Vincent, pewaris Orion Group telah kehilangan Clara, calon istri yang sangat ia cintai. Ia yang sempat mengira Clara berkhianat hendak menghancurkan keluarga wanita itu. Namun nyatanya Clara telah menjadi jaminan atas sebuah kesepakatan. Wanita itu harus menjadi korban dari dendam masa lalu. Perlahan tapi pasti Vincent menemukan benang merah antara hilangnya Clara dan juga kematian kedua orang tuanya tiga tahun silam. Kini ia harus menghadapi pertikaian dua keluarga yang sempat terhenti selama dua puluh lima tahun. Apa yang akan Vincent lakukan saat mengetahui musuh terbesarnya adalah orang yang ia percaya? Mampukah Vincent menyelamatkan Clara?
View MoreVinn melangkah ringan menuruni tangga. Perbincangan dengan Kakek Richard tak terasa telah menghabiskan waktu hampir satu jam lamanya. Sedikit banyak kakeknya memberi petuah akan apa yang harus ia lakukan sesaat lagi. Terkait perusahaan maupun tampuk kekuasaan klub Black Circle yang sementara kosong.Mood pria muda itu sedang sangat baik. Senyumnya tak jarang muncul ketika berpapasan dengan pelayan atau kerabat di koridor."Apa kalian melihat Nona Clara?" tanyanya pada dua pelayan yang bertugas mematikan penerangan di lantai dua."Beberapa saat lalu nona memasuki kamar, Tuan," jawab pelayan dengan rambut digelung.Vinn mengangguk, memberi isyarat jika mereka sudah boleh pergi. Tanpa berpikiran buruk sedikitpun ia melanjutkan langkah menuju kamarnya yang kini telah menjadi kamar pengantin. Ia bahkan sempat menyentuh hiasan pada pintu sebelum mengetuk.Tok. Tok. Tok."Princess?"Hening. Vinn menurunkan kenop pintu, mengira sang istri tengah berada di kamar mandi atau mungkin telah terle
Vinn membuka matanya, mengerjap dalam kebingungan saat mengedarkan pandangan pada sekitar. Ruangan serba putih, aroma steril dan juga suara dengungan statis nan rendah dari alat-alat medis yang terpasang pada tubuhnya. Jantungnya berpacu tapi ia kesulitan untuk menggerakkan tubuh. Terasa sangat lemah.Sesaat setelah pandangannya lebih jelas, ia melihat dua wajah yang tidak asing. Netra mereka menunjukkan ekspresi kelegaan yang tak terkira. Senyum lelah Vinn segera terbentuk."Paman Bara ... A-ayah?" Vinn bersuara dengan serak."Vinn, kau sadar! Syukurlah, kau kembali pada kami." Darren Alfredo mendekati ranjang, sudut matanya sedikit basah."Kami sangat mengkhawatirkanmu, Vinn. Kau telah mengalami koma selama empat bulan." Tuan Bara menepuk bahu Vinn dengan lembut."Koma? Jadi aku belum mati? Lalu ayah?" Vinn masih memandangi pria paruh baya yang sangat mirip dengannya itu."Ceritanya cukup panjang. Tapi kini tidak ada yang perlu kau khawatirkan. Semua telah selesai." Darren tersenyu
"Satu, dua, tiga! Jangan sampai tertangkap!" seru Jade saat akhirnya pertahanan mereka luruh dan para penjaga berhasil merangsek masuk.Edward mencebik ringan lalu tertawa menghadapi candaan Jade di tengah situasi kritis. Sedang Daniel, pria itu juga ikut mengeluarkan pistol meski awalnya kebingungan.Ketiganya saling melindungi dan menembak sambil berusaha meninggalkan ruang penyimpanan. Suara tembakan nampaknya mengundang penjaga lebih banyak untuk datang."Tugas kita hanya mengambil benda itu, bukan menembak para penjaga!" desis Daniel yang punggungnya saling menempel dengan Edward."Protes saja padanya," balas Edward sembari menunjuk Jade dengan gerakan kepala.Jade menikmati kegiatannya menumbangkan para penjaga satu persatu. Gerakan tubuhnya pun luwes saat menghindari peluru. Entah karena ia menganggap serius taruhan atau pekerjaan ini terasa menyenangkan baginya.Akan tetapi, senyum Jade menghilang saat satu tembakan lolos dan mengenai bahu kanannya. Wanita itu meringis merasak
"Singkirkan dia dari hadapanku!" perintah Tuan Ronald usai meminta dua penjaga masuk ke ruangannya.Mereka saling pandang sekilas sebelum mengangkat tubuh Redo yang sepertinya tinggal jasad. Tuan mereka memang tidak bisa ditebak. Siapa yang mengira jika Redo yang selama ini selalu mendampingi pria tua itu ke mana pun akhirnya berakhir tragis di tangan sang majikan.Genangan darah segar masih tercetak pada karpet hijau tua. Tuan Ronald telah kembali ke kursinya, berkutat santai mengelap pisau yang sempat menancap pada dada Redo."Ke mana kami harus membuangnya, Tuan?" tanya salah satu penjaga."Ke mana saja. Ini bukan pertama kali, jangan bertingkah seperti anak baru," ucap Tuan Ronald tanpa menoleh sama sekali.Tidak ada pertanyaan lagi. Berikutnya dua orang itu telah berkendara. Malam semakin larut dan mobil mereka gunakan sudah hampir sampai di sekitaran bekas taman wisata yang telah lama ditinggalkan."Kau yakin di sini aman?" Bruno, salah satu dari mereka bertanya dengan was-was.
Esoknya, pukul sepuluh pagi.Jade telah sampai di tempat yang disepakati bersama seseorang beberapa menit lalu. Semalam ia tidak mendapat informasi memuaskan dari Jason. Pemuda itu cenderung diam seolah memikirkan sesuatu, tatapannya juga tidak fokus. Beruntung salah seorang temannya ternyata mengenal klub yang sedang ia amati.Baru saja Jade duduk, seorang pria seusianya berbicara dengan nada serius nan rendah."Kuperingatkan sebaiknya kau berhenti mencari tahu tentang Klub Black Circle.""Kenapa memangnya?" tanya Jade dengan gaya casual. "Mereka bukan klub biasa, percaya padaku. Tak hanya mafia, klub itu juga dihuni pembunuh bayaran dan juga kolektor benda dari black market," terang pria dengan cardigan biru tua. "Aku sudah mendengar tentang itu. Tak bisakah kau memberiku informasi yang lain. Tentang mendaftar atau keluar? Oh, apa mereka merekrut anggota baru akhir-akhir ini?" Jade mengambil pemantik guna menyalakan rokok. "Kau ingin masuk ke sana? Sudah gila? Kudengar mereka tid
Drap. Drap.Sembari menuruni tangga, Jason memijat tengkuk yang terasa pegal. Tubuhnya tampak sehat tapi beban berat seolah memenuhi rongga kepalanya seusai pembicaraan dengan Harris beberapa saat lalu.Tidak sampai satu purnama, ia akan dilantik menjadi ketua klub. Tapi yang berbahagia justru anggota yang lain. Sedangkan Jason merasa hal sebaliknya. Selain kosong, ia ingin berlari menjauh. Tuan Ronald dan Black Circle ternyata bukanlah rumah baginya. Senyum dan kepedulian mereka bermotif mengerikan."Kau harus ingat, Jason. Pada saatnya nanti, Tuan Ronald akan meminta bukti kesetiaanmu.""Bukankah kehadiranku seperti sekarang sudah bentuk kesetiaan?""Tidak, anak muda. Tidak sesederhana itu. Aku tidak sedang membicarakan waktu, tapi nyawamu."Itulah sepenggal percakapannya dengan Harris sebelum ia undur diri belasan menit lalu.Langkah Jason semakin cepat begitu melewati karpet merah di tengah lorong dengan penerangan redup. Sesuai perintah Tuan Ronald, ia harus datang ke galeri seni
Zac menghembuskan asap cigaretenya pagi itu. Bertempat di kantor konsultan pribadinya, pria itu duduk dengan wajah bosan. Satu jam lalu putra kedua dari Richard Alfredo telah mengabarkan akan datang dalam beberapa menit.Namun ini sudah lebih dari waktu kesepakatan. Ia telah menunda pertemuan dengan klien yang hendak memakai jasanya. Lagipula tak seperti biasanya seorang Bara akan datang terlambat. Baru saja Zac akan bangkit dari kursi, pintu ruangannya terbuka. Tuan Bara masuk dengan wajah serius. Zac akan bertanya dengan kesal jika saja sosok kedua tidak muncul."Maaf, kami terlambat. Kau tahu jalanan pagi selalu padat dan menyebalkan," ucap Tuan Bara yang langsung duduk di sofa tanpa dipersilahkan.Bagaikan tak mendengar, Zac justru terbengong. Tatapannya lurus pada Darren yang kini mendekat."Kenapa wajahmu seperti baru melihat hantu? Apa kabarmu?" Darren menawarkan jabat tangan ketika jarak mereka cukup dekat."Kau ... Bara, kau bisa menjelaskan apa yang terjadi di sini?" Zac b
Malam itu juga Tuan Bara mendatangi rumah lama milik mendiang kakeknya ditemani Daniel dan Edward. Semula ia merasa ajudan-ajudannya berbicara omong kosong atau mungkin sekedar berhalusinasi. Namun melihat kesungguhan di wajah keduanya, membuat Tuan Bara ingin membuktikan sendiri."Di mana kalian bertemu dengannya?" tanya Tuan Bara sesaat setelah memasuki rumah dua lantai itu."Di depan pintu hijau tempat kotak berada, Tuan," jawab Daniel.Mereka menyusuri ruang rahasia dengan pencahayaan senter. Sebagian lampu telah mati, tersisa penerangan lorong di jarak belasan meter ke depan. Tuan Bara memasuki ruang perpustakaan dengan menuruni tangga melingkar, diikuti dua yang lain.Benar kata Edward sebelumnya jika ruangan lebar ini terlalu bersih untuk ukuran rumah yang telah lama ditinggalkan. Tak hanya itu, semua perabot dan buku-buku tertata rapi."Ruang perpustakaan ini cukup luas. Periksa sekitar dan hati-hati," titah Tuan Bara. Tanpa diberitahu ia yakin dua ajudannya telah mendengar ji
Langit gelap penuh bintang melingkupi pusat kota. Seperti malam-malam sebelumnya, kota metropolitan itu tidak akan tidur. Masih ada banyak orang-orang yang justru memulai aktifitasnya meski jam hampir menunjukkan tengah malam.Jeremy duduk di dalam mobil yang terparkir di depan pub. Ia telah berdiam di tempat itu selama kurang lebih lima belas menit. Menanti munculnya seseorang yang nyatanya tidak terlihat batang hidungnya.Pria itu putuskan turun dan masuk ke dalam pub. Tidak banyak pengunjung di dalamnya. Terdapat dua orang yang minum di meja bartender. Dan satu orang lagi sedang tertidur dengan posisi kepala di atas meja, di sudut lain ruangan.Satu-satunya orang yang Jeremy cari adalah Paul. Seniornya di kepolisian itu disinyalir melakukan beberapa pelanggaran seperti korupsi dan bekerja sama dengan organisasi terlarang. Itulah informasi yang Jeremy dapat. Sedangkan kini Paul menghilang. Seorang informan memberitahunya jika Paul suka datang ke pub ini pada malam-malam tertentu."S
Kedai makanan dua lantai bercat putih di persimpangan jalan tampak sepi sore itu. Wanita cantik berusia dua puluh lima tahun sedang mengelap meja. Apron hitam yang ia kenakan terlihat kontras dengan kulitnya yang putih bersinar."Aku akan belanja di tempat biasa, tolong periksa sup. Matikan kompor lima menit lagi," ujarnya sedikit lantang pada pria yang menyembulkan kepala dari arah dapur."Siap, Princess ..." Pria tampan dengan tubuh proporsional itu mengangkat tangan, membentuk sikap hormat."Vinn, stop it!" Bibir si wanita mengerucut sementara tangannya melepas apron."Clara, aku cuma bercanda. Lagipula aku tak sepenuhnya salah. Kamu memang seorang putri." Vinn tertawa renyah seraya mendekat. Tangannya mengusap pucuk kepala wanita yang telah menemaninya selama hampir setahun terakhir."Udah, aku belanja dulu. Jangan lupa pesanku tadi." Clara memba
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments