Clara memandang pantulannya saat duduk di depan cermin. Polesan make up tipis makin membuat wajahnya tampak menawan. Rambutnya tergerai indah, terlihat pas dengan dress putih lengan panjang yang saat ini ia kenakan.
Siang ini ia setuju untuk makan siang bersama Martin. Bukan untuk menikmati waktu melainkan mencari kebenaran tentang Vinn.
Vinn yang Clara kenal adalah pria jujur dan berhati hangat. Karena itu ia tak ragu menyerahkan hatinya pada pria itu. Sesungguhnya ia tidak ingin percaya begitu saja pada kata-kata Martin. Tapi jika diingat, Vinn memang seakan menyembunyikan sesuatu darinya.
"Fokus Clara, fokus!" Clara berucap sambil menepuk-nepuk kedua pipinya.
Tok. Tok. Martha masuk setelah mengetuk.
"Nona, Tuan Martin telah menunggu."
"Saya tahu," jawab Clara pendek sebelum beringsut menuju pintu.
Clara mengikuti langkah pelayan senior yang berjalan di depannya. Wanita paruh baya yang jarang tersenyum itu berjalan tegak, lengkap dengan sepatu fantofel hitam yang menimbulkan bunyi derap di setiap langkah.
"Silahkan, Nona." Martha membukakan pintu untuknya dan hal yang pertama Clara lihat adalah ruangan bernuansa maroon dan gold. Sepertinya ini ruang bersantai, terdapat kursi dan sofa cantik, juga karpet tebal yang ia taksir seharga puluhan juta rupiah.
"Manis, akhirnya kamu menerima ajakanku," ujar Martin yang telah menggunakan kemeja putih. Sengaja atau tak sengaja nyatanya pakaian mereka tampak serasi.
"Aku cuma bosan di kamar. Mau makan di mana?" tanya Clara tanpa basa basi.
"Kamu akan tahu."
Empat puluh menit kemudian, mereka sudah sampai di sebuah restoran mewah di pusat kota. Clara melihat sekitar, meja-meja lain tampak kosong. Hanya ada mereka berdua di tempat itu.
"Cari apa? Tidak akan ada pengunjung lain hari ini. Aku ingin kita makan berdua saja. Keberatan?"
'Cih, sombong!' sungut Clara dalam hati. Ini salah satu alasan ia tak pernah menyukai pria kaya. Kebanyakan dari mereka terlalu banyak bicara dan tinggi hati.
"Apa hubunganmu dengan Vinn?" Clara membuka topik secara tiba-tiba.
"Kamu terlalu bersemangat, Nona. Santailah sedikit." Martin tergelak lalu memanggil pelayan dengan isyarat tangan.
Clara menghela napas kasar dan membuang muka. Ia tak suka pria ini.
Dua orang itu menikmati makan siang sambil mengobrol santai. Meski lebih banyak Martin yang berbicara sedangkan Clara hanya bergumam ria.
"Setelah ini aku ingin mengajakmu ke suatu tempat. Aku yakin kamu akan senang."
Clara hanya melirik tak berselera. Andai bisa, ia ingin kabur dari sisi pria itu sekarang juga. Tapi ia pun tahu ada lebih dari lima orang suruhan Martin yang berjaga di sekitar mereka.
**
Seperti ucapannya, Martin mengajak Clara ke suatu tempat. Tapi ini tidak seperti wanita itu kira. Kini mereka berdiri di depan sebuah gudang tua, tampaknya sudah lama tak terpakai.
"Ayo masuk!" titahnya, walau tersenyum Clara tetap merasa ada yang penegasan di suara pria itu.
Di dalam, terlihat seorang pria yang terikat di dalam kursi. Wajahnya memar sementara mulutnya tertutup lakban hitam. Kepalanya tertunduk.
"Siapa itu? Kenapa dia diikat?" tanya Clara yang tak bisa menyembunyikan raut wajah terkejutnya.
"Dia? Ohh, dia cuma orang iseng yang membuat masalah denganku."
Mendengar itu, Clara mengerutkan kening. Namun dengan segera ia akan tahu betapa mengerikannya karakter seorang Martin.
Martin memintanya duduk di kursi kayu, percuma saja Clara menolak. Pria itu mencengkeram kedua bahunya dengan kuat sedangkan salah seorang anak buahnya menunjukkan sebuah video live.
"Ini ..." Netra Clara tak berkedip menyadari siapa yang ada di dalam video.
"Ya, Manis. Ini adalah pernikahan adik perempuanmu, Briana. Lihat, ini adalah Tuan dan Nyonya Watson." Martin menunjuk dengan sangat tepat.
"Apa maumu?" Clara menatap Martin yang telah duduk di sampingnya dengan tajam.
"Aku ingin membuat kesepakatan denganmu. Just it."
"Kalo aku gak mau?"
Martin tersenyum miring. Dalam satu gerakan ia mengambil pistor berkaliber dua puluh dua dan langsung menembak pria yang terikat di kursi. Tak kurang dari lima tembakan yang membuat pria itu tewas seketika. Clara nyaris berteriak, namun Martin mencengkram pipinya.
"Itu yang akan terjadi pada keluargamu jika kamu menolak. Jadi, bagimana?"
Tidak mempunyai pilihan, Clara mengangguk bersamaan dengan bulir bening yang meluncur dari matanya yang cantik.
"Good girl," puji Martin senang sembari mengusap pelan air mata wanita itu.
**
Sejak pagi Vinn telah berada di ruangan kerja kakeknya. Tujuannya sekarang adalah mencari petunjuk tentang Ronald Alfredo, saudara kembar sang kakek yang entah bagaimana ia yakin ada hubungan dengan kematian kedua orang tuanya.
Keyakinan itu bukan tak berdasar. Ia mengaitkan percakapan kakeknya dengan Paman Tino sehari sebelumnya usai ia menemukan perihal foto itu.
"Dari dulu kau tak pernah berubah, Tino. Tutup saja mulutmu! Bukankah aku telah memberimu peringatan untuk tidak menyebut nama Ronald di rumah ini?!" Suara kakeknya terdengar berang meski Vinn tak bisa melihat jelas ekspresinya. Tentu saja, karena Vinn sedang menguping.
"Maaf, Paman. Aku-"
"Cukup! Pastikan Vinn tak mencari lebih lanjut tentang Ronald atau pun tentang kematian kedua orang tuanya. Dia satu-satunya harapanmu. Kau tahu itu." Kini suara serak itu melunak.
"Baik."
Vinn menggeleng pelan dan lanjut mencari. Ia tak tahu apa yang sedang paman dan kakeknya coba sembunyikan. Namun apapun itu, ia harus menemukannya.
Tiga jam sudah ia berada di ruangan luas yang dipenuhi buku dan file di dalam map. Tetapi ada satupun petunjuk yang bisa membantunya.
"Come on," gumam Vinn kesal, tangannya menarik satu laci di lemari paling bawah. Terdapat dua kotak perak berukuran keci. Belum sempat Vinn membukanya, ponsel yang ia letakkan di meja berdering.
"Halo?"
"Saya telah mendapat informasi dari tentang orang yang Anda sebut kemarin, Pak."
"Katakan."
"Ronald Alfredo telah mengganti nama belakangnya menjadi Hazard sejak dua puluh lima tahun yang lalu."
"Ronald Hazard?" Vinn mengulang, nama itu terdengar tidak asing.
Beberapa detik kemudian, netranya melebar. Ia baru mengingat jika 'Hazard' adalah nama belakang sahabatnya, Martin. Meski begitu ia tak pernah bertemu dengan kakek dari Martin. Tapi benarkah ada hubungannya? Atau hanya nama yang sama?
***
Bersambung.
Vinn terdiam selama beberapa saat. Ingatannya melayang, menelusuri waktu belasan tahun yang telah ia habiskan bersama Martin. Mereka telah melalui banyak hal, ia bahkan tahu apa kebiasaan buruk pria yang sebaya dengannya itu. Berbagai pertanyaan mulai berkecamuk dalam benaknya. Benarkah jika ia dan Martin adalah kerabat? Lalu apa Martin juga tak mengetahuinya? Tak ingin berlama-lama hanyut dalam pikirannya sendiri, Vinn memilih untuk memastikan sekarang juga. Pria itu beranjak, bergegas meninggalkan ruangan bernuansa abu-abu dan putih. Belum sempat Vinn mencapai tangga, seorang pelayan wanita menghampirinya dengan langkah sedikit terburu-buru."Tuan Vincent," panggilnya yang langsung membuat Vinn berhenti. "Kenapa?" Pria itu memeriksa jam tangan mahalnya lalu mengalihkan pandangan pada si pelayan. "Tuan Richard ingin Anda datang ke kamarnya.""Sekarang?" tanyanya lagi. "Benar, Tuan."Vinn mengubah
"Siapa?" Lucas bertanya pada Vinn sembari menunjuk dengan lirikan pada Zara. Mereka baru sampai di rumah berlantai tiga Keluarga Hazard. "Zara." Wanita itu mengulurkan tangan dengan percaya diri sebelum Vinn sempat bersuara. Ia tersenyum hingga tampak lesung pada kedua pipinya. Vinn masuk terlebih dahulu, meninggalkan dua orang yang kini asyik mengobrol di ambang pintu. Pria itu mengamati rumah bernuansa klasik yang telah Martin tinggali sejak kecil. Tak seperti sebelumnya, hari ini Vinn lebih teliti melihat semua foto keluarga yang terpajang pada dinding. Semua foto-foto itu tentang Martin, kedua orang tua juga kakak laki-lakinya. Tidak ada sosok yang sedang Vinn cari. Ronald Hazard. "Vinn," panggil sebuah suara yang sudah sangat dikenalnya. Pria muda itu menuruni tangga dengan cardigan biru tua. "Hei," sambut Vinn saat Martin mendekat. "Merasa asing? Salah sendiri kau tak datang kesini begitu lama," ujar Martin sambi
Martin membuka satu per satu kancing kemejanya dengan mata terarah lurus pada tubuh Clara. Wanita itu menangis. Namun isakan kecil yang keluar dari bibirnya terdengar bak melodi terindah bagi Martin. "Oh, come on Sweetie, jangan membuatku semakin ingin menyentuhmu," ucap Martin dengan suara berat. Pria itu kini bertelanjang dada, menunjukkan tato kepala naga dibawah lehernya. Senyum miringnya merekah, membayangkan dalam hitungan detik ia akan menikmati apa yang seharusnya menjadi milik Vincent. "Tolong lepaskan aku ...." "Teruslah memohon seperti itu. Aku suka mendengar suaramu saat menangis, Sayang," ujar Martin yang sudah tak mampu menahan gejolak nafsu. Pria itu menenggelamkan wajahnya pada leher Clara. Clara yang hendak menghindar justru memudahkan usahanya. Martin merengkuh tubuh itu erat hingga satu nama lolos dari bibir Clara. "Vinn," ucap Clara di tengah isakan. Nafsu yang semula berkobar mendadak hilang d
Daniel menatap bingung pada wanita yang kini bergelayut pada lengan Vinn. Vinn membalas senyum, sepertinya ini adalah cara termudah untuk masuk ke dalam. "Hei, kalian sedang apa? Lihat, ini undanganku," hardik wanita tanpa nama pada dua penjaga yang justru terdiam."Oh, maaf Nona. Silahkan."Dua orang itu masuk, menyisakan Daniel yang telah mendapat isyarat mata dari Vinn agar mencari jalan masuk lain. Salah satu penjaga menatapnya tajam, membuat pria itu ingin segera beringsut dan melaksanakan tugas. Di dalam mereka kembali bertemu dua penjaga di pintu selanjutnya. Tugas mereka adalah memberi topeng pada tamu yang hadir. Vinn dan juga wanita iu menerima topeng yang berbeda. Si wanita masih menempel pada Vinn hingga masuk ke dalam. Vinn masih bertanya-tanya tentang acara apa ini sebenarnya. Di sana sudah ada lebih dari dua puluh orang yang tampak bukan dari kalangan biasa. Semua orang memakai topeng, tak terkecuali pelayan dengan setel
Suasana yang dingin di ruang makan Mansion Alfredo. Vinn baru saja meminum sedikit kopi hitamnya dengan wajah tak berselera. Ia hanya menatap lurus pada laptop di depannya, acuh pada roti panggang madu yang mulai mendingin. "Vinn, selesaikan sarapanmu." Richard hanya melirik cucunya yang sedari tadi tak memandangnya sama sekali. "Aku sudah selesai," jawab Vinn tanpa mengalihkan pandangan pada layar. "Jangan terlalu memaksakan diri, kau hanya perlu mengawasi kinerja mereka di kantor.""Aku tahu."Bagi Richard, ini bukan pertama kali Vinn bersikap dingin padanya. Namun pagi ini ada yang berbeda. Pewarisnya itu tampak menahan kesal. Richard meletakkan alat makannya dan menyesap teh hijau sebelum bersuara kembali. "Ada yang ingin kau sampaikan?"Seketika pandangan Vinn berpaling. Ia menutup laptop dan menghela napas berat. "Kenapa Kakek memberikan gelang giok milik ibu pada orang asing?"Respon awal, R
Clara menatap gedung tinggi yang merupakan sebuah hotel ternama di kota metropolitan itu. Sejak berangkat, Martin tak benar-benar mengatakan acara apa yang akan mereka datangi. "Kita turun, Teman-temanku pasti sudah menunggu."Meski terpaksa, pada akhirnya Clara ikut turun dengan mengacuhkan uluran tangan Martin yang hendak membantunya. Di pintu masuk menuju lobby, pria itu melirik pasangan palsunya seraya tersenyum kecil. "Ini acara reuni, dan kalau kamu beruntung akan ada Vincent juga di sana."Langkah Clara mendadak melambat dan nyaris terhenti. Perasaannya menjadi campur aduk saat mendengar nama itu. "Kenapa wajahmu tegang? Bukankah kamu sangat ingin bertemu dengannya?" Martin terlihat senang, sangat berbeda dengan ekspresi yang Clara tunjukkan. Senang? Tentu ia akan senang bertemu Vinn. Pria itu masih memiliki hatinya hingga saat ini. Tapi tidak dengan situasi ia harus ber-cosplay menjadi calon istri Martin. "A
Pukul sepuluh lewat lima belas menit. Malam mulai larut dan Martin baru saja meletakkan tubuh Clara secara perlahan di atas ranjang. Wanita itu mabuk hanya dengan segelas wine. Pertemuan mereka yang tak disengaja dengan Adella berakhir dengan minum bersama. Sejak pertama saling mengenal, Martin telah mengetahui jika Adella sudah akrab dengan minuman memabukkan. Berbeda dengan Clara yang langsung kehilangan kesadaran setelah menghabiskan minuman pemberian Adella. "Saat mabuk dia semakin terlihat manis. Ehm, bagaimana aku bisa menuruti perintah kakek untuk tidak menyentuhnya kalau begini?" Netra Martin menjelajahi setiap jengkal bagian tubuh Clara. Wanita itu masih memejamkan mata meski terkadang keluar gumaman tidak jelas dari bibirnya. Martin hampir saja mengecup pelan bibir indah itu saat Clara mendorong dadanya agar menjauh. "Jangan menyentuhku. Dasar cowok gak tahu sopan santun!!" racaunya masih dengan mata terpejam. Tingkah Clara
Usai perbincangan ringan selama hampir tiga puluh menit, Vinn memutuskan untuk pamit. Ia bangkit dan memberi salam pada tuan rumah yang memintanya datang di kemudian hari. "Lain kali kita bicarakan lagi tentang museum rancanganmu. Aku juga akan menunjukkan beberapa koleksi barang antikku.""Terima kasih, Kek."Tuan Ron mengangguk dengan senyum yang membuat netranya semakin terlihat sipit. Kembali seorang pelayan mengantar Vinn melewati beberapa ruang bernuansa klasik dan elegan untuk menuju pintu depan. Ketika sampai di depan tangga menuju lantai dua, Vinn mendengar suara Martin yang sepertinya sedang berbicara dengan seorang wanita. 'Kebetulan, sekalian aku akan berpamitan pada Martin,' batin pria itu. Langkah Vinn terhenti, bersamaan dengan munculnya dua sosok yang menuruni tangga. Sebelah alisnya terangkat, tak yakin dengan penglihatannya sendiri. "Clara?" ucapnya pelan, mirip gumaman. "Hei, Buddy? Suda
Vinn melangkah ringan menuruni tangga. Perbincangan dengan Kakek Richard tak terasa telah menghabiskan waktu hampir satu jam lamanya. Sedikit banyak kakeknya memberi petuah akan apa yang harus ia lakukan sesaat lagi. Terkait perusahaan maupun tampuk kekuasaan klub Black Circle yang sementara kosong.Mood pria muda itu sedang sangat baik. Senyumnya tak jarang muncul ketika berpapasan dengan pelayan atau kerabat di koridor."Apa kalian melihat Nona Clara?" tanyanya pada dua pelayan yang bertugas mematikan penerangan di lantai dua."Beberapa saat lalu nona memasuki kamar, Tuan," jawab pelayan dengan rambut digelung.Vinn mengangguk, memberi isyarat jika mereka sudah boleh pergi. Tanpa berpikiran buruk sedikitpun ia melanjutkan langkah menuju kamarnya yang kini telah menjadi kamar pengantin. Ia bahkan sempat menyentuh hiasan pada pintu sebelum mengetuk.Tok. Tok. Tok."Princess?"Hening. Vinn menurunkan kenop pintu, mengira sang istri tengah berada di kamar mandi atau mungkin telah terle
Vinn membuka matanya, mengerjap dalam kebingungan saat mengedarkan pandangan pada sekitar. Ruangan serba putih, aroma steril dan juga suara dengungan statis nan rendah dari alat-alat medis yang terpasang pada tubuhnya. Jantungnya berpacu tapi ia kesulitan untuk menggerakkan tubuh. Terasa sangat lemah.Sesaat setelah pandangannya lebih jelas, ia melihat dua wajah yang tidak asing. Netra mereka menunjukkan ekspresi kelegaan yang tak terkira. Senyum lelah Vinn segera terbentuk."Paman Bara ... A-ayah?" Vinn bersuara dengan serak."Vinn, kau sadar! Syukurlah, kau kembali pada kami." Darren Alfredo mendekati ranjang, sudut matanya sedikit basah."Kami sangat mengkhawatirkanmu, Vinn. Kau telah mengalami koma selama empat bulan." Tuan Bara menepuk bahu Vinn dengan lembut."Koma? Jadi aku belum mati? Lalu ayah?" Vinn masih memandangi pria paruh baya yang sangat mirip dengannya itu."Ceritanya cukup panjang. Tapi kini tidak ada yang perlu kau khawatirkan. Semua telah selesai." Darren tersenyu
"Satu, dua, tiga! Jangan sampai tertangkap!" seru Jade saat akhirnya pertahanan mereka luruh dan para penjaga berhasil merangsek masuk.Edward mencebik ringan lalu tertawa menghadapi candaan Jade di tengah situasi kritis. Sedang Daniel, pria itu juga ikut mengeluarkan pistol meski awalnya kebingungan.Ketiganya saling melindungi dan menembak sambil berusaha meninggalkan ruang penyimpanan. Suara tembakan nampaknya mengundang penjaga lebih banyak untuk datang."Tugas kita hanya mengambil benda itu, bukan menembak para penjaga!" desis Daniel yang punggungnya saling menempel dengan Edward."Protes saja padanya," balas Edward sembari menunjuk Jade dengan gerakan kepala.Jade menikmati kegiatannya menumbangkan para penjaga satu persatu. Gerakan tubuhnya pun luwes saat menghindari peluru. Entah karena ia menganggap serius taruhan atau pekerjaan ini terasa menyenangkan baginya.Akan tetapi, senyum Jade menghilang saat satu tembakan lolos dan mengenai bahu kanannya. Wanita itu meringis merasak
"Singkirkan dia dari hadapanku!" perintah Tuan Ronald usai meminta dua penjaga masuk ke ruangannya.Mereka saling pandang sekilas sebelum mengangkat tubuh Redo yang sepertinya tinggal jasad. Tuan mereka memang tidak bisa ditebak. Siapa yang mengira jika Redo yang selama ini selalu mendampingi pria tua itu ke mana pun akhirnya berakhir tragis di tangan sang majikan.Genangan darah segar masih tercetak pada karpet hijau tua. Tuan Ronald telah kembali ke kursinya, berkutat santai mengelap pisau yang sempat menancap pada dada Redo."Ke mana kami harus membuangnya, Tuan?" tanya salah satu penjaga."Ke mana saja. Ini bukan pertama kali, jangan bertingkah seperti anak baru," ucap Tuan Ronald tanpa menoleh sama sekali.Tidak ada pertanyaan lagi. Berikutnya dua orang itu telah berkendara. Malam semakin larut dan mobil mereka gunakan sudah hampir sampai di sekitaran bekas taman wisata yang telah lama ditinggalkan."Kau yakin di sini aman?" Bruno, salah satu dari mereka bertanya dengan was-was.
Esoknya, pukul sepuluh pagi.Jade telah sampai di tempat yang disepakati bersama seseorang beberapa menit lalu. Semalam ia tidak mendapat informasi memuaskan dari Jason. Pemuda itu cenderung diam seolah memikirkan sesuatu, tatapannya juga tidak fokus. Beruntung salah seorang temannya ternyata mengenal klub yang sedang ia amati.Baru saja Jade duduk, seorang pria seusianya berbicara dengan nada serius nan rendah."Kuperingatkan sebaiknya kau berhenti mencari tahu tentang Klub Black Circle.""Kenapa memangnya?" tanya Jade dengan gaya casual. "Mereka bukan klub biasa, percaya padaku. Tak hanya mafia, klub itu juga dihuni pembunuh bayaran dan juga kolektor benda dari black market," terang pria dengan cardigan biru tua. "Aku sudah mendengar tentang itu. Tak bisakah kau memberiku informasi yang lain. Tentang mendaftar atau keluar? Oh, apa mereka merekrut anggota baru akhir-akhir ini?" Jade mengambil pemantik guna menyalakan rokok. "Kau ingin masuk ke sana? Sudah gila? Kudengar mereka tid
Drap. Drap.Sembari menuruni tangga, Jason memijat tengkuk yang terasa pegal. Tubuhnya tampak sehat tapi beban berat seolah memenuhi rongga kepalanya seusai pembicaraan dengan Harris beberapa saat lalu.Tidak sampai satu purnama, ia akan dilantik menjadi ketua klub. Tapi yang berbahagia justru anggota yang lain. Sedangkan Jason merasa hal sebaliknya. Selain kosong, ia ingin berlari menjauh. Tuan Ronald dan Black Circle ternyata bukanlah rumah baginya. Senyum dan kepedulian mereka bermotif mengerikan."Kau harus ingat, Jason. Pada saatnya nanti, Tuan Ronald akan meminta bukti kesetiaanmu.""Bukankah kehadiranku seperti sekarang sudah bentuk kesetiaan?""Tidak, anak muda. Tidak sesederhana itu. Aku tidak sedang membicarakan waktu, tapi nyawamu."Itulah sepenggal percakapannya dengan Harris sebelum ia undur diri belasan menit lalu.Langkah Jason semakin cepat begitu melewati karpet merah di tengah lorong dengan penerangan redup. Sesuai perintah Tuan Ronald, ia harus datang ke galeri seni
Zac menghembuskan asap cigaretenya pagi itu. Bertempat di kantor konsultan pribadinya, pria itu duduk dengan wajah bosan. Satu jam lalu putra kedua dari Richard Alfredo telah mengabarkan akan datang dalam beberapa menit.Namun ini sudah lebih dari waktu kesepakatan. Ia telah menunda pertemuan dengan klien yang hendak memakai jasanya. Lagipula tak seperti biasanya seorang Bara akan datang terlambat. Baru saja Zac akan bangkit dari kursi, pintu ruangannya terbuka. Tuan Bara masuk dengan wajah serius. Zac akan bertanya dengan kesal jika saja sosok kedua tidak muncul."Maaf, kami terlambat. Kau tahu jalanan pagi selalu padat dan menyebalkan," ucap Tuan Bara yang langsung duduk di sofa tanpa dipersilahkan.Bagaikan tak mendengar, Zac justru terbengong. Tatapannya lurus pada Darren yang kini mendekat."Kenapa wajahmu seperti baru melihat hantu? Apa kabarmu?" Darren menawarkan jabat tangan ketika jarak mereka cukup dekat."Kau ... Bara, kau bisa menjelaskan apa yang terjadi di sini?" Zac b
Malam itu juga Tuan Bara mendatangi rumah lama milik mendiang kakeknya ditemani Daniel dan Edward. Semula ia merasa ajudan-ajudannya berbicara omong kosong atau mungkin sekedar berhalusinasi. Namun melihat kesungguhan di wajah keduanya, membuat Tuan Bara ingin membuktikan sendiri."Di mana kalian bertemu dengannya?" tanya Tuan Bara sesaat setelah memasuki rumah dua lantai itu."Di depan pintu hijau tempat kotak berada, Tuan," jawab Daniel.Mereka menyusuri ruang rahasia dengan pencahayaan senter. Sebagian lampu telah mati, tersisa penerangan lorong di jarak belasan meter ke depan. Tuan Bara memasuki ruang perpustakaan dengan menuruni tangga melingkar, diikuti dua yang lain.Benar kata Edward sebelumnya jika ruangan lebar ini terlalu bersih untuk ukuran rumah yang telah lama ditinggalkan. Tak hanya itu, semua perabot dan buku-buku tertata rapi."Ruang perpustakaan ini cukup luas. Periksa sekitar dan hati-hati," titah Tuan Bara. Tanpa diberitahu ia yakin dua ajudannya telah mendengar ji
Langit gelap penuh bintang melingkupi pusat kota. Seperti malam-malam sebelumnya, kota metropolitan itu tidak akan tidur. Masih ada banyak orang-orang yang justru memulai aktifitasnya meski jam hampir menunjukkan tengah malam.Jeremy duduk di dalam mobil yang terparkir di depan pub. Ia telah berdiam di tempat itu selama kurang lebih lima belas menit. Menanti munculnya seseorang yang nyatanya tidak terlihat batang hidungnya.Pria itu putuskan turun dan masuk ke dalam pub. Tidak banyak pengunjung di dalamnya. Terdapat dua orang yang minum di meja bartender. Dan satu orang lagi sedang tertidur dengan posisi kepala di atas meja, di sudut lain ruangan.Satu-satunya orang yang Jeremy cari adalah Paul. Seniornya di kepolisian itu disinyalir melakukan beberapa pelanggaran seperti korupsi dan bekerja sama dengan organisasi terlarang. Itulah informasi yang Jeremy dapat. Sedangkan kini Paul menghilang. Seorang informan memberitahunya jika Paul suka datang ke pub ini pada malam-malam tertentu."S