Kedai makanan dua lantai bercat putih di persimpangan jalan tampak sepi sore itu. Wanita cantik berusia dua puluh lima tahun sedang mengelap meja. Apron hitam yang ia kenakan terlihat kontras dengan kulitnya yang putih bersinar.
"Aku akan belanja di tempat biasa, tolong periksa sup. Matikan kompor lima menit lagi," ujarnya sedikit lantang pada pria yang menyembulkan kepala dari arah dapur.
"Siap, Princess ..." Pria tampan dengan tubuh proporsional itu mengangkat tangan, membentuk sikap hormat.
"Vinn, stop it!" Bibir si wanita mengerucut sementara tangannya melepas apron.
"Clara, aku cuma bercanda. Lagipula aku tak sepenuhnya salah. Kamu memang seorang putri." Vinn tertawa renyah seraya mendekat. Tangannya mengusap pucuk kepala wanita yang telah menemaninya selama hampir setahun terakhir.
"Udah, aku belanja dulu. Jangan lupa pesanku tadi." Clara membalikkan badan seoalah tak peduli meski nyatanya ia tak bisa menahan senyum.
Vinn menatap punggung kekasihnya yang menghilang saat berbelok. Ia menghela nafas dengan berat. Pemasukan kedainya seminggu ini sangat minim. Padahal ia harus menyisihkan sebagian penghasilan untuk menabung. Ia sangat ingin segera membuktikan pada keluarga Clara jika ia mampu membahagiakan putri mereka.
Satu jam berlalu, Vinn kini sibuk melayani pelanggan yang memesan kwetiau dan dimsum untuk makan di tempat. Batinnya mulai tidak tenang karena sampai saat ini Clara belum juga kembali.
"Satu mangkok lagi ..." pesan wanita yang duduk bersama pria yang cocok disebut ayahnya.
"Baik." Vinn mengangguk.
Kedai kosong, hanya tinggal piring dan mangkuk kotor di meja. Tangan pria muda itu menyambar baki, lap dan juga ponsel yang sedari tadi teronggok di sudut meja kasir.
"Clara, kamu di mana," gumam Vinn. Rasa cemas mulai ia rasakan. Hampir setiap sore Clara berbelanja di tempat Paman Wen. Jaraknya hanya lima menit dengan berjalan kaki. Tapi ini sudah satu jam lebih.
Nada panggil terdengar. Sekali, dua kali, masih tidak ada jawaban. Vinn yang semakin khawatir terus mencoba. Telepon ketiga juga nihil. Tepat saat mencoba panggilan ke empat, sebuah pesan masuk dalam benda pipih itu.
[Jangan tunggu aku karena aku takkan kembali. Aku sudah bosan untuk hidup susah. Sekarang aku ingin kembali ke rumah orangtuaku. Selamat tinggal, Vinn.]
Alis pria itu terangkat setelah membaca pesan dari nomor kekasihnya. Perasaan kaget bercampur was-was, membaur menjadi satu. Hal yang ia khawatirkan terjadi namun Vinn merasa ada yang aneh.
Clara memang berasal dari keluarga kaya. Perbedaan status membuat kedua orang tua Clara menentang keras hubungan mereka. Tetapi wanita cantik dan berhati lembut itu tetap berada di sisinya. Setidaknya hingga satu jam yang lalu.
Vinn memasukkan ponsel di kantung celana dan meletakkan lap di meja begitu saja. Ia ingin mendatangi rumah besar Keluarga Watson guna mencari kepastian tentang Clara.
Tapi sebelum ia sempat keluar dari kedai, sebuah mobil hitam mengkilat berhenti, tepat di depan pintu masuk. Vinn yang tahu siapa pengendara mobil mewah itu hanya menatap datar.
"Kenapa orang itu tak pernah lelah menggangguku. Ck." Pria muda itu mendecih kesal. Pengendara mobil itu memang selalu datang, nyaris setiap bulan.
Pintu mobil terbuka, dan keluarlah pria dengan jas semi formal berwarna hitam. Wajahnya yang tampan berpadu dengan tatapan yang tajam. Ia mendekat dengan langkah tegak pada Vinn yang masih memandang jengah.
"Selamat sore, Tuan," ucapnya sambil membungkuk.
"Berhenti memanggilku 'Tuan'. Untuk apa kau ke sini? Jika tidak ada hal penting, pergi saja. Aku masih banyak urusan," respon Vinn dengan sinis.
"Kondisi Tuan Richard sedang tidak baik. Beliau sangat ingin Tuan Vincent pulang ke mansion." Pria yang ternyata adalah ajudan kakeknya itu berkata dengan sopan.
Tidak ada respon yang keluar dari bibir Vinn. Tuan Richard, adalah keluarga sekaligus orang yang merawatnya sejak ia masih kecil. Namun pria tua itu juga yang telah menyebabkan kedua orang tuanya tewas. Vinn mengetahui fakta itu sejak tiga tahun lalu, namun ia belum bisa memaafkan sang kakek.
"Saya sangat mengharap Tuan Vincent mau mempertimbangkan untuk pulang kali ini. Dokter mengatakan penyakit jantung kakek Anda semakin parah."
Vinn masih diam. Ia mulai bimbang, sementara pikirannya juga tengah bercabang pada Clara. Sekian detik pria itu menatap sang ajudan yang berbadan tegak.
"Baiklah, aku ikut denganmu. Tapi sebelum itu, aku ingin kau melalukan sesuatu."
"Tentu, Tuan. Apa yang harus saya lakukan?" Pria bernama Daniel itu mengangguk tanpa ragu.
"Selidiki tentang Keluarga Watson, cari tau apakah Clara berada di sana. Lalu atur waktu dan tempat agar aku bisa mengadakan kesepakatan dengan Tuan Thomas secepatnya."
"Baik. Semua akan siap kurang dari dua puluh empat jam. Mari, Tuan ..." Daniel membuka pintu mobil, mempersilahkan tuan mudanya masuk.
Vinn memandang lekat kedai yang ia bangun dengan keringatnya sendiri. Kini ia akan kembali pada tempatnya. Pria dengan suara bariton itu tak perlu lagi menutupi identitas aslinya sebagai Vincent Alfredo, pewaris Orion Group dengan aset mencapai ratusan milyar dollar.
**
Satu jam kemudian. Vinn menghela nafas kasar setelah turun dari mobil. Kaos putih yang tadinya ia kenakan kini telah berganti menjadi kemeja denim yang pas membalut tubuhnya. Netranya menatap sekitar mansion, tempat yang ia tinggalkan tiga tahun lalu. Tidak ada yang berubah, selain pohon besar di sisi kanan bangunan yang kini terlihat lebih rimbun.
"Selamat datang, Tuan Vincent." Lima security berusia tiga puluhan memberinya salam.
Vinn hanya mengangguk dan melangkah ke pintu masuk diikuti Daniel di belakangnya. Pria itu memutuskan untuk melihat keadaan sang kakek mengingat kondisinya sedang tidak baik-baik saja.
"Apa kau sudah melakukan apa yang kuminta?" Vinn membuka suara sembari berjalan menaiki tangga menuju lantai dua.
"Sudah, tapi ..."
"Ada apa?" Vinn sedikit menoleh saat Daniel justru menggantung kalimatnya.
"Orang yang saya kirim untuk mengintai ke sana tak melihat Nona Clara sama sekali, tapi menurut sumber yang bisa dipercaya, Keluarga Watson sedang mempersiapkan pernikahan untuk putri mereka yang akan diselenggarakan minggu depan."
Rahang Vinn mengeras. Ia marah sekaligus terluka. Jadi ini alasan Clara menghilang tanpa alasan yang jelas. Namun kali ini ia takkan tinggal diam.
"Pastikan kita memiliki semua saham Retrowats Group sebelum aku bertemu Tuan Watson besok pagi. Jika dia menolak, gunakan second opinion," ucap Vinn dengan tatapan dingin.
"Baik, Tuan."
Daniel menelan saliva. Ia sangat hafal apa makna second opinion. Ia harus melakukan apapun yang untuk mewujudkan keinginan Vinn. Apapun. Deniel tahu sang Tuan Muda sedang marah tapi ia tak menyangka pria itu berencana akan menghancurkan perusahaan yang notabene adalah milik keluarga kekasihnya.
Sampai di pintu kayu berwarna hitam dan tebal, Vinn memberi dua ketukan sebelum wanita berseragam perawat muncul dari dalam.
"Bagaimana keadaan kakek?" Vinn bertanya seraya melangkahkan kaki ke dalam kamar bernuansa klasik.
"Tuan Richard baru saja meminum obat dan hari ini kondisinya sudah lebih stabil," sahut perawat muda itu sambil menunduk.
Vinn berjalan mendekati ranjang berukuran king dan tidak mengatakan apa-apa lagi. Daniel memberi isyarat agar si perawat keluar sejenak dari kamar luas itu.
Tangan Vinn terulur, ingin menyentuh punggung tangan sang kakek yang penuh keriput namun urung. Ketika ia menarik kembali tangannya, netra tua Richard Alfredo terbuka. Ia mengerjap dan langsung mengangkat alis ketika mendapati cucu kesayangan berada di depannya.
"Vinn, kau kembali ..." Richard berusaha bangun dengan ekspresi sumringah.
"Tenanglah, Kek." Vinn menahan agar sang kakek tetap dalam posisi berbaring.
"Kemari, kemarilah cucuku. Dari mana saja kau selama ini?" Pria berusia delapan puluh tahun itu membuka kedua tangan agar Vinn mau memeluknya.
Vinn menuruti meski pandangannya masih datar. Ia tak bisa menghilangkan kenyataan pahit dari masa lalunya namun juga tak kuasa menolak permintaan pria tua itu.
"Kapan kau datang?"
"Baru saja. Bagaimana keadaan Kakek?"
"Aku baik, dan makin baik setelah kau datang," kekeh Richard dengan suara serak.
Tidak ada respon yang Vinn keluarkan. Kakeknya masih terlihat sama, hangat dan ceria. Ia bahkan nyaris tidak percaya pria yang tampak baik hati ini mampu mengirim putra dan menantunya sendiri menuju kematian.
Beberapa menit berlalu, Vinn sudah duduk di kursi terdekat sembari mendengar kakeknya berselorong senang. Daniel hanya berdiri dengan jarak tiga meter dari mereka.
Brakk.
Pintu terbuka dan seseorang pria dewasa masuk tanpa mengetuk terlebih dahulu. Ia yang awalnya ingin mengatakan sesuatu pada Richard langsung diam begitu melihat keberadaan Vinn di sana. Vinn juga hanya diam menatapnya. Hening, namun untunglah keadaan tidak berlangsung lama.
"Vinn? Kau kembali?" Pria itu mendekat dan memeluk Vinn tanpa permisi.
"Iya, Paman." Vinn hanya menjawab pendek dengan senyum ala kadarnya. Reuni keluarga secara mendadak ini membuatnya tidak nyaman.
"Entah kapan terakhir kita bertemu, tapi kau terlihat makin mirip dengan ayahmu," lanjut Tino sembari menepuk pundak Vinn. Tawa kecil juga mengiringi suara beratnya yang khas.
"Syukurlah kau datang, jadi ada yang membantuku. Ehm, maksudku aku yang akan membantumu." Pria paruh baya itu meralat setelah Richard memberi tatapan tak mengenakkan.
Tino adalah sepupu dari ayahnya. Sejak ia keluar dari rumah, pria itulah yang menggantikan posisi Vinn sebagai CEO. Meski tampak ramah, Vinn tak ada keinginan untuk berakrab ria dengan orang ini. Vinn tahu, ada hal besar yang Tino inginkan.
Tak ingin mengganggu pertemuan keluarga di depannya, Daniel pun keluar. Ada hal penting yang harus ia lakukan sebelum matahari tenggelam.
***
Bersambung.
Musik bergenre techno yang dimainkan oleh seorang DJ papan atas mengisi pendengaran Vinn tatkala ia memasuki club malam elite yang terkenal di kota D. Pria itu duduk di meja bar dan memesan segelas cocktail berbasis whiskey.Malam ini ia ingin menyendiri setelah tadi sempat beramah tamah bersama kakek dan juga paman sepupunya. Namun sepertinya ia tak diijinkan sendirian. Seseorang menepuknya dari belakang."Vincent Alfredo!" seru pria dengan setelan santai berwarna hitam yang tampak sebaya dengannya."Lucas?" Vinn hanya mengangkat gelas dan tersenyum simpul."Aku kira salah orang, ternyata ini benar kau. Ke mana saja? Hm?" Lucas mengambil tempat di samping kawannya."Main," jawab Vinn asal."Setidaknya kau sudah ada di sini. Tunggu sebentar, aku akan memanggil yang lain," ujar Lucas sambil mengeluarkan ponsel tipis model te
Penat. Satu kata itu yang kini Vinn rasakan. Ia telah kembali pada rutinitasnya, memimpin sebuah perusahaan besar. Usai meeting siang tadi, Vinn memutuskan untuk pulang ke mansion. Bukan tanpa alasan, ia harus mencari file lama perusahaan yang sepertinya tersimpan di ruang kerja kakeknya.Pencarian Clara masih dilakukan. Sudah hampir tujuh hari wanita itu menghilang dan anak buah yang telah disebar tak memberi hasil yang diharapkan.Vinn memasuki ruang kerja yang terletak di lantai dua. Tempat ini tampak berdebu, sepertinya sudah berbulan-bulan tidak dibersihkan. Pria itu melangkah menuju lemari besar, berbagai buku manajemen bisnis berkumpul di sana. Ia mengambil salah satu yang bersampul merah tua. Dan selembar foto usang terjatuh ke lantai.Perhatian Vinn teralihkan. Ia memungut foto itu dan mengamati. Ia menemukan sosok kakeknya di sana namun di usia masih sangat muda, sekitar dua pulu
Sinar mentari memasuki kamar mewah bernuansa putih dan emas melalui celah tirai jendela. Hari menjelang siang namun si penghuni kamar seakan enggan untuk membuka mata.Pintu berukir terbuka usai terdengar ketukan, memunculkan wanita paruh baya berpakaian pelayan. Martha namanya, ia ditugaskan untuk mengurus wanita muda yang sejak seminggu lalu tinggal di rumah besar majikannya."Selamat pagi, Nona." Tangan pelayan senior itu meletakkan nampan berisi secangkir teh di atas meja lalu membuka tirai.Suasana kamar berukuran tak biasa itu seketika terang benderang. Wanita muda yang tertidur perlahan membuka mata. Namun tidak tampak semangat di wajah cantiknya. Hanya ada tatapan kosong dan ekspresi datar."Tinggalkan saya sendiri, Bi," pintanya dengan suara serak."Nona, saya hanya menjalankan tugas. Satu jam lagi tuan muda akan mengajak Nona
Clara memandang pantulannya saat duduk di depan cermin. Polesan make up tipis makin membuat wajahnya tampak menawan. Rambutnya tergerai indah, terlihat pas dengan dress putih lengan panjang yang saat ini ia kenakan.Siang ini ia setuju untuk makan siang bersama Martin. Bukan untuk menikmati waktu melainkan mencari kebenaran tentang Vinn.Vinn yang Clara kenal adalah pria jujur dan berhati hangat. Karena itu ia tak ragu menyerahkan hatinya pada pria itu. Sesungguhnya ia tidak ingin percaya begitu saja pada kata-kata Martin. Tapi jika diingat, Vinn memang seakan menyembunyikan sesuatu darinya."Fokus Clara, fokus!" Clara berucap sambil menepuk-nepuk kedua pipinya.Tok. Tok. Martha masuk setelah mengetuk."Nona, Tuan Martin telah menunggu.""Saya tahu," jawab Clara pendek sebelum beringsut menuju pintu.Cl
Vinn terdiam selama beberapa saat. Ingatannya melayang, menelusuri waktu belasan tahun yang telah ia habiskan bersama Martin. Mereka telah melalui banyak hal, ia bahkan tahu apa kebiasaan buruk pria yang sebaya dengannya itu. Berbagai pertanyaan mulai berkecamuk dalam benaknya. Benarkah jika ia dan Martin adalah kerabat? Lalu apa Martin juga tak mengetahuinya? Tak ingin berlama-lama hanyut dalam pikirannya sendiri, Vinn memilih untuk memastikan sekarang juga. Pria itu beranjak, bergegas meninggalkan ruangan bernuansa abu-abu dan putih. Belum sempat Vinn mencapai tangga, seorang pelayan wanita menghampirinya dengan langkah sedikit terburu-buru."Tuan Vincent," panggilnya yang langsung membuat Vinn berhenti. "Kenapa?" Pria itu memeriksa jam tangan mahalnya lalu mengalihkan pandangan pada si pelayan. "Tuan Richard ingin Anda datang ke kamarnya.""Sekarang?" tanyanya lagi. "Benar, Tuan."Vinn mengubah
"Siapa?" Lucas bertanya pada Vinn sembari menunjuk dengan lirikan pada Zara. Mereka baru sampai di rumah berlantai tiga Keluarga Hazard. "Zara." Wanita itu mengulurkan tangan dengan percaya diri sebelum Vinn sempat bersuara. Ia tersenyum hingga tampak lesung pada kedua pipinya. Vinn masuk terlebih dahulu, meninggalkan dua orang yang kini asyik mengobrol di ambang pintu. Pria itu mengamati rumah bernuansa klasik yang telah Martin tinggali sejak kecil. Tak seperti sebelumnya, hari ini Vinn lebih teliti melihat semua foto keluarga yang terpajang pada dinding. Semua foto-foto itu tentang Martin, kedua orang tua juga kakak laki-lakinya. Tidak ada sosok yang sedang Vinn cari. Ronald Hazard. "Vinn," panggil sebuah suara yang sudah sangat dikenalnya. Pria muda itu menuruni tangga dengan cardigan biru tua. "Hei," sambut Vinn saat Martin mendekat. "Merasa asing? Salah sendiri kau tak datang kesini begitu lama," ujar Martin sambi
Martin membuka satu per satu kancing kemejanya dengan mata terarah lurus pada tubuh Clara. Wanita itu menangis. Namun isakan kecil yang keluar dari bibirnya terdengar bak melodi terindah bagi Martin. "Oh, come on Sweetie, jangan membuatku semakin ingin menyentuhmu," ucap Martin dengan suara berat. Pria itu kini bertelanjang dada, menunjukkan tato kepala naga dibawah lehernya. Senyum miringnya merekah, membayangkan dalam hitungan detik ia akan menikmati apa yang seharusnya menjadi milik Vincent. "Tolong lepaskan aku ...." "Teruslah memohon seperti itu. Aku suka mendengar suaramu saat menangis, Sayang," ujar Martin yang sudah tak mampu menahan gejolak nafsu. Pria itu menenggelamkan wajahnya pada leher Clara. Clara yang hendak menghindar justru memudahkan usahanya. Martin merengkuh tubuh itu erat hingga satu nama lolos dari bibir Clara. "Vinn," ucap Clara di tengah isakan. Nafsu yang semula berkobar mendadak hilang d
Daniel menatap bingung pada wanita yang kini bergelayut pada lengan Vinn. Vinn membalas senyum, sepertinya ini adalah cara termudah untuk masuk ke dalam. "Hei, kalian sedang apa? Lihat, ini undanganku," hardik wanita tanpa nama pada dua penjaga yang justru terdiam."Oh, maaf Nona. Silahkan."Dua orang itu masuk, menyisakan Daniel yang telah mendapat isyarat mata dari Vinn agar mencari jalan masuk lain. Salah satu penjaga menatapnya tajam, membuat pria itu ingin segera beringsut dan melaksanakan tugas. Di dalam mereka kembali bertemu dua penjaga di pintu selanjutnya. Tugas mereka adalah memberi topeng pada tamu yang hadir. Vinn dan juga wanita iu menerima topeng yang berbeda. Si wanita masih menempel pada Vinn hingga masuk ke dalam. Vinn masih bertanya-tanya tentang acara apa ini sebenarnya. Di sana sudah ada lebih dari dua puluh orang yang tampak bukan dari kalangan biasa. Semua orang memakai topeng, tak terkecuali pelayan dengan setel
Vinn melangkah ringan menuruni tangga. Perbincangan dengan Kakek Richard tak terasa telah menghabiskan waktu hampir satu jam lamanya. Sedikit banyak kakeknya memberi petuah akan apa yang harus ia lakukan sesaat lagi. Terkait perusahaan maupun tampuk kekuasaan klub Black Circle yang sementara kosong.Mood pria muda itu sedang sangat baik. Senyumnya tak jarang muncul ketika berpapasan dengan pelayan atau kerabat di koridor."Apa kalian melihat Nona Clara?" tanyanya pada dua pelayan yang bertugas mematikan penerangan di lantai dua."Beberapa saat lalu nona memasuki kamar, Tuan," jawab pelayan dengan rambut digelung.Vinn mengangguk, memberi isyarat jika mereka sudah boleh pergi. Tanpa berpikiran buruk sedikitpun ia melanjutkan langkah menuju kamarnya yang kini telah menjadi kamar pengantin. Ia bahkan sempat menyentuh hiasan pada pintu sebelum mengetuk.Tok. Tok. Tok."Princess?"Hening. Vinn menurunkan kenop pintu, mengira sang istri tengah berada di kamar mandi atau mungkin telah terle
Vinn membuka matanya, mengerjap dalam kebingungan saat mengedarkan pandangan pada sekitar. Ruangan serba putih, aroma steril dan juga suara dengungan statis nan rendah dari alat-alat medis yang terpasang pada tubuhnya. Jantungnya berpacu tapi ia kesulitan untuk menggerakkan tubuh. Terasa sangat lemah.Sesaat setelah pandangannya lebih jelas, ia melihat dua wajah yang tidak asing. Netra mereka menunjukkan ekspresi kelegaan yang tak terkira. Senyum lelah Vinn segera terbentuk."Paman Bara ... A-ayah?" Vinn bersuara dengan serak."Vinn, kau sadar! Syukurlah, kau kembali pada kami." Darren Alfredo mendekati ranjang, sudut matanya sedikit basah."Kami sangat mengkhawatirkanmu, Vinn. Kau telah mengalami koma selama empat bulan." Tuan Bara menepuk bahu Vinn dengan lembut."Koma? Jadi aku belum mati? Lalu ayah?" Vinn masih memandangi pria paruh baya yang sangat mirip dengannya itu."Ceritanya cukup panjang. Tapi kini tidak ada yang perlu kau khawatirkan. Semua telah selesai." Darren tersenyu
"Satu, dua, tiga! Jangan sampai tertangkap!" seru Jade saat akhirnya pertahanan mereka luruh dan para penjaga berhasil merangsek masuk.Edward mencebik ringan lalu tertawa menghadapi candaan Jade di tengah situasi kritis. Sedang Daniel, pria itu juga ikut mengeluarkan pistol meski awalnya kebingungan.Ketiganya saling melindungi dan menembak sambil berusaha meninggalkan ruang penyimpanan. Suara tembakan nampaknya mengundang penjaga lebih banyak untuk datang."Tugas kita hanya mengambil benda itu, bukan menembak para penjaga!" desis Daniel yang punggungnya saling menempel dengan Edward."Protes saja padanya," balas Edward sembari menunjuk Jade dengan gerakan kepala.Jade menikmati kegiatannya menumbangkan para penjaga satu persatu. Gerakan tubuhnya pun luwes saat menghindari peluru. Entah karena ia menganggap serius taruhan atau pekerjaan ini terasa menyenangkan baginya.Akan tetapi, senyum Jade menghilang saat satu tembakan lolos dan mengenai bahu kanannya. Wanita itu meringis merasak
"Singkirkan dia dari hadapanku!" perintah Tuan Ronald usai meminta dua penjaga masuk ke ruangannya.Mereka saling pandang sekilas sebelum mengangkat tubuh Redo yang sepertinya tinggal jasad. Tuan mereka memang tidak bisa ditebak. Siapa yang mengira jika Redo yang selama ini selalu mendampingi pria tua itu ke mana pun akhirnya berakhir tragis di tangan sang majikan.Genangan darah segar masih tercetak pada karpet hijau tua. Tuan Ronald telah kembali ke kursinya, berkutat santai mengelap pisau yang sempat menancap pada dada Redo."Ke mana kami harus membuangnya, Tuan?" tanya salah satu penjaga."Ke mana saja. Ini bukan pertama kali, jangan bertingkah seperti anak baru," ucap Tuan Ronald tanpa menoleh sama sekali.Tidak ada pertanyaan lagi. Berikutnya dua orang itu telah berkendara. Malam semakin larut dan mobil mereka gunakan sudah hampir sampai di sekitaran bekas taman wisata yang telah lama ditinggalkan."Kau yakin di sini aman?" Bruno, salah satu dari mereka bertanya dengan was-was.
Esoknya, pukul sepuluh pagi.Jade telah sampai di tempat yang disepakati bersama seseorang beberapa menit lalu. Semalam ia tidak mendapat informasi memuaskan dari Jason. Pemuda itu cenderung diam seolah memikirkan sesuatu, tatapannya juga tidak fokus. Beruntung salah seorang temannya ternyata mengenal klub yang sedang ia amati.Baru saja Jade duduk, seorang pria seusianya berbicara dengan nada serius nan rendah."Kuperingatkan sebaiknya kau berhenti mencari tahu tentang Klub Black Circle.""Kenapa memangnya?" tanya Jade dengan gaya casual. "Mereka bukan klub biasa, percaya padaku. Tak hanya mafia, klub itu juga dihuni pembunuh bayaran dan juga kolektor benda dari black market," terang pria dengan cardigan biru tua. "Aku sudah mendengar tentang itu. Tak bisakah kau memberiku informasi yang lain. Tentang mendaftar atau keluar? Oh, apa mereka merekrut anggota baru akhir-akhir ini?" Jade mengambil pemantik guna menyalakan rokok. "Kau ingin masuk ke sana? Sudah gila? Kudengar mereka tid
Drap. Drap.Sembari menuruni tangga, Jason memijat tengkuk yang terasa pegal. Tubuhnya tampak sehat tapi beban berat seolah memenuhi rongga kepalanya seusai pembicaraan dengan Harris beberapa saat lalu.Tidak sampai satu purnama, ia akan dilantik menjadi ketua klub. Tapi yang berbahagia justru anggota yang lain. Sedangkan Jason merasa hal sebaliknya. Selain kosong, ia ingin berlari menjauh. Tuan Ronald dan Black Circle ternyata bukanlah rumah baginya. Senyum dan kepedulian mereka bermotif mengerikan."Kau harus ingat, Jason. Pada saatnya nanti, Tuan Ronald akan meminta bukti kesetiaanmu.""Bukankah kehadiranku seperti sekarang sudah bentuk kesetiaan?""Tidak, anak muda. Tidak sesederhana itu. Aku tidak sedang membicarakan waktu, tapi nyawamu."Itulah sepenggal percakapannya dengan Harris sebelum ia undur diri belasan menit lalu.Langkah Jason semakin cepat begitu melewati karpet merah di tengah lorong dengan penerangan redup. Sesuai perintah Tuan Ronald, ia harus datang ke galeri seni
Zac menghembuskan asap cigaretenya pagi itu. Bertempat di kantor konsultan pribadinya, pria itu duduk dengan wajah bosan. Satu jam lalu putra kedua dari Richard Alfredo telah mengabarkan akan datang dalam beberapa menit.Namun ini sudah lebih dari waktu kesepakatan. Ia telah menunda pertemuan dengan klien yang hendak memakai jasanya. Lagipula tak seperti biasanya seorang Bara akan datang terlambat. Baru saja Zac akan bangkit dari kursi, pintu ruangannya terbuka. Tuan Bara masuk dengan wajah serius. Zac akan bertanya dengan kesal jika saja sosok kedua tidak muncul."Maaf, kami terlambat. Kau tahu jalanan pagi selalu padat dan menyebalkan," ucap Tuan Bara yang langsung duduk di sofa tanpa dipersilahkan.Bagaikan tak mendengar, Zac justru terbengong. Tatapannya lurus pada Darren yang kini mendekat."Kenapa wajahmu seperti baru melihat hantu? Apa kabarmu?" Darren menawarkan jabat tangan ketika jarak mereka cukup dekat."Kau ... Bara, kau bisa menjelaskan apa yang terjadi di sini?" Zac b
Malam itu juga Tuan Bara mendatangi rumah lama milik mendiang kakeknya ditemani Daniel dan Edward. Semula ia merasa ajudan-ajudannya berbicara omong kosong atau mungkin sekedar berhalusinasi. Namun melihat kesungguhan di wajah keduanya, membuat Tuan Bara ingin membuktikan sendiri."Di mana kalian bertemu dengannya?" tanya Tuan Bara sesaat setelah memasuki rumah dua lantai itu."Di depan pintu hijau tempat kotak berada, Tuan," jawab Daniel.Mereka menyusuri ruang rahasia dengan pencahayaan senter. Sebagian lampu telah mati, tersisa penerangan lorong di jarak belasan meter ke depan. Tuan Bara memasuki ruang perpustakaan dengan menuruni tangga melingkar, diikuti dua yang lain.Benar kata Edward sebelumnya jika ruangan lebar ini terlalu bersih untuk ukuran rumah yang telah lama ditinggalkan. Tak hanya itu, semua perabot dan buku-buku tertata rapi."Ruang perpustakaan ini cukup luas. Periksa sekitar dan hati-hati," titah Tuan Bara. Tanpa diberitahu ia yakin dua ajudannya telah mendengar ji
Langit gelap penuh bintang melingkupi pusat kota. Seperti malam-malam sebelumnya, kota metropolitan itu tidak akan tidur. Masih ada banyak orang-orang yang justru memulai aktifitasnya meski jam hampir menunjukkan tengah malam.Jeremy duduk di dalam mobil yang terparkir di depan pub. Ia telah berdiam di tempat itu selama kurang lebih lima belas menit. Menanti munculnya seseorang yang nyatanya tidak terlihat batang hidungnya.Pria itu putuskan turun dan masuk ke dalam pub. Tidak banyak pengunjung di dalamnya. Terdapat dua orang yang minum di meja bartender. Dan satu orang lagi sedang tertidur dengan posisi kepala di atas meja, di sudut lain ruangan.Satu-satunya orang yang Jeremy cari adalah Paul. Seniornya di kepolisian itu disinyalir melakukan beberapa pelanggaran seperti korupsi dan bekerja sama dengan organisasi terlarang. Itulah informasi yang Jeremy dapat. Sedangkan kini Paul menghilang. Seorang informan memberitahunya jika Paul suka datang ke pub ini pada malam-malam tertentu."S