Musik bergenre techno yang dimainkan oleh seorang DJ papan atas mengisi pendengaran Vinn tatkala ia memasuki club malam elite yang terkenal di kota D. Pria itu duduk di meja bar dan memesan segelas cocktail berbasis whiskey.
Malam ini ia ingin menyendiri setelah tadi sempat beramah tamah bersama kakek dan juga paman sepupunya. Namun sepertinya ia tak diijinkan sendirian. Seseorang menepuknya dari belakang.
"Vincent Alfredo!" seru pria dengan setelan santai berwarna hitam yang tampak sebaya dengannya.
"Lucas?" Vinn hanya mengangkat gelas dan tersenyum simpul.
"Aku kira salah orang, ternyata ini benar kau. Ke mana saja? Hm?" Lucas mengambil tempat di samping kawannya.
"Main," jawab Vinn asal.
"Setidaknya kau sudah ada di sini. Tunggu sebentar, aku akan memanggil yang lain," ujar Lucas sambil mengeluarkan ponsel tipis model terbaru.
Vinn mengangguk kecil, lebih cenderung tak peduli. Dalam pikirannya sekarang, hanya ada gambaran tentang pertemuannya dengan Tuan Thomas Watson esok hari.
Kemunculan Vinn disambut hangat oleh teman-temannya. Tidak sampai tiga dl puluh menit, mereka datang. Tak terkecuali Martin, sahabatnya sejak kecil. Pria yang memiliki darah campuran Indonesia Belanda itu mulai bercerita dengan seru.
"Apa kau tau aku menemukan hal menarik?"
"Apa lagi? Jangan katakan jika ini tentang wanita ..." Vinn meneguk minuman di gelasnya.
"Kau seperti tidak mengenalku. Tentu saja ini tentang wanita." Martin tertawa tanpa beban.
Vinn hanya menggeleng, tiga tahun tak bertemu ternyata Martin tidaklah berubah. Sahabatnya ini masih punya kebiasaan bermain dengan wanita manapun yang ia suka.
"Lain kali, kau harus ikut aku. Dia sangat manis." Martin memainkan alis.
"Kau sudah tau jika itu takkan mempan padaku, 'kan? Jadi tolong hentikan."
"Membosankan." Martin mengedikkan bahu lalu memesan vodka favoritnya.
**
Vinn mematut diri di depan cermin besar kamarnya. Hari masih sangat pagi, namun ia telah mengenakan kemeja dengan warna favoritnya, dark blue.
Sepulangnya dari club pukul dua dini hari tadi, Daniel memberinya kabar jika pria yang kini menjadi asistennya itu telah berhasil membuat janji dengan Tuan Thomas Watson.
"Clara, apa ini yang kamu inginkan ..." Vinn bertanya sambil menatap pantulannya sendiri. Ada gurat kecewa di matanya.
Pukul tujuh pagi, Vinn keluar dari kamar dan siap berangkat. Namun seorang pelayan menawarkan sarapan yang langsung ia tolak.
"Aku akan sarapan di luar. Pastikan kakek meminum obatnya."
"Baik, Tuan." Si pelayan muda hanya mengangguk patuh.
Sepuluh menit kemudian, mobil hitamnya telah membelah jalanan area hutan yang cukup sepi. Mansion yang dibangun oleh kakek buyutnya memang terletak di area pinggiran kota.
"Daniel," panggil Vinn tiba-tiba setelah hening.
"Iya, Tuan? Apa Anda ingin membeli kopi sebelum ke kantor?" Daniel yang berada di belakang kemudi melihatnya sekilas melalui spion tengah.
"Ya, berhenti sebentar di coffeeshop depan Mall YG."
Daniel menurut tanpa bicara. Ia tahu kondisi mood pria itu belum membaik. Begitu mobil terparkir rapi, Vinn mengajak Daniel untuk ikut turun. Dua pria itu berjalan beriringan, masuk ke dalam coffeshop bernuansa abu-abu.
Pagi itu coffeeshop masih sepi, hanya ada satu dua pengunjung yang terlihat. Vinn memilih meja di dekat kaca, sementara Daniel langsung menuju kasir untuk memesan dua cangkir expresso.
Vinn menatap lalu lalang kendaraan dengan bosan. Sesaat kemudian, ada sesuatu yang menarik perhatiannya. Pria itu memicingkan mata, berharap bisa memastikan jika ia tidak salah lihat.
Mendadak Vinn berdiri, ia ingin menghampiri wanita dengan dress abu muda yang baru saja memasuki toko cake dan roti tak jauh dari coffeeshop.
"Tuan Vinn? Anda mau kemana?" Daniel mendekat.
"Tunggu di sini, aku akan segera kembali."
Hanya itu yang Vinn ucapkan sebelum melesat keluar dengan langkah cepat. Ia yakin yang beberapa saat dilihatnya adalah Clara. Mungkin ia memang harus bicara pada Clara sebelum bertemu dengan Tuan Thomas setengah jam lagi.
"Selamat datang, ada yang bisa dibantu?" Penjaga toko cake yang berpakaian pink dan apron putih langsung menyambut begitu Vinn memasuki pintu kaca.
Pria itu menggeleng dan menghampiri wanita yang ia kira adalah Clara. Namun prasangkanya salah. Yang sedang memilih cake adalah Brianna, adik Clara. Fisik keduanya memang mirip, tetapi Vinn tahu jika mereka berbeda.
"Tuan!"
Vinn menoleh, menyadari Daniel sudah berada di belakangnya. Tangannya membawa dua cup expresso yang masih beruap.
"Bukankah aku memintamu menunggu di sana?" Vinn mengangkat sebelah alisnya, tampak tidak senang.
"Maaf, melihat Tuan tiba-tiba pergi, saya khawatir sesuatu ada yang terjadi." Daniel tertunduk.
Vinn mengalihkan pandangan pada Briana, wanita yang hanya selisih satu tahun dengan Clara itu tengah mengamati cake untuk acara pernikahan. Melihat yang telah dihias cantik, tiba-tiba emosi Vinn naik.
Tak perlu menunggu lama, ia keluar dari toko cake dan masuk ke dalam mobil. Daniel heran tapi tak memiliki nyali untuk bertanya.
"Kita ke kantor sekarang." Vinn mengepalkan tangan.
**
Pria paruh baya dengan setelan suit berwarna abu-abu melangkah masuk ke kantor pusat Orion Group di dampingi asisten dan manager keuangan. Wajahnya masam, namun gestur tubuhnya dibuat setegak mungkin. Pria lima puluh lima tahun itu seakan siap berperang.
"Tuan Thomas, selamat datang. Tuan Vincent telah menunggu di ruang pertemuan, mari ikuti saya," ucap sekretaris cantik dengan blouse coklat muda.
Thomas dan dua orang lainnya mengekor, memasuki ruangan yang telah di siapkan. Hanya ada Daniel dan satu orang lagi yang berpakaian layaknya karyawan biasa.
"Di mana atasanmu?" Pertanyaan pria itu bernada sinis.
"Silahkan duduk, Tuan Thomas. Sebentar lagi Tuan Vincent akan segera hadir."
"Minta dia cepat datang! Aku tak memiliki waktu untuk omong kosong seperti ini."
Kemarahan terpancar jelas dari raut wajah pemilik Retrowats Group itu. Kemarin, Daniel dan beberapa orang lainnya tiba-tiba datang ke kantornya menyatakan akan membeli semua saham. Harga yang ditawarkan cukup fantastis tapi jika bisnis keluarga ini ia lepas, maka hanya tinggal menunggu waktu ia akan bangkrut.
"Apa Anda siap dengan semua berkas yang dibutuhkan?"
"Aku datang bukan untuk bertransaksi. Ini sudah lewat dari waktu yang disepakati. Jika atasanmu tidak juga muncul, aku akan pergi."
Vinn masuk dan memberi senyum pada pria yang seharusnya menjadi mertuanya. Thomas terkejut melihat Vinn berada di kantor elite ini. Yang ia ingat, Vinn hanyalah pria muda pemilik kedai kecil.
"Kau? Untuk apa kau di sini? Makin kacau saja. Ayo, kita pergi." Thomas nyaris berbalik namun Daniel menghentikan langkahnya.
"Tuan Thomas, ini adalah Tuan Vincent."
"Apa? Jangan bercanda denganku! Pria ini hanyalah pria miskin tak tahu diri yang membawa putriku pergi." Ucapan Thomas yang penuh keangkuhan sukses membuat pertahanan Vinn runtuh.
"Dengar Tuan Thomas, terserah jika Anda masih menganggap saya miskin. Tapi ingat satu hal, saya bisa menghancurkan Retrowats jika saya mau. Hari ini juga." Vinn berdiri tepat di hadapan Thomas, memandang lurus tanpa ragu.
Thomas terdiam. Ia tahu betul Orion Group adalah perusahaan raksasa yang sejak sepuluh tahun terakhir telah menjadi kiblat bagi perusahaan lainnya. Ia mulai khawatir akan keselamatan perusahaan kelas menengah miliknya.
"Apa maumu?" tanya Thomas akhirnya.
"Katakan di mana Clara."
"Clara? Aku sudah tidak menganggapnya sebagai putriku sejak kau membawanya setahun yang lalu." Alis Thomas bertaut.
"Anda bisa berbohong tapi tidak pada saya."
"Apa maksudmu?"
"Jika Anda tidak menganggapnya, lalu untuk apa acara pernikahan itu?" Lagi, tangan Vinn mengepal.
"Kau sepertinya salah paham. Yang akan menikah adalah Briana." Thomas memberi isyarat pada asistennya. Wanita dengan lesung pipi itu mengangguk dan maju, memberikan sesuatu pada Vinn.
"Bahkan aku tidak sadar telah menulis namamu pada undangan itu. Datanglah bersama Clara. Briana sangat ingin kakaknya ada di hari pernikahannya." Tuan Thomas berlalu, meninggalkan Vinn yang masih memandang undangan bercorak maroon. Tertulis nama dua mempelai, Briana dan Theo.
Vinn meletakkan undangan itu di meja dan memberi perintah pada asisten setianya.
"Temukan Clara!"
***
Bersambung.
Penat. Satu kata itu yang kini Vinn rasakan. Ia telah kembali pada rutinitasnya, memimpin sebuah perusahaan besar. Usai meeting siang tadi, Vinn memutuskan untuk pulang ke mansion. Bukan tanpa alasan, ia harus mencari file lama perusahaan yang sepertinya tersimpan di ruang kerja kakeknya.Pencarian Clara masih dilakukan. Sudah hampir tujuh hari wanita itu menghilang dan anak buah yang telah disebar tak memberi hasil yang diharapkan.Vinn memasuki ruang kerja yang terletak di lantai dua. Tempat ini tampak berdebu, sepertinya sudah berbulan-bulan tidak dibersihkan. Pria itu melangkah menuju lemari besar, berbagai buku manajemen bisnis berkumpul di sana. Ia mengambil salah satu yang bersampul merah tua. Dan selembar foto usang terjatuh ke lantai.Perhatian Vinn teralihkan. Ia memungut foto itu dan mengamati. Ia menemukan sosok kakeknya di sana namun di usia masih sangat muda, sekitar dua pulu
Sinar mentari memasuki kamar mewah bernuansa putih dan emas melalui celah tirai jendela. Hari menjelang siang namun si penghuni kamar seakan enggan untuk membuka mata.Pintu berukir terbuka usai terdengar ketukan, memunculkan wanita paruh baya berpakaian pelayan. Martha namanya, ia ditugaskan untuk mengurus wanita muda yang sejak seminggu lalu tinggal di rumah besar majikannya."Selamat pagi, Nona." Tangan pelayan senior itu meletakkan nampan berisi secangkir teh di atas meja lalu membuka tirai.Suasana kamar berukuran tak biasa itu seketika terang benderang. Wanita muda yang tertidur perlahan membuka mata. Namun tidak tampak semangat di wajah cantiknya. Hanya ada tatapan kosong dan ekspresi datar."Tinggalkan saya sendiri, Bi," pintanya dengan suara serak."Nona, saya hanya menjalankan tugas. Satu jam lagi tuan muda akan mengajak Nona
Clara memandang pantulannya saat duduk di depan cermin. Polesan make up tipis makin membuat wajahnya tampak menawan. Rambutnya tergerai indah, terlihat pas dengan dress putih lengan panjang yang saat ini ia kenakan.Siang ini ia setuju untuk makan siang bersama Martin. Bukan untuk menikmati waktu melainkan mencari kebenaran tentang Vinn.Vinn yang Clara kenal adalah pria jujur dan berhati hangat. Karena itu ia tak ragu menyerahkan hatinya pada pria itu. Sesungguhnya ia tidak ingin percaya begitu saja pada kata-kata Martin. Tapi jika diingat, Vinn memang seakan menyembunyikan sesuatu darinya."Fokus Clara, fokus!" Clara berucap sambil menepuk-nepuk kedua pipinya.Tok. Tok. Martha masuk setelah mengetuk."Nona, Tuan Martin telah menunggu.""Saya tahu," jawab Clara pendek sebelum beringsut menuju pintu.Cl
Vinn terdiam selama beberapa saat. Ingatannya melayang, menelusuri waktu belasan tahun yang telah ia habiskan bersama Martin. Mereka telah melalui banyak hal, ia bahkan tahu apa kebiasaan buruk pria yang sebaya dengannya itu. Berbagai pertanyaan mulai berkecamuk dalam benaknya. Benarkah jika ia dan Martin adalah kerabat? Lalu apa Martin juga tak mengetahuinya? Tak ingin berlama-lama hanyut dalam pikirannya sendiri, Vinn memilih untuk memastikan sekarang juga. Pria itu beranjak, bergegas meninggalkan ruangan bernuansa abu-abu dan putih. Belum sempat Vinn mencapai tangga, seorang pelayan wanita menghampirinya dengan langkah sedikit terburu-buru."Tuan Vincent," panggilnya yang langsung membuat Vinn berhenti. "Kenapa?" Pria itu memeriksa jam tangan mahalnya lalu mengalihkan pandangan pada si pelayan. "Tuan Richard ingin Anda datang ke kamarnya.""Sekarang?" tanyanya lagi. "Benar, Tuan."Vinn mengubah
"Siapa?" Lucas bertanya pada Vinn sembari menunjuk dengan lirikan pada Zara. Mereka baru sampai di rumah berlantai tiga Keluarga Hazard. "Zara." Wanita itu mengulurkan tangan dengan percaya diri sebelum Vinn sempat bersuara. Ia tersenyum hingga tampak lesung pada kedua pipinya. Vinn masuk terlebih dahulu, meninggalkan dua orang yang kini asyik mengobrol di ambang pintu. Pria itu mengamati rumah bernuansa klasik yang telah Martin tinggali sejak kecil. Tak seperti sebelumnya, hari ini Vinn lebih teliti melihat semua foto keluarga yang terpajang pada dinding. Semua foto-foto itu tentang Martin, kedua orang tua juga kakak laki-lakinya. Tidak ada sosok yang sedang Vinn cari. Ronald Hazard. "Vinn," panggil sebuah suara yang sudah sangat dikenalnya. Pria muda itu menuruni tangga dengan cardigan biru tua. "Hei," sambut Vinn saat Martin mendekat. "Merasa asing? Salah sendiri kau tak datang kesini begitu lama," ujar Martin sambi
Martin membuka satu per satu kancing kemejanya dengan mata terarah lurus pada tubuh Clara. Wanita itu menangis. Namun isakan kecil yang keluar dari bibirnya terdengar bak melodi terindah bagi Martin. "Oh, come on Sweetie, jangan membuatku semakin ingin menyentuhmu," ucap Martin dengan suara berat. Pria itu kini bertelanjang dada, menunjukkan tato kepala naga dibawah lehernya. Senyum miringnya merekah, membayangkan dalam hitungan detik ia akan menikmati apa yang seharusnya menjadi milik Vincent. "Tolong lepaskan aku ...." "Teruslah memohon seperti itu. Aku suka mendengar suaramu saat menangis, Sayang," ujar Martin yang sudah tak mampu menahan gejolak nafsu. Pria itu menenggelamkan wajahnya pada leher Clara. Clara yang hendak menghindar justru memudahkan usahanya. Martin merengkuh tubuh itu erat hingga satu nama lolos dari bibir Clara. "Vinn," ucap Clara di tengah isakan. Nafsu yang semula berkobar mendadak hilang d
Daniel menatap bingung pada wanita yang kini bergelayut pada lengan Vinn. Vinn membalas senyum, sepertinya ini adalah cara termudah untuk masuk ke dalam. "Hei, kalian sedang apa? Lihat, ini undanganku," hardik wanita tanpa nama pada dua penjaga yang justru terdiam."Oh, maaf Nona. Silahkan."Dua orang itu masuk, menyisakan Daniel yang telah mendapat isyarat mata dari Vinn agar mencari jalan masuk lain. Salah satu penjaga menatapnya tajam, membuat pria itu ingin segera beringsut dan melaksanakan tugas. Di dalam mereka kembali bertemu dua penjaga di pintu selanjutnya. Tugas mereka adalah memberi topeng pada tamu yang hadir. Vinn dan juga wanita iu menerima topeng yang berbeda. Si wanita masih menempel pada Vinn hingga masuk ke dalam. Vinn masih bertanya-tanya tentang acara apa ini sebenarnya. Di sana sudah ada lebih dari dua puluh orang yang tampak bukan dari kalangan biasa. Semua orang memakai topeng, tak terkecuali pelayan dengan setel
Suasana yang dingin di ruang makan Mansion Alfredo. Vinn baru saja meminum sedikit kopi hitamnya dengan wajah tak berselera. Ia hanya menatap lurus pada laptop di depannya, acuh pada roti panggang madu yang mulai mendingin. "Vinn, selesaikan sarapanmu." Richard hanya melirik cucunya yang sedari tadi tak memandangnya sama sekali. "Aku sudah selesai," jawab Vinn tanpa mengalihkan pandangan pada layar. "Jangan terlalu memaksakan diri, kau hanya perlu mengawasi kinerja mereka di kantor.""Aku tahu."Bagi Richard, ini bukan pertama kali Vinn bersikap dingin padanya. Namun pagi ini ada yang berbeda. Pewarisnya itu tampak menahan kesal. Richard meletakkan alat makannya dan menyesap teh hijau sebelum bersuara kembali. "Ada yang ingin kau sampaikan?"Seketika pandangan Vinn berpaling. Ia menutup laptop dan menghela napas berat. "Kenapa Kakek memberikan gelang giok milik ibu pada orang asing?"Respon awal, R
Vinn melangkah ringan menuruni tangga. Perbincangan dengan Kakek Richard tak terasa telah menghabiskan waktu hampir satu jam lamanya. Sedikit banyak kakeknya memberi petuah akan apa yang harus ia lakukan sesaat lagi. Terkait perusahaan maupun tampuk kekuasaan klub Black Circle yang sementara kosong.Mood pria muda itu sedang sangat baik. Senyumnya tak jarang muncul ketika berpapasan dengan pelayan atau kerabat di koridor."Apa kalian melihat Nona Clara?" tanyanya pada dua pelayan yang bertugas mematikan penerangan di lantai dua."Beberapa saat lalu nona memasuki kamar, Tuan," jawab pelayan dengan rambut digelung.Vinn mengangguk, memberi isyarat jika mereka sudah boleh pergi. Tanpa berpikiran buruk sedikitpun ia melanjutkan langkah menuju kamarnya yang kini telah menjadi kamar pengantin. Ia bahkan sempat menyentuh hiasan pada pintu sebelum mengetuk.Tok. Tok. Tok."Princess?"Hening. Vinn menurunkan kenop pintu, mengira sang istri tengah berada di kamar mandi atau mungkin telah terle
Vinn membuka matanya, mengerjap dalam kebingungan saat mengedarkan pandangan pada sekitar. Ruangan serba putih, aroma steril dan juga suara dengungan statis nan rendah dari alat-alat medis yang terpasang pada tubuhnya. Jantungnya berpacu tapi ia kesulitan untuk menggerakkan tubuh. Terasa sangat lemah.Sesaat setelah pandangannya lebih jelas, ia melihat dua wajah yang tidak asing. Netra mereka menunjukkan ekspresi kelegaan yang tak terkira. Senyum lelah Vinn segera terbentuk."Paman Bara ... A-ayah?" Vinn bersuara dengan serak."Vinn, kau sadar! Syukurlah, kau kembali pada kami." Darren Alfredo mendekati ranjang, sudut matanya sedikit basah."Kami sangat mengkhawatirkanmu, Vinn. Kau telah mengalami koma selama empat bulan." Tuan Bara menepuk bahu Vinn dengan lembut."Koma? Jadi aku belum mati? Lalu ayah?" Vinn masih memandangi pria paruh baya yang sangat mirip dengannya itu."Ceritanya cukup panjang. Tapi kini tidak ada yang perlu kau khawatirkan. Semua telah selesai." Darren tersenyu
"Satu, dua, tiga! Jangan sampai tertangkap!" seru Jade saat akhirnya pertahanan mereka luruh dan para penjaga berhasil merangsek masuk.Edward mencebik ringan lalu tertawa menghadapi candaan Jade di tengah situasi kritis. Sedang Daniel, pria itu juga ikut mengeluarkan pistol meski awalnya kebingungan.Ketiganya saling melindungi dan menembak sambil berusaha meninggalkan ruang penyimpanan. Suara tembakan nampaknya mengundang penjaga lebih banyak untuk datang."Tugas kita hanya mengambil benda itu, bukan menembak para penjaga!" desis Daniel yang punggungnya saling menempel dengan Edward."Protes saja padanya," balas Edward sembari menunjuk Jade dengan gerakan kepala.Jade menikmati kegiatannya menumbangkan para penjaga satu persatu. Gerakan tubuhnya pun luwes saat menghindari peluru. Entah karena ia menganggap serius taruhan atau pekerjaan ini terasa menyenangkan baginya.Akan tetapi, senyum Jade menghilang saat satu tembakan lolos dan mengenai bahu kanannya. Wanita itu meringis merasak
"Singkirkan dia dari hadapanku!" perintah Tuan Ronald usai meminta dua penjaga masuk ke ruangannya.Mereka saling pandang sekilas sebelum mengangkat tubuh Redo yang sepertinya tinggal jasad. Tuan mereka memang tidak bisa ditebak. Siapa yang mengira jika Redo yang selama ini selalu mendampingi pria tua itu ke mana pun akhirnya berakhir tragis di tangan sang majikan.Genangan darah segar masih tercetak pada karpet hijau tua. Tuan Ronald telah kembali ke kursinya, berkutat santai mengelap pisau yang sempat menancap pada dada Redo."Ke mana kami harus membuangnya, Tuan?" tanya salah satu penjaga."Ke mana saja. Ini bukan pertama kali, jangan bertingkah seperti anak baru," ucap Tuan Ronald tanpa menoleh sama sekali.Tidak ada pertanyaan lagi. Berikutnya dua orang itu telah berkendara. Malam semakin larut dan mobil mereka gunakan sudah hampir sampai di sekitaran bekas taman wisata yang telah lama ditinggalkan."Kau yakin di sini aman?" Bruno, salah satu dari mereka bertanya dengan was-was.
Esoknya, pukul sepuluh pagi.Jade telah sampai di tempat yang disepakati bersama seseorang beberapa menit lalu. Semalam ia tidak mendapat informasi memuaskan dari Jason. Pemuda itu cenderung diam seolah memikirkan sesuatu, tatapannya juga tidak fokus. Beruntung salah seorang temannya ternyata mengenal klub yang sedang ia amati.Baru saja Jade duduk, seorang pria seusianya berbicara dengan nada serius nan rendah."Kuperingatkan sebaiknya kau berhenti mencari tahu tentang Klub Black Circle.""Kenapa memangnya?" tanya Jade dengan gaya casual. "Mereka bukan klub biasa, percaya padaku. Tak hanya mafia, klub itu juga dihuni pembunuh bayaran dan juga kolektor benda dari black market," terang pria dengan cardigan biru tua. "Aku sudah mendengar tentang itu. Tak bisakah kau memberiku informasi yang lain. Tentang mendaftar atau keluar? Oh, apa mereka merekrut anggota baru akhir-akhir ini?" Jade mengambil pemantik guna menyalakan rokok. "Kau ingin masuk ke sana? Sudah gila? Kudengar mereka tid
Drap. Drap.Sembari menuruni tangga, Jason memijat tengkuk yang terasa pegal. Tubuhnya tampak sehat tapi beban berat seolah memenuhi rongga kepalanya seusai pembicaraan dengan Harris beberapa saat lalu.Tidak sampai satu purnama, ia akan dilantik menjadi ketua klub. Tapi yang berbahagia justru anggota yang lain. Sedangkan Jason merasa hal sebaliknya. Selain kosong, ia ingin berlari menjauh. Tuan Ronald dan Black Circle ternyata bukanlah rumah baginya. Senyum dan kepedulian mereka bermotif mengerikan."Kau harus ingat, Jason. Pada saatnya nanti, Tuan Ronald akan meminta bukti kesetiaanmu.""Bukankah kehadiranku seperti sekarang sudah bentuk kesetiaan?""Tidak, anak muda. Tidak sesederhana itu. Aku tidak sedang membicarakan waktu, tapi nyawamu."Itulah sepenggal percakapannya dengan Harris sebelum ia undur diri belasan menit lalu.Langkah Jason semakin cepat begitu melewati karpet merah di tengah lorong dengan penerangan redup. Sesuai perintah Tuan Ronald, ia harus datang ke galeri seni
Zac menghembuskan asap cigaretenya pagi itu. Bertempat di kantor konsultan pribadinya, pria itu duduk dengan wajah bosan. Satu jam lalu putra kedua dari Richard Alfredo telah mengabarkan akan datang dalam beberapa menit.Namun ini sudah lebih dari waktu kesepakatan. Ia telah menunda pertemuan dengan klien yang hendak memakai jasanya. Lagipula tak seperti biasanya seorang Bara akan datang terlambat. Baru saja Zac akan bangkit dari kursi, pintu ruangannya terbuka. Tuan Bara masuk dengan wajah serius. Zac akan bertanya dengan kesal jika saja sosok kedua tidak muncul."Maaf, kami terlambat. Kau tahu jalanan pagi selalu padat dan menyebalkan," ucap Tuan Bara yang langsung duduk di sofa tanpa dipersilahkan.Bagaikan tak mendengar, Zac justru terbengong. Tatapannya lurus pada Darren yang kini mendekat."Kenapa wajahmu seperti baru melihat hantu? Apa kabarmu?" Darren menawarkan jabat tangan ketika jarak mereka cukup dekat."Kau ... Bara, kau bisa menjelaskan apa yang terjadi di sini?" Zac b
Malam itu juga Tuan Bara mendatangi rumah lama milik mendiang kakeknya ditemani Daniel dan Edward. Semula ia merasa ajudan-ajudannya berbicara omong kosong atau mungkin sekedar berhalusinasi. Namun melihat kesungguhan di wajah keduanya, membuat Tuan Bara ingin membuktikan sendiri."Di mana kalian bertemu dengannya?" tanya Tuan Bara sesaat setelah memasuki rumah dua lantai itu."Di depan pintu hijau tempat kotak berada, Tuan," jawab Daniel.Mereka menyusuri ruang rahasia dengan pencahayaan senter. Sebagian lampu telah mati, tersisa penerangan lorong di jarak belasan meter ke depan. Tuan Bara memasuki ruang perpustakaan dengan menuruni tangga melingkar, diikuti dua yang lain.Benar kata Edward sebelumnya jika ruangan lebar ini terlalu bersih untuk ukuran rumah yang telah lama ditinggalkan. Tak hanya itu, semua perabot dan buku-buku tertata rapi."Ruang perpustakaan ini cukup luas. Periksa sekitar dan hati-hati," titah Tuan Bara. Tanpa diberitahu ia yakin dua ajudannya telah mendengar ji
Langit gelap penuh bintang melingkupi pusat kota. Seperti malam-malam sebelumnya, kota metropolitan itu tidak akan tidur. Masih ada banyak orang-orang yang justru memulai aktifitasnya meski jam hampir menunjukkan tengah malam.Jeremy duduk di dalam mobil yang terparkir di depan pub. Ia telah berdiam di tempat itu selama kurang lebih lima belas menit. Menanti munculnya seseorang yang nyatanya tidak terlihat batang hidungnya.Pria itu putuskan turun dan masuk ke dalam pub. Tidak banyak pengunjung di dalamnya. Terdapat dua orang yang minum di meja bartender. Dan satu orang lagi sedang tertidur dengan posisi kepala di atas meja, di sudut lain ruangan.Satu-satunya orang yang Jeremy cari adalah Paul. Seniornya di kepolisian itu disinyalir melakukan beberapa pelanggaran seperti korupsi dan bekerja sama dengan organisasi terlarang. Itulah informasi yang Jeremy dapat. Sedangkan kini Paul menghilang. Seorang informan memberitahunya jika Paul suka datang ke pub ini pada malam-malam tertentu."S