***
"Ya, Jerry. Aku akan berangkat sebentar lagi."Suara bariton seorang lelaki terdengar sangat dekat di telinga Bela. Dan hal itu membuatnya segera membuka mata.
Ia terkejut. Tentu saja! Karena ia bangun di dalam kamar Nial padahal sebelumnya ia tidur di sofa ruang tamu.
Apalagi saat ini ia melihat Nial duduk di sampingnya dengan keadaan tanpa mengenakan atasan sehingga Bela disuguhi pemandangan tubuh atletisnya.Ia juga tampak baru saja bangun saat menerima panggilan lelaki bernama Jerry di ponselnya.
'Apa yang terjadi semalam?' Bela menggigit bibirnya dan mengecek keadaannya di bawah selimut. Masih berpakaian lengkap.
'Jadi Nial membawaku naik?' Ia sekilas melihat Nial yang ternyata mata elangnya sudah mengawasinya lebih dulu. Bela terbaring dengan kaku. Lidahnya membeku sampai dia tidak bisa mengatakan apapun bahkan hanya untuk menyapa Nial.
"Sudah bangun?"
Suara bariton dingin Nial kembali tedengar. Membuat Bela mengangguk dan Nial hanya melemparkan seringainya.
"K-kamu membawaku naik semalam?"
Bela memberanikan diri bertanya, Nial mengangguk dan memiringkan kepalanya ke kanan.
"Ya. Aku membawamu naik saat kamu tidur seperti kerbau di musim dingin."
Jika ada lomba membuat orang naik pitam dan menghancurkan mood pagi anak orang, maka Nial sudah dipastikan menang. Karena hanya dengan mengucap itu saja membuat Bela kesal tak kepalang.
"Kamu tidur di ruang tamu ingin menggoda Hendro kalau misalnya dia mampir?"
Nial bertanya dengan masih belum mengalihkan matanya.
"Aku? Menggoda ayahmu? Kenapa aku harus melakukannya?"
Bela bertanya balik juga dengan kesal karena Nial selalu saja mengatakan Bela berusaha menggoda Hendro.
Tapi Nial tak menjawab Bela, ia membuka selimut yang menutupi tubuh Bela sehingga ia bisa melihat kemeja putih oversize yang dipakai Bela dan juga hotpants dengan warna yang sama."Aku bilang jangan memakai dress di atas lutut tapi kamu malah memakai hotpants?" tunjuknya pada kaki ramping Bela yang terbuka hingga ke paha.
"Kamu sengaja memakai ini dan tidur di ruang tamu untuk menunggu Hendro?"
Bela mendengus. Ia muak dengan Nial yang terus saja berbuat sekehendak hatinya.
"Mas Nial, Mas Nial sendiri yang semalam bilang aku tidak boleh masuk ke kamar. Aku menurutimu meski pakaianku basah. Aku meminta pakaian pada bu Kim dan dia memberiku ini karena tidak ada yang ukurannya pas di badanku. Kamu juga bisa lihat kemejanya kebesaran, 'kan?"
"Ya. Karena itu milikku. Kemejaku."
"Lalu aku harus bagaimana? Tidur dengan pakaian yang basah?"
Bela membuang pandangannya dan turun dari tempat tidur.
"Bela! Kamu sudah berani menjawabku? Hah?!"
Abai.
Bela enggan menanggapi kalimat Nial yang menabuh genderang pertengkaran bahkan saat matahari belum tampak di luar sana.
Sementara meski terus saja mengeluarkan kata-kata kasar, sebenarnya Nial diam-diam meraba dadanya sendiri dengan degub jantung yang berdetak tak terkendali.
Ia tidak tahu sejak kapan kemeja oversize dan juga celana kurang bahan itu akan terlihat begitu agresif di tubuh seseorang.Dan itu ... di tubuh Bela.
"Ini bahaya!"
***
Mendung.
Tapi itu di luar sana. Bela dapat melihat mendung hitam yang menggantung dari perpustakaan di kampusnya.
Ia menghadap jendela dan melihat lalu-lalang mahasiswa yang beraktivitas siang ini.Ada hal yang mengusiknya sedari pagi. Yaitu tentang kabar pernikahannya yang menyebar dengan cepatnya. Dan bisik-bisik itu terdengar tidak sedap karena mereka mengatakan bahwa Bela menikah dengan seorang pria tua dan hanya menjadi simpanannya.
Ia mendorong napasnya dengan pelan, tapi juga kembali menghela dengan berat.
"Terlihat seperti menanggung beban."
Bela menoleh ke samping kanannya dan melihat kontur wajah Niko yang sempurna. Lelaki itu tersenyum saat melepas coat panjang warna cream dan membuka buku setelah mengambil duduk di samping Bela.
"Kak Niko?"
"Hai! Semalam kamu tidur dengan baik?"
Bela mengangguk. Ia tersihir oleh bagaimana bersahajanya lelaki ini.
Dari sekian ribu orang yang mengagumi pesona Niko, ia justru memilih duduk di samping Bela dengan mata bening yang berbinar penuh kilauan."Kamu baik-baik saja? Kenapa mengambil napas dengan berat?" Niko bertanya sekali lagi, kali ini lebih lirih karena tidak ingin mengganggu ketenangan di dalam perpustakaan.
"Iya, aku baik-baik saja."
Senyumnya mengembang. Ia sekilas melihat ke arah tangan Bela di mana di sana ada cincin yang melingkar di jari manisnya dengan sangat cantik.
"Kamu sudah dengar bagaimana anak-anak menggila saat tahu kamu menikah?"
"Iya. Aku sudah dengar."
"Aku tidak akan bertanya alasan apa kamu tiba-tiba menikah dengan Nial. Tapi ...."
Niko menghentikan kalimatnya. Kali ini ia benar-benar menatap Bela, tidak hanya sekedar mencuri pandang.
"Tapi, saat kamu merasa tidak bahagia, datanglah padaku, Bela! Kamu tahu 'kan bagaimana perasaanku?"
Dada Bela seketika itu sesak. Di mana kalimat sederhana Niko telah menggugah duka dalam hatinya. Memanggil kembali ingatan tentang ucapan Nial agar ibunya cepat sembuh sehingga Nial tidak perlu lagi melihat Bela di rumahnya.
Dan jika hal itu benar-benar terjadi, maka akan memberinya kabar baik bahwa ibunya telah pulih. Tapi kabar buruknya, jika dikaitkan dengan ucapan Nial, bukankah itu artinya Nial akan melepas Bela dan mereka bercerai?
Yang artinya ... ia akan menjadi janda.
Tanpa sadar air mata Bela meleleh. Akibat dari apa yang dilakukan Vida—yang menolak dirinya dijodohkan dengan Nial—maka lelaki itu akan melampiaskan kebenciannya pada Bela.
"Bela."
Tangan Niko sampai di bahunya. Membuat Bela menghapus air matanya dengan segera.
"Kenapa menangis?"
"Tidak apa-apa. Aku pulang duluan."
Ia merapikan buku yang tadi ia ambil dan berjalan meninggalkan Niko yang masih ada di sana dan menyaksikan punggungnya menjauh.
Bela terus berjalan keluar gerbang dengan selidik pandang puluhan bahkan ratusan orang yang mengikuti pandang ke mana ia melangkah. Saling menunjuk seperti, 'Itu yang jadi simpanan lelaki tua.'
Bela tak peduli. Angannya terus saja melayang ke sana ke mari saat ia tahu cepat atau lambat ia akan menjadi janda ketika Nial melepasnya.
Berita baik sebenarnya karena dengan begitu ia tidak lagi terikat dengan lelaki yang hatinya telah menjadi batu itu.
Tapi sebagai gantinya ia tidak sanggup menanggung pendapat miring orang-orang yang akan memandangnya sebagai janda dalam usia muda.Bela lupa saat-saat ia naik ke dalam taksi online yang ia pesan dan sampai di depan rumah Nial. Saat ia masuk, ia sudah menjumpai Nial duduk di dalam sana, di ruang tamu. Bersama dengan Hendro.
"Selamat siang," sapa Hendro lebih dulu saat melihatnya mendekat.
"Selamat siang," balas Bela singkat. Mengindari mata Nial yang melakukan pengecekan padanya dari bawah sampai ke atas.
"Masuk ke kamar, Bela!" perintah Nial dengan dingin, sama seperti biasanya.
"Iya."
Bela menuruti Nial untuk masuk ke kamar dan meletakkan tas di ruang ganti. Saat itu, matanya menangkap dompet milik Nial di atas meja, terbuka. Ia menyentuhnya, dan ia dapat melihat foto Catherine ada di sana, bersama anaknya, anak Nial.
Harusnya ia biasa saja, tapi Bela justru merasakan kakinya kebas.
Nial tidak berbohong saat mengatakan ia tidak bisa menggantikan mantan istrinya.
Jelas saja! Hanya dilihat dari bagaimana caranya Nial memperlakukan masa lalunya seistimewa ini, Nial menunjukkan bahwa ia tidak akan bisa lepas dari bayangan Catherine.Tapi ada sengatan aneh dalam hati Bela. Seperti rasa teriris yang membuat perutnya perih.
Nial—yang memperlalukannya sekehendak hatinya itu—sebenarnya bukanlah lelaki brengsek.
Ia hanya terlalu mencintai Catherine sampai lupa ada hidup miliknya sendiri yang harus dilanjutkan.Rasa cinta Nial pada Catherine membuat Bela iri.
Meski tanpa ada cinta Nial untuknya, Bela sebenarnya ingin Nial meperlakukannya dengan sedikit lebih baik.Bela beringsut mundur saat Nial datang dari pintu ruang walk in closet. Suaranya memenuhi seisi ruangan saat ia melihat Bela berdiri dengan menyentuh dompetnya.
"LANCANG!!"
Nial melihat sendiri Bela menyentuh dompetnya dan mengintip foto Catherine di sana yang membuatnya berteriak marah.Bela berjingkat satu jarak menjauh dari meja dan menatap Nial dengan mata anak kucing yang ketakutan."Kamu tidak tahu kalau kamu lancang, Bela?"Nial meraih dompetnya secepat mungkin dan mengamankannya ke dalam genggamannya.Bela tidak menjawab Nial. Karena apapun bentuk jawaban yang ia katakan maka Nial akan tetap marah, Bela sudah terlajur salah di mata Nial."Jawab!"Bela menunduk dengan meremas jemari mungilnya. Menghindari mata Nial mungkin adalah pilihan terbaik saat ini dari pada membuatnya semakin ketakutan."Apa kamu penasaran dengan mantan istriku sampai kamu harus menyentuh dan membuka dompetku?"'Aku membuka dompetnya?' Bela bertanya dalam hati. Tapi sekarang bukan itu. Ada hal yang le
Nial khawatir. Sudah beberapa lama sejak Bela pergi menerjang guyuran hujan karena marah padanya. Bahkan saat ia selesai mandi dan menuruni tangga, anak itu juga belum tampak menunjukkan tanda-tanda kepulangannya. Harusnya ini lebih baik, karena artinya ia tidak perlu lagi melihatnya berkeliaran di dalam rumahnya. Tapi hatinya tidak mengijinkan. Ia membuka pintu rumah, sapuan dingin angin malam dan tempias hujan datang menerpa wajahnya. Petrichor membuatnya menghidu bau masa lalu. Bau Catherine, bau pomelo yang dipakainya. 'Nanti, datanglah dulu dengan Gavin di tempat kita reservasi untuk makan malam! Aku akan datang menyusul setelah pulang kerja, ya?' Itu adalah janji terakhir yang diucapkan Nial pada Catherine. 'Iya, Mas Nial ... aku dan Gavin akan menunggumu di sana.' 'Bagus. Kamu akan memakai gaun ini?' Nial melingkarkan tangannya pada pinggang Catherine, merasakan lembutnya gaun yang ia berikan padanya sebagai hadiah ulang tahun mereka yang memasuki satu dekade. 'Iya,
Dia menit sebelum kejadian ...."Bodoh!"Nial melihat Bela, ia lega karena ia menemukannya. Tapi lihat di mana dia sekarang! Di tengah kericuhan tawuran yang ada di jalan tak jauh dari rumah sakit. Ia berlari keluar dari mobilnya dan di sinilah sekarang. Memeluk Bela dengan sangat erat meski kepalanya dihantam botol kaca hingga berdarah.Panggilan Bela menyadarkannya bahwa mereka dalam situasi yang tidak aman. Nial melepas pelukannya dari Bela, memutar tubuhnya dan memberikan pukulan terkuatnya pada lelaki bertubuh kekar yang baru sana membuatnya mendapatkan luka-luka.BRUGH!Lelaki itu jatuh ke jalan hanya dengan sekali pukulan karena Nial menyerang titik fatal pada lehernya hingga pingsan.Bela tertegun di tempatnya berdiri. Sesaat kemudian keributan bubar karena sirine mobil polisi bergema di setiap sudut malam. Sementara Nial menarik tangannya dan membawanya masuk ke dalam mobil untuk pulang.Mereka tidak mengatakan apapun bahkan sampai masuk ke dalam rumah dan sampai di kamar m
'Tidurlah denganku dia bilang?'Bela menggigit bibirnya, tangannya yang sedang digenggam Nial terasa kebas. "Tapi ... Mas Nial jangan melakukan apapun padaku!""Kenapa?""Aku benar-benar harus bangun pagi besok.""Kamu mau ke mana?""Aku ada acara gathering dengan teman-teman satu fakultas.""Dengan Presiden Mahasiswa juga?"Bela penasaran bagaimana caranya Nial tahu identitas Niko. Tapi melihat dari bagaimana berkuasanya seorang Danial Abdisatya, bukankah hal-hal seperti mencari identitas orang lain sangatlah mudah baginya?"Iya, tapi dia mungkin hanya datang sebentar untuk formalitas," jawab Bela secepat mungkin agar terlihat tidak sedang mencari-cari alasan di mata Nial."Ya, jangan dekat-dekat dengan Niko! Aku nggak suka."Bela enggan menjawabnya dan memilih untuk menarik tangannya dari Nial.Tapi Nial tidak mengijinkannya pergi begitu saja. Bela melihat Nial meletakkan sebuah kartu debit warna hitam di tangannya."Kata sandinya adalah ulang tahunmu. Pakai itu untuk membeli yang
Cup!Ini bukan mimpi atau pikiran kotor Bela saja.Niko memang mendaratkan bibirnya ke bibir Bela. Saat ini, di situasi seperti ini."Di mana Niko?" Suara itu datang dari sebelah kanan Bela yang membuatnya dengan cepat mendorong Niko agar ia tidak melakukannya lebih jauh.Niko tahu situasi genting ini karena yang terdengar itu adalah suara Andre, temannya yang dari tim biru, tim lawan. Niko menarik Bela pergi dari sana untuk menghindar."Itu Niko! Dia sama Bela."Bela merasakan tangan Niko menggenggamnya dengan erat dan membawanya menjauh dari samping kontainer lalu mereka berbelok ke tikungan. Menyembunyikan tubuh mereka di balik pohon besar yang berbatasan langsung dengan hutan. Pohon itu menelan habis punggung mereka saat mereka duduk di baliknya."Maaf."Niko membuka percakapan karena mereka hanya terus terdiam sedari tadi. Jelas saja! Bela tidak tahu bagaimana harus bersikap saat ini, dengan lelaki yang menjadi cinta pertamanya. Lelaki yang menciumnya di saat ia sudah memilik
"Auh!"Bela terbangun dengan tengkuk yang berat. Tidur di tenda semalaman telah membuat lehernya sakit.Dan sekarang ia keluar dengan membawa tasnya. Ia tidak tahu kenapa teman-temannya memandangnya dengan tersenyum. Ia hanya mengabaikannya dan meneruskan langkah untuk menuju bus meski ini masih jam dua pagi.Nanti ia ada kelas pagi dan ia harap tidak terlambat bangun.Tapi, meski ingin mengabaikan bagaimanapun caranya, ia masih terus kepikiran. Kenapa mereka melihat Bela seperti ini. Ia bertanya dalam hati tanpa henti."Terlalu cantik."Niko datang dari samping kirinya, membuatnya berhenti."Apa?" tanya Bela tak mengerti."Kamu sedang bertanya-tanya dalam hati kenapa mereka terus memandangimu, 'kan?"Bela merinding, 'Apa dia cenayang?' Meski demikian ia tetap menganggukkan kepala pada Niko. "Dengan dress ini, kamu sangat cantik, Bel."Bela memandang dirinya sendiri. Gaun merah inikah yang dimaksudkan Niko?Baginya ini hanya dress biasa. Namun, di mata Niko ini adalah sebuah dress y
Nial melihat sendiri Hendro membuka pintu mobil untuk Bela dan memberikannya payung. Ia juga melihat sendiri bagaimana tangan ayahnya itu mengusap puncak kepala Bela. Tadinya ia turun dari kamar untuk minum segelas wine karena tidak bisa tidur. Tapi ia mendengar suara mobil yang memasuki halaman rumah dan ia mengintip dari jendela. Tidak ia sangka yang keluar itu adalah Hendro dan Bela. Ia tidak bisa membendung kekesalannya melihat Bela yang sangat cantik dalam balutan dress merah yang ia kenakan. Rasa benci menguasainya karena Bela terlihat sangat cantik di depan lelaki lain, bukan di depannya. Dan di sinilah dia sekarang, di atas Bela, dengan kepala tertunduk di depan bibirnya setelah memintanya melucuti pakaiannya sendiri sebelum menghempaskannya ke atas tempat tidur. Saat ia akan kembali mengecup Bela, ia gagal. Kedua bahunya di tahan Bela yang mencegahnya melakukan itu. "Jangan, Mas Nial! Jangan lakukan ini saat marah! Aku—" "Kamu menolakku?" Bela bukan bermaksud menolak N
"Mas Nial kenapa melakukan ini?"Bela menatap Nial yang masih belum melepas tangannya dari pinggang Bela.Semakin banyak orang yang melihat mereka dan saling menunjuk bahwa lelaki itu pasti suaminya Bela. "Yah ... siapa yang bilang suaminya Bela kakek tua? Dia ganteng banget kayak model.""Bela pasti menang jackpot."Bela dapat mendengar semua itu yang lebih seperti kalimat-kalimat yang sengaja diperdengarkan untuknya. Sekarang seisi kampus akan tahu kalau suaminya setampan model.'Jackpot kakiku! Mereka nggak tahu aja bagaimana ganasnya Nial!' Batinnya dengan masih menunggu jawaban Nial."Kamu bilang aku harus masuk?" tanya Bela sekali lagi."Iya, masuklah!""Tangan Mas Nial masih memelukku!"Nial segera melepaskannya dan membiarkan Bela pergi darinya."Aku akan menjemputmu nanti."Bela mengabaikannya. Ia berjalan membelah keramaian untuk menghindar dari spotlight. Meninggalkan Nial yang masuk ke dalam mobil sembari memasang airpods di telinganya saat menerima panggilan dari Jerry.
***"Selamat pagi."Bariton dalam nan seksi milik Nial selalu menyambutnya setiap pagi.Dia juga tampak baru saja mandi saat melihat Bela yang bangun dari tidurnya dan memberi istrinya kecupan yang manis."Selamat pagi, Mas. Kamu sudah mandi?""Sudah, Sayang. Hm ... kenapa kamu bangun cepat-cepat? Istirahatlah lagi!""Tapi belum ada makanan untuk pagi ini."Nial tersenyum mendengarnya. Ia berlutut di depan Bela dengan sebelah kakinya dan mengusap perutnya yang bulat dan lucu."Oh? Oh!"Nial terkejut. Ia memandang Bela dengan tidak percaya."Kenapa Mas? Dia gerak ya?""Iya. Oh mungkin ingin ucapan selamat pagi juga? Hm ... kamu iri?"Nial mengecup perutnya dan memandang Bela."Bela?""Ya?""Kamu sempurna. Terima kasih untuk sudah mengandung dan mwlahirkan anak-anak kita."Bela mengangguk. Ia tidak bisa menyembunyikan senyumnya saat senyum Nial juga tampak sangat manis."Kamu mandilah! Nanti jadi pergi, 'kan?"Nial lebih dulu bangkit dari posisinya. Mengusap puncak kepala Bela dan memer
***"Ini kebebasan?"Terik. Matahari bersinar terik siang ini.Cerah dan juga berawan. Gugusan Cirro stratus membentang seperti karpet selamat datang yang menyaksikannya keluar dari tahanan. Pada akhirnya ....Tahun-tahun penebusannya telah berlalu. Dan ia tersenyum sekarang. Senyum yang kini tampak lega. Itu adalah Vida.Ia bebas dari tahanan setelah melewati masa yang suram. Yang tidak ingin lagi ia ulangi untuk ke dua kalinya.Dadanya lega sekaligus sebah. Ada perasaan bersalah pada Bela yang kini meluap hingga tumpah.Ia berjalan di sepanjang jalur pedestrian, menunduk dan memasuki sebuah kafe setelah keluar dari toko emas, menjual perhiasan yang dulu masih ia pakai sebelum dibawa polisi.Ponsel dan emas yang dikembalikan padanya itu ia jual dan ia gunakan setidaknya untuk bertahan hidup beberapa waktu ke depan. Sementara ponselnya masih bagus dan saat ini ada di atas meja.Ia duduk. Menghadap sebuah kertas kosong yang baru ia beli dari sebuah toko alat tulis.Netranya tergenan
Bela tersenyum membaca pesan dari Nial yang mengatakan agar ia bicara dengan Niko lebih dulu.Kini, bagi mereka ... semua telah sembuh dari luka. Tidak ada lagi pertengkaran atau baku hantam sama seperti yang dilakukan Nial dan Niko jika dulu mereka bertemu.Kebencian mereka telah berakhir. Bela ingat Nial sempat mengatakan bahwa Niko-lah yang dulu memberi tahu Nial saat Bela pergi ke Jawa Barat dan memutuskan akan mengakhiri hidupnya sendiri.Niko jugalah yang telah menanganinya saat Bela dilukai Jenni.Semuanya telah berlalu dengan sangat cepat. Waktu membuat kebencian bermetamorfosa menjadi obat penyembuh paling mujarab."Bagaimana kabarnya Pak Nial?"Pertanyaan Niko kembali merengkuh kesadaran Bela yang sedari tadi dibelenggu oleh pemikiran panjangnya."Kabar baik juga, Kak Nik. Dia sedang menikmati hari menjadi Papa yang super sibuk dengan anak lelakinya yang berlarian tanpa henti."Niko tersenyum mendengarnya. Sudah lama ia juga tidak bertemu Nial."Kak Niko mau bertenu dengan M
"Baby, be careful!"Bela merendahkan tinggi tubuhnya, berlutut saat anak kecil laki-laki berumur tiga tahun itu berlari dan memeluknya."Mommy! Mrs. Kim gets some letters!"Jari kecilnya menunjuk pada pintu ruang makan. Tapi saat Bela melihatnya, Nial lah yang masuk dengan bahu merosot penuh kelegaan. Ia baru saja berlari mengikuti anak lelakinya yang berderap secepat kilat meninggalkannya di belakang."Gavin? Papa 'kan sudah bilang jangan--""Mas? Sudahlah!"Bela tersenyum, mengusap punggung tangan Nial saat mendekat."Gavin, lihat perut mama! Hm? Gavin sayang dengan mama?"Nial ikut berlutut dan mengusap puncak kepalanya."Pasti sayang. Gavin sayang mama.""Kalau begitu pelan-pelan ya kalau peluk mama? Nanti kalau adik sakit bagaimana?"Gavin mengusap perut Bela yang membesar."Dia namanya adik?"Bela tertawa mendengar pertanyaan polosnya."No, Baby! Dia belum punya nama. Masih di dalam perut Mama. Nanti kalau sudah keluar, baru bisa diberi nama."Bela meraih tangan kecilnya. Meleta
Bela hanya menahan senyumnya saat ini. Ia tidak bisa membayangkan apa yang akan Siska rasakan bersama Jerry untuk pertama kalinya.'Jadi, akan ada yang segelnya dirusak malam ini.'Bela tertawa sendiri. Ia berdiri di deoan cermin setinggi pintu yang ada di dalam kamar ganti dan mengulurkan tangannya ke belakang. Meraih resleting di punggungnya, untuk melepas gaun malam yang tadi ia gunakan untuk menghadiri pernikahan Siska dan juga Jerry."Astaga! Kenapa selalu saja seperti ini. Tadi dipakai mudah tapi kalau mau dilepas sulitnya minta ampun."Bela menggerutu. Ia masih mencoba menarik resletingnya tapi rasanya tidak bisa.Sampai sebuah tangan menariknya turun dan Bela dengan cepat menoleh ke belakang. Ia menunduk teelalu lama sampai tidak sadar Nial sudah masuk dan membantunya."Terima kasih, Mas Nial.""Iya, sama-sama, Sayang."Bela melepasnya. Melemparnya ke sandaran sofa ruang ganti dengan hanya menyisakan underwear. Saat Nial juga membuka kancing jasnya dan ikut melemparnya di temp
Nial tidak bisa membendung senyumnya saat tahu isi di dalam kotak kado itu. Itu berisi figura yang membingkai sebuah foto.Foto anak kecil perempuan dengan topi bundarnya. Itu adalah foto masa kecil Bela."Mas Nial 'kan selalu bilang kalau aku adalah hadiah yang kamu sukai?""Ya. Memang benar begitu, kok.""Jadi aku memberikan foto anak kecil itu padamu. Anak kecil yang hidupnya kamu selamatkan dan meski terpisah selama lebih dari satu dekade, takdir kembali mempertemukannu dengannya.""Ya, benar. Terima kasih. Mas akan letakkan ini di atas meja kantor kalau pulang nanti. Tapi ada yang harus kamu lakukan sekarang."Nial menutup kotak kado itu dan meletakkannya di atas nakas. Ia meraih tangan Bela dan membuatnya duduk di atas pangkuannya."Apa? Apa yang harus aku lakukan?""Berperan sebagai hadiah yang baik. Hm?"Nial telah membuka kancing dress yang dipakai Bela."Mas? Kamu nggak ingin makan kuenya dulu? Itu enak loh! Aku pesan di toko kue di ujung jalan yang ramai itu."Nial menggele
***Nial membuka matanya, hari sudah pagi. Dengan keadaan dirinya yang terbaring di atas ranjang bulan madunya. Dengan keadaan tanpa pakaian.Ia sama sekali tidak turun dari ranjang sejak dengan Bela kemarin sore. Akh.Mengingatnya saja membuatnya gerah setengah mati bahkan saat pendingin udara dinyalakan di atas sana. Ingatannya kembali terpanggil di saat-saat ia dan Bela memasuki kamar kemarin."Are you sure?" ragu Bela, bertanya memastikan pada Nial bahwa ia diperbolehkan mengambil alih kontrol mulai saat ini sejak Nial tidak bisa mendominasi hubungan ranjang karena ia masih tidak diperbolehkan bergerak terlalu banyak."Yeah, Baby! Take off my clothes!"Jantung Bela berdebar mendengar permintaan Nial agar melucuti pakaiannya. Bela tidak membantahnya dan membuka kancing kemeja Nial satu demi satu. Melihat perutnya yang masih terlilit perban dan belum sepenuhnya bisa dikatakan pulih.Nial hanya tersenyum saat Bela membuka kancing di celana panjang putih yang ia kenakan dan membuatny
Darah lebih kental dari Air. Jika di Swiss Leo menyerang Nial saat semua orang lengah, atau Jenni yang menyerang Bela saat itu, sekarang di sini, di Jakarta, Rafael menyerang Jerry.Tapi Jerry telah meningkatkan kewaspadaannya sepuluh kali lipat. Ia membaca pergerakan Rafael dan secepat mungkin menahan pergelangan tangannya yang membawa pisau cutter."Kamu yang brengsek!"Jerry memuntir tangannya hingga terbalik dan jatuhlah pisau itu. Rafael didorongnya hingga punggungnya terbentur dinding dengan kasar."Untuk semua yang telah kamu lakukan pada keluarga Nial, dan kali ini padaku. Bayarkan dan tebuslah semuanya, Rafael! Kamu punya kesempatan untuk menyesal."Jerry mengalihkan tangannya dari bahu Rafael ke kerah bajunya."Tapi saat kamu nggak berubah, aku pastikan kerah bajumu ini nggak lagi sama karena kamu akan mendekam di dalam penjara. Do you get it? Get lost you bastard!"Jerry memberikan penekanan pada setiap kalimatnya. Membuat Rafael bergidik ngeri karena dia dalam ancaman yan
"Selamat malam."Jerry datang dan menunduukan kepalanya pada Nial dan juga Bela yang ada di dalam kamar rawat."Selamat malam," balas mereka hampir bersamaan."Pak Nial sudah baikan?""Ya, Jerry. Dari mana kamu seharian? Kamu nggak datang menjengukku loh."Jerry menunjukkan senyumnya yang manis. Tapi Bela dapat melihat ada gurat kemarahan yang ia pendam saat ini."Bisa kita bicara? Hanya berdua saja."Jerry memandang Bela, memohon pengertian dan maaf."Sure, aku akan keluar. Aku akan ngobrol dengan Pak Watson."Bela hanya melemparkan senyumnya lalu memberi tempat untuk Jerry."Sebentar ya, Sayang?" Nial meraih tangannya sebelum ia benar-benar pergi."Iya, Mas. Kalian bicaralah!"Bela melambaikan tangannya sekilas pada Nial sebelum menghilang di balik pintu ruangan."Kenapa, Jerry? Hari ini kamu mengunjungi anak itu?"Nial bertanya sesegera mungkin. Tidak ingin membuang waktu lebih banyak karena ia ingin dengar apa yang ingin dikatakan oleh Jerry sampai membuat Bela harus pergi dari si