kekayaan ayahnya. Dan lelaki bernama Hendro Abdisatya itu adalah sahabat Hendro sejak dari bangku SMA.
Lelaki itu juga tampak di rumah ini saat Bela turun tangga menuju lantai satu.
"Selamat pagi," sapanya lebih dulu saat melihat Bela.
"Selamat pagi." Bela menjawabnya dengan gugup.
Ia bingung harus melakukan apa di hadapan ayah mertuanya."Sepertinya kamu berhasil meyakinkan Nial. Karena jika tidak anak itu pasti sudah menendangmu keluar dari rumah ini sejak semalam."
Bela menggigit bibirnya sekilas. Ia sedang merasa ditelanjangi karena jelas lelaki di hadapannya ini sedang mengatakan tentang bagaimana malam pertamanya dengan Nial.
"Minta apapun yang kamu butuhkan pada Bu Kim. Dia kepala pelayan di rumah ini."
Kalimat itu mengakhiri percakapan mereka dengan Hendro yang mengusap puncak kepalanya. Bela terlambat menghindar dan membiarkannya melakukan itu.
Punggungnya menghilang saat ia berbelok ke ruangan lain. Meninggalkan Bela yang masih berdiri kaku di tempatnya dengan tidak bergerak sedikit pun.
Butuh waktu beberapa saat baginya untuk memahami bahwa saat ini ia tidak lagi memiliki hidupnya sendiri. Melainkan juga harus berbagi dengan Nial.
Dengan rumah ini, dengan duka yang terjadi di depan sana yang tidak ia ketahui akan seperti apa."Kamu menggoda ayahku?"
Suara bariton itu datang dari belakangnya dan saat Bela memutar tubuhnya, ia dapat melihat Nial yang sedang berjalan di anak tangga sembari mengancingkan kemejanya.
"Tidak."
Bela menjawabnya secepat mungkin. Tapi Nial hanya melemparkan senyumnya yang penuh kecurigaan.
"Hendro itu brengsek, jangan dekat-dekat dengan dia!"
Bela berpikir, 'Jadi siapa sekarang yang lebih brengsek? Bagaimana bisa Nial memanggil ayahnya hanya dengan menyebut namanya saja?'
"Dia itu suka main perempuan sampai membuat ibuku stres dan mati bunuh diri. Tapi ya ... yang penting aku sudah memperingatkanmu! Lagi pula 'kan aku sudah bilang, kamu milikku, Bela! Aku tidak suka saat milikku disentuh orang lain. Baik itu Hendro atau siapapun."
Nial berlalu pergi dari hadapannya.
"Mas Nial!"
Lelaki itu berhenti dan kembali menatapnya.
"Mas Nial akan memenuhi janji untuk tidak menghentikan pengobatan ibuku, 'kan?"
Nial hanya mengangkat kedua pundaknya sekilas.
"Tergantung, kalau kamu bisa memberi yang terbaik sama seperti yang dilakukan mantan istriku dulu, aku akan mengabulkan permintaanmu. Tapi kalau tidak, jangan harap!"
"Mantan istri?"
Nial tekekeh melihat wajah Bela dan garis dagunya yang mungil. "Handoko tidak mengatakan ini padamu? Aku sudah pernah menikah!" Handoko adalah nama ayahnya Bela.'Itu artinya, aku menikahi duda?' Bela bertanya dalam hatinya, harusnya ia tidak lagi terkejut karena memang usia Nial terpaut lima belas tahun dengannya. Sekarang ini Bela masih dua puluh tahun. Ia memang tahu nama anaknya Hendro itu adalah Nial, tapi Bela tidak tahu tentang apakah dia sudah pernah menikah ataukah belum.Dia tak sedekat itu dengan Hendro, Handoko lah yang dekat karena ayahnya adalah sopirnya Hendro.Lagi pula, Nial tertutup tentang kehidupan pribadinya selama ini.Lalu ....Bela terus bermonolog tentang di mana sekarang istri Nial atau kenapa mereka menjadi mantan?Meski ingin bertanya lebih banyak, ia menahannya."Aku akan kuliah nanti."Hanya kalimat itu yang pada akhirnya keluar. Lebih baik menghindari pertanyaan sensitif pada Nial agar mood paginya tidak hancur."Ya, lakukan yang kamu mau! Aku tidak p
...."Bela!"Panggilan yang datang dari seorang perempuan itu membuat Bela menoleh dengan cepat. Ia dapat melihat wajah ayu dari belakangnya. Rambutnya panjang dan itu adalah Vida, kakak perempuannya."Kak Vida? Kamu kenapa di sini?""Kenapa? Senang setelah bisa menggantikanku menjadi pengantin Nial?"Pertanyaannya yang frontal telah mengundang atensi orang di sekitarnya. Mereka yang mendengar apa yang dikatakan oleh Vida langsung saja menoleh karena memang saat ini mereka berada di depan gerbang Universitas.Bela mendengkus, ia tidak tahu alasan Vida melakukan ini, apa dia sengaja atau tidak, yang jelas ucapannya bernada marah dan benci."Lalu kenapa kalau aku menggantikanmu? Kamu juga nggak bisa melakukan apapun, Vida! Lihat apa yang kamu lakukan! Kamu nggak tahu ibu hampir meninggal karenamu?""Bela!"PLAKKK!!Tamparan itu melayang di wajah Bela yang menahan air matanya siang ini. Wajahnya terasa semakin panas, ia menyentuh pipinya yang memerah karena ulah kakaknya."Apa kamu berh
Sebelumnya, Nial melihat sendiri lelaki yang mengantar Bela pulang sedang melambaikan tangan dengan seulas senyum yang paling menawan. Yang mana hal itu membuatnya gerah. Ia berpikir anak-anak muda jaman sekarang seenaknya mengantar pulang istri orang tanpa rasa takut, tepat di depan pintu gerbang rumah suaminya. Nial melonggarkan dasinya yang terasa mencekik lehernya sendiri. Ia masuk ke dalam kamar saat suara petir yang sangat hebat terdengar pecah di luar. "Apa dia akan baik-baik saja? Biarkan saja! Siapa suruh dia dekat dengan lelaki lain?" Nial menghempaskan tubuh lelahnya ke atas ranjang. Memiringkan badan dan memanggil ingatan di mana semalam ia dapat melihat Bela tergolek kesakitan saat ia mengambil miliknya yang paling berharga, gadisnya. Hal itu justru membuat gairahnya membuncah, hanya dengan memikirkan bagaimana bentuk tubuh Bela membuat hormon lelakinya bangkit dari tidur. Nial memijit keningnya, memejamkan mata. "Maafkan aku, Catherine! Aku hanya akan menjadikannya
CTARR!!!Petir itu benar-benar terdengar dengan cukup keras. Kilatan putih itu seperti flash kamera raksasa yang menyilaukan hingga membuat Bela berteriak ketakutan."AAA!!"Ia yakin petir itu menyambar setidaknya pohon atau batu atau bumi, pasti salah satu dari mereka. Ia juga terkejut karena Nial keluar dari pintu kamar mandi dan berlari padanya lalu memeluknya yang masih duduk di atas tempat tidur."M-Mas Nial!"Bela memanggil Nial sekali lagi dan secepat mungkin Nial melepaskan tangannya yang merengkuh Bela. "Kenapa teriak?" tanyanya ketus. Bela mengangkat wajahnya untuk melihat Nial yang semakin tinggi saat berdiri di hadapannya. "A-ada petir." Bela menjawab dengan ragu-ragu. Ia melihat wajah kesal Nial yang lalu pergi tanpa mengatakan apapun lagi. Ia kembali masuk ke dalam kamar mandi dan Bela dapat mendengar suara air yang jatuh dari shower.Nial mengusap wajahnya dengan kasar saat mengingat bagaimana ia berlari secepat Usain Bolt dan memeluk Bela yang berteriak ketakutan ka
"Bapak!"Bela berlari menghambur dalam dekapan Handoko, ayahnya. Ia baru saja lepas dari Nial yang akhirnya mengijinkannya untuk datang ke rumah sakit setelah Bela menangis agar Nial menghentikan hasratnya yang membara di atas ranjang.'Tolong, Mas Nial! Kamu bisa melakukan apapun padaku. Tapi tolong, kali ini saja biarkan aku menerima panggilan bapak!'Bela ingat hal itu yang ia katakan pada Nial dengan air mata yang menggenang. Nial tidak tega karena mata Bela sudah seperti anak kucing yang kedinginan di tengah badai salju.'Baiklah.'Bela mengangkat telepon dari Handoko yang mengatakan ibunya kembali kritis. Air matanya semakin jatuh berlinang saat panggilan mereka mati.'Pakailah baju, Bela! Aku akan mengantarmu ke rumah sakit.'Tadinya Bela tidak percaya dengan apa yang didengarkannya dari bibir Nial. Tapi saat mata mereka bertemu, ia tahu Nial sungguh-sungguh.Membuat Bela menurutinya dan di sinilah dia sekarang.Memeluk Handoko dan memandang keadaan ibunya di dalam ruang ICU ya
Suara petir kembali terdengar dengan cukup hebat di atas sana padahal hujan baru saja reda. Petir juga terasa baru saja menyambar kepala Bela yang tertunduk ke samping melihat rambut hitam Nial yang sedang bersandar di pundaknya.'Catherine dia bilang?'Ia menghela napasnya.'Jadi nama mantan istrinya adalah Catherine?'Bela masih belum bergerak. Ia merasakan bahu Nial berguncang. Ia tahu lelaki ini menangis. Entah apa penyebabnya tiba-tiba ingat dengan Catherine, meski Bela tahu memang Nial tidak pernah bisa melupakan Catherine bahkan hanya dalam sedetik pun."Aku Bela!" Akhirnya ia membuka suaranya agar Nial berhenti mengingat Catherine.Nial berangsur menyadarkan dirinya dan menarik kepalanya dari Bela. Ia tidak mengatakan apapun saat bangkit dari duduknya dan membiarkan Bela sendirian di sana, sementara gerimis kembali mengguyur jagat raya.Bela menunduk. Ingat betul bagaimana ucapan Nial yang mengatakan bahwa dirinya hanyalah sebatas pengantin pengganti yang tidak diinginkan N
***"Ya, Jerry. Aku akan berangkat sebentar lagi."Suara bariton seorang lelaki terdengar sangat dekat di telinga Bela. Dan hal itu membuatnya segera membuka mata.Ia terkejut. Tentu saja! Karena ia bangun di dalam kamar Nial padahal sebelumnya ia tidur di sofa ruang tamu.Apalagi saat ini ia melihat Nial duduk di sampingnya dengan keadaan tanpa mengenakan atasan sehingga Bela disuguhi pemandangan tubuh atletisnya.Ia juga tampak baru saja bangun saat menerima panggilan lelaki bernama Jerry di ponselnya.'Apa yang terjadi semalam?' Bela menggigit bibirnya dan mengecek keadaannya di bawah selimut. Masih berpakaian lengkap.'Jadi Nial membawaku naik?' Ia sekilas melihat Nial yang ternyata mata elangnya sudah mengawasinya lebih dulu. Bela terbaring dengan kaku. Lidahnya membeku sampai dia tidak bisa mengatakan apapun bahkan hanya untuk menyapa Nial."Sudah bangun?"Suara bariton dingin Nial kembali tedengar. Membuat Bela
Nial melihat sendiri Bela menyentuh dompetnya dan mengintip foto Catherine di sana yang membuatnya berteriak marah.Bela berjingkat satu jarak menjauh dari meja dan menatap Nial dengan mata anak kucing yang ketakutan."Kamu tidak tahu kalau kamu lancang, Bela?"Nial meraih dompetnya secepat mungkin dan mengamankannya ke dalam genggamannya.Bela tidak menjawab Nial. Karena apapun bentuk jawaban yang ia katakan maka Nial akan tetap marah, Bela sudah terlajur salah di mata Nial."Jawab!"Bela menunduk dengan meremas jemari mungilnya. Menghindari mata Nial mungkin adalah pilihan terbaik saat ini dari pada membuatnya semakin ketakutan."Apa kamu penasaran dengan mantan istriku sampai kamu harus menyentuh dan membuka dompetku?"'Aku membuka dompetnya?' Bela bertanya dalam hati. Tapi sekarang bukan itu. Ada hal yang le